KEKUATAN SEORANG IBU
Bagian 1…
Lavi Yagil...
Kenapa jalan hidupku jauh berbeda dengan
orang lain? Miskin, broken home, memiliki seorang mama paling kampungan, dua
adik laki-lakiku terlihat membosankan, dan masih banyak hal-hal terkacau terus
saja menghampiri hingga mempermainkan segala keadaan. Kebencian terhadap papa
jauh lebih besar dibanding objek manapun di dunia. Saya malu setiap melihat
pakaian kusut mama, bau badan menyengat, pekerjaan-pekerjaan kuli kasar demi
mendapat uang, senyum menyebalkan darinya. Kegeraman terus saja terjadi ketika
dua adikku berdiri di sekitarku.
Andai saja saya terlahir di tengah
keluarga kaya raya tanpa kekurangan sesuatu. Kata ‘andai’ benar-benar
mempermainkan kehidupanku. Andai sosok Lavi memiliki mama tercantik, gaya fashionable,
pintar, senyum menawan, memiliki pekerjaan terpandang. Kenapa Tuhan memberi
orang tua dengan wajah terjelek sedunia? Wajar saja papa mencari perempuan
lain.
“Jangan ke sekolah Lavi lagi!” geram
melihat tingkah mama berdiri di depan gerbang sekolah.
“Pergi dari sini!” mendorong wanita tua
itu secepat mungkin.
Masa-masa sekolah lanjutan pertama hanya
akan bercerita tentang rasa malu memiliki mama dekil dan sangat bau. Saya harus
bisa menembus tempat tersebut bagaimanapun caranya. Berusaha menyembunyikan
identitas diri di hadapan siswa lain menjadi ciri khasku. “Mamaku lebih dari
kata cantik” pernyataan berbohong sewaktu beberapa orang melemparkan sebuah
pertanyaan tentang raut wajah mama.
“Papaku pengusaha sukses di luar negeri”
kebohongan lain lagi.
Beruntung saja sosok Lavi Yagil memiliki
otak kelewat encer sehingga selalu menjadi juara baik di kelas maupun beberapa
bidang. Di sekolah, saya harus hidup dalam kepura-puraan seolah memiliki harta
berlimpah. Ketika berada di rumah segala sesuatu akan kembali seperti semula
yaitu kehidupan menjijikkan. Kenaz dengan karakter gila karena sikap buruk,
preman kampung, selalu membuat keonaran membuatku muak. Kenapa harus memiliki
adik seperti dia? Tidak bisakah manusia sepertiku hidup dalam kesempurnaan? Di
lain tempat teriakan Hershel terus saja berkumandang karena permainan sepak
bola pada salah satu stasiun televisi. Saya benci harus tidur sekamar bersama
mereka berdua.
“Poster apaan ini?” geram melihat
dinding kamar dipenuhi personil-personil pemain bola kesayangan Hershel.
“Kenapa kakak merobek gambar pemain bola
kesayanganku?” Hershel sangat marah.
“Merusak pemandangan” jawaban buat dia.
“Wajah kakak jauh lebih merusak
pemandangan dibanding wajah mereka” Hershel.
“Kau berani terhadap kakakmu sendiri?” dua
tanganku mendorong keras Hershel.
Hal di luar dugaan bahkan keseringan
terjadi di antara kami bertiga adalah perkelahian satu sama lain. “Kenapa kau
harus dilahirkan menjadi adikku?” teriakanku makin mendorong tubuhnya.
“Memangnya Hershel meminta sama Tuhan
biar jadi adikmu?” Hershel.
“Kalau disuruh memilih saya juga ga
bakalan mau menjadi adikmu” Hershel.
“Kau berani?” ucapan kembali buatnya.
Perkelahianpun terjadi bahkan aksi
dorong mendorong, tarik menarik rambut, tampar menampar seperti anak perempuan
dimainkan oleh kami berdua. “Berhenti!” suara nyaring seseorang dan tak lain
adalah mama…
“Kakak merobek pemain bola kesayanganku”
Hershel mengadu.
“Kau selalu menghancurkan pemandangan
kamar dengan tempelan-tempelan postermu” membalas kalimatnya.
“Mama, uang buat Kenaz mana?” si’preman
muncul di tengah pertengkaran.
“Btw, kalian lagi berkelahi? Ayo
lanjutkan, kebetulan pisau-pisau dapur berteriak buat digunakan” Kenaz makin
memanas-manasi…
Apakah mama menangis melihat aksi kami
bertiga? Apakah wanita jelek itu melemparkan kalimat serapah bagi ketiga
anaknya? Bagaimana sikap sosok ibu seperti dirinya setiap menemukan kenyataan
pahit selain kepergian sang suami? “Selalu saja berusaha bersikap tenang” suara
hatiku berbisik seketika.
Terkadang sosok dekil sang ibu menatap
tajam terhadap kami bertiga. Hershel merupakan anak bungsu yang selalu mengalah
ketika raut wajah wanita tua tadi berubah. “Saya benci lahir dari keluarga
miskin, broken, memiliki ibu dekil sepertimu” entah kenapa pernyataan tersebut
tiba-tiba terlontar.
Dia hanya terdiam tanpa berkata-kata.
Menangis? Saya tidak pernah melihat setetespun air matanya terjatuh. “Saya
benci lahir dari Rahim wanita tua miskin sepertimu” ucapanku makin mengganas.
“Kakak keterlaluan” Hershel.
“Kenapa saya tidak bisa seperti orang
lain memiliki kamar luas, rumah, mobil, orang tua berpendidikan?” kembali
melemparkan pertanyaan.
Rumah kecil menjadi saksi bisu
pertengkaran bahkan kata-kata makian terhadap wanita tua itu setiap saat.
Terkadang pertengkaran terhadap dua adikku terlebih khusus Hershel hanyalah
sebagai bahan buatku untuk mencari celah menyerang sang wanita tua. “Wah
kakakku memang keren kalau berkata-kata” Kenaz menepuk bahuku. Seolah dia tidak
pernah peduli sikapku memperlakukan wanita yang sudah melahirkan kami.
“Silahkan lanjutkan pertengkaran kalian”
Kenaz berjalan keluar dari rumah.
Kenapa tatapan mata dari sang wanita
jelek tetap terlihat tenang? Sebuah tamparan berjalan ke arahku dari seorang
ibu. Sikap tenangnya tetap berjalan di tengah-tengah salah satu tangan yang
sedang bermain untuk menampar wajahku beberapa kali. Tiba-tiba saja dua
tangannya mendekap tubuhku…
“Anak mama pasti memiliki kualitas nilai
terbaik” pernyataan lembut darinya sambil terus mendekapku.
“Hentikan!” berusaha mendorong tubuhnya,
tetapi tangannya jauh lebih kuat.
“Terima kasih Tuhan karena dua tanganku
jauh lebih kuat mendekap Lavi dibanding kekuatan semu” tersenyum sambil
berbisik di sekitar telingaku.
Bersikap diam dan tenang merupakan
gambaran wanita tua tersebut. Saya tidak pernah melihat dirinya sekalipun
menjatuhkan air mata karena perselingkuhan sang suami. Apa saya salah lebih
memilih orang lain menjadi mamaku selain dia? Bagaimana bisa Tuhan membuat saya
terlahir ke dunia melalui rahimnya? Dekil, kotor, jelek, miskin, dan segala
jenis objek terkacau selalu saja membungkus kisah sang wanita tua.
“Makanlah!” seperti biasa tetap bersikap
tenang seolah keributan tadi tidak pernah terjadi.
“Saya benci melihat sikapmu” pernyataan
terdingin untuknya.
“Kakak Lavi memang iblis” rasa geram
Hershel mendengar ucapanku.
“Kalau mau ribut setelah makan dulu,
gimana sih?” Kenaz preman kampung.
Kenaz tidak mempermasalahkan kebencian
maupun rasa maluku memiliki ibu dekil. Kehidupan adikku yang satu ini selalu
bercerita tentang kebebasan, pergaulan buruk, perkelahian, bolos sekolah,
tinggal kelas, dan masih banyak lagi hal-hal terkacau lainnya. Hershel
merupakan sosok pribadi satu-satunya yang akan berada di samping wanita tua
itu. “Mama beri Kenaz uang” anak bangsat lagi memalak.
“Ka’Kenaz keterlaluan” Hershel makin
geram.
Saya benci melihat pemandangan seperti
ini. Kenaz menendang sebuah kursi karena keinginannya tidak dipenuhi.
Menggeleng-geleng kepala melihat Herzhel sang bocah menutup rapat telingan
wanita tua dengan dua tangannya. Rasa belas kasihan pada diriku belum pernah
ada terhadap wanita yang sudah melahirkan saya ke dunia.
“Kenapa mama harus diperlakukan buruk
terus oleh mereka berdua?” Hershel.
Saya benar-benar menikmati perlakuan
sang bocah Hershel terhadap wanita tua itu. “Usir saja mereka berdua dari
rumah” terus mengumpat.
“Mereka berdua tetap akan menjadi kakak
terbaik buat Hershel anak mama” sang wanita tua sok bijak seketika.
“Terbaik apanya?” Hershel bersandar pada
dinding…
“Kekutan seorang ibu dapat menghancurkan
objek terburuk pada diri mereka” sang wanita tua.
“Bukannya mengejek tapi mama kan selalu
terlihat lemah bahkan tidak berkutik di hadapan dua manusia iblis di rumah ini”
Hershel.
“Siapa bilang mama lemah? Mama memiliki
satu kekuatan terdasyat tanpa Hershel sadari” sang wanita tua.
Senyum wanita tua begitu lebar seolah
semua hal terkacau tidak pernah terjadi sama sekali. “Waktu akan bercerita
tentang kekuatan seorang ibu, ngerti?” wanita tua kembali tersenyum lebar.
“Kenapa juga saya harus mendengar dialog
mereka berdua” rasa kesalku membanting pintu rumah.
Kekuatan seorang ibu? Entah kenapa
pernyataan tersebut menghantui jalan pikiranku sekarang. bagaimanapun wanita
tua tidak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Saya terlalu malu mengakui
dirinya sebagai mama. Sekolah tempatku belajar di masa remaja terlihat
menegangkan atas tiap kebohongan dari kisah Lavi. “Jangan menampakkan wajah
dekilmu lagi di sekolah!” mendorong sang wanita tua setelah tersadar sesuatu.
Saya
selalu ingin menjadi nomor satu di segala bidang bahkan tertata begitu
sempurna. Nilai akademis, olah raga, music, dan masih banyak lagi harus yang
pertama sekalipun memakai cara licik. Demi terlihat pandai memainkan beberapa
alat music sehingga dua tanganku berlatih habis-habisan. Hal tersebut membuat
nilai-nilai ujianku merosot seketika pada peringkat tiga di sekolah dari
seluruh kelas. Berada di urutan kedua sudah menjadikan kehidupan Lavi tak
terkendali terlebih kacau begini. Saingan sekaligus musuh terberatku tiba-tiba
berada di urutan paling terdepan setelah posisi dia kemarin di sepuluh besar.
“Sangat gila” rasa histeris makin
meledak-ledak.
“Makanlah” suara wanita tua berseru
sekitar pendengaranku.
“Waktu
akan bercerita tentang kekuatan seorang ibu” entah kenapa pernyataan
tersebut berkumandang begitu nyaris hingga ingin meledakkan kepala.
“Pergi sana!” nada memerintah sambil
mendorong sang wanita tua keluar kamar.
“Suatu hari kakak pasti menyesal
mendorong mama seperti sekarang,” si’anak mama seolah sosok satpam terbaik bagi
wanita tua.
“Hershel” wanita tua berusaha menahan
kegeraman kurcaci sialan. Objek yang tidak akan pernah bosan dilakukan oleh
sang wanita tua adalah berjuang mendekap erat tubuhku terlebih ketika mulut
maupun tanganku berperilaku buruk.
Tetap menatap hangat bagaimanapun
keadaan menyakiti hatinya. Ada saat salah satu tangannya menampar wajahku dan
setelah itu sebuah pernyataan keluar begitu saja. “Kekuatan tangan mama pasti
bisa menghancurkan gerbang pintu terkeras di hatimu,” ucapan tersebut berteriak
begitu kuat tetapi tetap terlihat tenang.
Wanita bodoh selalu saja memberi tatapan
lembut dibalik sikap tenangnya. Kenapa juga saya harus terus membayangkan tiap
pernyataan maupun tentang kepribadian sang wanita tua. Bagaimanapun rasa malu
memiliki ibu seperti dia jauh lebih besar dibanding apa pun di dunia ini.
“Mungkin semua orang akan membuatku
menjadi bahan tertawaan, tetapi saya akan buktikan di hadapan dunia kisah
tentang kekuatan terbesar seorang ibu,” tanpa sadar sebuah suara berkata-kata
di balik sebuah pintu.
“Tuhan, jadikan ceritaku berbeda bersama
keunikan tersendiri yang tidak mungkin dimiliki oleh orang banyak terlebih di
antara para ibu di luar sana,” pertama kalinya tingkah bodohku berusaha
menguping kembali suara di ruang sana.
Wanita tua masih menyimpan dengan baik foto
sosok pria bengis di dalam kamarnya. Kenapa darahku mendidih menatap foto gila
itu? Saya seperti pencuri
mengendap-ngendap sambil mengintip karena rasa takut. Dia menangis
diam-diam tanpa memperdengarkan suara. Selama ini saya tidak pernah melihat wanita
tua menangis seperti orang bodoh. Hal tersebut terus saja menghantui pikiranku
beberapa hari belakangan.
Siang hari raut wajahnya bercerita
tentang kekuatan tanpa air mata. Ketika pertengahan malam tiba, maka apa yang
kulihat di balik sebuah celah kecil dinding kamarnya semua hanya berkata-kata
tentang aliran air mata dan betapa rapuh kehidupan dia sebagai seorang ibu.
Kenapa juga saya harus dibangunkan tengah malam hanya untuk melihat pemandangan
seperti ini diam-diam?
“Saya pasti bisa mendidik tiga jagoan
kecilku hingga memiliki kualitas nilai terbaik sekalipun tanpa kasih sayang
seorang ayah di samping mereka” pernyataan sang wanita tua di antara genangan
air matanya.
“Tuhan, imanku berkata kalau saya pasti
memiliki satu kekuatan luar biasa bersama dinding pertahanan paling unik yang
tidak mungkin dimiliki oleh ibu manapun” dia masih berkata-kata…
Tiap pernyataan darinya masih manghantui
pikiranku di sekolah. “Saya malu mengakui
di hadapan semua orang memiliki ibu dekil sepertimu” bayangan makian terhadap
sang wanita tua menyergap bagaikan senjata.
“Coba jelaskan defenisi sosok ibu
menurut versi kalian masing-masing” salah satu guru berdiri di kelas untuk
sebuah mata pelajaran…
“Bisa dimulai dari Dara, silahkan!”
bapak guru menunjuk teman paling pojok.
“Mampu memberi apa yang kumau” jawaban
konyol Dara.
Masing-masing mereka memberi pernyataan
menurut versinya. Saya hanya duduk termenung membayangkan beberapa objek. Sejak
dulu di mataku hanya ada satu defenisi sosok ibu sehingga kata malu jauh lebih
kuat bermain dibanding menyadari sesuatu hal. Cantik, kaya, berpendidikan, cerdas,
berpakaian bersih, selera fashion modern, mampu memenuhi semua keinginanku
merupakan defenisi sosok ibu paling sempurna dalam hidupku.
“Dapat menjawab misteri hidup yang
diberikan sang pencipta” salah satu dari mereka menciptakan defenisi lain.
“Ibu merupakan sebuah pelita kecil tanpa
batas ketika melintasi sebuah petualangan”…
“Bisa membuatku tertawa.”
“Defenisi ibu menurutku adalah pintar
masak sampai perutku kenyang tapi tidak menggemukkan juga…”
Ada banyak penjelasan tentang defenisi
ibu dari mereka hingga membuatku terdiam. “Menurut Lavi, defenisi ibu itu
seperti apa?” bapak guru tiba-tiba saja melemparkan pertanyaan ke arahku.
“Defenisi ibu buatku…” mulutku terlihat
gemetar sambil berkata-kata.
“Entahlah” jawaban tersebut juga menjadi
akhir pernyataanku.
“Berarti defenisi ibu buat Lavi berada
pada kata entahlah?” pak guru.
“Memiliki dinding pertahanan terkuat dan
tidak pernah terlihat lemah” entah kenapa pernyataan tersebut keluar begitu
saja dari mulutku.
Wajahku tertunduk seolah menyadari
sesuatu hal. Keadaan membuatku malu mengakui wanita tua sebagai mama. Di antara
semua teman-teman sekolah hanya hidup Lavi Yagil saja terlihat berbeda. Miskin,
keluarga broken, kacau, bahkan masih banyak hal-hal buruk berkata-kata ketika
dua kaki berada pada satu area jalan persimpangan. Suasana sekolah menjadi
makin menyedihkan dikarenakan peringkat terbaik tidak lagi dipegang olehku.
Mereka semua menertawakan hidupku seketika dalam waktu singkat.
Rasa takut dalam hidupku menjadi
penyebab kenapa saya ingin selalu menjadi nomor satu tanpa saingan di semua
bidang. Kehilangan figure ayah membuat jalanku terkesan hambar sekalipun
prestasi sekolah tetap berada di tangan. Rasa malu memiliki ibu dekil
dikarenakan rasa haus mendambakan sosok keluarga sempurna, tetapi hidupku harus
menerima kenyataan kalau saya hanyalah keluarga broken home.
Dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan
bagaimana papa memeluk wanita lain sambil memukul mama memakai salah satu
tangannya. Berusaha mencari sekolah tanpa seorangpun mengenalku hanya demi melakukan
sebuah penipuan belaka. “Hershel tidak akan membiarkan mama bekerja lagi kalau
Hershel sudah besar,” anak ingusan mencoba menghibur sang wanita tua.
“Awas saja kalau bohong” celetuk
si’wanita tua.
“Hershel berbeda dengan dua kakak
brengsek di rumah ini” cemberut Hershel.
“2 kakak Hershel pasti akan memilki
kehidupan baik sepertimu” si’wanita tua.
“Mereka berdua bukan kakakku melainkan
iblis” Hershel.
“Suatu hari mereka berdua akan menjadi
malaikat buat Hershel” si’wanita tua.
“Semua itu tidak mungkin terjadi”
Hershel.
“Pasti terjadi” si’wanita tua.
“Kenapa mama terlalu percaya diri
begini?” Hershel.
“Naluri seorang ibu tidak mungkin
berbohong. Kekuatan mama jauh lebih hebat untuk menciptakan tarian berirama
seni dibanding apapun juga” wanita tua.
“Hershel benci melihat mereka terus
tinggal di rumah” Hershel.
“Semua mempunyai waktu, jadi anak mama
jangan pernah menjadi pembenci” si’wanita tua.
Percakapan gila antara mereka berdua
membuatku terlihat seperti orang bodoh. Kenapa juga saya harus menjadi
pendengar setia di tempat tersembunyi? Saya benci suasana kacau seperti
sekarang. “Sejak kapan kakak berdiri seperti orang bodoh di situ?” Hershel
menyadari keberadaanku.
“Memang kenapa kalau saya mau berdiri di
sini? Dasar anak ingusan” raut wajah dingin terbaca jelas di wajahku.
“Malaikat dari mana? Jelas-jelas ka’Lavi
hanyalah sosok iblis” cetus Hershel berkata-kata pelan di belakangku setelah
wanita tua berada di kamarnya.
Bayangan senyum wanita tua terus melekat
dalam ingatanku. Rasa penasaran ingin melihat apa yang sedang dilakukan olehnya
tengah malam begini makin menjadi-jadi. “Sial” nada cetus seolah sesuatu
mendorong tubuhku dari ranjang. Berjalan pelan bagaikan pencuri agar tidak
disadari oleh anak ingusan.
Tengah malam begini air matanya akan
mengalir deras tanpa henti selama sejam lebih. Dalam kamarnya dia menangis
seolah ingin mencurahkan segala rasa sakit di hatinya. “Tuhan, di tanganMu tiga
jagoanku pasti bisa memiliki sebuah nilai. Saya akan menunggu waktu itu tiba”
wanita tua kembali berkata-kata.
Dia tidak pernah kehabisan kata-kata
untuk mencurahkan isi hatinya. Terlihat begitu tenang dalam segala rutinitas,
namun siapa pernah menduga aliran air matanya cukup deras setiap pertengahan
malam. Tangan kasar itu digunakan mencari sesuap nafkah pada siang hari,
sementara dua bola mata wanita tua lebih menyukai permainan aliran air di
tempat tersembunyi.
“Mau mencuri yah” tiba-tiba saja Kenaz
berjalan masuk memukul kepalaku…
“Hentikan kelakuan bodohmu!” sangat
geram melihat Kenaz
Bagian 2…
Kenaz Yagil…
Hai, kenalkan namaku Kenaz Yagil dengan
makna cerdas. Coba bayangkan makna dan tingkah laku sosok pribadi Kenaz sangat
berlawanan jauh. Apa yah di pikiran mama ketika memberi nama? Lebih kacau lagi
adalah arti nama marga papa, memberi kebahagiaan. Justru hal yang terjadi
adalah papa menjadi iblis bagi keluarga sendiri. Berselingkuh, mabuk, melakukan
KDRT, termasuk tidak pernah peduli terhadap anaknya. Saya sangat benci dengan
sikap mama yang selalu saja terlihat lemah. Sejak kecil hidup Kenaz Yagil sudah
terbiasa melihat kekerasan dalam rumah tangga tanpa kehangatan. Jarak usia
antara saya dan kakakku Lavi setahun, sedangkan dengan adikku berjarak 9 tahun.
