HEAL MY WOUNDS
Bagian 1...
LUANN JORA
Hidup seolah mengajarkan alur pola pikirku tentang rasa ketidak-adilan. Cabikan demi cabikan selalu saja tersenyum bahkan tertawa lebar ke arahku. Lautan rumput duri tidak pernah pernah bosan menusuk hingga menciptakan aliran darah begitu hebat tanpa henti. Bagaimanapun jeritan teriakanku berkumandang, akan tetapi gelombang pecahan beling terus saja menari-nari sambil tersenyum tanpa henti.
Adakah seorang saja yang dapat mengerti bagaimana lukaku bermuara begitu dalam? Sekali saja, mereka tidak menciptakan sesuatu objek hingga menciptakan luka lebih dalam. Alunan ceritaku tidak pernah memberiku nada musik terbaik. Saya tertawa keras di tengah alunan tadi.
“Luann, apa kau tidak pulang?” tegur Vana.
“Memang kenapa?” tanyaku balik.
“Kakek dan nenekmu sedang menunggumu” senyum Vana.
“Besok pesawat berangkat lebih subuh” ujarku.
“Jangan menghindari sesuatu hal? Atau kau sendiri akan menyesal dikemudian hari” Vana.
“Menyesal? Tentang?”
“Entahlah, tanyakan pada dirimu sendiri” Vana pergi begitu saja bersama perasaan kesalnya.
“Jangan menjadi hakim buat hidupku!” berteriak ke arahnya.
“Tuhan, jujur saya juga butuh dekapan” batinku bermain dengan sendirinya.
Apa yang salah denganku? Luann Jora hanya ingin merasakan kebahagiaan sama seperti yang lainnya. Tidak perduli apa kata mereka, namun ini jalan hidupku. Semut memiliki sarang untuk berteduh, tetapi manusia sepertiku tidak pernah mempunyai rumah untuk tertawa.
“Ternyata kau masih ingat rumah?” kakek bertolak pinggang pada pintu kamarku setelah kembali ke rumah. Entah setan apa yang sedang merasuki hingga membuatku berjalan kembali ke neraka.
“Kakek sendiri ngapain masuk ke kamar tanpa izin?” ucapan ketus buat pria tua di depanku.
“Dasar anak durhaka” teriak kakek ingin menampar wajahku.
“Hentikan!” nenek berusaha melindungi hingga segera memeluk erat tubuhku.
Kenapa saya tinggal bersama kakek dan nenek? Dimana kedua orang tuaku? Apa saya anak tunggal? Apa saya anak buangan? Apa yang sedang terjadi?
FLASHBACK
“Wanita kurang ajar” teriak papa sambil menampar wajah mama.
“Sakit” mama berusaha menahan rasa sakit setelah mendapat perlakuan kasar dari papa. Di depan mataku, banyak hal mengerikan selalu saja terjadi. Saya hanya diam membisu melihat mama diperlakukan buruk oleh papa. Pukulan demi pukulan seperti biasanya akan bermuara tanpa ampun. Menendang memakai kaki sejenis pemain bola sudah bukan pertama kalinya terjadi. Apa mama sekuat itu bertahan? Anak kecil sepertiku yang baru berusia 7 tahun sedang menghadapi permainan hidup.
“Kakak, apa papa tidak sayang mama?” Hoshi adikku terlihat ketakutan.
Saya dan Hoshi memiliki jarak usia 2 tahun. Hoshi saat ini berusia 5 tahun. Apa hanya dia satu-satunya adikku? Jawabannya adalah saya masih mempunyai 2 adik lagi. Adikku yang kedua bernama Hiasber, sedang adik bungsuku masih dalam kandungan. Papa membawa seorang wanita ke rumah dalam keadaan mama hamil besar.
Rumahku tidak akan pernah bercerita tentang kehangatan keluarga. Neraka paling mematikan merupakan gambaran rumahku saat ini. Papa tidak pernah perduli kehidupan anak-anaknya. Kenapa Tuhan membuat saya harus terlahir dari keluarga berantakan?
“Mama, apa Hia akan menjadi seperti papa?” tangisan Hia terlihat ketakutan.
“Kenapa anak mama berkata seperti itu?” mama mencoba membawanya dalam dekapan.
“Hia kan laki-laki, apa Hia akan menjadi manusia kejam setelah besar nanti?” Hia.
“Mama tidak mungkin salah memberi nama” mama masih bisa tersenyum di tengah rasa sakitnya.
“Hidupmu akan selalu berharga, arti sekaligus singkatan dari nama anak mama paling ganteng sedunia” senyum mama.
“Mama” Hia.
“Anak mama tidak mungkin menjadi manusia kejam karena hidupnya terlalu berharga di hadapan Sang Pencipta” mama.
“Kami semua sayang mama” batinku berteriak hebat di dalam.
Hal terkeji yang sedang terjadi adalah papa menuduh mama berselingkuh setelah melahirkan adik bungsuku. Kenapa hanya pria saja yang bisa berselingkuh, sedang wanita tidak bisa? Hidup ini tidak pernah adil.
“Mama” teriak Hoshi.
Papa membunuh mama tanpa rasa bersalah di depan mata kami bertiga. Kenapa dia harus berperan sebagai ayahku? Untuk kesekian kalinya, saya hanya diam membisu melihat darah berserakan di lantai.
Lantas, bagaimana kisah kelanjutan keluargaku? Papa divonis penjara seumur hidup atas kasus pembunuhan terhadap istrinya sendiri. Kami berempat tinggal bersama kakek dan nenek dari mama. Adik bungsuku terus saja menangis seolah menyadari sesuatu telah terjadi.
Bisakah Tuhan mengembalikan mama? Tuhan ada dimana waktu mama dipukuli papa? Apa Tuhan memang tidak pernah ingin tahu atau peduli tentang luka hati seorang anak? Sedikit saja, Tuhan...
FLASHBACK
“Semua hanya masa lalu” tertawa sinis dalam kamarku seorang diri.
Tombak itu terlalu tajam hingga luka yang diciptakan juga begitu dalam. Alunan musik di jalan setapak hanya bercerita tentang rasa sakit. “Ka’Luann” Hozhi berjalan masuk ke kamarku.
“Sejak kapan menyadari keberadaanku?”
“Saya hanya mau memberitahu agar berhati-hati” bisik Hozhi.
“Maksud ucapanmu?”
“Memangnya Hozhi tidak tahu kalau kakak menjadi simpanan orang” Hozhi.
“Menurutmu?”
“Menjadi pelakor itu kehidupan biasalah dan tidak mungkin juga Hozhi besar-besarkan, hanya saja jangan sampai kakek tahu” Hozhi.
“Apa kau ingin menghakimi hidupku?”
“Hozhi ga akan menjadi hakim” Hozhi.
“Kenapa?”
“Karena kakak dan Hozhi sama-sama berada di sebuah jurang, hanya saja memiliki versi berbeda” Hozhi.
Kisah hidup kakak adik terdengar menakutkan. Tidak ada satupun dari kami mencoba berjalan di tempat yang terang. Apa didikan kakek nenek kami melakukan penyimpangan? Tidak sama sekali.
Hozhi dengan jalan hidupnya sebagai model dan artis sedang menghalalkan segala cara agar karirnya terus berkembang. Hia hampir-hampir menjadi anak paling manis bahkan merupakan kebanggaan kakek, tetapi sesuatu berkata lain ketika menginjak bangku kuliah. Adikku paling bungsu bernama Kaska selalu saja menjadi kawanan narapidana tanpa jedah iklan.
Saya sendiri bergelut di dunia pramugari dan menjalani hubungan gelap bersama seorang kapten pilot terbaik. Dia bisa mengisi kekosongan dalam hidupku. Memberi apa yang kuinginkan. Selalu bersikap lembut sekalipun ucapan-ucapan kasar terlontar dari bibir mulutku.
Dia tahu cara menyembuhkan luka hati yang selama ini mencabik-cabik ruang hidupku di dalam sana. Kehidupan kami berempat hanya bercerita tentang sayatan demi sayatan tanpa pemulihan sama sekali. Tarian luka itu sepertinya jauh lebih hebat bermuara dibanding apa pun juga.
Jalan setapak seolah memberiku rasa sesak di dalam sana. Puing-puing kertas sedang beterbangan di sekitar jalan hidupku. Tidak ada yang salah atas kisah dari alunan musik di jalan setapak tadi. Kenapa Tuhan menancapkan luka paling hebat di sekitar ruang hidupku paling dalam?
“Hozhi tidak mungkin membeberkan rahasia percintaan kakak” Hozhi.
“Gadis iblis” merutuki dirinya.
“Kakak dan Hozhi sama-sama iblis” Hozhi.
Semua yang terjadi menjadikan kami berempat hilang arah. Hingga detik, saya tidak ingin mengakui kehadiran Tuhan. Rumahku menyatakan ribuan luka hingga tidak akan mungkin untuk mengalami pemulihan.
Burung di udara memiliki sangkar untuk hidup dan mendapat kehangatan rumah, sedang manusia sepertiku kehilangan rumah bertahun-tahun lamanya. Bisakah kicauan burung bernyanyi di udara menghibur ruang hambar di dalam sana? Sampah sepertiku juga ingin mencari rumah terbaik.
“Kau bisa bercerita apa pun masalahmu” Nadav memeluk kuat tubuhku.
Dia selalu menjadi sahabat buatku. Apa yang salah dengan hubungan kami? Saya tahu dirinya memiliki keluarga di rumahnya tetapi hidupku juga berhak bahagia. Memiliki istri cantik bersama 2 anaknya terlihat begitu sempurna di mata orang banyak. Hingga suatu ketika, saya menjadi satu-satunya di tengah cerita rumah kecilnya.
“Kapten pilot kesayanganku” senyumku melebar.
Dia tidak pernah menganggap diriku sebagai perempuan jalang. Seolah hidupnya memiliki figur ayah yang tidak pernah kumiliki. Apa dia pria tua? Umur kami hanya berjarak beberapa tahun saja.
“Apa saya terlihat minjijikkan?” pertanyaan tiap bertemu dengannya.
“Kau bukan perempuan seperti pemikiranmu” jawaban darinya.
“Saya menghancurkan rumahmu” balasan buatnya.
“Luann tidak pernah menghancurkan rumahku, saya yang menjebakmu” dia merangkul kuat tubuhku.
“Bagaimana dengan cerita pangeran dan putri kecilmu?”
“Mereka selalu menjadi alasan saya ingin bertahan di rumahku” kalimatnya.
“Apa mereka berdua sangat berarti?”
“Seorang ayah sepertiku ingin tetap mendekap kurcaci kecilnya, sekalipun kehidupanku sendiri tidak mungkin melepaskan objek di depanku” jawaban dari pertanyaan ini cukup jelas.
Kenapa saya bertahan? Seolah saya yang tersakiti, pada hal kenyataannya adalah istri dan malaikat kecilnya jauh lebih menderita. Saya berada dalam satu rantai belenggu. Kenapa kehidupanku sendiri merelakan apa pun buatnya? Kehormatanku hilang lenyap di tangan pria beristri.
Apa ini yang dikatakan kehidupan? Dia selalu berkata bukan saya yang menjebaknya, melainkan dirinyalah dengan peran sebagai pemain. “Luann, selamanya nenek ingin menjadi pengganti ibumu” ucapan nenek melalui telepon.
“Maaf, kakek dan nenek tidak bisa menjadi orang tua yang sempurna hingga membuatmu tertekan” entah kenapa nenek mengucapkan kata-kata seperti ini.
Apa saya egois menginginkan sesuatu yang memang bukan milik saya? Salahkah saya menjadi manusia paling egois? Sekali saja, biarkan hidupku berjalan dalam keegoisan.
Saya ingin menjadi wanita bahagia sama seperti kebanyakan wanita di luar sana. Rumah itu terlihat bersinar, hingga dua tangan ingin terus berjalan ke arahnya. Ruang di dalam sana tercabik-cabik karena tidak pernah memiliki rumah untuk berteduh.
“Mau merokok?” entah dari mana Hozhi hingga kami bertemu di sebuah negara.
“Hozhi ada kerja disini, jadi, jangan khawatir” Hozhi.
Adikku yang dulu tidak lagi menjadi sosok gadis kecil dengan wajah polosnya. Dia jauh berbeda dengan kisahnya yang sekarang. Hozhi sepertinya jauh lebih menakutkan dibanding kehidupanku sendiri.
Apa saya peduli akan cerita hidup adikku? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Seolah keegoisan merupakan satu-satunya benteng hidup untukku sekarang ini bahkan sampai kapanpun. Telingaku tertutup rapat-rapat untuk mencari kabar Kaska bersama status narapidananya. Berpikir masa bodoh tentang Hia bersama perjalanan gelapnya, tetapi selalu lepas tanpa pernah dipenjara. Menganggap cerita Hozhi sebagai sesuatu hal yang biasa di dunia hiburan.
Saya tidak ingin menjadi kakak sekaligus anak yang baik. Tidak lagi memperdulikan tangisan pengganti kedua orang tuaku. Kakek dan nenek selalu menyimpan easa sakitnya seirang diri.
“Bagaimana pekerjaanmu?” Hozhi melempar pertanyaan sambil menghembuslan asap rokoknya ke arahku.
“Bukan urusanmu”...
“Kakak dan Hozhi memang cocok dijadikan sebagai saudara kandung” tawa Hozhi meledak.
“Kita berdua memang iblis dari segala iblis, sekaligus racun dari segala racun” Hozhi.
“Pergi!” berusaha mengusir dirinya.
“Adikmu Hia sepertinya sudah menjadi ketua mafia paling ditakuti” Hozhi.
“Saya tidak perduli dengan kisah hidupnya” kalimatku seketika.
“Baguslah kalau seperti itu ceritanya” Hozhi.
“Bagaimana denganmu? Apa kau peduli tenrang hidupnya, si’bungsu, atau pengganti kedua orang tuamu?”
“Menjadi ketua mafia itu biasa, sama sepertimu sosok pelakor dan tidak ada yang salah” Hozhi.
“Pertanyaanku, apa kau pernah peduli kisah mereka?”
“Sama sepertimu, tidak sama sekali” Hozhi.
“Kenapa?”
“Karena kita berempat memang ditakdirkan untuk menjadi manusia iblis dari segala iblis” Hozhi.
Antara satu sama lain tidak saling memperdulikan. Saya ingin tertawa sekeras-kerasnya. Kami berempat Bersama-sama memasuki sebuah lautan yamg dikatakan paling menakutkan. Hai jiwaku, apakah kau akan tetap terbelenggu?
“Apa kau tidak pernah memikirkan dirimu?”
“Kakak tidak sedang sakitkan?” Hozhi.
“Kenapa?”
“Berpura-pura peduli? Atau sepertinya kakak mengalami gangguan kejiwaan berat” Hozhi.
Adikku jauh lebih menakutkan. Ucapannya terdengar mengkhawatirkan. Apa rasa sakit itu membuatnya mati rasa? Memangnya apa peduliku terhadap keadaannya? Mari kita jalani hidup masing-masing tanpa harus saling memperdulikan.
“Mau merokok? Silahkan! Saya membelinya dengan harga cukup fantastis” Hozhi.
“Kau mau kemana?”
“Melayani pria hidung belang demi kelanjutan karirku” Hozhi.
“Kenapa kau melakukan hal segila itu?”
“Jangan sok suci, kehidupan kita berdua sama-sama jalang, hanya saja dengan versi sedikit berbeda” Hozhi.
Dia bukan lagi gadis kecil polos yang sedang tersungkur menangis di samping lemari. Kesalahan terbesarku sebagai kakak adalah tidak pernah ingin tahu lukanya seberapa besar mengalir dalam tubuhnya. Seolah bersikap cuek ketika dia menangis tersedu-sedu saat rumahnya hancur menjadi puing reruntuhan. Saya memang tidak pernah ada saat dirinya membutuhkan dekapan hangat. Sibuk dengan diriku sendiri sehingga melupakan banyak hal.
Bagian 2...
HOZHI
“Mari kita bersama-sama terjun dan tidak mungkin berpikir untuk kembali!” ucapan buat kakakku sambil menghembuskan asap rokok milikku ke arahnya.
Seperti inilah hidup 4 anak tanpa kasih sayang sempurna. Siapa pernah menduga tentang alur cerita menyedihkan? Papa menjadi sosok pembunuh paling kejam terhadap mama. “Daun kering itu bernilai” membaca sebuah pernyataan.
Masa iya sih? Apa saya mempunyai nilai? Sejak kecil, nilai hidup di sekitar jalanku sepertinya mati total. Saya tidak pernah mengerti arti bercerita dengan memakai satu kata yaitu nilai. Hidupku hancur berkeping-keping tanpa nilai di dalamnya.
Jalanan di depan, selalu saja menceritakan kisah tanpa nilai. Sampah rongsokan masih jauh lebih berharga dibanding alur ceritaku. Saya seperti monster paling mematikan siap memangsa segala jenis objek menakutkan di sekitarku.
“Bagaimana bisa kau rela tidur bersama tua bangka itu?” Nevy melempar satu pertanyaan sekembalinya saya dari LN.
“Demi karir” menjawab tegas dirinya.
Siapa Nevy? Dia adalah sahabat sejak usia kami masih terbilang kecil. Pria dan wanita berteman merupakan sesuatu hal yang biasa terjadi. Kami berdua sama-sama gila dalam segala hal. Apa Nevy memiliki pasangan? Tentu saja ada bahkan selalu gonta ganti dan saya sendiri tidak pernah mengingat nama mereka.
Salah satu persyaratan yang harus kami penuhi adalah tidak saling jatuh cinta antara satu sama lainnya. Kenapa? Karena kami bagaikan saudara kandung.
“Apa kau yakin karirmu bisa naik?” Nevy.
“Kenapa kau jadi seperti apa yah?”
“Lupakan! Lakukan apa yang menurutmu baik!” Nevy.
“Tentu saja” ujarku.
“Zhi, sepertinya hidupmu terlalu jauh berjalan ke tengah jurang” Nevy.
“Memang kenapa? Hidupku terdengar jauh lebih berkesan ketika lagi berenang-renang di tengah jurang terdalam”...
“Memang di jurang ada air?” Nevy.
“Entahlah” jawabku.
“Apa kau tidak ingin kembali menjadi Hozhi bersama senyum polosnya?” Nevy.
“Lupakan! Senyum polos Hozhi seperti hilang ditelan bumi” membalas ucapannya.
“Saya ingin kembali” Nevy.
“Kau dan saya ditakdirkan untuk selamanya tinggal di jurang, ngerti?” kalimat buatnya.
“Sepertinya, saya ingin belajar berjalan bahkan berlari keluar dari tengah jurang” Nevy.
“Apa kau gila? Perasaanku berkata kalau sosok dirimulah hingga saya berada di sini bahkan terbelenggu” menatap ke arahnya.
“Tapi, saya ingin kembali” Nevy semakin mempertegas ucapannya. Dia mengambil ransel miliknya, kemudian berjalan pergi. Apa saya akan menikmati kesendirian? Apa pun akan kulakukan hanya demi sebuah popularitas tinggi.
“Persahabatan kita berdua putus kalau kau berusaha keluar” berteriak sekeras mungkin ke arahnya. Dia tidak perduli apa pun ucapanku.
Sejak kecil, seorang Hozhi memang ditakdirkan untuk tidak pernah memiliki nilai. Jadi, untuk apa berpikir tentang satu kualitas hidup? Nilai itu dihancurkan oleh keluargaku sendiri.
Saya bukan satu-satunya model dan artis dengan pamor jelek. Ada begitu banyak artis di luar sana memiliki sisi gelap, baik dari segi keluarga ataukah hal lainnya. Kebanyakan artis berasal dari keluarga berantakan. Mencari sanjungan, pengakuan, popularitas, dan lain sebagainya melalui dunia keartisan. Kalau beruntung, namamu akan dipuji kesana-kemari. Justru sebaliknya, andaikan sial ataukah memiliki kontroversial artinya nama akan dihujat, tetapi tetap terkenal.
Kenapa kebanyakan artis tetap terjun bebas masuk ke dalam jurang? Entah karena terjebak sendiri, dijebak, kaget, rasa penasaran, atau sekedar ingin mencoba-coba hingga berakhir fatal. Hidupku sendiri memang sejak kecil tidak pernah mengerti tentang arti dari kata nilai.
Industri musik hollywood sedang memanas akibat skandal salah tokoh penyanyi terkenal. Pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan, obat-obat terlarang, dan lain sebagainya menjadi dasar hidupnya berakhir seketika. Skandal penjebakan terhadap artis yang baru akan memulai debut ataukah sedang menjalani keartisan memang sering terjadi. Tidak hanya dari industri musik, melainkan juga perfilman bersama ekor-ekornya di belakang.
Kasus semacam ini tidak hanya terjadi di bagian hollywood semata, tetapi juga terjadi di tiap negara. Industri hiburan memiliki sisi gelap dengan versi berbeda-beda. Menaikkan popularitas melalui proses panjang memang terdengar membosankan. Para artis pada akhirnya memilih untuk memasuki dunia jebakan demi jebakan oleh segelintir tokoh pemain pemegang kekuasaan.
Seperti diketahui bersama industri hiburan memang banyak memancing sekaligus menjebak generasi muda. Organisasi satanisme menyadari secara signifikan bahkan sedetail-detailnya kondisi generasi muda terlebih di dunia hollywood. Organisasi satanisme memang sengaja menjaring banyak artis agar bisa lebih leluasa mempermainkan mereka semua.
Beberapa tokoh penting industri hiburan khususnya hollywood memiliki jabatan tinggi dalam organisasi satanisme. Tokoh-tokoh tersebut diberi tugas untuk menjaring banyak artis, entah bersifat pendatang baru, sudah lama, ataukah baru akan memasuki dunia hiburan. Ada banyak kegiatan-kegiatan di luar nalar dituntut untuk dilakukan oleh mereka atas perintah organisasi satanisme tadi.
Jangan mencoba-coba bermain dengan sang pemimpin satanisme! Kenapa? Karena kau tidak akan pernah bisa berlari keluar setelahnya. Memang betul, popularitas dan uang berada di depan mata, akan tetapi sang pemimpin tidak akan pernah membiarkan hidupmu tenang seperti bayangan orang banyak. Karakter kejam sang pemimpin jauh lebih menakutkan dibanding apa pun yang ada di dunia ini. Dia bengis, kejam, mengerikan, menakutkan, membinasakan, dan lain sebagainya.
Kenapa saya bisa tahu? Jawabannya, cari sendiri? Menjelaskan hal-hal sejenis ini disadari penuh oleh sang pemimpin dan bisa jadi penyerangan bertubi-tubi juga bisa terjadi di alam lain. Saya memang terjebak di dunia keartisan, akan tetapi untuk menjadi pengikutnya, amit-amit jabang bayi.
Satu lagi yang perlu kalian ketahui kalau malaikat yang jatuh dan dibuang sama sekali tidak memiliki jenis kelamin. Para malaikat inilah yang disebut sebagai penguasa kegelapan, penguasa setempat, penguasa di udara, iblis, setan, dan lain sebagainya. Bebas menentukan jenis kelamin manapun ketika sedang berhubungan seks dengan manusia.
Kenapa kisah LGBTQ bisa terbentuk? Jawabannya berasal dari malaikat-malaikat itu, dimana menciptakan sesuatu objek yang melanggar hukum Tuhan. Salah satu artis terkenal dinyatakan sebagai putri Lucifer. Sebenarnya, iblis tidak pernah dizinkan oleh Tuhan untuk menghasilkan keturunan dari manusia. Kenapa bisa? Karena Roh Tuhan masih berkuasa di bumi dan pada dasarnya malaikat tersebut tidak pernah diciptakan untuk memiliki keturunan atau sistem reproduksi dalam bentuk apa pun.
Di tiap negara permaisuri Lucifer memang jelas banyak bahkan membludak, akan tetapi tidak satupun dari mereka diizinkan oleh Tuhan untuk mengandung benih iblis. Kemungkinan besar dari kisah artis tersebut adalah kedua orang tuanya mengikat perjanjian dengan iblis sehingga sang anak dinyatakan sebagai milik satan satu-satunya. Sang anak tidak akan bisa lepas dari cengkaraman organisasi satanisme karena perjanjian kuat antara orang tuanya dan si’iblis.
“Kenapa saya jadi menjelaskan hal menakutkan seperti ini?” bertanya pada diri sendiri.
Perasaanku berkata, kalau saya masih dalam posisi belum bertobat, lantas kenapa mengerti hal semacam ini? Bulu kudukku merinding. Lupakan!
“Apa kau benar-benar ingin meninggalkan sahabatmu sendiri di tengah keterpurukan?” tanpa sengaja sosok Nevy sedang berdiri di tengah kerumunan orang banyak.
Saya tidak lagi perduli kisah hidupku sebagai artis. Bukankah seorang Hozhi memang sejak dulu sudah menjadi artis kontroversial sekaligus si’pembuat settingan? Sekali lagi, saya tidak akan memperdulikan liputan media tentang perjalanan artis sepertiku.
Nevy diam membisu dan tidak lagi ingin berkata-kata ataukah melemparkan umpatan terhadapku. Dia selalu berperan sebagai sahabatku sejak dulu. Ketika seluruh masyarakat melempar hujatan, tetap saja dirinya berjuang keras umtuk membuatku tetap tersenyum.
FLASHBACK
“Dasar wanita murahan” papa selalu saja melempar makian terhadap mama.
Pertengkaran terus saja terjadi dalam keluarga. Saya hanya bisa menangis melihat bagaimana papa berteriak bahkan melakukan KDRT terhadap mama. Gadis kecil sepertiku menjalani situasi paling menakutkan tanpa jedah iklan. Apa mereka pernah tahu rasa sakit sedang mencabik-cabik dinding ruang hati di dalam sana?
Tuhan, dimana keberadaanMU? Sekali saja saya bisa merasakan dekapan seorang ayah. Saya tidak pernah tahu senyuman sang ayah bagi gadis kecilnya itu seperti apa. Goresan luka tercabik-cabik menghancurkan alur cerita gadis kecil bernama Hozhi.
“Zhi, anak mama paling imut” dekapan hangat mama tiap menyadari cabikan luka itu...
“Papa bukannya ga sayang, hanya saja dia sedikit lelah” berulang kali mama berujar tanpa rasa bosan sama sekali.
Pada akhirnya, mama meninggal di tangan papa. Apa karena papa lelah hingga akhirnya menghancurkan keluarganya sendiri? Hidupku menjalani kisah perjalanan paling hambar tiap saat.
Semua teman-temanku mengejek alur ceritaku. Tidak satupun dari mereka ingin menjadi sahabt terbaik. “Kasihan amat hidupnya” ucapan salah satu teman sekolahku.
“Mamanya dibunuh ma ayahnya sendiri” kalimat yang lainnya.
Tidak seorangpun simpatik terhadapku. Seolah mereka tertawa di atas luka yang sedang berjalan. “Kau menangis?” pertama kalinya seseorang berjalan ke arahku.
“Kata ayahku, hidup itu harus terus berjalan apa pun keadaannya” ucapan dia kembali.
Dia bisa berkata dengan bamgga sambil menyebutkan kata ayah di balik ucapannya? Hingga detik sekarang, saya tidak pernah tahu tentang defenisi seorang ayah. “Namaku Nevy” senyumnya melekat.
Sejak saat itu, gadis kecil bernama Hozhi pada akhirnya memiliki sahabat. Dia tidak pernah menjadi hakim atas apa yang sedang terjadi di sekitar jalan hidupku. Kami berdua bersama-sama bertumbuh dan menjalani banyak hal. Saya tidak lagi menjatuhkan air mata hanya karena masalah yang sedang terjadi.
FLASHBACK
Semua berubah setelah kami berdua memutuskan terjun ke dunia hiburan. Apa saya harus bertanggung jawab atas cerita hidup anak polos yang pada akhirnya berubah hanya karena perbuatanku? Saya terjebak dalam industri dunia hiburan.
Kenyataannya adalah saya menarik tangan sahabat terbaikku untuk berjalan masuk hingga terjebak rantai belenggu begitu hebat. Dia tetap mendekap hangat diriku ketika salah satu tokoh penting menjebakku hingga menghancurkan hidupku. Industri hiburan memang kejam, kenapa bisa? Beberapa tokoh tertentu, entah berasal dari kalangan pengusaha, pejabat, dan lain sebagainya mencoba mengambil keuntungan.
Diam-diam memasukkan obat tidur hingga pada akhirnya ada banyak tokoh tertentu menikmati keindahan tubuh sang artis. Keadaan seperti itulah yang membuat para artis membiarkan tubuhnya tetap terjebak demi sebuah karir. Apa yang salah? Tidak semua artis ingin menjadi penjajah tubuh, hanya saja memang sejak awal mereka sudah terjebak.
Saya harus mengakui beberapa persen artis memang bermain nakal demi karir mereka sendiri, akan tetapi di lain tempat keadaan yang menyatakan satu kata jebakan dari oknum tertentu. “Apa kau tidak ingin kembali?” Nevy mencoba melemparkan pertanyaan.
“Saya tidak ingin kembali” ucapanku.
“Sepertinya hidup kita berdua tidak akan sama” Nevy berjalan pergi tanpa pernah memperdulikan perasaanku.
Saya tidak mungkin berenang begitu saja ke tepi hanya karena permasalahan ingin lepas dari rantai belenggu. Hingga detik sekarang, saya tidak pernah ingin tahu tentang defenisi kualitas dari kata nilai. Rantai belenggu itu terlalu kuat mengikat seluruh tubuhku hingga kedua bola mataku tidak pernah ingin melihat setitik sinar di tengah ruang gelap.
“Pergilah dan jangan kembali!” berteriak ke arahnya.