Saya memiliki kepribadian terburuk
bahkan bisa dikatakan paling jahat di antara kami bertiga. Ingin terlihat kuat
menjadi alasan mengapa jalan hidupku harus terlihat seperti iblis. Kebencian melihat
sikap tenang mama terhadap segala sesuatu membuatku lebih hancur seketika. Rasa-rasanya
saya ingin membunuh kedua orang tuaku karena karakter mereka. Papa dengan
peranan iblis terkejam, sedang mama sebagai malaikat paling lemah. Kehidupan
macam apaan ini?
“Lupakan masalah di rumah” salah satu
teman sekolahku mulai membuatku mengenal kehidupan iblis perlahan tapi pasti.
Bolos sekolah, merokok, jadi preman, minum, terlibat perkelahian, mencuri, dan
masih banyak lagi kelakuan buruk menyatu secara luar biasa di usia masih
terlalu labil.
Mama selalu menjadi sarang buly dari
seluruh orang tua siswa akibat karakter anaknya. Minimal, sosok mama bisa
melampiaskan rasa geramnya. Keluar masuk sekolah satu ke sekolah lain merupakan
ciri khas hidup seorang Kenaz. Kenapa saya berada pada jalur yang dikatakan
oleh semua orang adalah jalan salah? Keadaan membuat perubahan besar terjadi
pada sudut persimpangan jalan di sana.
“Saya benci melihat mama” berteriak
sekeras mungkin mendorong mama di depanku.
Suasana rumah jauh lebih kacau lagi tiap
melihat mama menatap ke arahku seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Tinggal
kelas merupakan hal biasa yang sering terjadi bagi siswa nakal sepertiku. Di
balik sikap iblis terhadap mama, entah kenapa terkadang saya masih merindukan
masakan hasil buatannya.
Kata terlalu lemah merupakan istilah
paling kusesalkan tiap menatap pribadi mama. “Bisa-bisa saya mati kalau
memiliki karakter sepertimu” kata-kata ini selalu saja berkumandang jauh di
dasar hati hingga dua tanganku membanting apa pun di depan mata.
“Saya malu mempunyai ibu sepertimu” nada
kasar kakakku Lavi.
“Bajumu sangat bau menyengat” ka’Lavi
tidak segan-segan berbicara kembali.
“Jangan ke sekolahku lagi!” perintah
ka’Lavi sangat geram.
Terkadang suasana hatiku sangat kacau
melihat hal semacam ini, tetapi saya jauh lebih iblis dibanding kakakku
sendiri. Minimal, kakak memiliki prestasi sekolah yang bisa dibanggakan dan
sangat jauh berbeda denganku. Saya tidak memiliki hak menjadi pahlawan buat
mama dikarenakan keadaanku lebih hancur lagi. Jurang kelam merupakan jalan
pilihanku sekarang dan tidak mungkin bercerita tentang setitik sinar dalam
pengharapan.
“Bagaimana caramu mendidik anak sih?”
salah satu orang tua siswa berteriak.
“Bisa-bisanya membiarkan anaknya
menghancurkan semua orang”…
“Orang tua gila” kembali makian
terlontar keluar dari mereka.
“Bukan berarti ditinggal suami lantas
anak ga pernah bisa di didik dengan benar.”
Entah bagaimana bisa mama menahan cacian
mereka semua. Tidak pernah menjatuhkan air mata setetespun atas setiap hal yang
sudah terjadi. Tetap berjuang tanpa lelah mencari nafkah demi kehidupan kami
bertiga. Caci maki orang banyak tidak lagi diperdulikan. Diam-diam mama
menyamar menjadi orang lain agar tidak dikenali orang. Penyamaran tersebut
bukan karena malu melainkan permasalahan barang jualannya bisa terjual habis.
Melakukan pekerjaan apa saja bahkan dua
tangannya terlihat sangat kasar. Dimulai dari buruh pabrik, menjual sayuran,
mengojek orang di luar sana, tukang cuci seterika dilakoni oleh mama. Tidak
kehabisan akal agar kami juga memiliki rumah sendiri tanpa harus kontrak sekalipun
berukuran kecil. Kenapa saya sejahat itu yah? Rasa bersalah terhadap mama tetap
ada di dasar hati, tetapi seolah saya terlalu sulit meninggalkan ruang gelap
sekitar jalanku.
Seakan terdapat benteng cukup besar
sehingga saya harus tetap berada di sebuah jurang paling dalam. “Mau kemana?”
menghadang salah seorang penduduk sekitar jalan kecil.
“Kau tidak bisa pergi sebelum
menyerahkan semua isi dompetmu” nada memerintah. Kelakuan bejat sosok Kenaz
kembali beraksi tanpa berpikir panjang. Menjambret merupakan biasa yang sering
kulakukan untuk menjalani kehidupan keras. Tidur di jalan pun sering terjadi
bukan karena mama mengusir melainkan mencari kebahagiaan. Mama dengan sikap
tenang menatap ke arahku.
“Kenaz benci tatapan seperti ini”
berusaha mendorong tubuhnya.
Tangan kasar mama jauh lebih kuat
memegangku. Dia tidak pernah bisa merawat dirinya dikarenakan beban keluarga
begitu hebat. Dua tangan mama terasa begitu kasar ketika bersentuhan langsung.
Hal tersebut membuat hatiku begitu hancur, tetapi saya tidak pernah bisa menjadi
anak baik. Bagaimanapun juga tubuhku terikat oleh rantai belenggu sehinggga dua
kaki mengalami kesulitan berlari keluar dari sebuah jurang tergelap.
“Kenaz tetap anak mama sekalipun segala
hal dalam dirimu terlihat menyakitkan” sebuah pernyataan seorang ibu yang terus
saja memegang kuat tanganku.
Kami berdua diam dalam keheningan malam
tanpa berkata-kata lagi setelah pernyataan tadi. Saya benci melihat sikap
tenang mama ketika sikapku selalu saja mempermalukan dirinya setiap saat. Kenapa
dia tidak pernah bisa menjatuhkan air mata? Kuat atau lemah? Terlihat lemah di
sepanjang jalan ketika semua objek terburuk mempermainkan dalam tarian tawa
sepanjang waktu. Air mata tidak pernah terlukis di wajah menandakan satu
kekuatan tanpa sadar. Aneh? “Kekuatan seorang ibu pasti bisa membawa kembali
anaknya menuju sebuah petualangan terbaik” pernyataan mama setelah sekian jam
kami berdua hanya diam dalam kesunyian malam.
Jalan besar tidak jauh dari tempat
perkumpulan teman-temanku menjadi saksi ucapan mama sekarang. Tinggal kelas
beberapa kali tidak membuatnya melemparkan kebencian terhadap kelakuanku. Semua
orang berkata tentang hidupku yang akan selalu menjadi sampah masyarakat,
tetapi tidak bagi mama. Tetap saja mendekap kuat bagaimanapun dua tanganku
membanting pintu rumah atau memecahkan segala perabotan miliknya.
“Mama pasti bisa membuatmu menjadi
manusia berkualitas” ucapan penuh kehangatan.
“Kelihatannya mama selalu saja gagal
menarikmu dari sebuah jurang, tetapi semua itu tidak akan bertahan lama…”
ucapan mama sambil menarik nafas dalam-dalam.
Angin malam seakan berteriak pula
menyadari bagaimana seorang ibu sedang berjuang. Pertarungan hebat sedang
terjadi antara jurang gelap dan kekuatan seorang ibu. Siapa yang akan menang? “Waktu
akan berbicara tentang tangan kuat mama untuk menarikmu” sekali lagi mendekap
kuat tubuhku.
Apa saya berubah setelah mendengar
pernyatan tersebut? Hal terbodoh adalah percaya akan perubahan besar sekitar
jalanku. Karakter buruk sosok Kenaz jauh lebih kacau lagi dari sebelumnya.
Sepertinya mama gagal total melawan jurang gelap untuk membawahku kembali.
Kebiasaan buruk tetap saja kulakukan tiap harinya bahkan menjadi iblis
terjahat.
“Pergi sana!” bersikap kasar terhadap
Hershel bocah kecil anak bungsu mama.
“Kenapa bisa Hershel memiliki dua kakak
iblis di rumah?” Hershel.
Hanya
bocah kecil itu yang selalu setia berdiri di samping mama. Si’bungsu akan
selalu menjadi pahlawan ketika dua manusia iblis mulai menciptakan kegaduhan
dasyat di rumah. Berusaha menyelesaikan semua pekerjaan rumah seorang diri
merupakan ciri khas manusia polos semacam dirinya. Adikku tidak akan pernah
membiarkan mama menyentuh pekerjaan seorang diri. Membantu berjualan setelah
pulang sekolah adalah hal biasa yang dilakukan oleh si’bungsu.
“Ada mangsa baru tuh di sana” Bara teman
perkumpulan sekaligus ketua geng melirik seorang anak ingusan sedang berjalan
di tempat sepi.
“Hershel” berujar dalam hati.
Saya memang membenci anak ingusan itu,
tetapi bukan berarti harus menjadikan mangsa. Teman seperkumpulanku terlebih
Bara sama sekali belum menyadari wajah adikku. “Apa kau tidak kasihan terhadap
anak kecil seperti dia?” berusaha menghalangi jalannya.
“Sejak kapan Kenaz menaruh rasa kasihan
terhadap seorang anak kecil” Bara.
“Maksudku cari saja orang lain bukannya
memperalat anak kecil” balasku.
“Masa bodoh” Bara.
“Sekali saja kau menyentuh adikku, tentu
dua kakimu akan patah seketika” berkata-kata di dalam hati.
Berusaha mengalihkan perhatian Bara agar
tidak menjadikan Hershel sebagai mangsa baru. Saya bisa membayangkan bagaimana
wajah sedih mama pada akhirnya. Bisa dikatakan terkadang sisi malaikatku
berbicara di sisi lain, namun lebih banyak sisi iblislah yang sedang
menonjolkan dirinya di sekitar jalanku. “Lain kali kalau jalan pulang jangan
lewat di belakang gedung sana” menggertak si’bocah ingusan setelah berada di
rumah.
“Hershel jalan kemanapun bukan urusan
kakak” sikap benci sang bocah.
“Ini anak kalau ditanya malah ngeyel”
menepuk kepalanya.
“Kenapa Tuhan bisa mengirimkan dua kakak
iblis buat Hershel sih?” Hershel.
“Dasar bocah” meledek dirinya.
“Ambilin minum dong!” menggertak sang
bocah dodol garut…
“Hershel bukan pembantu” balas Hershel.
“Siapa juga bilang kalau si’bocah
pembantu?”
“Keterlaluan” Hershel.
Hal selanjutnya yang sedang terjadi adalah
perkelahian dua kakak beradik. Jambak menjambak rambut seperti anak perempuan
makin histeris dilakukan oleh kami. Adu mulut pun lebih ganas lagi jauh sangat
kacau dibanding sosok bibi Carlota dalam sebuah telenovela. Tiba-tiba saja
ka’Lavi datang menyiram kami berdua dengan seember air kotor. “Jangan membuat
keributan” ka’Lavi berkata-kata.
“Saya mau buat keributan atau tidak, kan
terserah saya dong” salah satu tanganku mendorong tubuh ka’Lavi.
“Besok saya ujian kelulusan, jadi,
jangan mencoba mencari masalah denganku”ka’Lavi.
“Kalau saya mau tetap ribut, emang
kenapa?” pertanyaanku.
“Dasar manusia bodoh, gila, preman
kampung, biadap, selalu tinggal kelas” ka’Lavi.
“Apa kau bilang?” rasa geramku makin
tidak tertandingi.
Sebuah pukulan ke wajah ka’Lavi mendarat begitu saja hingga
mengeluarkan darah. Perkelahianku sekarang bukan lagi bersama sang bocah
melainkan si’manusia keparat satu ini. “Sialan” kata memaki makin menyerang
setelah mendapat balasan pukulan.
“Adik gila” ka’Lavi.
“Tukang tinggal kelas” makin histeris
berteriak.
“Rasakan ini” pukulan ke wajah ka’Lavi
makin heboh.
Kakakku hanya pandai dalam mengumpat
ataupun mengejek, tetapi sangat jatuh ketika adu jotoh alias berkelahi. Selalu
saja kalah sampai mengeluarkan darah maupun luka lebam menjadi ciri khas
ka’Lavi. “Hentikan kelakuan gila kalian!” mama akhirnya datang juga.
Sejak tadi saya sedang menunggu mama
buat melerai kami berdua. Hal terbodoh dalam hidupku adalah merindukan teriakan
mama di tengah-tengah pertengkaran. Kenapa juga sisi rapuh sosok iblis
sepertiku gentayangan begini? Bisa dikatakan hidupku benar-benar sudah gila.
Membenci sikap lembut, tenang, senyuman wanita yang sudah melahirkan saya.
Kekacauan lain lagi adalah terkadang mencari tiga pribadi ciri khas mama.
“Mama, maaf membuatmu kecewa” segera
sang bocah Hershel bersujud di kakinya.
“Hershel tidak bermaksud menyakiti mama”
Hershel.
Menendang pintu demi menutupi suasana
rapuh di hatiku. Saya tidak ingin mama menyadari rasa mendambakan banyak hal
darinya. Bagaimanapun sosok Kenaz hanyalah manusia iblis yang sedang tinggal di
sebuah jurang. Terus terang, benteng pertahanan sang penguasa gelap memang
terlalu kuat bahkan terlalu sulit untuk dihancurkan.
“Kenaz butuh kekuatan mama untuk
menghancurkan benteng tersebut” kalimat terbodoh yang tiba-tiba muncul begitu
saja di waktu tak terduga.
Sadarkan dirimu Kenaz! Jalanmu tidak
mungkin bisa berubah sekalipun kekuatan seorang ibu berjuang keras membawamu
keluar dari sebuah jurang. Pertanyaan tentang seberapa persen kekuatan mama
bisa berhasil melawan jurang iblis masih terus terngiang. Apa mama akan
berhasil? Tarian kemenangan iblis makin histeris menampakkan tawanya di sekitar
jalanku. Senjata seperti apa sih yang akan mama gunakan untuk membuatku dapat
berjalan keluar?
“Dasar brengsek” menendang pintu rumah.
“Manusia
gila” ka’Lavi histeris sangat jengkel. Begitulah kelakuan kami bertiga tiap
bertemu. Tidur harus sekamar di atas sebuah raanjang sederhana. Pertengkaran,
perkelahian, satu sama lain tidak mau mengalah menjadi ciri khas Yagil
bersaudara. Apa sih di pemikiran mama hingga membuat kami harus sekamar?
Rasa-rasanya saya muak tiap berjalan menuju tempat tidur dan melihat mereka
berdua. Bagaimanapun suasana buruk yang sering kulakukan di luar sana, tetapi
tetap saja tubuhku selalu ingin tertidur pulas di rumah.
Saya benci melihat setumpuk buku milik
ka’Lavi di kamar. Rasa membosankan pajangan poster para pemain bola kesayangan
Hershel berhamburan di mana-mana. Mereka berdua memiliki kebiasaan aneh,
sedangkan diriku sendiri lebih menyukai memalak atau menjadi preman di
mana-mana.
“Apa pertengkaran kalian sudah
berakhir?” mama seolah tidak terpancing melihat sikap kami. Hershel sudah
terlihat ketakutan ketika tatapan mama mulai menatap tajam, namun masih dalam
keadaan sangat tenang. Kenapa bisa ada orang tua semacam ini? Apa memang kata
tegas tidak pernah bisa terlihat dalam dirinya? Lantas, tatapan tajam tersebut
menyatakan makna dimana?
Dua tangan mama benar-benar sangat kuat
menahan sewaktu salah satu dari kami ingin mendorong tubuhnya untuk melawan
atau menyatakan rasa tidak suka. Saya belum pernah melihat air mata menetes
dari wajahnya sekalipun. “Kemarin dan hari ini mungkin mama selalu saja kalah
memegang kalian” kata-kata dia membuat kami hening seketika.
“Esok hari pasti mama bisa memegang
kendali bahkan jauh lebih kuat untuk menarik kalian menuju satu alur yang
mungkin sulit dilupakan” kembali mulutnya berkata-kata.
“Kalau semua ucapanmu gagal?” ka’Lavi
membalas dingin.
“Mama akan berjuang lagi keesokan
harinya” jawaban mama.
“Kalau kembali gagal?” ka’Lavi.
“Mama akan kembali berjuang dan berjuang
kemudian terus berjuang tanpa henti” sikap tenang menjawab pertanyaan ka’Lavi.
“Kekuatan seorang ibu dapat mengalahkan
segala-galanya termasuk pintu keras di hatimu ataupun rasa malu karena keadaan
tidak seperti yang kau inginkan” ucapannya lagi.
Bagian 3…
Suasana cukup tegang antara seorang ibu
dan ketiga anaknya sedang terjadi. Apa hidup tidak pernah berpihak terhadap
sang wanita tua ini? Hal terhancur dari bagian hidupnya adalah berjuang seorang
diri membesarkan ketiga buah hati tanpa bantuan siapapun. Perselingkuhan sang
suami bersama banyak wanita di luar sana membuat jalannya semakin hancur tanpa
belas kasih sedikitpun.
Lavi anak pertamanya sudah berusia 17
tahun sangat malu mengakui ibunya sendiri di hadapan orang banyak. Lavi sengaja
mencari sekolah jauh dimana tidak seorangpun mengenal identitasnya. Duduk di
tingkat akhir sekolah lanjutan atas tidak menyadarkan sesuatu pada diri Lavi
tentang perjuangan seorang ibu. Tuhan seperti tidak pernah adil atas hidup sang
wanita tua bernama Nayara Yagil.
Anak kedua bernama Kenaz bersama
karakter jauh lebih buruk lagi dibanding sang kakak. Dikarenakan kenakalan
remaja sehingga berulang kali sang ibu menghadapi masalah cukup sulit. Selisih
jarak usia Kenaz hanya setahun dari kakaknya Lavi. Pertarungan seorang ibu
diantara beberapa variasi kata seolah tidak memiliki ujung sama sekali.
“Semua bisa saja menghancurkan jalan
hidupku, tetapi sebagai ibu saya akan buktikan betapa kuatnya tanganku membawa
ketiga sang jagoan menuju petualangan,” suara hati wanita tersebut memandang
pertengkaran di antara anak-anaknya.
“Tanpa seorang ayah di samping mereka,
dua tanganku pasti bisa membuat satu alur cerita terbaik di antara ribuan
cerita orang banyak bagi ketiga anakku” bisikan pernyataan itu berteriak kuat
di sekitar ruang dinding hatinya.
Berusaha menahan amarah tiap menatap ke
arah ketiga anaknya. Hershel sang jagoan paling bungsu masih berusia tujuh
tahun memiliki karakter berbeda di antara mereka. Pergumulan terberat sang ibu
berada pada garis titik terberat dari anak pertama dan kedua. Dunia si’bungsu
bisa dikendalikan oleh sang ibu sekalipun terkadang terdapat nada-nada cerita
tidak biasa di dalamnya.
“Maafkan Hershel” si’bungsu tertunduk
ketakutan.
Hershel begitu menyayangi sang mama
sehingga berjuang keras menjadi anak baik. Wanita itu terdiam mendengar
pernyataan anak bungsunya. Pertengkaran masih terus terjadi di antara anak
pertama dan kedua. Ibu Nayara dengan sabar menunggu bahkan membiarkan Kenaz
menendang apa pun di depan mata. Sikap marah berusaha dikendalikan oleh sang
ibu sambil mengepalkan kuat-kuat dua tangannya diam-diam.
Di akhir carita, terjadilah dialog
antara ibu dan ketiga anaknya. “Saya akan berjuang menemukan ribuan cara
menghancurkan ruang gelap di sekitar jalan mereka sekalipun ribuan kegagalan
terus saja tertawa di depanku” suara hati sang ibu kembali bergema.
“Kenaz mau makan” tiba-tiba saja anak
keduanya berteriak mengalihkan percakapan dialog antara Lavi bersama sang ibu.
“Mulai sekarang, Kenaz harus belajar
memasak seperti adikmu Hershel” ibu Nayara.
“Kalau Kenaz tidak mau?” Kenaz.
“Jangan makan” sisi tegas dari seorang
ibu mulai terlihat.
“Berisik” sikap dingin Lavi berjalan
meninggalkan mereka.
Alur cerita sosok ibu sebagai pemeran
utama akan terus berjalan. Jangan memandang remeh kekuatan pada dirinya ketika
berjuang menciptakan satu objek tidak biasa. Permainan ombak bisa saja menari
sambil tertawa, tetapi dua tangannya jauh lebih kuat untuk memainkan irama nada
cerita terbaik bagi kehidupan sang buah hati. Air mata tersembunyi sedang
ditampung oleh Tuhan hingga menciptakan lingkaran kemenangan.
“Kalau
semua ucapanmu gagal?” bayangan percapakapan tadi terus saja menghantui
Lavi..
“Mama
akan berjuang lagi keesokan harinya” jawaban ibu Nayara.