Melemparkan kalimat seperti tadi jauh lebih baik. Saya tidak mungkin bisa keluar dari belenggu rantai itu. Berjalan mencari pengakuan orang banyak terdengar menyenangkan buatku. Menciptakan settingan-settimgan cerita untuk menaikkan popularitas tetap kujalani seperti biasanya.
Seluruh masyarakat juga tahu kalau artis bernama Hozhi makin tenar lewat settingan tidak masuk akal. Settimgan apa saja? Berteriak memaki sutradara pernah kulakukan demi popularitas. Mengejek beberapa artis menjadi sesuatu hal yang lumrah. Saling memaki di dunia permedsosan sesuatu hal yang biasa. Dan masih banyak lagi settingan-settingan hanya demi popularitas.
Terkenal karena settingan merupakan hal biasa. Ada banyak tokoh menjadi pusat perhatian bukan karena prestasi, melainkan skenario tidak masuk akal hanya untuk mencari pengakuan hidup semata. Apa ini memalukan? Jawabannya, ternyata tidak sama sekali...
“Nevy” ucapan tanpa sadar di rumah.
“Saya terlalu bergantung ma dia” tertawa sinis.
Seperti ada yang hilang sejak perpisahan antara saya dan sahabat terbaikku. Sejauh ini, kami memang selalu bersama. Saya tidak habis pikir kemanapun tetap beriringan. Sampai dia kencan ataukah jalan ma pacarnya, tetap saja sosok Hozhi menjadi obat nyamuk paling hakiki.
Dia menyatakan ingin lepas dari industri hiburan di depan seluruh awak media. “Padahal karirnya sedang meroket jauh berbeda denganku” bernada kesal.
Nevy selalu mendapat tawaran casting, pemeran utama, model, iklan, dan lain sebagainya. Dia tinggalkan begitu saja? Masalahnya dimana? Andaikan saya menjadi dirinya, 100% tidak akan kutinggalkan.
Hanya demi sebuah peran dalam satu proyek film, saya harus mengemis-ngemis bahkan menghalalkan segala cara. Dia benar-benar bodoh. Apa yang terjadi dengannya?
“Dia benar-benar serius ma perkataannya” kalimatku seketika.
Seluruh masyarakat menyayangkan keputusan gilanya untuk berhenti dari industri hiburan. Dia idiot atau gimana? Karir lagi naik daun 7 keliling, namun keputusan gilanya menghancurkan semua...
Saya tidak pernah peduli ucapan netisen tentangku yang terus saja mengekor di belakang selama ini. Kami berdua memang sahabat sejak kecil, jadi, apa pun itu akan selalu bersama. Kenyataannya memang karir dia melejit tanpa jedah iklan, sedang saya seperti cacing kepanasan tidak memiliki sesuatu yang menakjubkan.
Seluruh netisen selalu membuang ucapan negatif ketika berada di dunia medsos. “Pasti karena kelakuan manusia di sampingnya itu, sampai-sampai Nevy ganteng harus berhenti dari dunia hiburan” ucapan memaki salah seorang netisen.
“Dasar nenek sihir” mereka semua ramai mengomentari akun medsos milikku.
“Jauhi Nevy, tolong jangan bawah dia ke jurang bersama denganmu!” tulisan mereka kembali.
“Jangan sampai nenek sihir ini menyimpan rasa buat Nevy” ujar yang lainnya.
“What?” berteriak ingin memaki seketika.
Memang saya segila itu mengejar Nevy? Kami berdua hanya sebatas teman, tidak lebih dari itu. Apa saya atau mereka yang kurang waras? Ucapan apaan ini?
“Hei manusia tengil, karena kelakuanmu semua orang menyerang saya sebagai perusak karirmu” mengirim pesan buatnya.
Dia sama sekali tidak merespon pesan yang sudah kukirim buatmya. “Nenek lampir ini selalu saja numpang tenar” ucapan menyindir dari seorang netisen.
“Paling ganas lagi karena nenek lampir ini selalu menjadi orang ketiga hubungan Nevy” kalimat mematikan kembali dilontarkan buatku.
Bagian 3...
Raut wajah Hozhi terlihat geram akan bahasa-bahasa sindiran dari banyaknya netisen. Seluruh netisen menyalahkan dirinya atas hubungan kandas ataukah keinginan Nevy untuk mengundurkan diri dari industri hiburan. “Kenapa mereka mempersalahkan saya?” kegeraman Hozhi.
“Nenek sihir, pergi saja ke laut” ucapan makian menjadi salah satu halaman terdepan media sosial.
“Kuharap Nevy segera sadar” ungkapan netisen lain.
“Artis settingan ga akan pernah bisa disandingkan ma artis papan atas seperti Nevy” kembali kolom keomentar Hozhi banjir hujatan.
“Kenapa jadi begini?” Hozhi.
“Matikan kolom komentarmu sekarang!” sebuah pesan masuk dari adiknya.
“Memang apa pedulimu?” balasan Hozhi.
“Hentikan kelakuan gilamu! Matikan atau kau rasakan sendiri akibatnya?” dibalik sikap cuek Hia, masih ada perhatian terhadap kakaknya.
“Gadis gila, apa kau mau mati? Segera matikan kolom komentarmu sekarang!” pesan Luann terhadapnya.
“Ga usah sok peduli” balasan Hozhi.
“Saya memang tidak peduli hidupmu, tapi jangan menjadi egois!” Luann.
“Gadis brengsek” kiriman pesan Luann.
Dengan tangan gemetar Hozhi segera mematikan kolom komentar miliknya. Hal lebih kacau lagi adalah akunnya dihack oleh seseorang. Akun medsos miliknya hilang ditelan bumi seketika sejam setelah kolom komentarnya dimatikan.
Dia tidak pernah tahu, bahwa Nevy merupakan pemain utama yang sedang mengambil alih akun medsos miliknya. “Saya ingin mati saja” teriak Hozhi seketika.
“Jangan menangis hanya karena karirmu tidak sesuai harapanmu!” entah dari mana Hia dapat membuka pintu apartemen miliknya.
“Apa pedulimu?” Hozhi.
“Siapa bilang saya peduli?” Hia.
“Kau membobol pintu apartemen milikku” Hozhi menatap serius adiknya.
“Karena saya lapar, jadi, singkat cerita seperti itulah” Hia.
Pertama kalinya Hiasber berjalan ke arah kakaknya setelah kepergian sang mama. Dia tidak pernah ingin tahu perjalanan hidup saudara-saudaranya, namun entah mengapa dua kaki Hia ingin berada di samping kakaknya.
“Gadis gila” teriak Luann menggedor-gedor pintu apartenen Hozhi.
“Kakak tidak sedang sakitkan?” Hozhi melemparkan pertanyaan.
Hal lebih mengejutkan lagi adalah Luann Jora berusaha menyembunyikan rasa khawatir terhadap adiknya. “Maaf, saya tidak pernah bisa menjadi kakak yang baik buatmu” suara hati Luann berdesir di dalam sana.
“Kakak Kaska yang paling agresif” teriak Kaska masuk ke dalam apartemen.
Cerita Hozhi pada akhirnya mempertemukan mereka berempat setelah sekian lama. Tanpa sadar rasa ingin mendekap satu sama lain sepertinya muncul ke permukaan begitu saja, akan tetapi sesuatu objek menghalangi mereka. Kepergian sang mama seolah menciptakan jarak cukup kuat di antara satu dengan lainnya.
“Kenapa kalian berkumpul seperti ini di apartemen milikku?” kening Hozhi mengkerut.
“Kebetulan saya lapar” Hia menjawab spontan.
“Hari ini saya libur kerja dan kebetulan lewat saja” Luann berusaha mencari alasan.
“Lantas dirimu?” penekanan Hozhi terhadap adik bungsunya.
“Kebetulan Kaska baru keluar dari penjara dan tidak punya rumah buat ditinggali” Kaska.
Artis settingan menatap tajam kecarah kakak dan adiknya. “Saya harus mandi” Luann masuk menerobos begitu saja ke kamar adiknya sambil membawa koper.
“Saya harus makan” Hia langsung menuju dapur.
“Dan saya butuh menonton film kartun” Kaska segera menuju sofa.
Antara ingin marah dan tertawa keras melihat tingkah laku kakak dan adiknya. Siapa pernah menduga peristiwa tersebut mempertemukan mereka? Rasa tidak ingin peduli satu sama lain, namun sepertinya situasi berkata lain.
Ujaran kebencian di luar sana memang bergema tiap saat, hanya saja sebuah objek sepertinya jauh lebih berperan. “Ka’Luann” pertama kalinya bagi seorang mafia menyebut nama kakaknya.
Bisa dikatakan, dibalik sikap cuek Hozhi terhadap saudara masih tetap terselip nada perhatian cukup kuat dibanding Luann. Tidak heran, jika ketiga saudara berjalan masuk ke apartemen miliknya. Hozhi si’artis settingan masih berusaha menyelipkan waktu berbicara ataukah sekedar menelepon saudaranya dengan berbagai alasan. Jauh berbeda dengan ketiga saudaranya, rasa tidak perduli bergema begitu kuat hingga komunikasi diantara mereka tidak pernah ada.
“Kabarmu?” Hia.
“Pertama kalinya kau berbicara sok kebapak-bapakan” tawa sinis Luann.
“Ada yang salah?” Hia.
“Tidak sama sekali, hanya saja pertama kalinya kita berdua bertatap muka” Luann.
“Kakak sendiri gimana?” Hia.
“Maksudmu?” Luann.
“Tidak pernah ingin tahu atau peduli adiknya sendiri” Hia.
“Apa kakak pernah sekali saja mendekap Hia sejak kepergian mama?” luapan rasa kecewa tiba-tiba saja bergema dari seorang Hia.
“Kau” Luann.
“Andaikan kakak bisa menjadi kakak yang peduli terhadap adiknya, tidak mungkin juga ka’Hozhi, Hia, Kaska bermain-main di tepi jurang” Hia seolah mempersalahkan banyak hal terhadap Luann.
“Apa saya pernah menyuruhmu menjadi personil mafia?” Luann sedikit geram.
“Apa saya pernah mendorongmu ke jurang paling dalam?” nada berteriak darinya.
“Semua itu keinginanmu dan bukan kesalahan kakakmu, ngerti?” Luann.
Sikap kejam dari seorang mafia, ternyata hanya bercerita di luar saja. Jauh di dalam ruang sana hatinya benar-benar rapuh. Keegoisan antara satu dengan lainnya menghancurkan kehangatan di antara mereka. Hiasber tidak lagi menjadi cucu yang dibanggakan oleh kakeknya. Dia tiba-tiba saja menjelma sebagai iblis paling menakutkan di antara para mafia.
“Mari kita jalani hidup masing-masing” Hozhi menerobos ke tengah mereka berdua.
“Kita berempat memang diciptakan untuk tetap tinggal dan berenang-renang di tengah jurang” Hozhi.
“Betul ucapan si’artis settimgan” Kaska sejak tadi mendengar dialog mereka.
“Jangan saling menyalahkan!” Hozhi.
“Kenapa?” Hiasber.
“Karena kita dilahirkan untuk tidak saling memperdulikan satu sama lain” Hozhi.
“Seperti itulah” Kaska.
“Kita memang ditakdirkan lahir dari orang tua masa bodoh, dan kenyataannya diciptakan untuk tetap terbelenggu oleh sebuah rantai menakutkan di sebuah jurang” Hozhi.
“Tepat katamu, mari kita hidup untuk tidak saling memperdulikan” Luann.
“Kenapa kakak berdiri disini?” Hia.
“Kebetulan lewat” Luann.
“Ka’Luan dan Hozhi memang ditakdirkan berperan sebagai perempuan jalang dengan versi berbeda, Hia dilahirkan hanya untuk menjadi mafia kelas kakap, dan terakhir Kaska diciptakan sebagai narapidana yang tanpa jeda iklan harus keluar masuk penjara tanpa masa depan” Hozhi.
Cerita tentang kehangatan keluarga tidak akan pernah ada dalam kehidupan mereka. Hingga detik sekarang, ruang gelap itu jauh lebih kuat mencengkram dibanding apa pun juga. Rantai belenggu sepertinya tertawa keras ketika mempermainkan kehidupan antara satu sama lainnya.
Tidak ada yang salah dengan kehidupan sebagai keluarga broken home. Luann menangis sejadi-jadinya setelah berjalan keluar meninggalkan apartemen adiknya. “Mari kita hidup untuk tidak saling memperdulikan” tangis Luann makin histeris di dalam kamarnya.
“Apa itu rumah?” tertawa sinis dan berusaha menghentikan tangisnya.
“Maaf tidak bisa menjadi pengganti orang tua yang sempurna buat kalian berempat” sebuah pesan dari neneknya seperti biasa masuk.
Di tempat lain Hiasber adiknya duduk seperti orang bodoh di tepi dermaga. Membayangkan ucapan bodoh 2 kakaknya seolah makin menciptakan luka yang mungkin sulit untuk dibalut oleh apa pun.
Bagian 4...
HIASBER
Hal paling menakutkan dalam hidup adalah cerita tentang keluarga. Sejauh ini kisahku terdengar miris bersama rasa kelam yang memang sulit untuk dijabarkan. Hia benar-benar jatuh terperosok dalam satu lingkaran.
Hidupku sekarang dikenal sebagai mafia. Defenisi musik tak bernada? Rasa-rasanya saya ingin tertawa keras. Semua orang tidak akan pernah tahu tentang lingkaran permainan hidup di sepanjang alur ceritaku.
Kehidupan dengan cerita mafia dan sex? Terdengar menyenangkan. Perjalanan sex Hiasber memiliki petualangannya sendiri. Kelainan sex, hipersex, atau permasalahan lain tentang sex merupakan sesuatu objek normal. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa sex.
“Jangan lupa masukkan barang tadi ke dalam perut wanita cantik itu!” memberi perintah.
Seperti inilah hidup para mafia ketika berjalan. Memainkan trik hanya untuk menyelundupkan obat-obat terlarang. Membayar beberapa petugas sudah menjadi rahasia umum bagi seluruh mafia. Berada dalam sebuah arena guna menyatakan tentang sebuah kekuatan.
Memiliki banyak tempat-tempat hiburan malam seolah memberi kesenangan tersendiri. “Layani pria disana!” berbisik terhadap salah satu wanita di sampingku.
Musik keras sepertinya menghancurkan ruang hati yang selama ini tercabik-cabik. “Habisi dia dan jangan meninggalkan bukti sedikitpun!” salah satu peranan mafia kelas kakap sebagai pembunuh bayaran.
“Rasakan pembalasanku” salah satu musuh terbesarku sedang membuat jebakan.
Dalam sekejap, seluruh tubuhku remuk dan tidak lagi memiliki kekuatan. Dimana kekuatan ketua mafia yang selalu menjadi akar kesombongan? Sepertinya riwayat hidup mafia kelas kakap bernama Hia akan lenyap ditelan bumi.
“Kau bukan lagi ketua mafia” ujar sahabatku menatap ke arahku.
Dia jauh lebih memilih objek lain dibanding sahabatnya sendiri. Menjadi pengkhianat merupakan sesuatu hal biasa bagi dunia mafia. Darah segar terus mengalir dari sekujur tubuhku karena sebuah pengkhianatan.
Apa saya akan mati? Semuanya terlihat gelap hingga saya tidak dapat membuka dua bola mataku. “Hia, apa kau tidak ingin belajar menatap pelita kecil di depanmu?” sebuah suara terdengar cukup kuat berteriak ke arahku.
“Anda siapa?” berteriak keras mencari arah suara tersebut.
Selama ini kehidupanku hanya bercerita tentang rantai belenggu. Saya tidak ingin tahu cerita dibalik pelita kecil. Ruang kosong itu bercerita kisahku yang selalu saja terdengar pilu.
“Belajarlah mencari pelita kecil!” sekali lagi suara itu berbicara.
“Anda siapa?” berteriak keras.
Hidupmu akan selalu berharga? Kenapa mama memberiku nama seperti ini? Apa dia tahu rasanya kehilangan kehangatan? Kenapa mama harus pergi? Hidupku tidak akan seperti ini seandainya mama tetap tersenyum hangat ke arahku.
Jalan setapak itu dapat kujalani, andaikan ruang hatiku memahami defenisi seorang ayah. Saya ingin menjadi pelita di rumahku, akan tetapi mama tidak ingin bertahan hidup di sekitar alur ceritaku. Setidaknya, mama harus tetap berjuang sekalipun tangan papa melenyapkan dirinya...
“Kau sudah bangun?” seorang ibu melemparkan pertanyaan ke arahku.
“Mama” tanpa sadar dua tanganku segera memeluknya.
Pertama kalinya butiran-butiran kristal mengalir deras begitu saja. “Kenapa mama pergi?” terus saja terisak dalam tangisku.
Dia hanya menepuk-nepuk hangat punggungku. “Rasanya sakit” berkata-kata di alam bawah sadarku.
“Sekali saja Hia tertawa lebar” semakin memeluk erat dirinya.
Apa pelita kecil itu ingin tetap menatap ke arahku? Bagaimana saya akan berjalan? “Anda siapa?” tersadar sesuatu.
“Akhirnya kau siuman” ujar wanita tua di depanku.
“Dimana saya?”
“Kau tidak sadarkan diri selama beberapa hari dan terus saja mengigau” ucapannya.
“Makanlah!” memberiku semangkuk bubur.
“Jangan persalahkan ibumu seolah tidak ingin tinggal bersama denganmu!” ucapan wanita itu kembali.
“Maksud anda?” tidak mengerti.
“Kau terus saja mengigau bahkan marah karena mamamu pergi begitu saja” jawabannya.
“Ibumu pergi karena memang sudah waktu Tuhan untuk mengambil dia, ngerti?” kembali berkata-kata.
Sedikit saja, mama berusaha mengerti perasaanku. Setidaknya mama mencoba bertahan hidup sekalipun tangan papa menikam dirinya berulang kali. Saya hanya butuh mama bukan papa...
Wanita paruh baya di depanku seolah didatangkan oleh Sang Pencipta sebagai pengganti mama. “Nama anda siapa?” pertanyaan buatnya.
“Ibu Kasih” ujarnya.
“Kenapa?” ucapan beliau kembali.
“Nama anda terdengar seperti nama anak zaman sekarang, maksudku ga cocok saja” sedikit tertawa.
“Ayahku berkata kalau kasih dapat menyembuhkan luka paling mematikan sekalipun” ucapan dia kembali.
Apa itu ayah? Saya sendiri tidak akan pernah memahami defenisi dari senyum seorang ayah. Kenapa wanita tua itu menyebut kata ayah sebagai objek kata terbaik buatnya? Rasa muak, benci, marah, geram menyatu menjadi satu ketika kata tadi terdengar di sekitar telingaku.
“Siapa namamu?” ibu Kasih.
“Hiasber, panggil saja Hia” jawabku.
“Namamu cukup unik” ibu Kasih.
“Maksud anda?”
“Makna nama Hiasber?” ibu Kasih.
“Tidak ada sesuatu yang unik dari namaku” menjawab ucapannya.
“Sepertinya kau menutupi sesuatu” ibu Kasih.
“Saya tidak menyembunyikan apa pun”...
“Kau terus saja mengingau sambil menangis” ibu Kasih.
Saya diam seketika dan tidak lagi berusaha untuk menjabarkan sesuatu hal. “Kau tidak harus bercerita sekarang” ibu Kasih.
“Kurasa, tidak ada yang perlu saya ceritakan” penekanan kalimatku.
“Saya ingin menjadi pengganti ibumu” dia tiba-tiba saja mendekap hangat tubuhku.
“Apa kau mau?” ujarnya kembali.
“Memangnya anda tidak memiliki anak?”
“Dia berada di asrama, jadi, sepertinya Tuhan memang sengaja mengirim dirimu” ucapan darinya.
“Apa anak anda tidak keberatan?”
“Dia terus saja sibuk dengan aktifitas belajarnya, terkadang dia lupa menelepon ibunya sendiri” tawanya seketika.
“Dia sedang berjuang mendapat beasiswa luar negeri dan sepertinya putriku itu akan mencapai mimpinya” ibu Kasih.
Beasiswa luar negeri? Berarti anaknya memiliki prestasi. “Kenapa anda terlihat kurang nyaman?”
“Dia ingin menjadi pengacara, sedang mimpiku buatnya jauh berbeda dengan pilihannya” ibu Kasih.
“Anda ingin dia menjadi apa?”
“Menjadi seorang pendeta” ibu Kasih.
Tawaku meledak seketika. Pertama kalinya, saya mendengar seorang ibu ingin anaknya menjadi pendeta? Ga salah? Apa ibu itu yang gila atau saya? Minimal, anaknya tidak menjadi seperti kami berempat...
“Kenapa tertawa?” ibu Kasih.
“Menjadi seorang pengacara jauh lebih baik, dibanding menjadi pendeta” penekanan buatnya.
“Buatmu, tapi tidak buatku” ibu Kasih.
Pada akhirnya kami berdua tertawa keras. Seolah Sang Pencipta sengaja mengirimkan beliau buatku. Sejenak, saya lupa bagaimana kisah masa lalu bermuara jauh lebih menakutkan. Entah kenapa, wanita paruh baya itu tiap harinya mendekap erat tubuhku.
“Saya akan menjadi mama terbaik buatmu” senyum hangatnya seolah menghancurkan luka paling menakutkan di dalam sana.
Hidup dalam rumah sederhana tanpa anak dan suaminya. Ibu Kasih merupakan seorang janda. Memiliki anak, hanya saja anak semata wayangnya sibuk mengejar mimpinya. “Hidupmu akan selalu berharga, singkatan sekaligus arti dari nama Hiasber” ucapanku tiba-tiba.
“Siapa yang memberi nama itu?” ibu Kasih.
“Mama”...
“Lantas ayahmu?” ibu Kasih.
“Papa membunuh mama hingga hidupnya berakhir di penjara” kalimatku.
“Ibumu pasti menyadari tentang hidup anaknya ke depan sampai-sampai memberimu nama cukup unik” ibu Kasih.
“Maksud anda?”
“Jangan rusak alur ceritamu, kata kembali terdengar menyenangkan” ibu Kasih.
Ibu Kasih seolah menyadari tentang rantai belenggu sedang mengikat sekaligus mengekang hidupku di sekitar jalan setapak itu. Saya tidak pernah ingin melihat Tuhan. Buatku, Sang Pencipta tidak pernah adil menulis alur ceritaku. Nada musik di jalan itu selalu terdengar menakutkan. Tarian luka mencengkram jauh lebih mengerikan hingga semua terlihat gelap.
“Sepertinya kau butuh dekapan dan doa” senyumnya segera mendekap hangat tubuhku.
“Tuhan, balut luka yang selama ini mencabik-cabik jalan hidup Hia” sebuah pernyataan doa pertama kalinya berirama di sekitar telingaku.
Dia tidak pernah bosan berjalan ke arahku. Membiarkan saya tinggal di rumahnya selama beberapa waktu. Memberiku kehangatan keluarga yang selama ini hilang dari hidupku. Benar-benar menjadi pengganti mama.
“Hidup Hia akan selalu berharga apa pun keadaannya” membelai anak rambutku.
“Apa kau mau belajar mencari wajah Tuhan?” pertanyaan tersebut membuatku tidak merespon sama sekali.
“Tuhan tidak pernah jahat terhadap alur cerita Hia” dia benar-benar membaca pikiranku.
Entah kenapa ingatan mimpiku tentang mencari pelita kecil muncul seketika ke permukaan. Apa rantai belenggu itu bisa hancur? Apa saya bisa untuk tidak lagi berenang-renang di tengah jurang? Apa Tuhan bisa membalut luka yang selama ini diam bersembunyi di tempat paling menakutkan?
Apa pelita kecil itu akan mencoba bertahan hidup di dalam ruang yang penuh dengan sayatan mematikan? Selalu saja kata apa bermuara bahkan ingin mencari jawaban. Apa jalan setapak itu dapat memberi nada musik sedikit berbeda?
“Kita memang ditakdirkan lahir dari orang tua masa bodoh, dan kenyataannya diciptakan untuk tetap terbelenggu oleh sebuah rantai menakutkan di sebuah jurang” entah mengapa ingatan pernyataan kakakku pun ikut bermuara.
“Ka’Luan dan Hozhi memang ditakdirkan berperan sebagai perempuan jalang dengan versi berbeda, Hia dilahirkan hanya untuk menjadi mafia kelas kakap, dan terakhir Kaska diciptakan sebagai narapidana yang tanpa jeda iklan harus keluar masuk penjara tanpa masa depan” kalimatnya terdengar menakutkan.
Apa Tuhan bisa mendekap kedua kakak dan adikku untuk mengobati luka hatinya? Tanpa sengaja, saya melihat ka’Luann menangis begitu kuat diam-diam setelah meninggalkan apartemen artis setingan. Pertama kalinya, butiran-butiran kristal itu mengalir begitu deras seolah menyatakan kalau selama ini dirinya terlalu menderita. Seandainya saja mama masih hidup...
Saya juga tidak pernah mengerti objek kata ayah terbaik buat anak-anaknya. Hai jiwaku, apa dirimu begitu lelah dengan keadaan? Bagaimana caramu berjalan untuk menghancurkan rantai belenggu itu?
Hai ruang hati yang terluka, bisakah kau mencoba untuk belajar menata ruanganmu sekalipun penuh dengan sayatan? Jalan setapak, berilah alur cerita bersama alunan musik sedikit berbeda! Tuhan, ajar saya untuk mengerti kalau tanganMU dapat melukis sesuatu objek terbaik buatku.
“Heal my wounds” suara hati bergema.
Saya ingin mencoba belajar mencari wajahMU. “Hidup Hia tetap berharga” Ibu Kasih.
“Saya memiliki sebuah ruang tempat untuk berkeluh kesah” beliau menarik tanganku menuju sebuah ruangan.
“Cari wajahNYA dan luapkan segala luka di dalam sana di ruangan ini!” dia tersenyum, kemudian berjalan keluar meninggalkan saya seorang diri.
“Kenapa anda mengunci saya disini?” menyadari sesuatu hal.
“Luapkan segala lukamu!” teriak ibu Kasih dari luar.
“Kau tidak bisa keluar sebelum menyelesaikan semuanya di hadapanNYA” teriaknya lagi.
“Pernyataan bodoh” balasku terdengar mengumpat.
Entah angin dari mana merasuk hingga membuat dua bola mataku terpejam. Tuhan, ajar saya untuk mengerti tentang karya tanganMU. Balut luka yang selalu saja mencabik-cabik bahkan tertawa keras di dalam sana.
“Ajar saya memahami pelita kecil di depanku” tiba-tiba saja tangisku pecah seketika.
Seolah beban tumpukan kayu di belakang punggungku hancur secara perlahan. Saya ingin mengerti ruang hati yang hancur dapat disembukan olehNYA. Tuhan, dekap erat hidupku sehingga saya lupa kalau ternyata luka itu terlalu dalam dan menancap begitu kuat.
“Tuhan” ruang hati berdesir begitu hebat.
Butiran kristal terus saja terjatuh berjam-jam lamanya. “Maaf atas semua kekecewaan, rasa marah, geram, kebencian, dan dosa yang sudah kulakukan”...
Saya tidak ingin lagi berenang-renang di tengah jurang. Tuhan, buktikan kalau ternyata ucapan kakakku salah tentang kehidupan kami yang memang ditakdirkan untuk tetap terbelenggu oleh sebuah rantai. Hatinya juga terluka sama sepertiku.
Dekap erat hidupku hingga saya lupa dengan lukaku sendiri. Tuhan, jadilah dokter diantara segala dokter yang dapat menghancurkan sayatan paling menakutkan dalam ruang dinding hati kedua kakak dan adikku juga. Buktikan kalau alur cerita kami tidak selamanya bercerita tentang jurang ataukah luka sayatan demi sayatan.
Kedua kakakku terlalu pandai menyembunyikan luka sayatan itu, sedang adikku memainkan perannya sebagai napi dengan sangat baik hanya untuk melupakan rasa sakit di dalam dirinya. “Mafia kelas kakap, apa kau masih hidup?” sebuah pesan masuk di tengah tangisku.
“Kakak butuh teman buat mabuk gitulah” kebiasaan ka’Hoshi ketika mengirim pesan.
“Jangan katakan kalau kau sudah mati di tangan mereka” Dia tahu dari mana masalah pengeroyokan terhadapku.
Bagian 5...
HOZHI
Berita pengeroyokan mafia terbesar dengan cepat berhembus ke segala arah. Saya tidak akan pernah percaya kalau anak tengil itu akan jatuh di tangan musuh-musuhnya. Kenapa saya jadi khawatir begini? Bukankah kami dilahirkan untuk tidak saling memperdulikan?
Entah mengapa tidurku kurang nyenyak beberapa hari belakangan karena si’mafia tadi. Seluruh netisen makin melemparkan caci maki karena pemberitaan pengeroyokan mafia tersebut. “Mafia kelas kakap, segera balas pesanku!” berteriak memaki dalam kamar sambil menatap handpbone milikku.
“Ka’Hozhi” sebuah suara terdengar cukup jelas di telingaku.
Dia tahu kode pin apartemen milikku. Hal lebih gila lagi adalah sosok Hozhi menangis histeris seketika. Air mata itu mulai muncul kembali setelah sekian waktu lamanya menghilang ditelan bumi. Apa yang terjadi denganku?
Kenapa bisa butiran kristal tiba-tiba saja meledak di tempat tidak terduga? “Kenapa saya harus menangis buatmu? Kita berempat dilahirkan untuk tidak saling memperdulikan satu sama lain” berteriak memaki ke arahnya.
“Hia tidak ingin berenang di tengah jurang lagi” bahasa tadi segera menghentikan tangisku.
“Kau tidak sedang sakitkan?” segera menatap serius dirinya.
“Apa kakak tidak ingin mencoba sedikit saja melihat pelita kecil?” pertama kalinya, sosok Hia membawaku dalam dekapannya.
“Kau tidak salah makan?”