“Kalau
kembali gagal?” Lavi.
“Mama
akan kembali berjuang dan berjuang kemudian terus berjuang tanpa henti” ibu
Nayara.
“Kekuatan
seorang ibu dapat mengalahkan segala-galanya termasuk pintu keras di hatimu
ataupun rasa malu karena keadaan tidak seperti yang kau inginkan” ucapannya
lagi.
“Selalu saja terlihat tenang” Lavi
bergumam seorang diri dalam kamar.
Dua adiknya tertidur pulas di atas
tempat tidur, sedang Lavi sendiri berjalan bagai pencuri seperti biasa pada
jam-jam tidur semua orang. “Kenapa saya selalu saja melakukan hal bodoh?”
mengumpat pelan sambil mencoba mendengar sesuatu dari kamar sang ibu.
Seakan ada sesuatu mendorong tubuh Lavi
tiap jam tidur orang di malam hari untuk mencoba menguping dialog percakapan
antara sang ibu bersama Tuhan melalui balutan doa. Apa sih defenisi kekuatan
pada satu kata dalam diri seorang ibu? Lingkaran, debu, angin, serpihan nada
cerita menyatu di sekitar alur jalan seorang ibu. Ribuan kata sulit dilukiskan
hanya dengan melihat satu objek saja. Tempat tersembunyi menjadi saksi betapa
kuat dinding hatinya bertahan di setiap deru lingkaran pertandingan.
“Kata lemah tidak akan berperan pada
sosok ibu sepertiku bagi ketiga anaknya.” Ibu Nayara duduk mencurahkan segala
isi hati terhadap sang pencipta. Kamar berukuran kecil menjadi saksi bisu
bagaimana air matanya mengalir deras tiap malam.
Lavi duduk termenung berpikir tentang
pemandangan tiap malamnya. “Tuhan, apa saya salah menginginkan sosok ibu
cantik, pintar, kaya, tidak kampungan?” pertanyaan Lavi membayangkan kembali
bentuk wajah sang ibu.
“Tapi dia terlalu banyak menderita
karena kelakuanku dan Kenaz” salah satu kakinya terus menendang sebuah botol
minuman.
“Mau kemana?” beberapa kelompok preman
menghadang jalannya ketika pulang dari sekolah. Lavi tidak pernah tahu jika
ternyata mereka suruhan teman sekolahnya alias musuh bebuyutan sendiri.
Xoan dikenal sebagai musuh sekaligus
saingan terberat Lavi di sekolah. Perjuangan merebut nilai terbaik mengalahkan
Lavi hanya sebagai aksi balas dendam. Bagaimana tidak cewek paling ditaksir
olehnya menyukai cowok lain di sekolah. Seluruh siswa maupun guru menyukai
kepribadian Lavi Yagil.
Kekacauan lain lagi adalah Lavi Yagil
menolak mentah-mentah pernyataan cinta seorang cewek cantik yang selalu
beradadi hati Xoan. Tangisan sedih itulah menjadi penyebab Xoan membayar
beberapa preman untuk memberi pelajaran terhadap Lavi. Darah segar mengalir
memenuhi tubuh Lavi seketika akibat pukulan demi pukulan dari mereka.
“Hentikan” teriakan histeris seorang
wanita tua. Tiba-tiba saja ibu Nayara melewati jalan tersebut hingga
pemandangan kurang menyenangkan terpampang jelas di sana. Mencari cara agar
para preman berhenti memukuli anak sulungnya. Sengaja membunyikan sirene polisi
yang entah dari mana di dapat sang ibu.
Tubuh anak remaja itu terbaring lemah di
tanah. Sang ibu berusaha membawanya memakai sebuah gerobak sampah. Membaringkan
di atas tempat tidur setelah berada di rumah sambil membersihkan noda darah
segar di sekitar tubuh Lavi. “Defenisi ibu” suara hati anak remaja tersebut
berbisik menatap ke arah sang ibu.
“Kenapa?” pertanyaan Lavi berusaha
menghentikan tangan sang ibu.
Ibu Nayara terus mencoba kembali
membersihkan luka-luka pada tubuh Lavi. “Kenapa?” sekali lagi pertanyaan Lavi
mencuat menatap dirinya.
“Harta berharga mama adalah Lavi dan dua
adikmu” ibu Nayara.
“Mama sudah menjawab pertanyaan kenapa
darimu, sekarang biarkan mama merawat harta terbaik itu sekarang” ibu Nayara
melanjutkan kembali gerakan tangannya membersihkan seluruh luka-luka di sekitar
tubuh Lavi.
“Tidak pernah marah” suara hati Lavi
berteriak kembali.
“Selalu saja bersikap tenang” Lavi masih
berkata di ruang dinding hatinya. Anak remaja semacam Lavi hanya membutuhkan
waktu mengenal tentang objek defenisi sosok ibu terbaik. Kehilangan fugur ayah membuatnya
mencari petualangan buruk bahkan terkesan hambar ketika mencoba mencari arti
kehangatan.
Semalaman sang ibu terus berjaga di
sampingnya, sedang Kenaz maupun Hershel harus tidur di luar. Membelai rambut
wanita tua membuat Lavi menyadari serpihan kertas tanpa kekuatan seorang ibu
akan terlihat hambar. Retakan demi retakan boleh saja memberi pukulan-pukulan
menyakitkan, tetapi tangan sang ibu jauh lebih kuat untuk membuatnya berbeda.
“Maaf selalu saja menyakiti hatimu” Lavi
tanpa sadar menjatuhkan air mata.
“Lavi butuh mama berjuang tidak mengenal
waktu agar membuatku tahu petualangan seperti apa yang sedang menanti di depan
sana” suara hati tersebut kembali bergemirincing di dalam. Wanita tua tertidur
pulas di sampingnya bahkan tak menyadari kejadian barusan.
Kenaz diam-diam memperhatikan cara
kakaknya membelai rambut wanita tua tersebut. “Ucapan mama kemarin mulai
menyatakan kemenangan terhadap ka’Lavi” bergumam pelan sambil dua mata Kenaz
mengintip di belakang pintu kamar.
“Apa mama juga akan berhasil memenangkan
pertandingan melawan jurang gelap untuk merebut hidupku kembali?” sosok Kenaz
merenung sepanjang malam.
“Benteng pertahanan jurang gelap terlalu
kuat hingga membuatku tak bisa menjadi seperti yang mama inginkan” Kenaz
menderu dengan wajah terlihat gusar.
“Kenaz sudah berada di jurang paling
dalam sampai-sampai tangan mama sulit membawaku keluar” menggerutu seorang diri
di tengah keheningan malam.
Ruang hatinya menyadari tentang
perjuangan seorang ibu untuk membuatnya menatap satu pelita kecil. Dia hanyalah
anak remaja dengan usia sangat labil sama seperti remaja lain. Rasa haus
mencari perhatian dari sosok ayah menjadikan hidup anak semacam dirinya
berjalan dalam suasana lumpur. Tidak ada orang tua sempurna di dunia ini,
begitupun sebaliknya dari kisah keluarga Yagil. Butuh waktu lama bagi kehidupan
banyak anak untuk mengerti tentang banyak objek termasuk perjalanan pola pikir
para orang tua yang sedang menciptakan sudut pandang tersendiri.
“Saya
ingin keluar dari tempat gelap, tetapi dua kakiku tidak pernah bisa berdiri”
Kenaz berkata-kata kembali di dasar hati…
“Ka’Kenaz kenapa belum tidur?” Hershel
tiba-tiba saja terbangun.
“Berisik” Kenaz sedikit kesal mendengar
pertanyaan adiknya.
“Kan Cuma Tanya doang” Hershel.
“Bukan urusanmu” sikap kasar Kenaz.
“Saya benci melihat nyamuk-nyamuk gila
di ruang ini” Kenaz.
“Perasaan kakak saja digigit nyamuk”
Hershel.
“Anak kecil bisa diam ga?” Kenaz.
“Tidak” Hershel.
“Seluruh gambar pemain bola kesayanganmu
bisa saja saya bakar kalau mulutmu terus ngoceh” Kenaz.
Hershel terdiam seketika mendengar
ancaman sang kakak. Mereka berdua pada akhirnya tertidur kembali setelah
percakapan tersebut. “Kenapa pelukan kakak kuat banget sih?” Hershel tersadar
sesuatu ketika terbangun di pagi hari.
Tanpa sadar peluk memeluk satu sama lain
terjadi. Dua adik kakak dikenal tidak pernah akur kaget karena kejadian
tersebut. “Minggir sana” Kenaz segera mendorong tubuh sang adik.
“Perasaan kakak memang sengaja memeluk
Hershel” kekesalan si’bungsu.
“Berhenti bicara bawel” Kenaz.
Dua anak itu tidak sadar jika ibu mereka
sedang tertawa karena hal tersebut diam-diam. “Saya akan sabar menunggu waktu
itu tiba” ibu Nayara tersenyum di ruang dapur berukuran sangat kecil.
Seorang ibu yang sedang ingin mengejar
mimpi bahkan membuktikan pada dunia akan titik lemah pada dirinya merupakan
sebuah kekuatan luar biasa bagi ketiga sang jagoan. Hari kemarin dan sekarang
hanya bercerita tentang jalanan tanpa kualitas maupun seni, tetapi hari esok
akan berkata lain. Dunia seorang anak hanya membutuhkan perjuangan sosok ibu
dibalik ketidaksempurnaan dirinya.
“Saya akan belajar untuk tidak pernah
membencimu” ibu Nayara menatap foto seorang pria di dalam kamarnya.
“Kebencian terhadapmu hanya akan
menghancurkan masa depan terhadap ketiga anakmu” ucapan wanita tersebut
kembali.
“Sebagai ibu yang baik, saya akan
belajar mengajarkan mereka untuk tidak pernah menjadi pembenci terhadap ayahnya
sendiri,” kata-kata bijak seorang ibu yang ingin melihat sebuah nilai bagi
ketiga anaknya kelak. Memberi teladan yang baik melalui diri sendiri memang
sangat sulit, namun para orang tua harus bisa menempatkan beberapa objek ketika
ingin membentuk kualitas hidup seorang anak.
Bagian 4…
Nayara Yagil…
Ketika sebuah lorong kecil mencoba
mempermainkan dua kaki dengan irama tarian terkacau pada tiap-tiap sisinya
menjadikan dunia terlihat hambar. Pecahan demi pecahan kaca menghiasi jalan di
depan tanpa terlihat ujung sama sekali. Objek lain tiba-tiba saja muncul seolah
ingin tertawa lebar sambil memainkan kembali satu kisah. “Sayuran segar…sayuran
segar…” mengayuh sepeda berkeliling kompleks berjualan sayur.
Dunia seolah tidak pernah adil terhadap
wanita sepertiku. Dinding ruang itu berteriak kuat hingga tiap jalan hanya akan
bercerita tentang lumpur, retakan beling, duri tajam, bersama permainan hidup
tanpa batas. Semua mata hanya bisa memberi penilaian dari sisi luar bahkan
mereka tidak pernah tahu tentang beberapa objek yang sedang bertempur pada sebuah lingkaran di
dalam ruang tersebut. Kedua kaki harus bisa menahan rasa sakit ketika hendak
berjalan.
Seorang wanita dengan beban berat ingin
belajar memetik lembaran demi lembaran dibalik sebuah perjalanan sekalipun
terdengar menyakitkan ketika berlari pada satu deretan petualangan. “Memiliki
tiga anak laki-laki di rumah tanpa seorang ayah, pasti berat yah” salah seorang
pelanggan menyadari tentang permainan ombak yang terus saja menari-nari pada
alur cerita hidupku.
“Nggak juga” berjuang untuk menampilkan
sisi kuat…
Menjalani satu keadaan menyedihkan
memang tidak mudah bahkan lebih dari pemikiran semua orang. Di tinggal pergi
karena permainan objek beberapa tahun silam. Perselingkuhan, factor ekonomi,
kelemahan merupakan perpaduan paling tepat untuk gambaran rumah tanggaku
kemarin. Sempat terlintas ingin mati, entah kenapa seolah sesuatu menahanku
tiba-tiba.
Saya harus hidup demi masa depan ketiga
jagoan kecilku. Kekuatan seorang ibu dapat memberi seni terhadap petualangan
anaknya kelak. Alasan inilah menjadi penyebab dua kaki ingin terus berjalan di
tengah-tengah tarian ombak. “Semangat” tetap tersenyum seolah masa pahit
kemarin tidak pernah terjadi.
“Jangan terlalu kerja berat!” kalimat
Lavi sangat dingin. Saya merasa kalau putra sulungku mulai peduli atas keadaan
ibunya sendiri. Putra sulungku memiliki cerita lain dikarenakan karakter pada
dirinya terdengar cukup kacau. Tuhan memang sengaja memberiku tiga anak dengan
sifat berbeda antara satu sama lain. Apakah Tuhan menghukum wanita semacam
diriku?
Ditinggal suami karena perselingkuhan
memang terdengar menyedihkan. Pada sisi lain, saya harus bergumul akan dua
kisah menyimpang dari jalur buah hatiku. Apa Tuhan memang terlalu kejam?
Kenyataannya adalah sang pencipta sengaja membuatku berhadapan akan objek
tersebut demi satu alur seni. Seorang ibu diajar untuk berjuang, bergumul, bersikap
bijak ketika berhadapan dengan permasalahan jalur hidup sang anak yang memang
terlihat berada di tempat salah.
Terkadang seni terbentuk di dunia
seorang ibu bukan karena prestasi sang anak, melainkan sikap bijak ataupun
pergumulan untuk menggenggam anak itu sendiri. Ada banyak ibu kecewa melihat
sikap sang buah hati dikarenakan kelakuan konyol bahkan hal terkacau selalu
saja menciptakan rasa malu bagi keluarga. Di balik itu semua, ternyata Tuhan
hanya ingin menciptakan satu alur tertentu dengan cerita manis di dalamnya.
Tanpa seorang pemimpin keluarga bukan
berarti saya tidak bisa membentuk kualitas hidup ketiga jagoan kecil. “Masakan
mama sangat tidak enak” Kenaz sedikit menendang kursi di depannya.
Apa saya harus marah terhadap kelakuan
putra keduaku? Ini hanya sebuah jalan menuju petualangan cerita seorang ibu.
Seni perjalanan bersama kekuatan seorang ibu, terkadang tidak akan terlihat jika semuanya serba lurus
tanpa permasalahan. Kerikil tajam itu bisa membuatku sadar tentang cara untuk
menjadi sebuah pelita kecil bagi ketiga jagoan.
Saya hanya harus berjuang sekali lagi
untuk merebut tangan jagoanku kembali. Hari ini gagal memang selalu saja
menertawakan jalanku, tetapi sebagai ibu kata mencoba bahkan terus mencoba akan
terus kulakukan. Tiap memiliki masa berdiri, bertahan, berjalan, berlari,
menggenggam, melempar, ataupun beberapa tindakan-tindakan tak terduga yang
terkadang menyatakan mimpi ataukah sebuah kesalahan buatnya. Peranan ibu sangat
dituntut seperti apa pun suasana hari ini maupun esok.
“Berikan padaku gerobak sayurmu” entah
bagaimana bisa Lavi menarik kuat gerobak sayur dari tanganku.
“Biar mama saja” tidak membiarkan putra
sulungku menariknya.
“Seminggu ini liburan sekolah biar saya
saja melakukan pekerjaan jualan sayur” Suara dingin Lavi.
“Memang Lavi bisa?” pertanyaanku.
“Tanganmu sudah terlalu kasar,
sekali-sekali gunakan lotion biar terlihat lembut sedikit” melemparkan sebotol
lotion kulit.
Apa keajaiban sedang terjadi denganku
hari ini? Sikap Lavi benar-benar berubah di luar dugaan. Rasa malu mengakui ibu
dekil sepertiku tidak pernah terlontar lagi di sekitar mulut putra sulungku.
Mendorong tubuh ibunya dengan sangat kasar hilang seketika. Saya tidak pernah
melihat dia mencuci pakaian, tetapi pertama kali tangannya sedang mengangkat
air buat cucian. Seluruh perabotan rumah pun dibersihkan tanpa debu sebutirpun.
Apa saya menang? Dia tidak pernah lagi
mengancam adiknya Hershel karena permasalahan gambar para pemain bola yang
selalu saja memenuhi tiap ruang di rumah kecil kami. “Ternyata kau hanya anak
orang miskin tapi berpura-pura kaya” tidak sengaja saya mendengar seseorang
melemparkan hinaan terhadap Lavi.
“Hanya penjual sayur tapi berkata kepada
semua orang kalau memiliki hotel berbintang di luar negeri” salah satu dari
mereka kembali tertawa.
Dia hanya terdiam ketika semua
teman-temannya membuly. Sejak dulu Lavi memang sengaja mencari sekolah guna
menutup identitas keluarga, namun entah kenapa tiba-tiba saja keadaan berkata
lain. Menerima perlakuan mereka dan membiarkan dirinya diejek seolah jawaban
kalau semua hal tersebut memang pantas diterima olehnya. “Dengar-dengar mau
kuliah di luar negeri yah? Pertanyaan sambil tertawa…
“Emang bisa?”
“Uang dari mana?”
“Sekarang saja sosok Lavi Yagil hanya
berjualan sayuran di jalan-jalan” kembali kalimat tersebut terucap oleh mereka.
“Jangan mimpi kuliah di kampus terbaik
di luar negeri sana kalau kau tidak memiliki uang sama sekali”…
Seperti ada sesuatu menghentikan
langkahku berjalan di depan mereka. Membiarkan Lavi menghadapi masalahnya bukan
karena sang ibu terlihat lemah, melainkan hanya ingin mengajar untuk bersikap
bijak melihat keadaan. Berusaha terlihat kuat sambil terus menarik gerobak
sayur dan tidak lagi memperdulikan omongan teman sekolahnya.
“Dia berubah” hati seorang ibu berkata-kata
menatap anaknya.
Usia remaja merupakan masa labil bagi
tiap anak. Kesalahan demi kesalahan dilakukan hanya karena ingin menampilkan
sisi terbaik di depan semua orang. Mendapat pengakuan merupakan hal paling
berharga pada masa tersebut. Begitupun sebaliknya dari hidup Lavi hingga
membuat banyak kebohongan besar ketika berada di sekolah.
“Makanlah selagi ubi jalar ini masih hangat”
menarik kursi di kamar Lavi beberapa hari setelah kejadian tersebut.
Dia tetap diam menatap sebuah buku. Rahasia
terbesar kalau ternyata dirinya bukanlah anak konglomerat melainkan hanya
berasal dari keluarga miskin terbongkar habis di sekolah. Salah satu guru
sekolah Lavi bercerita banyak mengenai situasi yang dialami olehnya. Jauh-jauh
hari sebelum peristiwa tersebut terjadi. Kebetulan guru itu merupakan langganan
sayur sehingga identitaskupun diketahui seketika.
Lavi selalu menjadi bahan tertawaan
teman-teman sekolahnya sejak rahasia tersebut terbongkar. Seseorang
mengabadikan beberapa gambar ketika dia sedang berjualan sayur selama liburan.
Diam tidak pernah membalas ledekan demi ledekan karena Lavi sadar kalau semua
kesalahan ini berasal darinya sejak awal. Tidak bercerita sekalipun di rumah
tentang masalah yang sedang dia hadapi.
“Mama ingin menggenggam kuat tanganmu,
apa boleh?”
“Apa mama bisa jadi sahabat buatmu?”
melemparkan kembali pertanyaan.
Dia hanya diam sambil terus menatap ke
arah buku bacaan miliknya. “Maaf karena mama tidak pernah bisa menjadi orang
tua sempurna” sekali lagi berkata-kata.
“Mungkin kakak Lavi butuh waktu, tapi
mama akan menunggu” berbicara lagi.
“Maaf karena selalu merasa malu memiliki
mama sepertimu” pertama kalinya anakku berucap kata tersebut sambil menundukkan
kepala.
“Buktikan pada Lavi kalau tangan mama
memang lebih kuat untuk sebuah cerita petualangan dan tidak sama dengan seluruh
ibu di luar sana” Lavi.
Dia ingin membuatku berjuang. Anak
remaja semacam dirinya berada pada situasi labil dan menginginkan pembuktian
dari tiap pernyataan di depan mata. “Tentu saja mama akan berjuang membuktikan
sesuatu” berbisik di telinganya.
“Tangan mama akan berjuang biar kakak
bisa menggenggam sebuah bintang” berbisik kembali.
Putra sulungku hanya diam seribu bahasa
mendengar ucapanku. Tanpa sengaja saya membaca beberapa kampus terbaik tertulis
rapi pada halaman depan buku miliknya. “Dokter” satu kata tertulis jelas di
bagian lain buku tersebut. Mimpi anak remaja di depanku ternyata berada di
sebuah fakultas kedokteran dari kampus ternama.
Diam-diam saya belajar membuka dunia
internet melalui beberapa petunjuk dari guru sekolahnya. Ibu Fia banyak
membantu dalam situasi-situasi macam sekarang. Saya bukan sosok ibu jenius
dengan pendidikan tinggi sesuai keinginan Lavi, tetapi tanganku akan berusaha…
Mencari beberapa informasi pendaftaran
kampus-kampus terkemuka. Mencoba melingkari data-data penting berhubungan
dengan studi keluar negeri. Saya akan buktikan terhadap Lavi tentang kekuatan
seorang ibu di setiap cerita hidupnya. “Kakak Lavi harus membaca semua
buku-buku ini” menyerahkan setumpuk buku di atas meja belajarnya. Dia sama
sekali tidak mengerti kelakuan sekarang.