Apa Hia mengonsumsi sesuatu hingga membuatnya mendadak gila? Jelas-jelas dia jatuh ke tangan musuhnya, kemudian menghilang? Lantas adikku muncul dengan pertanyaan gila? Kemarin Nevy, lantas sekarang adikku? Apa yang sedang terjadi?
“Hia ingin membuktikan kalau ucapan kakak tentang takdir berenang-renang di tengah jurang tidak selamanya benar” Hiasber.
“Kau makan apa manusia tengil?”
“Hia ingin kakak berjalan bersama-sama dan memcoba untuk berlari keluar dari jurang” Hia.
“Kau gila” umpatanku.
Apa pun yang terjadi, takdir akan selamanya menetapkan 4 bersaudara untuk tetap terbelenggu oleh sebuah rantai terkuat. Jurang gelap itu terlalu dalam hingga membuat dua kaki tidak akan pernah bisa berlari keluar. Seluruh tubuh akan selamanya berada di tengah jurang oleh karena sayatan luka yang memang terlalu sulit untuk disembuhkan.
“Kau dan saya akan selamanya terbelenggu rantai, ngerti?” mencoba meyakinkan dirinya.
“Tapi, Hia ingin mencoba belajar menghancurkan rantai belenggu tadi, apa pun caranya” dia kembali membawaku masuk dalam pelukannya.
“Apa kakak tidak bosan hidup seperti sekarang ini?” Hia.
“Kau sendiri?”
“Apa kakak tidak ingin kembali melanjutkan kuliah medis kemarin?” Hia.
“Jangan mengingat masa lalu!” berusaha melepaskan diri.
Bagaimana saya akan berjalan? Kenapa juga manusia tengil itu berjalam ke arahku, bahkan menciptakan bahasa-bahasa puitis begini? Meninggalkan jurang? Tidak lagi berenang-renang di tengah jurang? Menghancurkan rantai belenggu? Memang dia bisa apa?
“Hia, dengar, kalau kau masih terus bercerita masalah seperti tadi, artinya tinggalkan tempat ini!” segera mengusir manusia tengil itu dari apartement milikku.
Hal lebih gila lagi adalah saya makin kesulitan tidur karena ucapannya. Apa itu pelita? Sejak kecil, kami tidak akan pernah mengerti permasalahan pelita di tempat gelap. Apa kakek dan nenek tidak pernah bisa mengajar tentang pelita? Mereka berdua pun terluka karena perbuatan anak menantunya sendiri.
Pilihan mereka ternyata salah, bahkan jauh dari kebahagiaan untuk anak sendiri. Bagaimana bisa anak semata wayangnya harus meninggal dengan cara mengenaskan? Bukan salah kakek dan nenek kalau ternyata kami berempat lebih memilih berenang-renang di tengah jurang. Masing-masing memiliki caranya sendiri untuk melupakan kisah masa lalu.
Kami berempat memang ditakdirkan untuk tidak akan pernah memiliki rumah, apa pun yang terjadi. “Rumahku akan disebut rumah doa” tertawa keras dalam kamar.
Jujur, saya tidak pernah memiliki rumah. Apa itu rumah doa? Saya sendiri tidak pernah mengerti defenisi rumah terlebih ketika menyelipkan kata doa di dalamnya. Muak melihat kisahku sendiri. Ruang hidupku tidak akan pernah tahu tentang jalan Tuhan.
Dimana Tuhan, ketika saya sedang menangis tersedu-sedu? Tuhan ada dimana, sewaktu mama menjatuhkan bulir kristal tiap saat, bahkan harus mati di tangan pria berhati iblis? Apa Tuhan bisa membalut luka yang sudah menancap kuat begitu dalam tanpa jedah iklan sama sekali?
Saya benci pelita kecil itu ketika ingin mencoba berjalan di sekitarku. Saya muak keberadaan Tuhan yang tidak pernah adil memberiku alur cerita. Nada musik di antara badai bergelombang terus saja menghantam hingga menciptakan sayatan luka makin kejam. Siapa itu Tuhan?
Pertama kalinya terdengar oleh telingaku, sosok Hiasber ingin berjalan menatap satu pelita kecil. Kisahku akan berjalan seperti apa? Apa Tuhan bisa menjadi sahabat? Rasanya mustahil...
“Apa yang dilakukan olehnya?” saya seperti penguntit berusaha mencari tahu keberadaan Hiasber.
Seorang wanita paruh baya sedang memeluk dirinya. Dia menjadi simpanan tante-tante? Beberapa waktu lalu, dia berkata ingin belajar berlari keluar dari jurang, lantas sekarang? Ketua mafia jatuh ke tangan tante-tante? Memangnya ga ada wanita lain apa?
Rasa-rasanya saya ingin menarik kuat rambut tante-tante itu. “Tante girang, beraninya menggoda pria muda” segera berjalan ke arah mereka. Berusaha menarik tubuhnya dari adikku.
“Cari yang seumuran denganmu!” berteriak memaki.
“Kakak” Hia berusaha menutup mulutku.
“Cari pria tua kek atau duda, pokoknya yang seumuran, jangan dia!” masih mengumpat.
“Kakak salah paham” Hia.
“Salah paham apa? Jelas-jelas tante-tante girang ini kegatelan menggoda pria muda” berusaha menjambak rambut wanita tua itu.
“Kakak salah paham” Hia.
“Tante girang ini memelukmu kuat-kuat” berteriak memaki.
“Kakak tidak akan biarkan tante girang ini memanfaatkan situasimu” berusaha lepas dari Hia.
“Bukannya kakak yang bilang kalau kita ditakdirkan untuk tidak saling memperdulikan” teriakan Hia.
Saya terdiam seketika. Entah kenapa saya tidak ingin adikku yang gantengnya minta ampun jatuh ke pelukan tante-tante girang. “Tapi, tidak begini juga keles” cetusku.
“Berarti kakak memang selalu perduli kehidupan Hia” Hia.
“Siapa bilang?”
“Mulut saja bicara ga perduli, tapi di dalam selalu berjalan ke depan dengan alasan aneh, padahal sebenarnya pedulinya jauh lebih kuat” Hia.
“Lakukan sesuka hatimu!” kalimatku.
“Ternyata dia kakakmu” tante girang itu tersenyum ke arahku.
“Artis tukang onar, suka settingan, dan lain sebagainya ternyata kakakmu” sindiran tante girang.
“Jangan dekati adikku, cari duda saja dan jangan mencari pria muda!” memberi pernyataan buatnya.
“Dia yang menyelamatkan nyawa Hia beberapa waktu lalu” Hia.
“Tidak berarti kau jadi simpanan tante-tante” cetusku sangat kesal.
“Dia yang mengajarkan Hia untuk belajar berlari dari jurang” Hia.
Seketika rasa malu mengudara begitu saja. Kenapa saya jadi gila begini? Wanita tua itu menatap tajam ke arahku selama beberapa saat. Saya hanya diam tanpa berkata-kata lagi. “Apa kau lapar?” pertanyaan pertama dari wanita tua.
“Tidak” jawaban buatnya.
“Mau lapar atau tidak, tetap kau harus makan kalau si’pemilik rumah menyodorkan makanan di meja!” wanita tua.
Hia yang kukenal dulu jauh berbeda dengan sekarang. “Dia pengganti mama” Hia tiba-tiba saja mendekap kuat tubuhku.
Tidak dapat disangkal kalau tentang sosok Hia yang selalu merindukan kehadiran mama. Wanita tua itu benar-benar berperan penting sebagai pengganti mama buatnya. Adikku benar-benar berubah dan tidak lagi menjadi mafia paling menakutkan?
“Apa kau tidak mau mencoba mencari pelita kecil seperti adikmu?” ucapan wanita tua.
“Lupakan pelita kecil, ngerti?” ujarku seketika.
“Dasar wanita tua” tetap menatap sinis dirinya tanpa rasa bersalah.
Bagian 6...
Hozhi hampir-hampir tidak percaya terhadap pemandangan yang baru saja terjadi. “Berarti adikku ga akan berenang lagi di tengah jurang?” pemikiran gila muncul memenuhi beranda otaknya.
“Apa saya terlalu jahat?” tanpa sengaja Hozhi mendengar percakapan kakaknya.
“Tadi bertemu wanita tua bersama Hia, sekarang bertemu pelakor kelas kakap di tempat begini lagi” gerutu Hozhi sangat kesal.
Kakinya ingin terus berjalan, namun terhenti seketika karena mendengar suara tangis histeris Luann kakaknya. “Mengambil sesuatu yang bukan milikku seolah saya paling menderita” Luann jatuh tersumgkur ke tanah.
“Saya benar-benar iblis berhati kejam, tapi kenapa kehidupanku tetap ingin berada di tempat tadi?” Luann masihh berkata-kata.
“Luann tidak pernah merebut siapapun” Nadav.
“Apa kau tahu kalau Luann sang pelakor ditakdirkan selamanya menjadi manusia paling kejam, jahat, iblis?” Luann.
“Saya tidak pernah bisa menjadi kakak sekaligus sahabat buat adik-adikku, bahkan selalu bersikap egois dan merasa paling menderita” tubuh Luann terlihat lelah menjalani peran menakutkan.
“Luann” Nadav.
“Saya tidak bisa menjadi sahabat buat Hozhi, padahal dirinya selalu saja menjadi bulan-bulanan netisen” Luann seolah melampiaskan sesuatu dalam dirinya.
“Kakak” Hozhi tanpa sengaja mendengar dibalik semak-semak.
“Bahkan 2 adikku hidup di jalan paling menakutkan, tapi saya tidak merasa bersalah atas kehidupan mereka” Luann.
“Saya merebutmu dari keluarga kecilmu, juga tidak membuatku merasa bersalah” Luann.
“Luann” Nadav.
“Saya selalu takut, tapi kenapa dua kakiku tetap ingin berjalan di tempat menakutkan itu?” tangis histeris Luann...
Hatinya benar-benar hancur karena tidak mengenal rumah. Luann tidak pernah ingin memperlihatkan semua objek dalam dirinya. Terlihat dingin, cuek, tidak pernah perduli menjadi gambaran dirinya. Di balik semua sikapnya, rasa bersalah bahkan selalu menyalahkan diri sendiri jauh lebih kuat berkumandang di dalam sana.
“Apa rasa sesak kakakku kelewat menakutkan?” Hozhi menatap dari semak-semak bagaimana Luann terus saja menjatuhkan air matanya.
Sesuatu yang sulit dijelaskan antara satu sama lain. Luann diam merenung dalam kamarnya setelah semua yang terjadi. “Kenapa saya harus menangis?” Luann menyesal meluapkan sisi emosionalnya.
“Maaf, selalu menjadi egois” ucapan Luann menatap wajah ketiga adiknya.
“Saya bukan kakak yang baik, bahkan selalu membuat kalian makin kecewa terhadap banyak hal di luar sana” Luann selalu menyesali semua perbuatannya.
Andaikan waktu dapat diputar kembali, tentu dia ingin belajar menjadi tiang pondasi bagi ketiga adiknya. “Hal terburuk dari kisahku karena menjadi jalang dan tidak pernah pernah bisa melepas apa yang bukan miliknya” Luann terus saja terisak dalam kamarnya.
Semua orang belum menyadari kalau dirinya sebentar lagi akan menjadi ibu dari pria beristri. Apa salah menjadi wanita simpanan? Menyukai dan tidak pernah ingin melepas sesuatu yang memang bukan sendiri. Bagaimana sosok Luann akan berjalan?
Tiba-tiba saja pintu apartemen miliknya berbunyi. Segera menghentikan tangisnya untuk berjalan keluar dari kamar. “Hai bos besar” Hozhi berpura-pura tidak tahu kalau kakaknya selalu saja menjatuhkan air mata.
“Mau apa kemari?” sikap dimgin Luann seperti biasa berusaha menyembunyikan rasa bersalahnya.
“Saya lapar, makanya datang buat cari makan. Ngerti bos?” Hozhi.
“Dasar” Luann.
“Hozhi baru sadar kalau apartemen milikmu terasa nyaman buat ditinggali” Hozhi.
“Maksudmu?” Luann.
“Hozhi ingin tidur beberapa hari disini biar bisa menghindari cibiran netisen” Hozhi.
“Jangan bertingkah aneh” Luann.
“Hozhi akan tetap tinggal disini selama beberapa hari ke depan, suka maupun tidak” Hozhi.
“Terserah” Luann.
“Terima kasih lagi bos” teriak Hozhi menuju dapur untuk mencari makanan.
Hozhi dapat melihat wajah sedih kakaknya karena rasa bersalah. Berpura-pura tidak tahu dan berusaha untuk tetap berada di samping kakaknya. “Ka’Luann tidak perlu merasa bersalah” batin Hozhi di dalam sana.
“Semua karena takdir hingga membuat kita berempat harus hidup di tengah jurang “ Batin Hozhi kembali.
“Sepertinya, hanya tinggal kita bertiga ditakdirkan tetap berenang-renang di tengah jurang, masalahnya Hia sedang mencoba untuk berlari keluar” gerutu Hozhi lagi.
Kisah hidup tanpa kehangatan orang tua menjadikan mereka berjalan tanpa arah. Semua sudah terjadi dengan cerita di masing-masing tempat. Bukan karena kakek dan nenek mereka tidak mampu memberi kehangatan, hanya saja luka itu terlalu dalam menancap. Sayatan demi sayatan selalu saja mencabik-cabik dinding ruang hati tanpa ampun.
“Kebetulan Hozhi masak lebih” Hozhi.
“Makanlah!” Hozhi.
“Cuma mie instan doang” Luann.
“Mending dari pada tidak sama sekali” Hozhi.
Luann duduk menikmati sajian mie instan di depannya. Dia sepertinya lupa untuk sesaat tentang tangisnya yang baru saja membahana di alamnya sendiri. Permainan hidup menciptakan akat pahit paling mematikan.
“Kita berdua memang ditakdirkan untuk menjadi jalang dengan versi sedikit berbeda” Hozhi.
“Mulai lagi” Luann.
“Hanya sedikit mempertegas dan itu bukan kesalahan siapa-siapa, melainkan takdir bersama keinginannya sendiri” Hozhi.
“Kuharap kau tidak menjadi monster dan hidup seperti diriku” Luann.
“Memangnya wajah kakak seperti monster?” Hozhi.
“Entahlah” Luann.
“Sekalipun wajahku jauh lebih cantik, tapi wajah kakak ga monster-monster amat” Hozhi.
“Jangan pernah menyukai milik orang lain” Luann.
“Menurut kakak, apa saya menyukai milik orang lain?” Hozhi.
“Entahlah” Luann menarik napas panjang.
Luann tidak ingin adiknya berjalan seperti dirinya. Menjadi simpanan hingga merusak kehidupan keluarga kecil seseorang di luar sana. “Apa kakak pernah berpikir untuk berlari keluar dari rantai belenggu?” Hozhi melemparkan sebuah pertanyaan.
“Kenapa melemparkan pertanyaan seperti tadi?” Luann.
“Apa kakak tahu?” Hozhi menatap serius Luann.