“Ibu Fia berhasil berhasil mengumpulkan
semua buku-buku bekas hanya buatmu seorang” jawaban raut wajah penuh tanda
Tanya di sekitar wajahnya.
“Kejar mimpimu” berbicara kembali.
“Mengejar?” dia tertawa sinis.
“Mama akan buktikan cerita petualangan
berbeda buatmu dibanding anak lain di luar sana” berkata-kata menatap ke
arahnya.
“Memang bisa?” Lavi.
“Berjuang saja dulu dan jangan pikirkan
hal lain” kekuatan tangan seorang ibu jauh lebih kuat bagi sang buah hati.
Saya harus berpura-pura tidak pernah
tahu bagaimana teman-temannya melakukan pembulyan. Apa sosok ibu sepertiku
terdengar kejam? Ada saat dimana seorang anak harus belajar berdiri di
tengah-tengah sebuah situasi. Sepertinya Tuhan sengaja mengunci rapat mulutku
agar tidak memancing satu cerita pembulyan kemarin.
Mungkin
tingkat pendidikanku sangat rendah, akan tetapi apa pun akan kulakukan demi
mimpi Lavi. Belajar mengumpulkan informasi-informasi penting melalui akun
google tentang persyaratan kuliah pada salah satu kampus terbaik dunia. Semua
ibu bisa saja berkata kalau saya gila karena menginginkan Lavi harus lulus di
kampus tersebut. Saya tidak pernah tahu menahu cara melakukan download dan kali
ini tanganku harus belajar.
Kualitas otakku pun di bawah standar
untuk memahami bagian-bagian penting beberapa objek dari sebuah buku maupun
kata-kata tinggi dari apa yang sudah kubaca ataupun download. Lavi memang
memiliki IQ cukup tinggi, tetapi saya ingin menjadi pedang buatnya ketika
mengejar mimpi.
“Kau tidak perlu belajar karena
pembohong sepertimu mana mungkin diterima kuliah di luar sana” kembali hinaan
tersebut berkumandang sekitar telingaku.
Saya bisa menyaksikan bagaimana sosok
Lavi terus diam ketika mendapat pembulyan dari beberapa teman sekolahnya.
Kesalahan terbesar dia adalah berbohong memiliki keluarga kaya sehingga seluruh
siswa mengucilkan dirinya sekarang. “Bodohnya saya menyukai manusia pembohong
sepertimu” seorang siswi cantik berjalan ke arahnya.
“Xoan ayo pergi dari sini” siswi cantik
itu berjalan meninggalkan Lavi sambil berlinang air mata.
Apa dia pacar Lavi? “Kenapa kau masih
saja menangis buat manusia miskin semacam Lavi?” remaja pria bernama Xoan
menghentikan langkah sang gadis tidak jauh dari tempatku. Mereka tidak pernah tahu
kalau saya adalah ibu Lavi…
“Dia sudah berulang kali menolakmu
denganmu sangat kasar” Xoan berteriak…
“Tapi saya tetap menyukai dia” gadis
cantik terus saja menangis.
Mereka masih terlalu remaja untuk
mengerti cara menyukai lawan jenis. Siapa nama gadis cantik itu? Bagaimana bisa
sikap Penolakan Lavi membuat dia menangis? Sikap Lavi kemungkinan besar bukan
tanpa alasan. Tetap diam seribu bahasa sekalipun pembulyan di sekolah makin
memanas. Kenapa saya bisa tahu? Sepertinya Tuhan memang sengaja membuatku
melihat segala hal yang sedang menimpa dia dari hari ke hari.
Lavi tetap berusaha melakukan pekerjaan
rumah, belajar, bahkan menjadi penjual gorengan keliling. “Biar mama saja”
segera menarik sebuah kotak persegi besar berisi gorengan.
“Tanganmu sudah terlalu kasar biar Lavi
saja” segera menarik kembali kotak di tanganku.
Pagi hari berusaha mengerjakan pekerjaan
rumah sebelum ke sekolah. Menjajahkan gorengan di tiap sudut jalan setelah
pulang sekolah sambil berjalan kaki. Ketika malam tiba ternyata matanya tidak
pernah mengantuk untuk terus membaca buku-buku pemberianku maupun berasal dari
hasil copy paste di dunia google. Diam merupakan cara paling ampuh agar sang
ibu tidak terbebani akan sikap perbulyan di sekolahnya.
Tiga jagoanku memiliki karakter berbeda-beda.
“Apa mama bisa bicara sedikit saja denganmu?” mencoba bersikap setenang
mungkin.
“Mau bicara apa?” Lavi sibuk membaca
buku seorang diri di kamar. Dia berubah total dari hari ke hari. Tidak pernah
lagi terdengar pertengkaran antara saudara hingga terjadi perkelahian. Diam
membisu dan membiarkan Hershel menempelkan segala poster pemain bola
kesayangannya.
Berusaha menahan emosi ketika Kenaz
ingin memancing kemarahannya. “Tiap orang berhak menyukai siapa saja di
depannya berarti siapapun tidak memiliki hak memberi sebuah ejekan termasuk
sosok yang disukainya” pernyataan pembuka.
Saya ingin menyelesaikan masalah demi
masalah yang masih saja disembunyikan olehnya. Baik permasalahan pembulyan
karena berbohong dengan berpura-pura kaya ataupun kasus penolakan kasar
terhadap seorang gadis. “Mama tidak sengaja melihat temanmu menangis setelah
berbicara denganmu beberapa waktu lalu”…
Dia masih tetap diam seribu bahasa
menatap ke arah bukunya. “Jangan pernah melemparkan nada ucapan tidak baik dan
terdengar kasar terhadap gadis yang menyukaimu sekalipun wajahnya terlihat
sangat jelek” berbicara dengan sangat berhati-hati.
“Dia terus mengganggu di sekolah sampai
Lavi benar-benar muak” pertama kali nada kesal terhadap seorang gadis
diceritakan.
“Tiap orang berhak menyukai siapapun”…
“Lantas?” pertanyaan cuek Lavi.
“Tetap berlaku baik terhadap dia
walaupun dikatakan sikap orang tersebut terlihat menyebalkan hingga mengusik
semua hal di sekitarmu.”
“Kenapa?” Lavi.
“Lavi akan diperhadapkan 3 hal;
dinyatakan sebagai manusia sombong, bisa saja dia akan mempermalukan hidupmu
kelak dalam beberapa situasi seperti prestasi maupun masalah pasangan hidup,
kemudian…” ucapanku terpotong.
“Tuhan bisa saja memberi hukum dengan
memegang pernyataan system tabur tuai. Kesombongan tanpa sadar dalam hidupmu
akan menghalangi apapun di depanmu. Lebih parah lagi kalau mendapat jodoh kelak
lebih buruk ataupun selamanya tidak akan pernah menikah. Memangnya Lavi mau
hidup gitu?” melanjutkan kalimatku.
“Bagaimana kalau sikapnya terus saja mengesalkan?”
Lavi.
“Terkadang Tuhan mengizinkan beberapa
orang yang tidak kau sukai mengejar dirimu untuk melihat sisi berpikirmu berada
dimana. Apakah dalam dirimu kata rendah hati masih tersimpan kuat atau tidak
sama sekali.”
“Entahlah” Lavi.
“Tetaplah bersikap baik sejelek apapun
orang di depanmu selagi tidak melewati batas. Jalan hidupmu masih panjang ke
depan dan jangan rusak hanya karena hal semacam ini.” Ucapan ini memang
terdengar berceramah hingga banyak orang bisa saja mengantuk, akan tetapi seorang
anak harus mendapat didikan jauh-jauh hari. Rasa curiga berlebih dikarenakan
pemukulan terhadap Lavi memang berasal dari kasus tersebut. Semoga saja terjadi
secara kebetulan…
Bagian 5…
Lavi Yagil…
Semua temanku pada akhirnya menyadari
kebohongan yang selalu kusembunyikan. Hal tergila adalah sesuatu mendorong
tubuhku untuk berjualan sayuran. Tangan wanita tua semakin kasar terlihat
karena melakukan segala jenis pekerjaan. Belajar melakukan pekerjaan rumah
hanya untuk mengurangi rasa lelahnya. Xoan teman sekolah sekaligus musuhku
menyebarkan fotoku ketika berjualan di tiap jalan selama liburan. Dia tidak
sengaja melihatku berkeliling kompleks bersama gerobak di tanganku.
“Kau hanya anak miskin tapi berpura-pura
kaya” salah satu ocehan temanku. Wajahku memegang gerobak sayuran terpampang
nyata di seputar berita melalui aplikasi media sekolah, group WA, ataupun papan
pengumuman. Mereka semua memberi komentar-komentar jahat. Pada akhirnya akan
tetap ketahuan bagaimanapun saya menutup identitas keluargaku.
Di satu sisi, saya merasa senang karena
berpura-pura menjadi orang kaya membuatku terus hidup dalam tekanan. Di lain
sisi, rasa takut mendapat penolakan, terkucilkan, bahkan dibuly habis-habisan
menjadi alasan mulutku ingin terus berbohong. Sosok remaja sepertiku juga
memimpikan keluarga sempurna menurut versiku. Kenyataan hidup di depanku hanya
berkata tentang kemiskinan, perceraian orang tua, memiliki mama dekil juga
sangat jelek, kedua adikku terlihat kacau balau, dan masih banyak hal terburuk
lainnya.
“Si’miskin berpura-pura kaya.”
“Cocok dapat penghargaan acting
terbaik.”
“Cuma anak kuli kasar.”
“Pembohong kelas kakap.”
“Tukang sayuran ternyata”…
Ada banyak kalimat-kalimat kurang
menyenangkan bermunculan dimana-mana. Wajar mereka melemparkan nada kalimat buruk
tiap bertemu denganku. Beasiswa sekolahku keluar negeri terancam putus terlebih
Xoan berada di urutan teratas. Menyerah pada mimpiku? Rasa-rasanya terdengar
menyedihkan. Saya ingin berteriak sekeras mungkin tapi tidak pernah bisa
kulakukan.
“Kalau mau teriak ya teriak saja” ibu
Fia tiba-tiba saja duduk di sampingku.
“Tidak ada orang tua sempurna
bagaimanapun kau berekspektasi hingga berbohong terhadap mereka semua” Ibu Fia
berkata-kata lagi. Keadaan membuatku hidup dalam kebohongan. Bagaimana saya
harus berjalan sekarang?
“Ibu tidak pernah tahu rasanya hidup di
sebuah keluarga sepertiku” seolah saya ingin membenarkan diri.
“Terkadang mata tertipu oleh banyak
objek. Ada banyak orang kaya di luar sana bahkan memiliki segalanya, tetapi
hidup serba berantakan” Ibu Fia.
“Setidaknya mereka memiliki uang dan
koneksi agar bisa diterima, tetapi keluargaku sudah berantakan plus miskin di
level terparah lengkap sempurna”…
“Tapi Lavi memiliki mama terkuat yang
belum tentu orang banyak di luar sana miliki” ibu Fia.
“Dari mana ibu tahu tentang mama?”
“Berawal dari langganan sayur berujung
pada persahabatan” ibu Fia.
“Tidak seorangpun bisa memilih harus
lahir dari keluarga mana, akan tetapi pola pikir menentukan jalan ke depan” ibu
Fia.
Mama dan ibu Fia ternyata saling bertukar
pikiran hingga menjalin persahabatan. Saya tidak pernah tahu kalau ternyata
guru sekolahku mengenal wajah wanita tua. Sejauh ini keadaan membuatku hidup
dalam kebohongan. Suara hatiku selalu merindukan bahkan ingin berlari dalam
dekapan wanita tua, tetapi situasi berbeda berkata lain hingga membuat hidupku
terus berada dalam kata malu mengakui mamaku sendiri.
“Buktikan pada Lavi kalau tangan mama
memang lebih kuat untuk sebuah cerita petualangan dan tidak sama dengan seluruh
ibu di luar sana” kata-kata tersebut keluar begitu saja ketika mama masuk ke
kamar.
Saya ingin tahu tentang seberapa
hebatnya mamaku dibanding semua ibu di luar sana. Apakah ucapan ibu Fia benar
atau hanya kebohongan semata? “Lavi butuh
mama berjuang tidak mengenal waktu agar membuatku tahu petualangan seperti apa
yang sedang menanti di depan sana” bayangan kalimat tersebut terus saja
menghantui pikiranku. Mama selalu terlihat tenang sekalipun kondisi tidak
sesuai harapan. Tetap merawat luka pada tubuhku tanpa pernah mengingat kembali
hal-hal jahat yang sudah kulakukan.
Ungkapan doa mama seperti hantu
gentayangan dalam pikiranku. Ingatan kata demi kata selalu terngiang begitu
saja bersama raut wajahnya. Suara hati
berkata kalau ternyata tangan mama memang jauh lebih kuat, namun dua mataku
masih terpancing tentang objek-objek kesempurnaan di luar sana.
Tidak memiliki sekolah tinggi bahkan
bodoh dalam hal internet, tetapi demi sang anak dia terus berjuang. “Buku-buku
ini sudah digaris bawahi oleh mama” perjuangan seorang wanita tua. Mengumpulkan
banyak soal latihan dari beberapa buku maupun internet hanya untuk mimpi sang
anak. Rasa takut terhadap banyak penolakan hilang perlahan demi perlahan
dikarenakan melihat betapa kuatnya tangan seorang ibu hanya buatku. Secara
manusia, tidak mungkin lagi mimpi bisa menjadi kenyataan karena sebuah
kebohongan.
Beasiswa kuliah keluar negeri berpindah
tangan. Xoan menjadi pemegang utama beasiswa tersebut. Wanita tua tidak pernah
kehabisan akal untuk mencari informasi tentang beberapa jenis beasiswa lain.
Segala sesuatu pertama kali dilakukan demi mimpi sang anak. Mama membuatku
berhasil mendaftarkan diri di beberapa universitas luar negeri tanpa rasa takut
gagal sedikitpun. “Kekuatan terbaik darinya yang memang tidak akan pernah dimiliki
oleh ibu manapun” bisikan hati berteriak menatap ke arahnya.
“Lulus” mataku seketika terbelalak
melihat kata tersebut terkirim melalui emailku.
“Mama mama mama” pertama kali berteriak
histeris mencari mamaku.
“Lavi dinyatakan lulus” dan pertama kali
pula dua tanganku memeluk kuat dirinya.
Ucapan ibu Fia terjawab kalau ternyata
saya memiliki mama paling langka. Beasiswa sekolah mungkin saja berpindah
tangan, tetapi Tuhan membuatku lulus pada salah satu kampus paling bergengsi di
dunia. Oxford University merupakan kampus incaran semua orang. Saya akan
menjadi mahasiswa kedokteran hingga segala mimpi akan nyata di depan.
“Apa Hershel bisa memeluk kakak juga?”
adik kecilku tiba-tiba saja berdiri di samping.
“Jangan lama-lama pelukannya” sikap
dinginku mulai kembali.
“Ka’Lavi memang jenius” bisik Hershel.
Uang transport dan semua kebutuhan
kuliah juga ikut ditanggung. Perjuangan seorang ibu mengumpulkan banyak
informasi akan masalah beasiswa juga keperluan lain jauh dari pemikiranku
selama ini. Saya hanya berharap, minimal lulus di kampus biasa-biasa saja dan
kenyataannya Tuhan memberi lebih baik dari yang kuinginkan.
“Kado buatmu” melemparkan sebuah kotak
ke arah Hershel.
Saya ingin menghabiskan sedikit waktu
bersama keluarga sebelum berpisah dengan mereka. “Kakak Lavi tidak lagi sakit
kan?” tangan Hershel segera memegang keningku.
“Hentikan kelakuan bodohmu” kata-kata
dingin masih terus saja berkumandang.
“Ternyata kakakku masih sedikit sakit”
Hershel.
“Berhenti ngoceh kurcaci jelek”…
“Sudah mau pisah ma adik sendiri masih saja
dingin” Hershel.
“Apaan ini?” Hershel masih
bertanya-tanya sambil merobek bungkusan kotak tersebut.
“Nanti juga kau tahu apa isi kotak di
tanganmu” tatapan dinginku tetap terlihat.
“Wow, sebuah bola dan poster pemain bola
favoritku” Hershel terlihat histeris.
“Kakak Lavi benar-benar tidak sakit kan?”
masih terbengong-bengong.
“Baru juga dapat hadiah gituan udah
seperti orang gila” entah dari mana Kenaz muncul.
Hubungan antara kami berdua memang
kurang menyenangkan. Saya sangat benci mengakui Kenaz sebagai adikku karena
kelakuan buruk yang terus saja mempermalukan semua hal dalam diriku. Penurut,
jenius, kelakuan bak malaikat, tidak kampungan, dan masih banyak hal-hal
sempurna merupakan defenisi seorang adik dimataku. Kenyataan lain bahkan
terlalu memalukan dikarenakan kepribadian menurut versiku sangat bertolak
belakang. Sikap Hershel terlihat menyebalkan, tetapi pribadi Kenaz jauh lebih
buruk lagi.
Merokok, sering tinggal kelas, preman
kampungan, tukang berkelahi, mengobrak-abrik semua hal yang tidak disukai
olehnya di rumah. Kata muak selalu terlihat setiap bertemu Kenaz. “Pribadiku
pun sama buruknya dengan Kenaz” membayangkan kelakuan-kelakuan bodohku selama
ini.
“Sombong” nada kata menyindir dari
Kenaz. Sesuatu menahan tubuhku agar tidak berkelahi dengannya. Pada hal selama
ini ungkapan kata terbaik tiap bertemu hanya bercerita pertengkaran dan
perkelahian.
“Apa lihat-lihat?” Kenaz berteriak kasar
ingin memancing perkelahian.
“Kakak Lavi tidak lagi sakit kan?”
Hershel sejak tadi terus memegang keningku.
“Diam anak kecil” membalas ucapan
kurcaci kecil.
“Ternyata kakak Lavi masih sakit, tapi
kenapa memberiku kado sekeren ini? kan jadi aneh kalau berusaha menahan diri
biar tidak berkelahi bersama kakak iblis satu lagi di sini” Hershel.
“Apa kau bilang? Iblis?” Kenaz ingin
segera menjambak rambut Hershel.
Pada akhirnya sesuatu yang terus
menahanku menyerah juga. Cerita selanjutnya antara 3 saudara hanya berujung
perkelahian satu sama lain. Jambak menjambak rambut mulai berjalan hingga aksi
dorong mendorong. “Kenapa berkata iblis?” Kenaz.
“Kakak memang iblis” Hershel berusaha
lari tapi tertangkap juga.
“Kenapa emosimu meledak di telingaku?”
tanganku mendorong Kenaz.
“Mentang-mentang sudah mau kuliah keluar
negeri terus makin sombong” Kenaz.
“Apa kau bilang tukang tinggal kelas,
penipu, preman kampungan?” mendorong lagi tubuh Kenaz.
Terkadang saya diselimuti banyak
pertanyaan terhadap Kenaz. Kenapa juga masih terus tidur bersama dengan kami
tiap malamnya? Preman kampung memiliki ciri khas jarang pulang rumah, lantas
kok dia betah menampakkan wajahnya tiap hari. Tidak pernah menggerutu masalah
makanan di atas meja. Saya saja tiap melihat menu makanan buatan mama selalu
dalam keadaan jengkel.
Tidak pernah memalak berlebihan ke orang
tua sendiri? Dia itu preman berhati iblis ataukah berhati hello kitty? Situasi
tentu ricuh ketika kami bertiga bertemu. Pertengkaran akhirnya terhenti setelah
salah satu tetangga melempar sebuah batu di atas atap rumah. “Saya mau tidur
siang” tetangga berteriak keras sambil kembali melemparkan batu.
Kenapa saya tidak ke sekolah? Ya karena
tanggal merah dan saya sendiri lagi ingin memberi sebuah hadiah kecil buat
Hershel. Mama sendiri sibuk bekerja sebagai buruh kasar sekitar pasar sambil
berjualan gorengan. Malu? Sekarang rasa malu mengakui mama di depan semua orang
hilang pergi entah kemana. Saya bangga memiliki mama terbaik sekalipun
keluargaku tidak sempurna seperti orang lain.
Ikut berjualan sayuran pagi hari sambil
menunggu acara perpisahan sekolah di sela-sela waktu senggang. Bersama kurcaci
kecil berjualan gorengan di siang hari tapi pisah jalan biar banyak laku
gitulah. Ketika kembali ke rumah kegaduhan akan kembali terjadi dikarenakan
pertemuan 3 saudara kandung. Saya yakin kalau mama tidak mungkin membiarkan
preman kampungan itu memiliki masa depan suram.
Tangan mama jauh lebih kuat dibanding
jurang iblis yang sedang membelenggu preman kampung. Cara Tuhan tentu di luar
pemikiran orang banyak untuk menyatakan mujizat. Tiap malam mama tanpa henti
berdoa di dalam tangisan menyesakkan bagi dunia sang preman gila. Tidak pernah
memperlihatkan air mata, depan kami bertiga, tetapi berubah total ketika dua kakinya
berlutut pada jam tidur semua orang. Dia berbeda dari para ibu di luar sana
ketika berhadapan dengan satu cerita tidak terduga.
“Maaf selalu saja menyesakkan hatimu”
kalimat tersebut keluar begitu saja.
Mama selalu berada di kamar kami bertiga
tiap malamnya. Saya baru menyadari tangan kasar itu tanpa rasa lelah berjuang
menghancurkan objek terburuk sekalipun semua terlihat mustahil untuk dilalui. Tetap
tersenyum walaupun dunia sendiri hanya berkata rasa sakit ketika berjalan.
“Siswa lulusan terbaik tahun ini dengan nilai kelewat memuaskan jatuh pada Lavi
Yagil” kepala sekolah menyebut namaku di acara kelulusan.
Saya sama sekali tidak menduga peringkat
tersebut akan jatuh ke tanganku setelah kebohongan yang sudah kulakukan kemarin
bahkan menjadi pembahasan seluruh siswa. Yah, hari ini merupakan acara
kelulusan dan seluruh orang tuapun ikut menyaksikan. Kupikir Xoan akan
mengambil alih walaupun nilainya sempat berada di urutan ke sepuluh. Beasiswa
sekolahpun berpindah tangan dikarenakan kebohonganku kemarin.
“Kenapa bisa?” seorang teman berdiri
memberi complain.
“Rasanya sangat tak adil.”
“Manusia pembohong berpura-pura kaya
pada hal miskin”…
“Saya benci berita ini di acara
kelulusan sekolah.”
“Lebih parah lagi kok bisa yah lulus
pada salah satu kampus terbaik di dunia?
Tidak adil bagi hidup banyak siswa.”
“Beasiswa berpindah tangan, tapi
menghalalkan segala cara di luar sana biar lulus di universitas terbaik pula…”
Ada banyak komentar pedas di dengar
langsung oleh mama. “Hentikan” teriak kepala sekolah hingga semua terdiam. Mereka
semua tidak pernah tahu bagaimana perjuangan mama agar saya bisa lulus di
kampus lain.
“Bapak ingin Lavi berbicara di depan
mereka semua sepatah atau dua kata atau bahkan seribu kata” kepala sekolah
masih tetap mempersilahkan siswa pembohong…
Mama diam menatap ke arahku seolah ingin
berkata tentang satu kekuatan. Sekali lagi sikap tenang mama berkata-kata sekalipun
suasana hati benar-benar hancur. Dua kakiku gemetar berjalan di tengah mereka…
“Berasal dari keluarga miskin,
perpisahan orang tua, berantakan, terkucilkan membuat saya hidup dalam
ketakutan. Saya hanya seorang anak remaja yang masih simpang siur tentang
defenisi sebuah keluarga sempurna” memulai kata demi kata depan semua orang.
“Takut mendapat penolakan membuat
jalanku berada pada jalur kebohongan terhadap kalian semua. Rasa malu bahkan
ribuan pertanyaan kenapa harus memiliki mama paling dekil, miskin, jelek,
bodoh, tanpa pendidikan selalu saja mencekam. Bukan hanya berbohong, tetapi
memaki dan bersikap buruk terhadap mama juga kulakukan”…
Suasana ruang terlihat diam di dalam
kesunyian. “Esok hari pasti mama bisa memegang kendali bahkan jauh lebih kuat
untuk menarik kalian menuju satu alur yang mungkin sulit dilupakan, pernyataan
mama inilah seakan menghancurkan pintu jahat dari jalanku”…
“Maaf karena sudah berbohong terlalu
jauh. Saya hanya manusia biasa dengan banyak kesalahan bukan orang sempurna.
Seorang ibu berjuang tanpa mengenal lelah dibalik beasiswa atas namaku di
tempat lain”…
“Perjuangan mama mengumpulkan banyak
buku, informasi beasiswa, lembaran coretan kiri-kanan membuat namaku ada dalam
daftar kelulusan. Bukan karena menghalalkan segala cara melainkan lutut mama
selalu saja digunakan untuk membawa namaku dalam doa”…
Bagian 6…
Pertama kali bagi hidup Lavi Yagil
berkata-kata di hadapan semua orang tentang satu objek. Kesalahan terbesar
darinya hanya karena memikirkan sebuah defenisi keluarga sempurna yang memang
tidak dimiliki. “Tangan mama memang jauh lebih kuat untuk menarikku masuk dalam
satu cerita petualangan. Saya bangga memiliki mama yang selalu menjadi pintu
agar bisa berlari mengejar bintang terbaik. Maaf atas semua sikapku.” Mulut
semua orang bungkam seketika mendengar curahan hati seorang siswa berprestasi.
“Kalian bukan Tuhan sehingga harus
menjadi hakim bagi hidup siswa berprestas seperti Lavi. Tiap orang pernah
melakukan kesalahan, jadi jangan asal mengeluarkan kata-kata kurang
menyenangkan atau manghasut orang banyak untuk menjadi pembenci” kepala sekolah
tetap bersikap bijak atas masalah tersebut.
Beasiswa sekolah memang berpindah
tangan, namun prestasi terbaik tetap kembali ke tangan siswa bernama Lavi
Yagil. Misteri hidup seseorang memang memiliki sebuah alur yang sulit untuk
ditebak. Hari ini dan esok memiliki teka-teki tersendiri untuk cerita berbeda. Kekuatan
seorang ibu benar-benar menghancurkan gerbang duri yang begitu tajam menusuk.
“Jangan lupa memakai sweater kalau lagi
musim dingin” mama sibuk mempersiapkan seluruh perlengkapan kuliah. Merajut
sendiri syal juga sweater hangat menjadi kebanggaan tersendiri sebagai seorang
ibu . Tak lupa memasukkan ke dalam koper foto keluarga ke dalam koper milik
Lavi.
“Kenapa juga wajah pria gila ini harus
terpampang di dalam?” rasa benci menatap…
“Jangan menjadi pembenci terhadap papamu
sendiri,” ibu Nayara sekali lagi ingin menghalangi sang anak menanam kebencian
terhadap sang ayah.
“Pria gila ini sudah membuat hidup kita
semua berantakan. Mama selalu saja menderita, Kenaz terlihat buruk karena haus
kebahagiaan, Hershel rela berjualan apa saja hanya demi mendapat uang, sedang
Lavi sendiri hidup tanpa bisa mengerti defenisi keluarga itu seperti apa” Lavi.
“Mama tidak pernah mengajarkan untuk
menjadi pembenci. Tidak mungkin juga Lavi bisa lahir ke dunia kalau bukan
karena Tuhan memakai papa kan…” pertama kali suara sedikit meninggi bermain
begitu sja.
“Dia bukan papa tapi iblis” teriakan
Lavi seketika.
“Masa depan Lavi akan hancur andaikan
hidup terus menerus dalam kebencian” seorang ibu mencoba kembali berkata tenang
di dalam rasa takutnya. Mendekap hangat sang anak menjadi jalan agar memahami
sesuatu yang terlalu sulit dilukiskan hanya melalui kata-kata.
“Mama sudah terlalu banyak menderita,
tapi kenapa bisa?” Lavi menangis seketika.
“Tidak menjadi pembenci merupakan
satu-satunya jalan untuk masa depanmu. Suatu hari kelak Lavi pasti memahami
pernyataan mama” ungkapan perasaan seorang ibu yang mungkin sulit diartikan…
Ombak itu begitu kuat menciptakan
muara-muara tak terkendali. Sang ibu hanya ingin berjuang membuktikan tentang
tarian music di antara permainan demi permainan yang mungkin akan menghancurkan
seluruh jalan. Lavi harus menyimpan baik-baik foto keluarga dalam koper
miliknya. Kebencian dan ingin memaafkan sedang bertarung hebat pada alur hidup
seorang anak remaja. Siapa yang akan menjadi pemenang? Kebencian? Ataukah kata
maaf? Semua akan terjawab seiring berjalannya waktu.
“Kurcaci jelek tolong jaga mama untukku”
suasana perpisahan seperti sekarang masih saja Lavi bersikap dingin terhadap
adik sendiri.
Yah, mereka bertiga berada di bandara
sekarang. Perpisahan antara ibu dan anak akan terjadi demi sebuah mimpi. “Kakak
masih sakit atau tidak sih?” Hershel memegang kening sang kakak.
“Berhenti berbicara! Apa boleh kakak
memelukmu?” Lavi.
“Tapi hanya sebentar” Hershel.
“Kemana perginya preman kampung?” Lavi
terus mencari Kenaz. Rasa sayang satu sama lain tetap terjalin sekalipun
pertengkarang sering terjadi di antara mereka. Sang ibu hanya tersenyum memeluk
Lavi tanpa berbicara sepatah katapun.
Ternyata Kenaz diam-diam bersembunyi
melihat sang kakak akan pergi untuk waktu cukup lama. “Apa mama bisa menarikku
juga sama seperti yang dilakukan terhadap ka’Lavi” Kenaz berkata-kata seorang
diri.
Pesawat pun pada akhir cerita berangkat
mengantarkan sosok Lavi demi sebuah mimpi. Kenaz berjalan lesu membayangkan
keadaan rumah tanpa kehadiran sang kakak. Rasa takut terus tertinggal dalam
satu jeruji belenggu semakin menghantui pikirannya. “Saya ingin berlari keluar,
tetapi rantai gelap jauh lebih kuat menghantam seluruh tubuhku,” dentangan
suara hati Kenaz menunduk melihat arus jalan raya.
Cerita hidup Kenaz makin berada pada
ambang kekacauan sejak kepergian Lavi. Hari demi hari pribadi dalam dirinya
menyatakan jalan gelap yang terlalu sulit untuk lepas. Memutuskan berhenti
sekolah membuat dia semakin tenggelam hingga tak lagi pelita kecil tak lagi
terlihat. Jarang pulang ke rumah menciptakan jurang pemisah antara dirinya dan
keluarga.
Apa seorang ibu menyatakan kekalahan
atas sikap dari sang jagoan? Jawaban atas sikap anak keduanya ada pada kedua
lututnya. Bukan karena Tuhan tidak ingin mendengar pergumulan sang ibu
melainkan masalah waktu untuk menyatakan cerita penuh misteri berada pada satu irama
pula.
“Tangan mama tidak selemah yang kau
bayangkan” sang ibu berbisik ke telinga.
“Mama selalu terlihat lemah karena hal
itu juga membuat Kenaz muak” Kenaz.
“Mungkin hari ini kau tidak bisa
merasakan kekuatan mama. Suatu hari kelak keadaan akan melukiskan pemenang
sebenarnya” sang ibu memiliki iman terbaik. Dua tangannya tidak akan mungkin
membiarkan si’jagoan terus berada pada sebuah jurang.
“Saya ingin menjadi seperti yang mama
inginkan, tapi jurang gelap jauh lebih kuat hingga dua kakiku lemah dan tidak
mungkin berlari keluar” bisikan hati sosok anak menatap dalam-dalam sang ibu.
Kenaz berlari keluar dari rumah
meninggalkan sang ibu. Merenung sepanjang malam tentang kekuatan antara jurang
gelap dan tangan seorang ibu. Rasa takut sering menyelimuti hidup anak usia
remaja di masa-masa labil. “Saya juga ingin memiliki masa depan seperti
ka’Lavi, tetapi seakan sebuah benteng menjadi penghalang dua mataku bisa
mengerti makna kekuatan seorang ibu” berbicara seorang diri di tempat gelap
jauh dari keramaian.
Tanpa sadar dia tertidur pulas hingga
sinar matahari berada di atas kepalanya. “Tolong…tolong…tolong” sebuah suara
memekik di sekitar pendengaran.
Bara temang gengnya sedang melakukan
aksi penjambretan tidak jauh dari tempat dia tertidur pulas. Terjadi kejar
mengejar antara Bara dan beberapa orang. “Kenaz tangkap” Bara melemparkan
sebuah tas hitam ke tangannya. Hal selanjutnya adalah Kenaz tidak dapat
menyelamatkan diri hingga berujung brutal di tangan massa. Darah segar mengalir
begitu saja dikarenakan amukan massa mengganas. Bara sendiri berhasil melarikan
diri ke tempat aman.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula,
ungkapan tersebut berlaku pula atas apa yang sedang menimpa Kenaz sekarang.
Polisi pun tak menaruh rasa ibah bahkan langsung menjebloskan dirinya ke dalam
sel penjara. Membiarkan luka-luka tersebut di sekujur tubuh Kenaz sebagai
bentuk pelajaran yang tidak mungkin dilupakan. Preman kampung berada dalam sel
tahanan.
“Tuhan, kalau memang kekuatan mama tidak
selemah pikiranku…” berkata-kata pelan menatap dinding penjara. Wajah Kenaz
sudah tidak berbentuk lagi akibat hentakan pukulan demi pukulan di tempat tadi…
“Berarti mama pasti berjalan kearahku
sekarang tanpa rasa malu” suara hati bergema dengan wajah tertunduk tak
berdaya.
“Apa mama menyatakan kekalahan terhadap
jurang gelap?” pertanyaan tersebut keluar begitu saja dari mulutnya.
“Tuhan, apa kekuatan mama memang terlalu
lemah hingga tidak bisa berjalan ke arahku?” sekali lagi mulutnya bergerak
tanpa suara.
“Seseorang menunggumu di luar,
keluarlah!” pria berseragam polisi membuka jeruji penjara. Tubuh penuh luka
berjalan tertatih-tatih menuju sebuah ruang.
“Jurang gelap dan mama masih bertempur”
suara hati Kenaz bergema kembali.
“Mama belum menyatakan kekalahan
terhadap jurang gelap” Kenaz.
“Mama masih berjuang menarik tanganku”
tatapan anak remaja terhadap sang ibu.
Ibu Nayara mendekap erat tubuh anaknya.
Rasa marah bersama pernyataan kutuk tidak terlintas dalam diri sang ibu. “Mama
ada disini buatmu” terus memeluk anak remaja tersebut.
“Tangan mama ada buatmu” berkata-kata
kembali.
“Apa jurang gelap sudah kalah total dari
mama?” pertanyaan Kenaz tiba-tiba.
“Tuhan membuat mama menang atas jurang
gelap” ibu Nayara.
“Bagaimana bisa?” Kenaz.
“Kekuatan doa membuat tangan mama
terlalu kuat untuk menarik tanganmu”…
Pernyataan seorang ibu meledakkan
tangisan sang anak seketika. Dia hanya manusia lemah dengan jalan cerita
berbeda dibanding anak lain. Air matanya menyatakan tentang begitu rapuh
suasana hati yang selama ini terpendam jauh di dalam. Tangisan histeris terus
saja bermain dalam dekapan sang ibu.
“Kenaz takut terus berada di jurang”
Kenaz. Seorang polisi mengamati pembicaraan mereka berdua. Menatap tanpa
berbicara tentang kasus rumit yang sedang menimpa anak remaja tersebut. Membebaskan
Kenaz tanpa harus membayar uang jaminan seperti yang lain. Polisi tersebut
menaruh rasa ibah atas pemandangan di depan matanya.
“Kau harus berdamai dengan dirimu agar
jurang gelap gagal total mempertahankan tubuhmu di ruang lain” kata-kata polisi
tersebut sebelum membiarkan Kenaz berjalan pulang.
“Maksud bapak?” Kenaz.
“Jawaban pertanyaanmu ada pada dirimu
sendiri” kalimat polisi itu kemudian berjalan meninggalkan Kenaz dan sang ibu.
Ibu Nayara tetap sabar berada di samping
anaknya. Membersihkan seluruh luka pada sekujur tubuh Kenaz. Beruntung saja
bapak polisi berbaik hati membebaskan tanpa meminta uang jaminan. Perubahan
mulai terjadi sejak peristiwa tersebut. Belajar memulai kehidupan baru dan
mengerti beberapa objek tentang seni pada satu lingkaran.
1 Tahun kemudian…
Apa jalan hidup Kenaz berubah total?
Butuh waktu setahun bagi seorang ibu untuk membuatnya melihat sebuah mimpi dan
masa depan. Kenaz tidak ingin lagi melanjutkan sekolahnya sehingga lebih
memilih bekerja sebagai kuli bangunan di beberapa tempat sambil berjualan
gorengan. Cerita tentang banting-membanting pintu hilang dalam sekejap. Preman
kampung berdiam diri di rumah setelah seharian bekerja.
“Kakak Lavi sebentar lagi jadi dokter”
ibu Nayara sedikit memancing di sela-sela makan malam bersama.
“Kenapa mama bicara ka’Lavi?” Hershel
melemparkan pertanyaan.
“Kalau mimpi Kakak Kenaz sendiri
gimana?” ibu Nayara.
“Kenaz bodoh, jadi tidak mungkin juga
mempunyai mimpi” Kenaz.
“Kenapa mama tidak bertanya ma Hershel
juga sih?” Hershel.
“Mama kan sudah tahu mimpi Hershel” ibu Nayara.
“Menyebalkan” Hershel.
“Seseorang berhak bermimpi termasuk
dirimu” ibu Nayara menatap Kenaz.
“Mantan preman kampung bisa mimpi apa?”
Kenaz segera menghentikan makan kemudian berjalan menuju kamar.
Peranan sang ibu harus benar-benar bermain
terhadap situasi seperti sekarang. Masa lalu tidak dapat merenggut sebuah
pelita di sekitar jalan seorang anak.
Tinggal kelas bukan alasan bagi jalan hidup untuk berhenti mengejar bintang.
Kekuatan ibu merupakan pondasi utama ketika segala jalan tertutup. Setetes
embun bercerita manis di antara puing-puing kehidupan seorang anak.
“Masa lalu suram, kehilangan figure
ayah, kemiskinan bukan penghalang bagi jalan jagoanku menggenggam bintang
terbaik di antara ribuan bintang” ungkapan perasaan seorang ibu.
“Sebagai ibu memang tidak mudah terus
mendekap dunia anak-anaknya” ibu Nayara berbicara seorang diri dalam kesunyian
malam.
“Tetapi Tanganku akan bercerita tentang
perbedaan bahkan tidak mungkin dimiliki oleh banyak ibu di luar sana.” Kekuatan
ibu memiliki makna tersendiri. Perjalanan imannya disaat berjuang menggenggam
sang anak akan menyatakan kemenangan di waktu yang tepat.
Bagian 7…
Kenaz yagil…
Hidupku berubah setahun lalu setelah
pengeroyokan massa hingga jeruji penjarapun berada depan mata. Beruntung saja
seorang polisi berhati mulia mau membebaskan tanpa harus menyewa pengacara
ataupun membayar uang jaminan. Mujizat? Mama membuktikan kalau tangannya memang
jauh lebih kuat dibanding jurang gelap itu sendiri. Bukan karena ingin menguji
kekuatan mama, tetapi memang rantai belenggu atas diriku terlalu kuat hingga
saya sendiri sulit berlari keluar.
Saya sadar kalau jalan yang sedang
kulalui menghancurkan banyak hal, namun benteng gelap memiliki pertahanan
mengerikan. Rasa takut tiap detik menghantui keadaanku dan hal lebih kacau adalah tubuhku tetap
berada dalam ikatan jurang tersebut. Titik terlemah pada diriku membuatku sadar
sesuatu bahwa belenggu tersebut harus hancur bagaimanapun caranya. Doa dan iman
seorang ibu menciptakan irama tersendiri hingga dua kaki mulai belajar berlari
keluar…
Terkadang rasa ingin kembali ke sekolah
muncul tiba-tiba. Sudah terlambat? Tentu saja lebih dari kata terlambat.
Andaikan saja saya tidak menyia-nyiakan sekolahku kemarin, tentu keadaan
berkata lain sekarang. Tuhan, bisakah waktu dapat berputar kembali? Bolos
sekolah, tukang tawuran, merokok, tinggal kelas, preman, dan masih banyak hal
buruk merupakan bagian kisahku kemarin.
Mama sering bertanya tentang mimpiku di
sela-sela rutinitas kami. Jujur, kerinduan hatiku jauh melebihi apa yang mama
pikirkan untuk berlari mengejar bintang. Semua sudah terlambat dan tidak
mungkin lagi saya harus berjalan kembali. Kegiatan terbodoh mama belakangan
terakhir adalah mendaftarkan kembali namaku ke beberapa sekolah tanpa
sepengetahuan maupun persetujuanku. Kenapa saya bisa tahu? Hershel memberi tahu
apa yang sedang mama kerjakan di belakangku.
“Hershel sudah tidak tahan melihat mama
dimaki kiri kanan ma pihak sekolah” nada kalimat Hershel mengatakan hal
sebenarnya.
Mama bukan tipekal ibu yang dengan
begitu mudahnya menyerah demi sebuah masa depan sang anak. Tiap hari mencari
sekolah dari satu tempat ke tempat lain hanya demi diriku seorang. Lebih gila
lagi adalah diam-diam mengikuti arah tempat mama bepergian. Mulutku benar-benar
terkunci untuk menghentikan tiap gerakannya. Rasa sakit mendengar makian pihak
sekolah terhadap mama membuatku ingin berteriak histeris. Kenaz Yagil dikenal
sebagai siswa ternakal di seluruh sekolah sekaligus menjadi penyebab penolakan
bertubi-tubi tanpa belas kasih sama sekali…
“Anakmu paling juga merusak seluruh
siswa disini” salah satu guru menyindir dengan begitu kejam.