“Tentang?” Luann.
“Hia sedang berjuang keluar untuk menghancurkan rantai belenggu” Hozhi.
“Mafia menakutkan ingin apa?” Luann.
“Hiasber sedang mencoba menarik diri dari tengah jurang” Hozhi.
“Setidaknya dia tidak lagi menjadi monster” Luan seolah bernapas lega mendengar pengakuan adiknya.
“Apa kakak pernah berpikir untuk mencoba mencari pelita kecil?” Hozhi.
“Maksud ucapanmu?” Luann.
“Tidak lagi menginginkan tinggal berenang-renang di tengah jurang” Hozhi.
“Sepertinya rasa nyaman di tengah jurang jauh lebih kuat mendekap, dibanding mencoba berlari keluar” Luann.
“Sepertinya kita memang ditakdirkan tinggal di ruang gelap selamanya” Hozhi.
Dialog percakapan diantara mereka terdengar membosankan. Pada kenyataannya memilih berjalan tanpa arah merupakan pilihan terbaik. Sejak kecil Luann tidak pernah mengerti kehangatan seorang ayah hingga membuatnya mencari sesuati yang dianggapnya sebagai kehangatan. Di tempat lain, Hozhi ingin menyatakan pada dunia tentang dirinya, namun menggunakan versi berlawanan hingga membuat dirinya terus saja terjebak.
Hiasber dengan segala akar kekecewaan menjadikan dirinya hancur berkeping-keping dalam sebuah dunia mafia. Sementara si’bungsu Kaska mendapat penolakan berulang kali oleh sang ayah, hingga mempengaruhi apa pun dalam dirinya sejak dalam kandugan.
“Hozhi harus pergi” ucapan Hpzhi setelah beberapa hari tinggal di apartemen kakaknya. Luann melarang Nadav bertemu dirinya selama Hozhi masih tinggal di apartemen. “Mau kemana?” Luann.
“Memang kakak ga kerja?” Hozhi.
“Lagi cuti kerja” Luann.
“Hozhi lagi ada pemotretan” Hozhi.
“Jangan menjadi monster sama sepertiku” Luann.
“Ka’Luann” Hozhi.
“Hozhi masih bisa kembali, jangan berenang terlalu dalam di tengah jurang” Luann.
“Kakak sendiri gimana?” Hozhi.
“Setidaknya kau masih bisa berpaling dan tidak menjadi sepertiku” pertama kalinya memeluk adiknya.
“Sepertinya Hozhi jauh lebih mengerikan dibanding kakak” Hozhi.
“Setidaknya kau tidak sedang merusak rumah orang lain” Luann.
“Tenamg saja, Hozhi tidak akan pernah menyukai terlebih merampas milik orang lain” Hozhi.
“Tuhan, apa segitu sakit dan sesaknya ruang hati ka’Luann?” batin Hozhi.
Hozhi berjalan keluar dari apartemen meninggalkan Luann seorang diri. Selama ini hidupnua hanya dikenal sebagai artis pembuat sensasi, settingam, tukang onar, tidak berprestasi, dan segala jenis objek negatif lainnya. Luann masih menganggap adiknya memiliki hidup jauh lebih baik dibanding dirinya sendiri.
“Apa kakak sudah berubah pikiran?” sebuah pesan masuk dari Hia untuk Hozhi.
“Pertanyaan apaan ini?” balasan Hozhi.
“Mencoba mencari pelita kecil sepertinya jauh lebih menyemamgkan?” Hia.
“Memangnya mimpimu Cuma itu saja?” Hozhi.
Bagian 7...
HIASBER...
Diam dan tidak lagi membalas pesan kakakku. “Mimpi?” duduk merenung.
Setiap orang memiliki mimpinya masing-masing, sedang Hia sendiri tidak mengerti sesuatu yang ingin dikejar. Sepertinya saya sudah menemukan mimpiku setelah merenung semalaman. Segera berjalan mencari wanita tua itu hanya untuk mengungkapkan tentang mimpiku. “Saya sudah menemukan nada musik terbaik di sekitar ceritaku” berkata-kata di depannya.
“Terdengar menyenangkan” senyumnya.
“Ibu” berjalan memeluk dirinya.
Selamanya dia akan menjadi pengganti mama. “Hia ingin menjadi pendeta seperti keinginanmu” kalimat tersebut membuat dua bola matanya tidak berkedip sama sekali.
“Jangan bermain-main dengan kata pendeta” ibu Kasih.
“Apa yang salah dengan kata tadi?” pertanyaan buatnya.
“Anakmu tidak bisa memenuhi keinginan hatimu, berarti Hia yang akan berjalan kesana sesuai impianmu” ujarku lagi.
“Apa Hia sudah berpikir dalam-dalam?” ibu Kasih.
“Bantu Hia menjadi seorang pendeta berkualitas” kalimatku.
Entah kenapa, kata pendeta terus saja terngiang di sekitar telingaku ketika ingin mencari mimpi di masa depan. Seorang dengan masa lalu suram ingin menjadi Hamba Tuhan terbaik di masa depan. Kehidupan sebagai mafia hanyala cerita kemarin, sedangkan napasku sekarang berbicara tentang menjadi pelita kecil.
“Jangan karena keinginan bodoh wanita tua di depanmu sampai kau merusak masa depanmu sendiri” ibu Kasih.
“Bukan karena keinginanmu juga, hanya saja sepertinya lebih pada kata panggilan semata” ungkapku.
“Dasar anak bodoh” sepertinya dia ingin menangis terharu mendengar pengakuan seorang mantan mafia.
“Bantu Hia mewujudkan mimpi bodoh tadi” menangis sambil sedikit tertawa.
Tidak ada yang salah dengan mimpiku. Saya benar-benar ingin meninggalkan cerita lama untuk berjalan menapaki cerita baru. Menjadi hamba Tuhan berkualitas memang tidak semuda yang dibayangkan, akan tetapi saya ingin belajar menggapainya.
“Kau harus belajar banyak hal tentang hidup” ucapan pertama ibu Kasih.
“Misalnya” ujarku.
“Kau tidak boleh langsung berdiri memberitakan kebenaran Tuhan di hadapan ratusan, ribuan, terlebih jutaan orang” ibu Kasih.
“Kenapa bisa? Bukannya pendeta berkhotbah di hadapan ribuan jemaat itu terdengar menyenangkan?”
“Apa kau tahu? Banyak pendeta tidak mengerti tentang hidup bahkan jatuh ke dalam jurang paling mematikan tanpa sadar karena hal seperti tadi” ibu Kasih.
Pendeta bisa jatuh? Saya pikir menjadi hamba Tuhan, tentu kehidupannya akan jauh lebih suci tanpa dosa. Kenapa bisa? Apa pendeta memiliki sisi gelap jauh lebih mengenaskan dibanding menjadi seorang mafia kelas kakap?
“Menjadi hamba Tuhan tanpa membayar, akan membuat hidup berjalan kembali ke jurang bahkan lebih ganas dibanding kehidupanmu sebagai mafia sebelum kau mengenal pertobatan” ibu Kasih.
“Lantas”
“Jangan berjalan ke arah ribuan jemaat sebelum kau membayar semuanya dengan harga cukup fnatastis dan terdengar mencekam berujung menakutkan” ibu Kasih.
Apa menjadi hamba Tuhan itu terdengar menakutkan? Wajar saja, anaknya tidak mau mengambil jalan sebagai pendeta dan lebih memilih pengacara. Sampai sekarang, saya belum pernah bertemu dengan anaknya. Kuliah di luar negeri hanya demi mewujudkan mimpinya sebagai pengacara terdengar luar biasa, tetapi tidak buat ibu yang sedang berdiri di sampingku.
“Jangan mengejar karunia!” ibu Kasih.
“Karunia?”
“Karunia menyembuhkan orang banyak, berdoa, urapan, & lain sebagainya yang berhubungan dengan kata tadi” ibu Kasih.
“Kenapa?”
“Kau akan jatuh tergeletak jauh lebih mengerikan dibanding menjadi seorang mafia kelas kakap” ibu Kasih.
Apa sisi gelap seorang hamba Tuhan sebegitu menakutkan? “Ada saatnya kau akan mengerti maksud ucapanku” ibu Kasih.
“Jangan mengambil pelayanan apa pun di dalam gereja kalau kau ingin menjadi hamba Tuhan berkualitas!” ibu Kasih tanpa jedah iklan berkata-kata.
“Maksud anda?”
“Maksudku, mulailah pelayanan yang dikatakan paling hina diantara semua pelayanan ketika berada di gereja!” ibu Kasih.
“Pelayanan hina?”
“Ada banyak orang kembali berjalan ke jurang tanpa sadar karena langsung ingin memasuki dunia pelayanan di atas rata-rata” ibu Kaaih.
“Pelayanan seperti apa?”
“Jadilah tukang pel maksudku cleaning servis gereja” ibu Kasih.
“What?” kalimatku hampir tidak percaya.
Saya ingin berteriak di hadapan banyak orang tentang isi hati Tuhan. Berkhotbah di antara ribuan bahkan jutaan jemaat, lantas? Apa saya sudah gila? Saya ingin hidup suci dengan cara seperti ini, hanya saja kenapa jadi cleaning servis?
“Seseorang yang baru bertobat sangat tidak masuk akal kalau sang gembala langsung memberi pelayanan tinggi tanpa harus memulai dari pelayanan paling hina” ibu Kasih.
Beliau membuatku bertingkah seperti manusia bodoh. Rasa judes, kesal, marah bertebaran dimana-mana. Pekerjaanku tiap hari ketika menginjak gereja hanya bercerita tentang cleaning servis dan bukan pengkhotbah handal. Hal lebih bodoh lagi adalah saya tetap mengikuti perintah wanita tua itu.
Membersihkan toilet, mengepel lantai gereja, menyapu halaman luas, dan lain sebagainya. “Manusia tengil” suara tidak asing lagi.
“Ngapain kakak kemari?” bersikap judes.
“Membawa makanan buat cleaning servis” tawa ka’Hozhi meledak seketika.
“Dari mafia paling ditakuti, lantas tiba-tiba berubah jadi cleaning servis hello kitty” sepertinya kakakku memang sengaja datang untuk mengejek.
“Mending dari pada jadi artis settingan” memberi sindiran.
“Calon pendeta ga boleh menghakimi, ngerti?” ka’Hozhi.
“Dari mana kakak tahu kalau saya nanti jadi pendeta?”
“Wanita tua itu” bisik ka’Hozhi.
“Setidaknya kakak juga harus berjalan bersama denganku”...
“Apa kau sudah gila? Seumur hidup saya tidak pernah ingin bercita-cita menjadi pendeta” ka’Hozhi.
“Apa kakak ga ada keinginan melanjutkan kuliah medis yang sudah terputus kemarin?” pertanyaan lain buatnya.
“Hentikan ocehanmu!” ka’Hozhi.
“Sepertinya ka’Hozhi orang pertama yang harus dimenangkan jiwanya ma calon pendeta sepertiku”...
“Dasar anak tengil” ka’Hozhi.
“Hia ga akan bosan mengajak kakak untuk menghancurkan rantai belenggu itu bersama-sama” ujarku.
“Kenapa kau tidak mengajak ka’Luann atau Kaska? Cari penyakit” ka’Hozhi.
“Hia butuh kakak untuk menarik mereka” jawaban buatnya.
“Kenapa harus saya?” ka’Hozhi.
“Entahlah, mungkin, sejak awal kakak yang selalu ada di samping Hia dengan beribu alasan, padahal pedulinya kelewat tinggi” ungkapan buatnya.
“Dasar anak bodoh” ka’Hozhi.
“Kakak hanya perlu mencoba saja” kalimatku.
“Terkadang, saya berpikir sama sepertimu, tapi sepertinya sesuatu menahanku untuk tetap berenang di tengah jurang dan membiarkan rantai belenggu itu terus saja mengikat begitu kuat bahkan sangat kuat” ka’Hozhi.
“Belum terlambat, semua yang kakak rasakan hanyalah intimidasi biar tetap berjalan seperti manusia bodoh di tengah jurang” ujarku.
Kakakku membutuhkan waktu untuk mengerti tentang cara berlari meninggalkan jurang. “Tinggalkan dunia keartisan, karena hidup kakak tidak lagi bercerita di sana!” menatap serius ke arahnya.
Tidak ada yang salah dengan dunia keartisan. Ka’Hozhi hanya ingin mencari pengakuan semata sehingga hidupnya berjalan ke sekitar industri hiburan tersebut. Industri hiburan bukan mimpinya sejak kecil. Bisa dikatakan kalau dia berjalan kesana hanya sekedar bahan pelarian sekaligus pelampiasan hidup semata.
“Anak tengil, jaga diri baik-baik” dia segera pergi seolah ingin menghindari pembicaraan lebih parah.
Tiap jam, napas hidupku hanya bercerita cleaning servis semata. Apa sisi gelap hamba Tuhan begitu menakutkan sehingga saya harus menjalani kehidupan seperti ini biar bisa terhindar? Saya pikir, seseorang yang dikatakan hamba Tuhan atau pelayan gereja akan memiliki kehidupan jauh lebih suci dan terkesan alim, akan tetapi hal tersebut seperti hanya cerita mitos belaka.
“Hia” salah satu hamba Tuhan senior sekaligus gembala di gereja tempatku menjadu cleaning servis menyapa sambil tersenyum.
“Ibu Kasih banyak bercerita tentangmu” bapak Jore kembali berbicara.
“Apa saya terlihat seperti orang bodoh sekarang?” pertanyaan buatnya.
“Sepertinya lebih dari kata bodoh, tapi sedikit imut” pak Jore.
“Apa kau benar-benar ingin menjadi hamba Tuhan?” pak Jore masih terus berbicara.
“Saya ingin menjadi hamba Tuhan berkualitas, gimana caranya?” menatap serius ke arahnya.
“Apa yang kau lakukan sekarang hanya 0,000 sekian %, Jadi apa kau masih ingin lanjut menjadi seorang hamba Tuhan?” pak Jore.
“Apa dunia hamba Tuhan harus seperti ini yah?”
“Kau bisa saja memberi kesaksian hidupmu sambil menjadi pengkhotbah di hadapan ratusan, ribuan, bahkan jutaan jemaat, tapi pada akhirnya hidupmu akan tergelincir ke jurang” pak Jore.
“Kenapa bisa?”
“Semua harus berproses. Seorang hamba Tuhan berkualitas harus melatih hidupnya di tempat paling hina untuk mengerti tentang banyak hal seperti iman sebesar biji sesawi dan lain sebagainya” pak Jore.
Ternyata menjadi cleaning servis gereja merupakan salah satu proses paling terkecil ketika hidup ingin berjalan ke dunia hamba Tuhan. “Sekalipun kau presiden yang baru bertobat dan ingin menjadi seorang pelayan, artinya kau harus memulai sebuah pelayanan paling hina bahkan tidak pernah dianggap sama sekali” ucapan pak Jore sebelum akhirnya berjalan meninggalkan diriku.