“Biar saja anak ibu jadi buru kuli
seumur hidup, rasakan akibatnya sekarang” di tempat lain kalimat tersebut
berkumandang…
“Anak gila tidak memiliki tempat layak
di sekolah ini,”
“Semua orang tua siswa pasti ketakutan
kalau anak ibu kembali ke sekolah.”
“Jangan mimpi ketinggian, yang namanya
sudah hancur yah bakal tetap hancur dan tidak mungkin juga bisa diperbaiki
kembali.”
Makian demi makian terus berdatangan dan
tidak ada sekolahpun ingin menerima kehadiran anak nakal sepertiku. Apa mama
menyerah mendengar ucapan mereka? Masih berjuang mencari sekolah tanpa rasa
lelah hanya demi masa depan anaknya. “Jangan-jangan ibu sewaktu muda pernah melakukan
dosa besar sampai-sampai anakpun harus menanggung resiko sendiri” seorang
kepala sekolah melemparkan hujatan terhadap mama.
“Bapak tidak berhak mengejek mama saya”
tidak tahan lagi melihat mama mendapat perlakuan buruk.
Terkadang dua lututnya bersujud di
hadapan beberapa kepala sekolah dan juga guru-guru, namun mereka semua tertawa
lebar. Kenapa mama tidak pernah mau menyerah terhadap keadaan? Kenapa tidak
pernah ingin memperdulikan ejekan mereka semua? Saya benci melihat kelemahan
mama hanya karena tetap ingin melihat masa depan sang anak.
“Kenaz” mama berteriak berusaha
menghentikan tanganku menampar wajah pria tua jelek.
“Biar Kenaz memberi pelajaran” memaki
pria tua jelek.
“Kau tidak berhak mengejek mamaku seolah
hidupmu memang paling suci” berteriak keras hingga seluruh siswa mendengar.
“Kalau Ken sayang mama, berhenti
berbicara!” ucapan mama.
“Kenaz akan terus memaki biar pria tua
jelek ini sadar sesuatu”…
Sebuah tamparan mendarat di wajahku
seketika. Mama menarikku keluar meninggalkan sekolah tersebut. Bagaimana
mungkin seorang ibu tidak pernah memperdulikan makian orang banyak demi masa
depan sang anak. Mamaku memang gila dan sangat gila. “Mama pasti bisa membuatmu menjadi manusia berkualitas” kalimat mama
selalu saja menghantui seperti hantu gentayangan.
“Ibu Nayara” sapa seorang pria tua
gendut yang tiba-tiba saja menghadang langkah kami di jalan raya setelah
kejadian tadi.
“Anda?” mama agak kebingungan sendiri.
“Saya tadi tidak sengaja melihat ibu
keluar dari sekolah, jadi begitulah…” tawa bapak tersebut.
“Bapak Hiram gimana kabarnya?” wajah
mama tersenyum mengalihkan pembicaraan.
Ternyata bapak gendut di depan kami
adalah kepala sekolah tempat ka’Lavi bersekolah dulu. Saya bisa membaca jelas
di wajah bapak gendut kalau masalah penolakan seluruh sekolah sampai ke
telinganya. Kenapa mama tidak mencoba mendaftarkan Ken di sana saja? Apa yang
sedang kupikirkan? Masa depanku sejak dulu sudah hancur. Ken, segera bangun
dari mimpi!
“Maaf, bukan karena saya mau lancang
hanya saja berita anak ibu ditolak berulang kali sudah menyebar dimana-mana”
bapak gendut.
“Saya siap menampung anak ibu sekalipun
seluruh sekolah menolak dirinya berulang kali” dia kembali berkata-kata. Apa
jalan hidup Kenaz masih memiliki harapan seperti anak lain? Saya hampir tidak
percaya terhadap perjuangan mama selama ini. Objek terparah lagi yaitu seluruh
sekolah menolakku mentah-mentah, tetapi bapak gendut mau membuka tangannya
buatku.
“Kenapa tidak terlintas mendaftarkan
adik Lavi di sekolah Harapan Abadi?” bapak gendut maksudku bapak Hirar
melemparkan pertanyaan…
“Saya tidak ingin Kenaz mengalami nasib
serupa sama seperti kakaknya” saya baru menyadari penderitaan ka’Lavi.
Kupikir kakakku manusia paling sempurna
tanpa masalah, ternyata hanya terlihat dari luar saja. Ka’Lavi sempat berbohong
terhadap seluruh penghuni sekolah tentang identitas berpura-pura kaya
sampai-sampai beasiswa berpindah tangan karena ketahuan. Mama hanya tidak ingin
penghuni sekolah semakin membuly keadaanku terlebih sayapun memiliki masa lalu
jauh lebih buruk. Mereka semua protes keras permasalahan peringkat utama
kembali diambil alih oleh penipu ulung. Ka’Lavi memang manusia super jenius
walaupun dikatakan dirinya sempat membuat sebuah kebohongan besar.
“Lebih memilih mana Kenaz tidak memiliki
masa depan atau tidak sama?” bapak Hirar.
Kenapa saya terus diam ketika mereka
berdua bercerita? Harusnya kan saya menolak mati-matian kembali ke sekolah.
Mulutku benar-benar terkunci rapat hingga mama mau menerima tawaran bapak
kepala sekolah Harapan Abadi. Kembali memulai sekolah dari kelas satu lanjutan
atas terdengar aneh. Seluruh teman-temanku sudah masuk bangku kuliah tahun ini,
tetapi saya harus mengulang…
Singkat cerita, Kenaz Yagil kembali ke
sekolah dan mencoba menata kembali retakan-retakan kehidupan untuk membuatnya
menjadi satu jalan terbaik. Siswa paling tua di kelas cuman saya seorang
membuatku sangat malu. Tidak ada seorangpun yang mau mengajakku duduk bersama
selain seorang gadis dekil, super jorok, tukang tidur di kelas.
“Kenalkan nama saya Izumi, panggil saja
Izu” gadis jorok memperkenalkan diri.
Izu satu-satunya manusia yang mau
berteman denganku di sekolah. Memainkan kotoran hidung sendiri apa lagi kalau
lagi flu lengkap sudah semua. Seluruh kotoran hidung menumpuk di sekitar meja
maupun kursi. Air iler mengalir ke segala tempat pas lagi tidur. “Kakak
Ken, mau coba minuman soda merk terbaru?
Lagi trending loh” Izu menarik tanganku menuju sebuah mini market memakai
tangan joroknya.
Rambut pendek Izu menandakan kalau
dirinya itu hidup sebagai gadis tomboy. Ada banyak siswa menjauh dariku karena
takut menularkan hal-hal kurang menyenangkan. Izu selalu ada memberi senyum
bahkan terkadang menciptakan lelucon aneh. “Jangan sok suci kalian semua pada
hal asli juga pada hancur” dia selalu menjadi pahlawan kesiangan buatku.
“Dasar tukang makan” menggeleng-geleng
kepala melihat porsi makan Izu.
Lebih lucu lagi karena saya selalu
tertawa melihat tingkah koyol gadis super jorok. Dia terus saja mengekor tiap
pergi maupun pulang sekolah. Membantuku berjualan gorengan sampai-sampai semua
habis terjual hanya dalam hitungan singkat. “Ka’Kenaz kan manusia jenius juga
Cuma belum sadar-sadar” Izu memulai memancing bicara di sela-sela kami berdua
beristirahat.
“Gadis jorok lebih baik kalau mulutmu
diam” nada kesal melihat tingkahnya.
“Kakak harusnya berterima kasih karena
hanya Izu yang mau berteman ma manusia sepertimu” Izu.
Berteman sih berteman, tapi tampang
jorok membuatku mual tiap berada di dekat Izu. Kegiatan tergila darinya adalah
selalu saja mengekor bagai cacing kepanasan di belakangku. “Kenapa mengikutiku
terus?” tidak tahan melihat tingkah Izu.
“Karena suka saja” Izu menjawab dengan
nada cuek. Penampilan tomboy dari ujung rambut hingga ujung kepala, lantas
sikap manja dalam dirinya berasal dari mana? Jorok, dekil, bau badan, tukang
upil, bicara manja, lebih parah lagi masalah tomboy pada dirinya benar-benar
kacau.
“Izu mau lari kemana lagi?” seorang
wanita sedikit tua berteriak keras.
Mengomel memakai bahasa-bahasa alien di
tengah keramaian jalan. “Dasar anak pemalas, durhaka, hancur, tukang keluyuran”
ngoceh sambil menjewer telinga gadis jorok di sampingku.
“Ini tempat umum jangan mempermalukan
anak sendiri” teriak Izu meringis kesakitan.
“Memang kenapa kalau mama berteriak
keras? Salah?” rasa geram wanita itu. Menarik rambut gadis super jorok sambil
berjalan menghilang entah kemana. Keadaan tersebut sering terjadi hampir tiap
harinya wanita sedikit tua maksudku mama Izu berteriak mengomeli sang anak
tepat di depanku.
“Dasar anak perempuan mau jadi apa kalau
lulus sekolah?” omelan menggelegar.
“Kakak Kenaz” semangat Izu seolah
melupakan amukan sang mama tiap harinya.
“Mamamu ga cari?” pertanyaan buat dia.
“Lupakan nenek lampir sejenak” Izu
berbicara penuh semangat.
“Dasar anak durhaka menghina ibu sendiri
depan temannya” wanita itu menjambak rambut Izu entah datang dari mana…
“Memang mama pantas disebut nenek
lampir” balas Izu.
Hal yang tidak pernah saya tahu dari
hidup gadis jorok yaitu perceraian orang tua. Izu memiliki kakak perempuan dan
mereka berdua berpisah. Sang kakak lebih memilih tinggal bersama ayahnya,
sedang Izu sendiri tetap berada di sisi ibunya. Kenapa saya bisa tahu? Seorang
wanita berkelas tiba-tiba saja memaki ketika saya hendak mengembalikan barang
Izu. “Biarkan Izu tinggal bersama kami” teriak wanita berpenampilan sosialita
depan rumah sederhana milik gadis jorok.
“Sudah cukup anda menghancurkan rumah
tangga saya dan sekarang ingin merebut Izu” pertama kali saya melihat air mata
wanita itu. Perceraian terjadi karena pihak ketiga bermain-main. Terdengar hancur
kalau ternyata mertua menjadi objek ketiga bagi permasalahan rumah tangga.
Perbedaan derajat ekonomi menjadi penyebab terjadinya perang dingin antara
mereka.
Aneh mendengar izu lebih memilih tinggal
bersama sang ibu dibanding ayahnya? Pada hal kalau dipikir-pikir suara makian
menggelegar sepanjang jalan tiap berpapasan dengan ibunya sendiri. Ternyata
bukan hanya saya dengan latar belakang perpisahan orang tua bahkan ada banyak
kisah tragis di luar sana sehingga menghancurkan kehidupan para anak.
Sisi lemah mama membuat hidupku benci
terhadap dirinya. Kenapa mama tidak pernah menangis? Saya bisa merasakan betapa
kuat rasa perih yang selalu saja mempermainkan mama. Kegilaan mama di tempat
lain adalah tetap memajang foto keluarga dalam kamarnya. Saya sendiri begitu
muak melihat pria dalam foto tersebut.
“Untuk apa mama menyimpan foto pria gila
di sini?” rasa geram menatap wajah pria paling jahat yang tidak pernah
memperdulikan kehidupan keluarga sendiri.
“Kenaz benci melihat sikap lemah mama
selama ini”…
“Kenapa mama tidak pernah menangis?”
pertanyaan histeris seorang anak.
Sikap diam mama menciptakan rasa muak
berkepanjangan terhadap banyak hal. “Mama tidak ingin melihat masa depan kalian
hancur hanya karena menjadi pembenci,” dekapan hangat mama berusaha menenangkan
diriku.
“Kenapa?” tangisku pecah seketika.
“Tuhan tidak pernah mengajarkan seorang
ibu untuk menjadi pembenci terlebih terhadap pasangan sendiri. Andaikan
kebencian lebih berperan maka masa depan anak-anakku tentunya hancur tanpa
meninggalkan jejak” jawaban mama. Saya benci mendengar pernyataan mama.
“Mama lebih memilih memberi maaf
terhadap papamu dari pada melihat jalan hidup kalian berantakan. Bantu mama
untuk tidak pernah membenci sekalipun banyak hal menyakitkan terjadi begitu
saja.” Kalimat macam apaan ini? Siapa yang akan menjadi pemenang dalam hidupku
sendiri? Kebencian? Ataukah kata memberi maaf akan jauh lebih kuat bermain
suatu hari kelak?
Seorang ibu menyatakan kekalahan ketika
mengajarkan sang anak tentang kebencian terhadap orang lain terlebih orang tua
sendiri, menurut versi defenisi mama bukan menurutku. Mama seolah lupa
bagaimana luka demi luka mempermainkan jalan hidupnya. Pertarungan sengit
sedang terjadi atas hidupku sendiri antara hidup dalam kebencian dan memaafkan.
Hal tergila dilakukan oleh mama adalah
terus mencari informasi seputar perkuliahan di luar negeri hanya untukku
seorang. Saya tidak pernah berpikir melanjutkan sekolah di Negara asing sama
seperti ka’Lavi. Jauh-jauh hari sibuk merencanakan jalan terbaik untuk menggenggam
bintang.
“Kuliah di sini saja sudah cukup buat
Kenaz” mencoba berbicara…
“Mama ingin membuktikan kekuatan seorang
ibu memang jauh lebih kuat” ujar mama.
“Tapi ma” bantahku.
“Apa Ken tidak pernah ingin menjalani
hidup seperti ka’Lavi?” mama.
“Mimpi tiap orang berbeda-beda” balasku.
Bagian 8…
Ibu Nayara…
Saya akan buktikan kalau kekuatan
seorang ibu bisa mengubah masa lalu suram menjadi sebuah kehidupan berbeda.
Kenaz hanya butuh waktu memahami cerita terbaru ketika berada pada satu sudut
persimpangan. Tidak berarti kisah kemarin bercerita tentang permainan tinggal
kelas ataupun pindah-pindah sekolah, lantas esok hari dia tidak bisa menjadi
nomor satu di antara manusia-manusia lainnya.
“Saya bukan sosok ibu paling lemah”
menatap wajah pulas Kenaz.
Kalau Tuhan bisa membuatku menarik
tangan anakku dari sebuah jurang, berarti sekali lagi saya akan buktikan
kekuatan terbesar seorang ibu. Mungkin di luar sana terdapat anak yang dengan begitu
mudahnya berjalan menggenggam bintang, jauh berbeda dengan anak-anakku. Seorang
anak yang sedang berlari lurus tanpa kerikil tajam untuk mendapat bintang tidak
akan pernah bisa menciptkan petualangan ataupun seni tersendiri sekalipun di
mata dunia akan selalu menjadi nomor satu dibanding siapapun.
Objek paling berperan bagi sang anak
adalah mengejar bintang di antara kerikil tajam, lautan berduri, permainan
ombak, pecahan kaca hingga membuat perjalanannya benar-benar kesakitan. Seni
terbentuk ketika seorang anak menyadari tentang rasa sakit di tengah
permainan-permainan objek tadi. Kata angkuh akan terbuang seiring waktu
berjalan tentang apa dan siapa bahkan ribuan pertanyaan setelah tangannya
berhasil memegang satu bintang terbaik.
“Ken bermimpi ingin jadi apa kalau lulus
sekolah?”
“Entahlah” Kenaz terlihat bingung. Diam-diam
putra keduaku sering menggambar sebuah bangunan. Saya bukan ibu jenius yang
dengan mudah memahami bakat dalam dirinya. Belajar mencari sesuatu melalui
internet tentang objek-objek berhubungan terhadap gambar ataupun pengolahan
bangunan.
“Arsitektur?” membaca sebuah kata dari
internet. Saya jadi begitu mudah menemukan sesuatu hal sejak tanganku belajar
membuka dunia paman google. Jauh-jauh hari, sengaja memberikan beberapa buku
berbau bangunan untuk memancing bakat dalam dirinya. Modal utama seorang ibu
sepertiku hanya bercerita tentang iman tanpa harus melihat hal tersebut sudah
diraih dan masih berstatus jauh dari harapan.
“Menurut Ken, jenis bangunan di film ini
gimana?” pertanyaan disela-sela ketika kami bertiga sedang menonton.
“Kenapa bertanya? Kenaz.
“Penasaran saja sih macam gimana yah”…
“Terlihat biasa, tapi misterius. Pasti
bangunan ini memiliki sejarah” Kenaz.
Saya bukan ibu jenius yang akan mengerti
banyak hal tentang dunia arsitektur, namun apa pun akan kulakukan demi meraih
satu bintang. “Bisa bantu mama melihat warna-warna ruang dari gambar di majalah
ini?” menyodorkan sebuah majalah usang ke tangannya. Majalah-majalah tersebut
berasal dari bak sampah tidak jauh dari tempat tinggal kami. Tanpa menaruh rasa
curiga berlebihan menjelaskan beberapa warna tertentu dalam pemilihan sebuah
ruang dari gambar di majalah usang itu.
“Warna tekstur lembut, arrogant, kasar,
buram, cerah harus berada pada porsi masing-masing karena berperan sebagai
penentu untuk sebuah ruangan” Kenaz.
Mencari ribuan alasan agar dia mau
menulis beberapa kata-kata maupun pernyataan dari majalah, buku, film, Koran,
ataupun gambar-gambar ketika kami sedang berada di luar rumah. Bagaimana bisa
ibu bodoh sepertiku belajar dunia arsitektur? Hal tergila yang pernah
kulakukan…
“Mama seperti penasaran dengan kata di
halaman ini” memulai pembicaraan.
“Maksud mama?” Kenaz.
“Sederhana tapi misterius? Kenapa
terkadang harus sebuah bangunan menyelipkan ungkapan semacam ini?”
“Untuk satu desain dan tidak hanya
berpatokan terhadap jenis gedung saja memang terkadang mencari hal-hal terbaru.
Porsi konsep desain apa pun harus memainkan makna tertentu demi mendapat sebuah
karya dengan kesan unik, tidak pasaran, bahkan belum pernah ada” Kenaz.
“Gitu yah?”
“Apa maksud mama melakukan semua ini?”
Kenaz.
“Mama kurang paham ucapanmu?” pertanyaan
balik.
“Mama sengaja menyuruh Kenaz menulis
kata demi kata, menggambar, membuat rangkuman buku-buku usang yang seharusnya
sudah dibakar, memberi banyak pertanyaan kalau lagi nonton, dan masih banyak
lagi…” Kenaz.
Dia butuh jawaban atas tindakanku. “Anak
mama memiliki bakat di dunia gambar-menggambar bukan maksudku arsitektur”
mencoba bersikat tenang.
“Lantas?” Kenaz.
“Mama ingin Ken berani bermimpi besar
sekalipun orang banyak akan tertawa terlebih karena masa lalu kurang
menyenangkan” pernyataan tegas seorang ibu.
“Ken bukan ka’Lavi dengan segala tingkat
kejeniusan dan banyak hal menarik” Kenaz.
“Kalau ka’Lavi bisa berarti Kenaz juga
bisa, ngerti?”
“Mama tidak mengerti” Kenaz.
“Bantu mama mewujudkan sebuah mimpi
besar dalam hidupmu” menatap dalam ke arah Kenaz.
“Ta…ta…pi?” Kenaz.
“Setidaknya mencoba dari pada tidak pernah
sama sekali” kalimat seorang ibu terhadap anaknya. Penyesalan terbesar akan
muncul suatu hari kelak andaikan dua kaki tidak pernah belajar melangkah dan
hanya diam di tempat. Nilai Kenaz cukup bagus untuk melanjutkan sekolahnya di
luar negeri. Sebagai ibu tuntutan berada di sampingnya harus terus berlanjut
untuk membuat sebuah pertarungan antara berlari ataukah hanya tetap berada pada
satu sisi saja.
Tidak terasa Kenaz sudah memasuki
tingkat akhir sekolahnya. Mengumpulkan banyak contoh soal-soal ujian menjadi
kewajibanku. Saya tidak mengerti sama sekali jawaban pertanyaan demi
pertanyaan, tetapi akal pikiranku berjalan untuk memancing kemampuan otaknya.
Menyuruh Kenaz mencari sendiri universitas di Negara asing melalui jaringan
internet. Tangannya asal mencari dan mengetik saja beberapa kampus yang dia
sendiri tidak tahu-menahu tentang beberapa informasi di sana.
Kemampuan bahasa inggrisnya cukup bagus
sejak memulai kembali sekolahnya dari awal. Saya memang bodoh untuk
bahasa-bahasa internasional, tetapi otakku harus menciptakan satu jalan cerita
agar dapat memancing wawasan Kenaz dalam penguasaan kosa kata maupun tata etika
berkata-kata. Meminta bantuan ibu Fia juga google translate seperti biasa dalam
hal masalah terjemahan kata-kata.
Berusaha mencari banyak
informasi-informasi masalah beasiswa. Kegilaan seorang ibu selanjutnya adalah
berani berjalan ke beberapa gedung kedutaan asing demi masa depan sang anak
dikarenakan seolah segala jalan benar-benar tertutup lebar tentang pendaftaran
beasiswa. Dua kakiku tidak pernah mengenal lelah berjalan masuk dari satu
gedung ke gedung lain dengan alamat berbeda.