Merenung sepanjang malam tentang ucapan dari bibir mulutnya membuatku tersadar sesuatu hal. Apa saya harus menghentikan mimpiku menjadi seorang hamba Tuhan? Dunia hamba Tuhan tidaklah sesuci dan sealim bayangan pemikiranku ketika memasuki altar gereja. Pernyataan- pernyataan mereka membuatku tersadar sesuatu hal.
Seorang dengan masa lalu gelap hanya ingin mengejar mimpinya. Hai jiwaku, bersikap bijaklah ketika menatap satu objek! Sistem kepemimpinan gereja dengan memakai sistem keturunan harus belajar beberapa hal. Seorang hamba Tuhan dengan kapasitas terbesar dituntut mewajibkan anaknya menjalani satu proses paling mematikan andaikan menginginkan sang anak menjadi penerusnya kelak sebagai pemimpin dalam gereja.
“Jangan membuat anakmu memasuki jurang!” khotbah pak Jore selaku pemimpin ibadah.
“Kalau kau menginginkan anakmu menjadi penerusmu kelak, jangan buat dia langsung berdiri di hadapan ratusan bahkan jutaan jemaat sebagai pengkhotbah” pak Jore masih berkata-kata.
Mengajarkan satu harga mahal yang memang harus dibayar terlebih dahulu terkesan menakutkan, hanya saja akan menghasilkan kualitas kepemimpinan dalam gereja. Harga tersebut tidak dapat dibayar hanya dengan waktu 1 atau 2 bulan semata. Menjalani proses panjang hingga bertahun-tahun lamanya merupakan kewajiban bagi seluruh hamba Tuhan yang menginginkan sistem keturunan digunakan dalam kepemimpinan di gereja.
Belajar merendahkan hati memang hal tersulit untuk dilakukan, namun ketika hidup mencoba berada di satu fase bersama proses mematikan, maka semua akan menjadi berbeda di dalam kepemimpinan gereja. “Tuhan, ajar saya mengerti proses panjangMU memang akan menghasilkan emas” desiran suara hati berkumandang keras di dalam sana.
“Saya ingin belajar mengerti tentang harga mahal untuk menjadi hamba Tuhan berkualitas” ucapanku tanpa basa basi di hadapan pak Jore.
“Apa kau yakin?” pak Jore.
“Tentu saja” kalimatku.
“Ikuti saya!” pak Jore membawaku ke suatu tempat.
“Kau harus tinggal di rumah ini untuk merawat anak-anak autisme selain menjadi cleaning servis gereja!” pak Jore.
Sebuah rumah sederhana dengan banyaknya anak autisme. “Kalau kau berhasil melewati bagian dari tantangan hidup disini artinya level berikutnya sedang menunggumu” pak Jore.
“Apa saya sudah berada di level tinggi?”
“Proses yang kau jalani sekarang baru berada di 0,000000 sekian %, understand?” pak Jore.
Wajahku terlihat lemas seketika. Apa saya berhenti saja? “Menjadi hamba Tuhan berkualitas tidak semudah yang kau bayangkan” pak Jore.
Level autisme memiliki banyak versi. Entah kenapa sesuatu menahan saya untuk tetap ingin berjalan. Hai jiwaku, tetaplah menatap sesuatu objek terbaik. Bagaimana bisa seorang mantan mafia kelas kakap menjalani hidup serendah ini? Semua orang takut tiap melihat ke arahku sebelum mengerti tentang pelita kecil.
Selama ini saya menganggap kehidupanku memang paling menderita dan tersakiti, namun kenyataannya tidak sama sekali. Sosok Hia masih terlahir normal bahkan dapat melakukan banyak hal. Merasa paling kesepian, tidak memiliki siapapun, tidak memiliki rumah, dan lain sebagainya itulah gambaran ceritaku.
Kenyataan yang ada adalah saya masih memiliki ka’ Luann, ka’Hozhi, Kaska, kakek, terakhir nenek. Apa anak autisme di rumah ini memiliki keluarga? Semua keluarga membuangnya. Kalaupun mereka memiliki keluarga, tetap saja kehidupan mereka jauh berbeda dengan kondisi normal.
Rasa-rasanya saya ingin berlari ke pelukan kakek dan nenek hanya untuk meminta maaf. “Karakter orang banyak memiliki variasi berbeda-beda, kalau kau lulus menjadi pengasuh kelompok autisme...” pak Jore menatap ke arahku.
“Artinya?”
“Suatu hari kelak kau dapat bertahan sekaligus mengerti cara menghadapi karakter manusia-manusia di sekitarmu” pak Jore.
Saya memiliki banyak kesulitan berhadapan dengan kelompok tersebut. Seseorang dengan masa lalu keras, pemarah, emosional labil, sombong, menyeeamkan sedang belajar mendekap hangat kaum autisme. Bisakah saya memahami dekapan hangat itu?
“Saya akan berjalan ke tantangan seperti apa, andaikan saya lulus di rumah itu?” melemparkan pertanyaan seketika ketika pak Jora datang berkunjung.
“Kau akan kembali menjalani level berikutnya” pak Jore.
“Level seperti apa?”
“Berada di sebuah lingkungan penyakit kusta untuk menjadi sahabat” pak Jore.
“Kenapa?”
“Setidaknya kau mengerti, seorang hamba Tuhan berkualitas tidak sedang bercerita tentang karunia-karunia tinggi ataukah fasih lidahnya ketika berkhotbah” pak Jora.
“Setelahnya?”
“Kau harus belajar untuk memberikan harapan dan mengajarkan pelita kecil terhadap kelompok penyakit HIV” pak Jora.
“Terkadang mereka hanyalah korban, namun seluruh masyarakat menjauhi bahkan membuang dengan berbagai alasan” Pak Jore.
“Kenapa?”
“Menjadi hamba Tuhan berkualitas tidak sedang bercerita tentang seberapa banyak mujizat yang dilakukan, melainkan hidupmu tidak pernah menjaga jarak dengan siapapun di depanmu” pak Jore.
“Nubuat, penglihatan, bahasa roh, menyembuhkan orang sakit, dan segala jenis karunia paling tinggi sekalipun akan berlalu” pak Jore.
“Saya seperti manusia bodoh”
“Pengharapan, iman, dan kasih akan tetap tinggal tenang pak Jora. Jujur, saya sendiri kurang memahami karunia-karunia, namun seiring berjalannya waktu kehidupanku mulai mengerti maksud ucapan kata tadi. Hal tergila lagi adalah saya harus merawat sekumpulan orang gila di sebuah rumah sakit jiwa, selain menjalani aktivitas tadi.
“Manusia tengil, posisimu sekarang dimana?” nada berteriak ka’Hozhi seperti biasanya di telepon.
Bagian 8...
HOZHI
Kenapa saya merindukan manusia tengil itu? Kehidupanku terus saja gelisah akibat ucapannya. Mencoba berlari keluar dari tengah jurang? Memang bisa?
Sepertinya ucapan manusia tengil memang benar kalau alur ceritaku sebenarnya tidak bercerita di dunia industri hiburan. Kenapa saya tidak kembali ke dunia medis? Kenyataan sebenarnya adalah saya memiliki ijasah medis, hanya saja mulutku sedikit berbohong kalau kuliahku berhenti di tengah jalan. Kakek dan nenek sama sekali tidak menyadari acara kelulusanku.
Diam-diam saya melanjutkan kuliahku tanpa sepengetahuan mereka memakai uangku sendiri. “Tuhan, kalau memang keberadaanMU benar-benar ada, bantu hidupku untuk mengerti harapan di tengah semua rasa kecewa sekaligus amarahku” pertama kalinya menantang Tuhan yang saya anggap tidak pernah adil.
Hal terbodoh lagi, tiba-tiba saja saya bertemu Nevy. Diam seribu bahasa dan tidak lagi berteriak ke arahnya. Berlalu melewati Nevy adalah jalan terbaik. Habis-habisan dihujat karena dirinya memilih mundur dari industri dunia hiburan. Jalan pikirannya sulit diselami.
“Apa kau lapar?” dia tiba-tiba saja melemparkan pertanyaan.
Pertanyaan bodoh menurut pikiranku. Dia tanpa rasa bersalah melempar pertanyaan? Seluruh netisen memberi pandangan buruk tentangku. “Saya yang traktir” Nevy.
“Dasar pria brengsek” berteriak kesal ke arahnya.
Rasa-rasanya saya ingin memakan hidup-hidup manusia di depanku. Bagaimana tidak, segala jenis hujatan netisen terus saja bermunculan di dunia permedsosan. Saya dijadikan memeh lelucon oleh orang banyak akibat keputusan dia secara mendadak.
“Saya tidak pernah menyuruhmu berhenti, tapi kenapa saya yang harus jadi korban?” berteriak histeris di tengah jalan. Untung saja jalanan disini sepi tanpa siapapun.
“Apa kau tidak ingin berhenti?” Nevy.
“Saya tidak seperti dirimu”...
“Tempatmu bukan di sana” Nevy.
“Bodoh amat” berkata judes sambil berjalan pergi meninggalkan dirinya.
Ucapan Nevy dan adikku sama saja. “Manusia tengil, posisimu sekarang dimana?” mengirim pesan buat Hia.
“Kakak kesepian” pertama kalinya mengakui diriku mengalami perasaan seperti ini.
Berada di bibir pantai menikmati suasana malam seperti orang bodoh. “Ka’Hozy” Hia menyadari keberadaanku.
“Apa Tuhan bisa tahu apa yang saya rasakan selama ini?” menangis histeris seketika.
“Ini kedua kalinya kakak nangis histeris” Hia.
“Apa kakak bisa keluar?”
Hia diam tanpa berkata-kata. Mendekap kuat tubuhku seolah tahu apa yang sedang kualami. Selama ini, saya berusaha menutupi semua objek luka di dalam sana. Saya ingin mencari tahu jawaban tentang hidupku sendiri. Kenapa Tuhan membuatku berada di tempat yang tidak pernah kuinginkan?
“Apa Tuhan bisa membalut luka di dalam sini?” pertanyaan buatnya.
“Pertanyaan bodoh” Hia semakin mendekap tubuhku.
Kehilangan arah, tidak pernah mengerti kehangatan keluarga, tidak memiliki rumah, dan lain sebagainya menjadikan hidup terus saja terbelenggu sesuatu hal menakutkan. Apa itu rumah? Bukankah selama ini saya memang tidak mengerti hidup.
“Apa Tuhan bisa membuktikan kalau DIA memang adil?” pertanyaanku lagi.
“Tuhan hanya minta kakak mencoba untuk percaya” Hia.
Kemarin saya melihat dia sebagai mafia berhati kejam, emosional, menakutkan, dan tidak mengenal belas kasih. Hari ini sosok Hia hanya bercerita tentang kehangatan dan kelembutan sebagai gambaran dirinya. Entah kenapa, saya bisa menangis begitu saja mengungkapkan apa yang ada di dalam sana.
Belajar percaya terhadap Tuhan? Apa ucapannya memang betul kalau kami tidak pernah ditakdirkan untuk berenang-renang di tengah jurang? Tuhan, bantu saya menghancurkan rantai belenggu itu. Ajar saya untuk percaya kalau diriMU mampu membalut luka hati paling menakutkan selama ini.
Diam-diam, saya mencoba untuk mengundurkan diri secara perlahan dari industri hiburan. Tidak ada yang salah dengan dunia tadi, hanya saja tempatku bukan di sana. Dunia settingan, peranan penghujat, ataukah memainkan permainan demi kemajuan karir tidak lagi kujalani. Nevy dan adikku berkata benar kalau ternyata tempatku bukan di sana.
Menghapus seluruh akun medsos milikku dengan peranan sebagai artis sedang kujalani sekarang ini. Diam-diam, saya mencoba memasukkan lamaran di beberapa rumah sakit tanpa sepengetahuan orang termasuk keluargaku.
“Tuhan, buktikan kalau ucapan Nevy dan Hia memang betul kalau hidupku ditakdirkan sebagai tenaga medis” ucapan menantang Tuhan.
Apa yang terjadi setelahnya? Di luar dugaan, salah satu rumah sakit menghubungiku. “Saya hampir tidak percaya” dua bola mataku terbelalak
Saya mengikuti beberapa tes dan pada akhirnya dinyatakan lulus. Apa ini jalan yang memang Tuhan kehendaki buatku? Saya meminta pihak rumah sakit merahasiakan identitasku agar tidak seorangpun mengenali diriku. “Kenapa kau ingin bekerja disini?” pertanyaan sang direktur.
“Untuk membuktikan kalau ternyata saya bisa melakukan satu petualangan selain menjadi artis kontroversial” jawaban buatnya.
Direktur rumah sakit menyadari identitas asliku tanpa harus memberitahunya. Nama panggung dan identitas ijasahku memang jauh berbeda. “Apa kau masih ingin bekerja dengan gaji kecil?” direktur rumah sakit melempar pertanyaan.
“Tidak menjadi masalah” ujarku.
“Kau bisa bekerja mulai besok” sang direktur.
“Kenapa anda mau menerimaku bekerja?”
“Sekedar penasaran” sang direktur.
“Penasaran?”
“Kau tidak sekacau yang orang pikirkan di luar sana” ucapan sang direktur seolah memberiku harapan.
Selama ini, saya hanya dikenal sebagai manusia gila, settingan, suka mencari masalah, kacau, jahat, terkenal bukan karena prestasi, dan lain sebagainya. “Hozhi pasti bisa” memberi semangat terhadap diri sendiri.
Tuhan, ubah hidupku menjadi pribadi yang lebih baik. Ajar saya mengerti kalau ternyata diriMU bisa dijadikan sahabat. Saya ingin diam-diam menjalani kehidupan baru.
Keluargaku tidak pernah tahu kalau ternyata sosok artis kontroversial maksudku settingan diam-diam menyelesaikan sekolah spesialisnya. Saya hanya ingin beristirahat dari medis hingga menyatakan diriku tidak ingin menjalani kehidupan rumah sakit selama ini. Entah apa yang merasuki hingga dua kakiku mencoba menyelesaikan studiku tanpa sepengetahuan orang.
“Kau tidak bisa menyentuh pasien selama hatimu terselubung marah, emosional, pahit, dendam terhadap banyak objek” ingatan ucapan seorang dokter terhadapku hingga membuatku tidak ingin menyentuh pasien terus saja gentayangan.
“Di depanmu bukan binatang atau mainan, di tanganmu ada nyawa yang harus kau selamatkan” ucapan kata-kata itu tidak akan pernah kulupakan.
Ruang hati bersama luka cukup dalam seolah dituntut untuk tidak pernah marah ataukah menyimpan akar kepahitan? Saya sendiri tidak pernah tahu cara menyembuhkan luka tadi. Andaikan mereka semua menjadi saya dengan sejuta sayatan terus saja mendekap tanpa henti.