Jalan yang sedang kulalui belum menunjukkan
hasil sama sekali. Apakah saya harus menyerah begitu saja memperjuangkan masa
depan jagoanku? Berhenti ataukah tetap berjalan? Rasa-rasanya saya ingin
tertawa lebar membayangkan kegagalan mencari bantuan. Masing-masing Negara
memiliki data-data tersendiri untuk program study beserta beberapa persyaratan.
Hal semacam inilah menjadi titik lemah sehingga tangan seorang ibu mengalami
kegagalan.
“Beri sebuah alasan mengapa saya harus
memperjuangkan masa depan anak ibu?” salah seorang pria tua melemparkan pertanyaan
setelah berhasil memasuki kedutaan asing lainnya untuk kesekian kalinya.
Ternyata pria tua itu memahami bahasa di Negara ini…
“Menjadi tiang, pondasi, dan benteng
bagi hidup anaknya merupakan mimpi terbesar bagi seorang ibu” menjawab
pertanyaan pria tua tersebut.
“Saya ingin membuktikan bahwa pintu
terbaik bagi seorang anak berada pada kekuatan dan perjuangan tanpa henti dari
ibunya sendiri.” Pernyataan yang mungkin terdengar biasa, namun memiliki makna
tersendiri buatku. Kekuatan iman seorang ibu sepertiku harus berjalan sekalipun
dua tanganku sama sekali tak bermodal dari sisi ekonomi.
“Berapa persen keyakinan anda sebagai
ibu melihat letak keberhasilan sang anak dalam hal meraih sebuah mimpi yang
rasa-rasanya terlalu sulit untuk dicapai atau bahkan menjadi bahan tertawaan
orang banyak di luar sana?” pertanyaan pria tua.
“Saya percaya 100% kalau anakku memiliki
cara tersendiri untuk mengejar mimpinya.” Selama Tuhan mendengar isak tangis
sang ibu, tentu saja jagoanku bisa berjalan walaupun dikatakan pandangan
sebelah mata orang banyak terus saja mempermainkan hidupnya.
“Bisa jelaskan defenisi anak di mata
anda?” pertanyaan pria tua untuk kesekian kalinya.
“Harta terbaik dari Tuhan yang tidak
bisa disandingkan dengan apapun bahkan jauh melebihi emas, permata, maupun
segala benda-benda berharga” jawaban sederhana seorang ibu.
Pria tua itu memberi kesempatan untuk
membawa Kenaz untuk mengikuti tes beasiswa agar bisa melanjutkan sekolahnya. Kekuatan
ibu harus benar-benar berperan demi masa depan sang anak. “Tuhan, beri
kesempatan anakku meraih mimpinya, tetapi kehendakMu saja yang terjadi bukan
karena mauku sebagai ibunya,” mendekap Kenaz sebelum di akhir cerita membiarkan
dia berada dalam sebuah ruangan seorang diri di hari berikutnya. Kenaz diberi
pilihan beberapa kampus sebelum menjawab seluruh soal dari pihak kedutaan.
Iman ibu dapat menghancurkan banyak
benteng kemustahilan menjadi ya dan semua bisa di capai. “Bagaimana kalau Ken
gagal ujian?” Kenaz berbalik ke arahku setelahnya menghentikan langkahnya. Ujian
tadi membuat dia terlihat gugup…
“Kalau gagal berarti Tuhan ingin
mengajar mama dan Ken untuk berjuang sekali lagi” hanya kalimat seperti ini
saja yang bisa kuberikan. Selama beberapa hari Kenaz masih harus mengikuti
tahapan ujian kembali sesuai permintaan dari kedutaan. Menunggu merupakan hal
paling membosankan buat kami sekeluarga.
Kenaz berada di urutan 5 dalam perolehan
peringkat prestasi di sekolahnya dari seluruh kelas. Jadi, posisi tersebut
membuat dia gagal untuk beasiswa sekolah keluar negeri. Saya harus berani
mencari langkah lain di akhir cerita hingga berujung nekat mencari informasi
beasiswa di banyak kedutaan asing. “Apa sudah ada balasan email?” rasa gugup
terbaca jelas di sekitar wajahku. Siapa pernah menduga balasan pernyataan lulus
ataupun tidak ternyata belum juga terkirim setelah sebulan Kenaz lulus dari
sekolahnya.
Andaikan gagal berarti Tuhan punya
maksud. Teman-teman Kenaz sudah pada mendaftar di beberapa kampus, sedang
dirinya sendiri masih sibuk menunggu sesuatu yang belum pasti. “Mama, email
balasan” si’bungsu Hershel ternyata terus berjaga di depan computer usang milik
Lavi.
Permasalahan biaya sehingga saya hanya
mampu membeli computer bekas bahkan tidak layak pakai, tapi masih bisa
difungsikan untuk mereka. “Coba buka!” nada memerintah terhadap Hershel.
“Mama jangan marah kalau Kenaz belum
bisa memberikan yang terbaik” tangan Kenaz menghentikan Hershel membuka isi
email selama beberapa saat.
“Mama tidak akan marah karena Ken sudah
berjuang sebaik mungkin, hanya belum kehendak Tuhan andaikan dinyatakan tidak
lulus” jawaban bijak seorang ibu berusaha menenangkan anaknya.
“Sudah siap? Ayo kita lihat hasilnya”
Hershel.
“Anak mama…” teriak Kenaz.
“Kakak Ken ternyata hebat juga yah”
Hershel.
“Kakak Lulus” Kenaz memeluk memeluk Hershel.
Perjuangan luar biasa hingga membuahkan
hasil. Hal tergila lagi adalah jagoanku asal menembak tanpa pernah tahu posisi
peringkat kampus tersebut berada dimana. Dia sama sekali tidak menyadari kalau
universitas tempat dirinya dinyatakan lulus merupakan urutan salah satu kampus
terbaik di dunia. Pikiran Lavi dan Kenaz sebelas dua belas, mencari tempat
perkuliahan biasa saja, tetapi Tuhan memberi jauh lebih baik dari bayangan
semua orang.
Siapa sih tidak mengenal Massachusetts
Institute of Technology jurusan aristektur pula. Kehidupan hari esok tidak bisa
ditebak, tetapi satu hal bahwa kekuatan seorang ibu bisa menjadi pintu gerbang
bagi jalan anaknya sendiri ke depan. Penolakan demi penolakan selalu saja
terjadi bagi jagoanku hingga di akhir cerita satu objek berkata lain.
“Coba mama cubit pipi Ken?” jagoanku
masih belum percaya.
“Biar Hershel saja” si’bungsu segera
menjambak keras rambut kakaknya.
“Keterlaluan” Kenaz.
“Kalau hanya cubitan ga bakalan sadar,
jadi jambak-menjambak rambut baru benar-benar sadar” Hershel. Pihak kedutaan
pun mempersiapkan seluruh biaya transportasi sekaligus keperluan kuliah
sehingga kami tidak perlu khawatir memikirkan tentang masalah tersebut.
Bagian 9…
8 tahun kemudian…
“Mama, ada paket kiriman dari ka’Lavi”
kini anak bungsu ibu Nayara sudah beranjak remaja. Hershel Yagil hidup hanya
berdua bersama ibunya setelah Lavi dan Kenaz mengejar mimpi di negeri asing. Kurcaci
kecil memiliki wajah sangat tampan dibanding dua kakaknya.
“Coba buka!” perintah ibu Nayara.
“Ada surat” Hershel tidak sabar melihat
isi surat di tangannya.
“Kurcaci kecil jangan lupa giat
berlatih” tulisan Lavi sangat singkat.
“Kakak memang begitu” wajah cemberut
Hershel.
“Permisi, paket kiriman tiba” suara
pengirim paket terdengar jelas.
Rumah keluarga Yagil masih tetap sama,
hanya sedikit melakukan renovasi. Ibu Nayara masih tetap ingin mempertahankan
bagian kenangan masa kecil anak-anaknya. Paket kiriman dua anaknya memang tidak
pernah absen sejak mendapat pekerjaan di luar negeri. “Buat mama dan kurcaci jelek
di rumah” isi pesan singkat Kenaz pada secarik kertas. Mengirim makanan,
pakaian, bola, jam tangan, buku, bahkan barang-barang kurang masuk akal pun ada
memenuhi ruangan rumah keluarga Yagil.
“Kurcaci jelek, baju sekaligus tanda
tangan pemain bola kesukaanmu ada dalam kotak ini” Kenaz tak henti mengejek
adik kecilnya.
“Kenaz mengirim makanan juga baju
emak-emak yang lagi ngetren buat mama” pesan lain. Ibu Nayara
menggeleng-gelengkan kepala melihat setumpuk makanan ringan di depannya.
Pakaian emak-emak bergaya sporty pun tak luput menjadi pemandangan paling aneh.
“Kiriman apaan lagi ini?” Hershel.
“Jangan lupa berikan pada gadis super
jorok” tulisan Kenaz terpajang rapi…
Beberapa pakaian yang lagi trend pun
dikirim buat sahabat sekolahnya Izumi. Teman sekolahnya tidak sempat
mengucapkan salam perpisahan hanya karena ketinggalan mobil. Izu dan ibunya sibuk berkelahi di jalan
hingga berujung pesawat sudah pergi sejam setelah mereka berdua berada di
bandara. “Hadiah Ken mana?” gadis cantik berparas mungil masuk begitu saja ke
dalam rumah tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Gadis jorok mengalami perubahan 360° setelah
memasuki dunia kerja. Tuntutan cantik, bersih, berpenampilan menarik menjadi
modal utama demi sesuap nasi. “Biasakan ketuk pintu dulu” cetus Hershel.
“Tidak usah banyak bicara, cepat berikan
kirimanku!” balasan jutek Izu.
“Sejak kapan tante mau berpakaian
begini?” teriakan Izu berlebihan. Pakaian emak-emak sporty jenis fashion
terbaru.
“Sejak tadi” ibu Nayara menjawab sedikit
kecut.
“Sepatu kets, celana jeans mode terbaru,
baju olahraga ma lipatan lengannya” mata Izu terbelalak.
“Artispun kalah” godaan Hershel.
“Berhenti menertawakan mama” tegur ibu Nayara.
Suasana rumah menjadi ramai sejak
kehadiran Izumi. Teman sekolah Kenaz dengan sejuta cerita selalu menghadirkan
suasana kocak di antara mereka. Sudah delapan tahun berlalu sejak kepergian
Kenaz membuat banyak hal berubah. Badan gendut Hershel menghilang ditelan bumi
setelah beranjak remaja. Dia tidak ingin menjadi seperti kakaknya dikarenakan
perbedaan mimpi antara mereka bertiga.
Flashback…
“Hershel ingin menjadi pemain bola”
si’bungsu Hershel baru saja menginjak usia 17 tahun. Pernyataan anak remaja itu
jauh lebih mencekam dibanding suasana hujan deras di luar sana. Pakaiannya
basah setelah berlarian di tengah hujan keras sambil memegang bola pemberian
Lavi.
“Mama jangan marah atau memaksa Hershel
melanjutkan kuliah” ucapannya lagi.
“Hershel” ibu Nayara.
“Hershel tidak bisa menjadi seperti yang
mama mau” Hershel menundukkan kepala.
Sang ibu berjuang mencari cara untuk
mencari tahu bakat terpendam anak bungsunya setelah kepergian Kenaz keluar
negeri. Ibu Nayara berpikir kalau jagoan kecil tentu jauh lebih hebat lagi
suatu hari nanti. Membayangkan anak bungsunya mengambil jurusan hukum merupakan
salah satu mimpi terbesar seorang ibu. Di luar dugaan, ternyata sejauh ini
Hershel hanya ingin menjadi seorang pemain sepak bola.
Ibu Nayara berusaha sebaik mungkin
mengalihkan perhatian Hershel, namun selalu gagal. Menyangkal ataupun
berpura-pura tidak tahu menahu tentang mimpi putra bungsunya menjadi dirinya
terlihat kelelahan. “Hershel hanya ingin menjadi pemain bola bukan pengacara
atau arsitek seperti ka’Kenaz” nada geram Hershel ketika sang ibu memberikan
beberapa buku.
“Hershel bukan ka’Lavi yang harus mengerti
dunia kedokteran” Hershel makin kesal.
“Beri Hershel kesempatan dan mama harus
bisa memahami sesuatu dalam dirinya” Nada pesan Lavi melalui saluran telepon.
“Hershel bukan Messi atau Cristiano
Ronaldo bisa mendapat popularitas dari bola” pertama kali ibu Nayara tidak
ingin menerima kenyataan tentang mimpi putra bungsunya.
“Jangan memaksakan mimpi ke anak
sendiri” Kenaz pun angkat bicara. Teknologi sekarang serba canggih bahkan
pembicaraan melalui sambungan telepon bisa dilakukan lebih dari 2 orang secara
bersamaan.
Merenung dan membayangkan situasi rumit
terhadap putra bungsunya. Ibu Nayara hanyalah sebagian besar dari seorang ibu
dengan ketakutan luar biasa melihat dunia sang anak memilih jalan berbeda.
Hershel lebih menyukai bola dibanding belajar akademis seharian. Nilai
sekolahnyapun tidak pernah menonjol, tetapi juga tidak berada di urutan paling
bawah.
“Hershel hanya menyukai bola” kalimat
Hershel tiap bertatap muka bersama sang ibu.
“Jangan menghentikan langkah anak mama
sendiri” Hershel.
“Bola juga bisa memberi masa depan” nada
bicara Hershel berkata-kata sebelum berjalan menuju kamar.
“Putaran hidup putra bungsumu hanya ada
pada kata bola” nada tegas Hershel.
Flashback…
Ibu Nayara sulit berkata-kata tiap
kalimat terbaru si’bungsu menekan hidupnya. Hershel lebih memilih tidak
melanjutkan kuliah setelah lulus sekolah. Hati seorang ibu benar-benar hancur
seketika. Antara mendukung mimpi sang anak ataukah melawan? Hershel hanya
berada pada sebuah klub sepak bola yang didirikan oleh dirinya sendiri.
Personil klub pun hanya beranggotakan para tetangga saja.
Rutinitas seharian si’bungsu membantu
sang ibu menjalankan usaha laundry. Berjualan gorengan tetap dilakukan, tetapi
tidak lagi berkeliling jalan karena sudah memiliki tempat khusus bahkan sangat
strategis. Ibu Nayara diam-diam mencoba mendaftarkan nama Hershel pada beberapa
klub bola. Kenyataan pahit berujung penolakan. Tekhnik menendang bola
si’bungsupun masih hancur berantakan. Bermimpi menjadi pemain bola? Apa bisa
dengan skil rendah semacam ini?
“Apa kau benar-benar ingin menjadi
pemain bola?” tatapan tegas sang ibu menarik tangan anaknya.
“Tentu saja” Hershel.
“Apa bola memang bagian hidupmu?” ibu Nayara
bertanya kembali.
“Hidup Hershel hanya ada pada kata bola”
Hershel.
Tiap hari, ibu Nayara hanya melemparkan
pertanyaan ketika berhadapan dengan sang anak. Ingin meyakinkan diri sendiri
bahwa jalan si’bungsu memang jauh berbeda dari pemikirannya sebagai seorang
ibu. “Bola atau hukum?” ibu Nayara…
“Bola atau dokter atau arsitek?”
“Apa kunci masa depanmu memang selalu
pada kata bola?”
Ada begitu banyak pertanyaan meluncur
keluar begitu saja. “Kenapa mama membenci jalan hidup Hershel?” nada kesal
si’bungsu. Ibu Nayara menarik tangan anaknya, kemudian berjalan masuk menuju
kamar.
“Tulis besar-besar di selembar kertas
ini tentang mimpimu!” ibu Nayara memberi selembar kertas kosong untuknya.
“Lakukan!” perintah ibu Nayara.
“Hershel menjadi salah satu pemain sepak
bola terbaik di dunia” tulisan Hershel cukup jelas karena huruf abjad tersebut
berukuran besar pula…
“Tempelkan ke dinding kamarmu,
sekarang!” ibu Nayara.
Hershel hanya mengikuti perintah sang
mama. “Terima kasih Tuhan karena sudah mengabulkan doa dan mimpiku, ucapkan
kalimat ini tiap kau melewati tulisanmu sendiri.” Ibu Nayara berusaha bersikap
bijak terhadap jalan hidup putra bungsunya.
“Kenapa begitu?” Hershel.
“Mimpimu menjadi pemain bola semacam
Cristiano Ronaldo, Messi, Beckam rasanya terlalu mustahil terjadi. Mama hanya
ingin menghancurkan kata mustahil dari perkara tadi” jawaban seorang ibu bagi
anaknya.
Masa depan dengan peran pemain bola
rasanya terlalu mustahil. Semua memiliki masa dan saat-saat tertentu akan redup
seketika. Sulit bagi kalangan di Negara ini dapat menyandingkan diri dengan
beberapa pemain bola dunia. Tokoh-tokoh semacam mereka mempunyai daya pikat
serta talenta jauh berbeda dibanding orang banyak di sekelilingnya. Hershel
sendiri hanya seorang manusia kampung bersama mimpi yang rasa-rasanya terlalu
sulit untuk digapai.
“Tuhan, hati seorang ibu bisa saja
hancur membayangkan sang anak berjalan begitu saja” suasana kalut perasaan sang
ibu.
Ibu Nayara membelai rambut anak
bungsunya ketika tertidur dalam lelap. “Buktikan pada mama tentang mimpimu”
mengecup si’bungsu kemudian meninggalkan kamar kecil milik Hershel.
Si’bungsu melakukan perintah ibunya tiap
melewati selembar kertas berisi sebuah kalimat. Tidak pernah bosan berkata-kata
tanpa kata ragu sedikitpun. “Terima kasih Tuhan karena membuatku bisa menggapai
mimpiku” senyum melekat memenuhi wajahnya.
“Di mataMu semua bisa saja terjadi
terlebih isi doa Hershel tentang mengejar bintang” si’bungsu tetap bersemangat
dari hari ke hari.
“Pokoknya tulisan di kertas ini Tuhan
sudah kabulkan, amin” sama sekali tidak ragu sedikitpun dan tetap memiliki satu
keyakinan…
Apa isi tulisan ini Tuhan sudah kabulkan
dalam sekejap? Jawabannya adalah butuh waktu panjang dan selalu saja bersifat
proses. Mendaftar ke beberapa klub bola dalam kota keseringan mendapat
penolakan mentah-mentah, lantas bagaimana bisa? Sang ibu belajar untuk tetap berdiri
di samping anaknya. Mencari klub sepak bola memang tidak semudah pemikirannya
selama ini.
“Anak ibu menendang bola saja ngawur”…
“Jadi pemain bola di sekitaran kampung
saja.”
“Talenta anak ibu di bawah standar, cari
sesuai bakat deh”…
“Tidak ada harapan”…
“Menggiring bola kacau gitu”
Ibu Nayara membawa Hershel dari klub
satu ke klub lainnya secara terang-terangan tanpa sembunyi-sembunyi lagi dengan
sebuah harapan, tetapi kenyataannya tidak pernah menghasilkan. Ucapan mereka
memang sesuai fakta, lantas bagaimana perjalanan si’bungsu ke depan? “Hershel
tidak akan berhenti meminta sama Tuhan” ungkapan perasaan anak remaja berusia
19 tahun depan tulisannya kembali.
“Terima kasih Tuhan sudah membuat
Hershel menjadi pemain bola dunia terbaik” isi doa si’bungsu penuh semangat
bahkan tanpa rasa bosan.
Sampai suatu ketika, sang ibu tidak
tahan lagi melihat kelakuan anaknya. “Mulai sekarang mama yang akan menjadi
pelatihmu” ucapan tersebut keluar begitu saja.
“Maksud mama?” Hershel.
“Semua klub bola menolak, sedangkan
Hershel butuh latihan biar bisa mengejar mimpi kan?” ibu Nayara.
“Memang mama bisa?” Hershel.
“Namanya juga mencoba dari pada tidak
sama sekali” ibu Nayara.
“Kalau mama sukses berdiri di samping
ka’Lavi dan Ka’Kenaz berarti mama juga bisa membuktikan diri di belakang
Hershel kan?” ibu Nayara.
“Terserah” cetus Hershel.
“Kekuatan seorang ibu jauh lebih kuat
dibanding para pelatih klub bola manapun” ibu Nayara.
Ibu Nayara memulai pelatihan cukup
ketat. Berlari sejauh mungkin ketika matahari belum terbit berjam-jam lamanya.
“Atur pernapasan waktu lari” ibu Nayara hanya membaca sedikit informasi latihan
melalui paman google.
“Perbaiki tekhnik berlarimu dulu” teriak
ibu Naraya.
Untuk sementara ibu Nayara hanya menekan
pada proses berlari. “Seorang pemain bisa mengakali lawan pada taktik berlari”
ibu Nayara makin keras melatih.
“Kalau sifat larimu biasa-biasa saja
berarti kau tidak akan bisa mengejar mimpimu” ucapan sang ibu terus berteriak.
Selama berada di samping dua anak
laki-lakinya, suara keras ibu Nayara masih berada pada ambang standar bahkan
terlalu tenang. Pertama kali baginya berteriak begitu keras hingga gendang
pendengaranpun hampir saja pecah seketika. “Temukan satu cara menciptakan
taktik berlari untuk mengecoh semua lawan di sekelilingmu,” Ibu Nayara
memandang wajah putranya yang sedang kelelahan.
“Hershel capek sejak awal latihan hanya
lari dan lari dan lari” protes Hershel.