Berusaha menjadi artis komtroversial hanya untuk mencari perhatian terdengar menyenangkan. Tuhan, sembuhkan luka sayatan di dalam sana yang terus saja mencabik-cabik tiap saat. Pada kemyataannya, seorang dokter tidak dapat menjalani perannya dengan baik bahkan dapat membuat kesalahan fatal andaikan memiliki akar pahit sekaligus amarah cukup menuktkan di dalam sana. Kenapa bisa? Percaya atau tidak, hal tersebut dapat merusak sistem kerja hingga nyawa pasien hilang lenyap tanpa sadar.
Kondisi seperti ini membuat saya berhenti total dari dunia medis. Tidak ada satupun obat yamg dapat menyembuhkan luka di dalam sana. Jauh lebih baik baik menjalani peran artis pembuat masalah dibanding terjun kembali ke dunia medis.
“Hozhi, setidaknya dirimu mencoba untuk percaya kalau DIA dapat menyembuhkan lukamu” desiran suara hati.
“Apa kau mau mencoba masuk ke ruang bedah?” dokter Ra’ melemparkan pertanyaan.
“Memang bisa?” pertanyaan balik.
“Menurutmu? Dokter Ra’
Mencoba masuk masuk ke ruang bedah serta berjuang untuk melupakan tentang luka tadi. “Ternyata skilmu boleh juga” pertama kalinya seseorang memberiku pujian.
“Kau hanya butuh latihan sedikit dan berjuang untuk menyembuhkan sesuatu di dalam sini” dokter Ra menunjuk ruang hati yang penuh luka sayatan.
Saya hanya butuh sedikit latihan? “Permasalahan terbesar dokter bedah saat ini ada pada objek kata bersifat pasaran” dokter Ra mencoba menjabarkan pemikirannya ketika kami berada dalam pertemuan.
“Kenapa bisa?” dokter Ra memasang wajah mengkerut.
“Ibaratnya penulis menciptakan tulisan bersifat pasaran, ya tentu putarannya hanya di tempat tanpa ada kemajuan dan tidak mungkin dilirik oleh dunia internasional” dokter Ra memcoba menggambarkan sesuatu...
“Maksud ucapan dokter?” mencoba memgangkat tangan.
Ruang pertemuan bersama sekumpulan dokter sedang menuntut penjelasan kualitas medis. Pertama kalinya, saya mengikuti kegiatan seperti ini. Bagaimana perkembangan medis ke depan?
“Seorang dokter harus pintar memainkan sistem bedah lain dari pada yang lain, cekatan, tidak dimiliki oleh dokter bedah siapapun, tetapi berkualitas” dokter Ra mencoba menjabarkan.
Siapa pernah menduga, seorang artis settingan sedang berada dalam sekumpulan dokter. Apa mereka mengenalku? Jawabannya adalah saya terus saja memakai masker, jadi, mereka semua belum sadar. Nama panggung dan ijasahku jauh berbeda sehingga memungkinkan saya untuk melakukan penyamaran tingkat langit.
Tuhan, apa saya bisa menjadi dokter berkualitas tanpa settingan? Kembali membaca banyak buku-buku medis di sela-sela jam istirahat. Semua orang hanya tahu hidup Hozhi sebagai artis settimgan dan tidak lebih dari itu.
“Penanganan kasus memakai beberapa trik” membaca salah satu buku.
“Sepertinya kau giat berlatih ya?” dokter Ra membuatku kaget seketika.
“Dari mana anda tahu saya berada disini?”
“Kebetulan lewat” dokter Ra.
“Saya juga kebetulan salah masuk” balasku.
“Teknik menjahitmu cukup memiliki ciri khas” dokter Ra.
“Anda tidak sedang mengejekku?”
“Terlihat begitu tenang, cekatan, tanpa sadar teknik yang kau gunakan tidak dimiliki oleh dokter manapun dan hanya tanganmu saja terlihat memainkan skilnya di atas rata-rata” dokter Ra.
Saya mimpi apa semalam? Pertama kalinya, artis settingan mendapat sedikit pujian? Tuhan, jangan bangunkan saya dari tidurku kalau ini Cuma mimpi.
“Sepertinya, saya penasaran melihat teknik bedahmu seperti apa” dokter Ra.
“Sepertinya anda sedang mengejekku”
“Kenapa kau berhenti dari duri dunia medis? Kenapa kau kembali sekarang?” dokter Ra.
“Anda mengenalku?”
“Direktur sudah menjelaskan semuanya, sekalipun kau terus memakai masker, tapi saya akan tetap mengenali wajahmu artis settingan maksudku si’pembuat masalah” dokter Ra.
“Entahlah, jawaban paling tepat dari pertanyaan anda”...
“Pernyataan bodoh” dokter Ra.
“Seseorang mengatakan saya tidak bisa menjadi dokter kalau hidupku sendiri menyimpan kemarahan cukup besar di dalam sana” entah kenapa pernyataan tersebut keluar begitu saja.
“Lantas, kau memutuskan berhenti total karena tidak bisa membereskan hidupmu sendiri?” dokter Ra.
“Seperti yang anda lihat dan simpulkan” jawaban buatnya.
“Saya yang gila atau kau yang gila?” dokter Ra.
“Maksud anda?”
“Lebih memilih menjadi artis penuh sensasi, pembuat onar, settingan banyak, tukang aneh-anehlah dibanding?” dokter Ra.
“Dibanding membereskan hidupnya dan memasuki dunia medis?” dokter Ra menggeleng-geleng kepala mendengar ceritaku.
“Apa keluargamu tahu?” dokter Ra.
“Saya beralasan keluar negeri karena urusan pekerjaan sebagai model, padahal sebenarnya diam-diam melanjutkan studiku dengan mengambil spesialis” ujarku.
“Kau benar-benar pandai berakting” dokter Ra.
“Lantas kenapa kau mencoba kembali?” dokter Ra.
“Karena ucapan sahabat dan adikku selalu menginginkan saya kembali melanjutkan studiku kembali”...
“Tapi, mereka tidak tahu kalau kau membodohi mereka?” dokter Ra.
“Menurutmu?”
“Selama ini kau merasa paling terluka, tersakiti, kesepian, selalu menderita, padahal kenyataannya di sekitarmu ada beberapa orang terus saja mendekapmu tanpa sadar” dokter Ra.
“Adikku saja baru bertobat keles” bahasa judes buatnya.
“Dasar dokter gila, sepertinya saya juga ikut gila karena perbuatanmu” dokter Ra.
“Kuharap kau tetap bertahan sebagai dokter, dibanding menjadi artis gila” dokter Ra.
“Kenapa?”
“Terlalu sayang kalau skil bedahmu terbuang begitu saja, hanya karena masalah sepele?” dokter Ra.
Apa ini pernyataan? Saya ingin mencoba belajar untuk tidak lagi menjadi manusia pencari masalah. Dokter Ra merupakan seorang dokter senior di rumah sakit. Dia dokter pria pertama yang menghargai bahkan memberiku harapan. “Kenapa namanya mirip perempuan gitu?” menyadari nama dari dokter senior tadi.
Selalu terlihat serius ketika berbicara merupakan gambaran dokter Ra. Dia selalu berada di ruangannya seorang diri. “Apa yang sedang dia kerjakan?” sedikit mengintip aktifitasnya di ruangan.
“Masuklah! Jangan mengintip seperti orang bodoh di luar!” dokter Ra menyadari keberadaanku.
“Sepertinya karakter aslimu keluar” dokter Ra.
“Maksud ucapan dokter?”
“Karaktermu di industri hiburan dan sekarang, menurutmu?” dokter Ra.
Saya diam tidak berkata-kata ataukah membalas ucapannya. “Apa kau mau membantuku?” dokter Ra.
“Membantu?”
“Sebenarnya kalau diperhatikan IQ’mu lebih dari cukup kalau penyakitmu ga kumat” dokter Ra.
“Dokter seperti sahabatku” ucapanku.
“Nevy artis yang lagi booming karena mengundurkan diri dari industri hiburan di puncak karirnya, lantas sosok sepertimu jadi bulan-bulanan netisen sebagai penyebab dirinya berhenti” dokter Ra.
“Sejak dulu, dia selalu berada di sampingku tiap tangisku pecah” ucapanku.
“Bantu saya mencari beberapa data di selebaran kertas didepanmu!” dokter Ra berkata-kata.
Kenapa saya disuruh mencari beberapa jenis mesin? “IQ’mu sepertinya bisa membantuku” dokter Ra.
“Dokter sepertinya memanfaatkan saya” berujar ke arahnya.
“Menurutmu?” dokter Ra.
Siapa pernah menduga, seorang dokter sedang berjuang untuk merakit sebuah alat. Alat ini dapat membantu pasiem ketika berada di dalam ataupun luar kamar bedah. Permasalahan terbesar ruang bedah adalah kebutuhan darah yang betul-betul dibutuhkan.
Sebiah alat dirancang khusus bagi dunia medis. “Bagaimana kalau dokter mencoba memakai jenis mesin dengan kombimasi kecepatan di atas rata-rata seperti ini” mencoba menjabarkan sesuatu terhadapnya.
Pemasangan alat ini di seluruh rumah sakit, dimana saling berhubungan satu sama lain dengan bank darah bahkan keluar kota. Dokter Ra menjelaskan bahwa alat ini sangat penting. Ketika rumah sakit akan melakukan bedah, maka nakes secara langsung dapat menghubungi bank darah. Beberapa jam sebelum operasi dimulai, darah yang dibutuhkan harus sudah siap di bank darah.
Petugas tinggal mengirim data melalui aplikasi khusus yang secara langsung menghubungkan ke bank darah. Singkat cerita, petugas di bank tersebut menyiapkan jenis darah yang dibutuhkan sesuai jumlah permintaan dan dimasukkan dalam sebuah kotak khusus. Pada saat situasi pasien membutuhkan darah, maka salah satu petugas di kamar operasi hanya tinggal memainkan scan barcode yang telah diotomatiskan melalui alat pemindaian. Kotak darah dari bank darah tadi akan secara langsung meluncur menuju kamar bedah di rumah sakit tersebut dengan kecepatan di atas rata-rata.
Kotak ini dapat digunakan untuk mengirim darah ke rumah sakit baik dalam maupun luar kota andaikan golongan darah yang dibutuhkan tidak ada di kota tadi. Sistem penyimpanan dalam sebuah kotak menggunakan sistem khusus umtuk mencegah kerusakan darah. Dapat dikatakan bahwa alat disebut sebagai transportasi medis jalur bamk darah.
Jadi, kamar bedah harus memiliki mesin kotak transportasi tersebut agar secara langsung menghubungkan dengan bank darah baik dari dalam maupun luar kota. “Artis tukang buat sensasi, ternyata bisa juga diandalkan” dokter sedikit tertawa.
“Entahlah” tertawa sinis menanggapi bahan leluconnya.
“Sudah malam, jadwal shiftku sudah berakhir dok” segera pergi meninggalkan dirinya tanpa meminta persetujuan.
Siapa pernah menduga, sosok Hozhi seperti manusia kerasukan yang sedang berputar haluan menjadi 360°C. Apa ucapan Nevy dan Hia memang benar? Hidupku tidak pernah bercerita di dunia keartisan, hanya saja saya seolah memaksakan kehendak untuk tetap berada disana.
“Dokter, tolong selamatkan anak saya satu-satunya” seorang ibu sedang menangis berteriak tidak jauh dari tempatku.
Kenapa banu Hia berlumuran darah? Ada apa dengannya? “Ibu Kasih?” langsung mengenali wajah ibu tersebut.
Memakai masker rapat-rapat agar mereka tidak mengenali saya. Putri semata wayang ibu Kasih mengalami kecelakaan setelah kepulangannya dari LN. Hia berusaha menenangkan ibu Kasih. Hati seorang ibu hancur berkeping-keping melihat putrinya berjuang di dalam sana.
“Saya ingin menjadi asisten dokter” berbicara terhadap dokter Ra dengan napas terputus-putus karena berlari.
“Kenapa?” dokter Ra.
“Entahlah”...
“Kau mengenali dia?” dokter Ra menyadari sesuatu.
“Entahlah” menjawab kalimatnya. Beruntung saja dokter Ra mau mengizinkan saya berperan sebagai asistennya. Hal lebih mengejutkan lagi adalah Kaska menabrak putri semata wayang ibu itu, hingga Hia ingin menanggung kesalahan adiknya. Siapa pernah menduga peristiwa semacam ini terjadi?
Bagian 9...
Seorang ibu bertahun-tahun menunggu kedatangan putri semata wayangnya, namun mendapat kabar kurang menyenangkan. Baleza menjadi korban kecelakaan ketika hendak berjalan menuju rumah ibunya. Kaska tidak dapat mengendalikan motornya sendiri hingga tanpa sengaja menabrak gadis cantik tadi di bawah hujan deras.
Hia menyaksikan langsung pemandangan tersebut di depan matanya sendiri. Ibu Kasih mengajak Hia untuk menjemput putrinya di bandara. “Ibu, anakmu sudah balik” Baleza menyadari siapa yang sedang merangkulnya sekarang.
Tubuh Baleza berusaha menahan rasa sakit hanya ketika berbicara du samping ibunya. “Leza, sayang ibukan” tangis sang ibu histeris seketika.
Tubuh Hia berdiri kaku antara ingin berlari ke arah sang ibu yang sedang menangis histeris ataukah adiknya? “Tuhan, apa ini proses buatku?” batin Hia berteriak di dalam sana.
“Tuhan, apa ini teguran buatku?” suara hatinya masih saja berteriak keras.
Di satu sisi seorang ibu dengan peranan terbaik membawanya berjalan mencari pelita kecil, namun di tempat lain adiknya juga membutuhkan dekapan. “Kakak pasti berjalan bersama denganmu” mendekap adiknya sebelum pihak kepolisian berjalan pergi membawa Kaska.
Hia mencoba tetap berada di samping ibu Kasih setelah kepergian adiknya. “Dokter, tolong selamatkan putri saya” tangis histeris ibu Kasih di rumah sakit.
“Kami akan berusaha” seorang dokter memegang kuat tangan ibu tersebut sebelum akhirnya berjalan menuju kamar operasi.
“Apa kau mengenal si’penabrak?” ibu Kasih melempar sebuah pertanyaan.
“Dia adikku, Kaska” Hia menjawab dengan wajah menunduk.
“Pukul atau maki saja diriku kalau ingin melampiaskan amarahmu” Hia.
“Memang semudah itu?” hati seorang ibu hancur berkeping-keping.
“Adikku tidak pernah merasakan kehangatan keluarga, jadi apa saya bisa menjadi pengganti dirinya untuk mempertanggung jawabkan semuanya?” Hia.
“Pertanyaan bodoh?” ibu Kasih.
Apa masalah ini selesai setelah ucapan Hia tadi? Hati seorang ibu hancur melihat anaknya sedang berjuang melwan maut di dalam sana? “Kaki Leza ga bisa bergerak” teriak Baleza beberapa hari setelah siuman.
“Leza ga bisa jalan” makin histeris menangis mencoba menggerakkan kedua kakinya. Dokter dan perawat mencoba menenangkan dirinya...
“Ibu, apa Leza tidak akan bisa berjalan lagi?” berteriak makin keras hingga seluruh penghuni rumah sakit mendengar teriakannya...
BERSAMBUNG...