“Latihan, pondasi, pemanasan seorang
pemain bola ada kata lari bukan yang lain terlebih dahulu. Jadi, ikuti saja
saran mama” ibu Nayara menatap tajam anaknya.
Kegiatan Hershel hanya bercerita tentang
lari selama berjam-jam. “Hershel bukan atlet pelari” teriak Hershel.
“Lakukan saja! Pikirkan strategi
mengakali lawan dan cara berlari yang tidak mungkin dimiliki oleh pemain bola
lainnya” ibu Nayara. Buku-buku bersama rekaman berhubungan dengan bola menumpuk
sekitar kamar wanita paruh bayah itu. Demi masa depan sang anak sampai rela
menghabiskan waktu menjadi sosok kutu buku terkacau sepanjang masa.
“Membaca cepat strategi lawan hanya
dalam hitungan detik, tetapi lawan sendiri tidak bisa membaca jenis taktik yang
digunakan” ibu Nayara menulis beberapa kalimat penting untuk proses pelatihan
ke depan. Keringat mengucur terus-menerus ketika latihan berlari dimulai. Ibu
Nayara menghabiskan banyak waktu hanya demi sebuah latihan khusus. Usaha
laundry maupun gorengan untuk sementara dijalankan oleh ibu Fay.
Persahabatan antara dua wanita tua
terjadi sejak anak mereka saling mengenal. Ibu Fay merupakan ibu kandung Izu
teman sekolah Kenaz. ibu Nayara memiliki modal dan tempat buat usaha laundry
dan gorengan, dari sinilah ibu Fay menjadi orang kepercayaan dengan tugas
mengatur semuanya. Izu sendiri biasa membantu ketika hari libur atau pulang
dari tempat kerjanya lebih awal.
“Izu cepat kemari banyak kerjaan disini”
teriak ibu Fay lewat telepon. Kebiasaan antara ibu dan anak saling berteriak
merupakan hal biasa bahkan sering terjadi. Izumi memasang wajah kecut menatap
ibunya…
“Ayo layani mereka semua!” teriak sang
mama.
“Mama keterlaluan” Izu sangat kesal. Atasan
Izu terus saja marah karena omset penjualan kosmetik merosot dari waktu ke
waktu. Gadis itu diberi target penjualan, namun sayangnya selama beberapa bulan
dia tidak berhasil mencapai sesuai standar perusahaan. Pekerjaan sebagai sales
marketing cukup sulit juga bahkan tuntutan cantikpun tidak cukup dalam hal ini.
“Antarkan pesanan gorengan orang! Jangan
memasang wajah emosi!” ibu Fay.
“Jangan-jangan Izu bukan anak kandung
mama atau anak tertukar di rumah sakit?” Izu.
“Hershel lagi sibuk latihan, jadi kau
harus terima kenyataan membantu setelah pulang kerja” Ibu Fay.
“Bisa-bisa saya gila kalau terus
berhadapan ma bos gila dan mamaku sendiri” cetus Izu.
“Kalau mau jadi menantu ibu Nayara
berarti harus pintar cari perhatian, ngerti?” ibu Fay menyadari perasaan anak
gadisnya. Entah sejak kapan gadis super jorok di sekolah berubah menjadi cantik
karena menyukai seseorang. Penampilan Izumi mulai berubah setelah lulus sekolah
termasuk mulai menyadari perasaannya.
Raut wajah Izumi berubah seketika ketika
mendengar pernyataan ibunya sendiri. Tenaganya mulai kembali untuk menjalani
rutinitas berjualan gorengan ataupun mengantar pesanan pelanggan. “Hershel
semangat latihannya” berteriak memberi dukungan.
“Berhenti bicara!” Hershel menghentikan
larinya.
“Tekhnik larimu masih dibawah standar”
teriak ibu Nayara.
“Calon mertua maksudku tante semangat
amat” tangan Izu cekatan memijit dua kaki ibu Nayara ketika mereka berdua
istirahat sejenak, sedang Hershel sendiri terus melanjutkan latihan.
“Seorang pelatih memang harus punya
semangat seperti di film-film” ibu Nayara.
“Calon mertua maksudku tante ternyata
korban film rupanya” Izu tertawa lebar.
“Maksud Izu memang pelatih itu harus
bersemangat” Izu meralat kembali ucapannya barusan.
Latihan masih terus berlanjut dari hari
ke hari tanpa mengenal lelah. “Gunakan kaki paling kuat untuk mempermainkan
bola” nada kalimat ibu Nayara mulai melakukan proses latihan baru selain
berlari.
Cerita sosok ibu menjadi pelatih
merupakan sejarah pertama bagi seorang anak. “Kalau kau bisa memainkan dua
kakimu bergantian menendang bola sambil membaca situasi lawan berarti proses
latihan sekarang mulai ada peningkatan” ibu Nayara.
“Mama baru juga latihan ginian, sejak
kemarinkan Cuma lari saja terus” Hershel.
“Maksud mama biar Hershel mulai mikir
tekhnik latihan begini tu harus gimana” ibu Nayara.
Para pemain terbaik dunia tidak pernah
memiliki waktu luang buat istirahat dan cerita mereka hanya berada pada kata
latihan. Nafas seorang pemenang berada pada pernyataan tidak mengenal lelah
ketika memulai proses cukup menyakitkan. Ibu Nayara banyak membaca kisah beberapa
tokoh pemain terbaik sehinggga tidak memberi kesempatan anaknya istirahat
ketika sedang berlatih.
“Terlihat santai dan tetap tenang tapi
menghancurkan strategi lawan” ibu Nayara.
“Gimana ceritanya? Hershel.
“Pemain bola itu harus memiliki
variasi-variasi permainan, jangan berpatokan terhadap satu jenis saja karena
mudah terbaca. Mau bersaing ma Ronaldo atau tidak sama sekali?” ibu Nayara.
“Klub yang mau menerima Hershel saja
masih mencari, gimana cerita?” Hershel.
“Karena itu kau harus punya modal dulu.
Masalah klub pasti Tuhan kirim dan semua mempunyai waktu tersendiri” ibu
Nayara.
Penekanan latihan makin berada pada
tingkat kesulitan cukup parah. Seorang ibu sedang berjuang mematahkan pintu
kemustahilan untuk membuat dunia melihat satu cerita terbesar. Iringan nada
sejarah masih berada dalam perputaran roda permainan. Tidak seorangpun akan
mengerti tentang seberapa kuat iman seorang ibu ketika berdiri di belakang anaknya.
“Mengambil kembali bola dari lawan butuh
kecepatan tertentu pula, tetapi harus tetap terlihat tenang dan jangan
terpancing situasi” ibu Nayara.
“Mata, sikap tenang, kecepatan kaki,
variasi tekhnik berlari harus bisa
benar-benar menyatu biar kau bisa memasukkan bola ke gawang” ibu Nayara
tanpa lelah berkata-kata sambil memperhatikan perkembangan latihan anaknya.
“Ayo ulangi lagi” ibu Nayara.
“Mama” Hershel.
“Terus tendang bolanya sambil berpikir
variasi strategi paling sulit dijangkau lawan”…
Diam-diam ibu Nayara mencoba kembali
mencari informasi-informasi klub sepak bola selain di Negara ini. Ketika
terjadi pertandingan persahabatan dari beberapa klub terbesar di dunia, maka
wanita tua itu berjuang mati-matian biar bisa berdiri di depan para pelatih asing.
Apa perjuangannya membuahkan hasil? Kata gagal sudah biasa terjadi bahkan lebih
parah dari pemikiran dia sejauh ini. Terjatuh, diusir, di dorong, dan masih
banyak hal-hal buruk terjadi hingga semuanya penuh dengan kata sia-sia saja.
“Mamaku tidak akan mungkin merasa lelah
demi mimpi anak sendiri” sebuah pesan milik Kenaz melalui salah satu aplikasi
memberi penyemangat.
“Mama Lavi memang hebat tidak ada
duanya” suara Lavi terdengar jelas di telepon. Mereka berdua belum tahu apa
yang sedang dialami sang ibu, namun seolah Tuhan memang sengaja memakai cara
tersebut untuk menjadi satu kekuatan…
“Bersabarlah dalam kesesakan” kembali
pesan Kenaz buatnya.
“Bertekunlah dalam doa biar putra bungsu
mama menggenggam bintang” WA Lavi.
Bagian 10…
Lavi Yagil…
“Kapan pulang?” suara mama tiap
menelpon. Saya benar-benar merindukan suasana rumah setelah berada di luar
negeri sekian tahun lamanya. Mendengar mama sibuk melatih Hershel seolah
membuatku penasaran sehingga saya memutuskan balik rumah selain ingin berada di
pelukan mama.
“Cepat naik!” seorang gadis judes
menarik koper milikku di bandara. Siapa dia? Kenapa bisa berbicara seolah
mengenal siapa diriku.
“Jangan bengong dokter bodoh” gadis itu
tahu pekerjaanku.
“Maaf saya sepertinya tidak mengenal…”
raut waja kebingungan dariku.
“Tapi saya mengenalmu, kenapa bisa?
Karena sering saya sering ke rumah dokter” jawaban nyerotos gadis itu.
“Siapa?”
“Sahabat Kenaz atau bisa saja jadi adik
ipar dokter nantinya” ucapan nyerotos darinya.
“Kenaz belum pernah bilang kalau ternyata…”
ucapanku terpotong.
“Karena saya belum menyatakan perasaan
sih, tapi masih dalam masa pergumulan” jawaban nyerotos kembali.
Gadis aneh tiba-tiba saja bercerita
banyak hal hingga membuatku tertawa seketika. Wajahnya begitu mirip dengan
seseorang yang pernah kukenal. Entahlah. Saya tidak pernah tertawa selebar
sekarang karena cerita lucu di sekitar gendang pendengaranku. Calon adik ipar?
Jangan-jangan gadis jorok yang dimaksud oleh manusia brengsek itu…
Cara berpakaian kelewat bersih begini
dibilang jorok? Benar saja? “Btw, panggil saja Izu” ucapan gadis itu kembali.
Menyetir mobil sambil bernyanyi merupakan ciri khas Izu.
Perjalanan melelahkan terbayar juga pada
juga setelah melihat wajah mama di rumah. Memberi pelukan hangat menyadarkan
hidup Lavi tentang seberapa besar perjuangan mama kemarin. “Lavi bangga
memiliki mama terhebat sepanjang masa” makin mendekap kuat tubuh mama.
Rasa malu mengakui mamaku sendiri sudah
hilang ditelan bumi. “Lavi akan tinggal bersama mama lagi” hanya kalimat itu
yang bisa terlontar keluar.
Bocah ingusan ternyata memiliki
perubahan cukup drastic. Hershel bukan lagi anak ingusan, tapi dengkurannya
ketika tidur makin sadis saja. Foto para pemain bola kesayangannya terpampang
jelas memenuhi seluruh ruangan di rumah ini. Bola-bola pemberianku terpajang
manis di tiap sudut bahkan mengambil tempat banyak di garasi sebelah.
“Ka’Lavi harus percaya kalau suatu hari
nanti Hershel pasti bisa menjadi pemain bola terbaik seperti David Becham,
Cristiano Ronaldo, Neymar, Messi, siapa lagi yah?” Hershel menggaruk-garuk
kepala sendiri.
“Terserah” nada dingin seolah bersikap
acuh terhadapnya.
Masing-masing anak mempunyai cerita
tersendiri untuk tiap perjalanannya ketika berlari. Hidupku hanya mengerti
tentang skil memainkan pisau bedah di atas sebuah meja. Begitulah dunia medis
ketika berada di sebuah rumah sakit maupun klinik. Seorang dokter harus bisa
menciptakan cerita tertentu pada bagian tak terduga dari satu objek.
Mempertahankan argument tentang diagnose suatu penyakit memang tidak mudah,
tetapi pola pikir pun memainkan kata lain ketika berdiri.
Ketika berada dalam sebuah ruang
pertemuan beberapa dokter dari bidang sama maupun berbeda untuk menjelaskan
diagnose tersebut, tentunya sikap siap menghadapi dan menjelaskan harus
benar-benar akurat bahkan lebih dari kata meyakinkan. Problema di dunia medis
adalah tentang cara berpikir kritis dalam gaya, reaksi, sikap tenang masih
menjadi kasus terberat termasuk pada diriku sendiri. Hampir sebagian besar
dokter pernah melakukan kesalahan di antara kata sadar ataupun tidak sadar sama
sekali. Dokter jenius sekalipun berada pada situasi seperti yang telah saya
sebutkan dikarenakan permasalahan salah mengambil keputusan, angkuh, perbedaan
pendapat, kondisi lain dari pasien, dan beberapa objek lainnya.
Terdapat beberapa jenis sikap dokter di
dunia medis. Sikap tenang tanpa banyak bicara, namun memiliki keahlian
memainkan skil berbeda dibanding yang lain. Di tempat lain terdapat pula
seorang dokter dari sudut pemikiran ataupun kata-kata memang memiliki nilai
tersendiri. Terkadang kelompok seperti ini sisi lemahnya ketika langsung
berhadapan dengan pasien. Kata kurang ahli ketika memainkan pisau bedah dan
penanganan pasien-pasien tertentu berada di bawah standar, hanya saja terkadang
sebagian dari mereka tidak terlihat oleh karena factor interaksi menjadi dasar
paling kuat.
Penanganan satu diagnose memberi
tuntutan pertanggung jawaban. Pada dasarnya pemikiran kritis sangat penting
terlebih ketika system yang digunakan memang sesuai dalam sikap tenang dan tidak
terpancing sama sekali. Terdapat pula sebagian dokter yang hanya mengetahui
bagian umum serta hal-hal rutinitas semata sehingga terkesan hambar tanpa
mereka sadari. Kualitas berpikir, permainan skil, etika, menciptakan sesuatu
yang tidak biasa perlu penyatuan sempurna pada garis standar kedokteran.
“Selamat datang dokter” sambutan hangat
penghuni rumah sakit besar.
“Astaga, tidak perlu repot-repot gini
juga” wajahku merona seketika melihat mereka. Lavi Yagil akan memulai karir di
sebuah rumah sakit besar setelah mengabdi di tempat asing selama beberapa
tahun.
“Penyambutan hebat” suara itu tidak
begitu asing di telingaku.
“Ternyata kau sudah berubah banyak” dia
tersenyum tipis. Xoan berada di rumah sakit yang sama denganku? Saya tidak
pernah tahu jurusan kuliahnya selama ini? Kenapa harus bertemu begini? Lebih
baik menghindari masalah dari pada menambah situasi sulit…
“Semoga saja dokter baru kita belajar
untuk tidak membohongi orang banyak” sindir Xoan selalu ingin mencari masalah
sejak bersekolah di tempat sama. Masa lalu kembali bermuara di depanku
terdengar menyebalkan.
“Rein mau kemana?” menegur seseorang.
“Minggir!” sikap judes perempuan itu.
Kenapa mengejar perempuan lain? Bukankah manusia ambisius ini mengejar Kirey
teman sekolah kami dulu? Bagaimana kabarnya dia sekarang?
Flashblack…
“Saya tidak pernah menyukai gadis
pengejar sepertimu” mendorong Kirey setelah pernyataan cintanya di hadapan
orang banyak.
“Kalau mau nolak Kirey tidak begini juga
caranya” Xoan balik mendorong tubuhku.
“Kalau memang suka ma dia langsung
bilang” ucapan sinis membalas Xoan.
Flashback…
Sejak kejadian tersebut makin
menciptakan permusuhan di antara kami. Cinta pertama Xoan hanya ada satu yaitu
Kirey. Lantas kenapa manusia gila mencari gadis lain? “Minggir!” nada ucapan ganas
pun terarah buatku.
Saya belajar tentang ucapan mama ketika
berhadapan dengan lawan jenisku sendiri. Berjalan ke samping tanpa membalas
ucapan kalimat judes gadis tersebut. “Dokter Rein memang selalu begini ma
orang” bisik Kiva.
“Btw, dokter baru kita harus siap
memperkenalkan diri” Kiva segera mendorong tubuhku menuju sebuah ruang besar
dari rumah sakit disini. Teman sejak masa kuliah di Oxford membuat kami tetap saling kontak satu sama lain selama
berpisah.
“Siap-siap menerima banyak pertanyaan
gila dari para dokter sebagai lambang perkenalan dari rumah sakit gila juga”
bisik Kiva kembali. Memperkenalkan diri terhadap anggota rumah sakit semacam
sedang mempresentasekan satu diagnose penyakit bersama beberapa system pertahanan
maupun pola pikir tersendiri pada bagian tertentu.
Cukup menegangkan terlebih ketika
sorotan mata gadis judes bernama Rein terus terarah terhadapku. “Kami ingin
memberi beberapa pertanyaan sebagai tanda perkenalan sesama tenaga medis
disini” gadis itu seakan ingin menantang.
“Silahkan, saya akan mencoba menjawab”
tersenyum dalam ruang besar…
Pertanyaan sekarang adalah pihak rumah
sakit sendiri terus-menerus merengek-rengek biar saya bisa bekerja di sini,
lantas kenapa jadi angker begini? “Andaikan satu virus mematikan menyerang beberapa
daerah, sebagai dokter apa yang akan dilakukan olehmu?” Rein.
“Saya akan belajar melakukan hal
terbaik. Mengandal tangan Tuhan ketika bekerja menghadapi situasi tersebut dan
tidak menggunakan kekuatan saya sendiri sekalipun dikatakan otak maupun tanganku
memiliki kualitas skil terbaik.” Jawaban tersebut memang sudah pada tempatnya,
karena dokter memiliki kelemahan-kelemahan tertentu walaupun dikatakan
teknologi medis makin berkembang pesat.
“Pikiran jenis apa yang akan kau
tanamkan terhadap sesama rekan tenaga medis selain bagi pasien itu sendiri?”
seorang dokter lain menyerang seperti singa mematikan.
“Persatuan seluruh tenaga medis. Kenapa?
Perpecahan akan menghalangi jalan untuk mengatasi situasi pandemic virus.
Mengumpulkan ide-ide para tenaga medis dari tiap daerah serta menyatukan dalam
satu strategi. Berbicara bukanlah sebuah kata paling menarik sekitar area
tenaga medis, melainkan kualitas pemikiran serta system yang digunakan.”
“Sistem seperti apa dan bagaimana yang
bisa kau gunakan terhadap kondisi maupun situasi pasien membludak karena virus
sekalipun letak keberhasilannya tidak sampai 100%?” pertanyaan iblis dari sisi
kiri ruang ini.
“Seperti
ucapanku tadi, bahwa situasi tersebut menuntut pikiran-pikiran berkualitas dari
para tenaga medis terlebih dunia kedokteran sendiri tanpa harus banyak bicara. Saya
akan mencoba membagi tugas terhadap mereka semua bukan hanya masalah menangani
pasien…”
“Maksud ucapanmu?” Rein mengangkat
tangannya.
“Bekerja sama, memancing seluruh tenaga
medis di tiap daerah menemukan sebuah strategi baru dan tidak bercerita tentang
pasaran dalam proses penyelesaian pandemic, terakhir adalah membagi tugas”…
Terkadang persaingan antara para dokter
menjadi penyebab terjadinya kegagalan ketika mengatasi situasi tertentu terlebih
pada garis kata virus mematikan. Beberapa kelompok tenaga medis hanya diam di
tempat, ada yang kebanyakan bicara, cuek, sebagian lagi sibuk bekerja tetapi
dunia kerja mereka hanya rutinitas hingga kualitas system hilang ditelan bumi.
Menampilkan ide baru memang tidak mudah bahkan kata gagal lebih sering bermain.
Suasana tempat perkenalan tadi cukup
menyeramkan juga. Saya cukup betah juga bekerja disini setelah sukses
menyesuaikan keadaan. Hal paling sulit dilakukan adalah beradaptasi menurutku. Pikiran
masing-masing dokter memiliki tingkat perbedaan tertentu yang terkadang sedikit
menciptakan perselisihan tanpa sadar. Penyatuan kerja sama antara tenaga medis
tidak semudah pemikiran orang, sekalipun kelihatannya mereka mengiyakan
beberapa pernyataan.
“Seorang gadis centil mencarimu di luar?
Kiva membuka pintu ruang kerjaku tiba-tiba.
“Gadis centil? Siapa?”
“Lihat saja sendiri” Kiva.
“Ka’Lavi makan siangmu datang” Izumi
menyapa bersama senyum centilnya. Saya sedikit tertawa melihat tingkah gadis di
depanku. Dia tidak pernah kehabisan akal mengatakan hal-hal konyol hingga
mengundang tawa keras. Wajar saja mama begitu dekat dengannya, Izu sangat
pandai menarik perhatian semua orang.
“Jangan membuat keributan di rumah
sakit!” tegur Rein sangat marah mendengar suara keras di sebelah ruangannya.
“Maaf atas keributan kami” berkata-kata
dengan tubuh sedikit membungkuk. Saya harus mengakui kalau Rein memang masuk
hitungan salah satu dokter jenius. Masing-masing dokter memiliki pribadi
tersendiri termasuk dirinya ketika berada di sekitar lingkungan sesama rekan
medis maupun pasien.
“Sepertinya dokter Rein sedikit cemburu”
bisik Kiva.
“Bicaramu kelewat ngawur” menepuk kepala
Kiva setelah Rein meninggalkan kami.
“Kakak harus membantu Izu sekarang” Izumi
menarik tangan kananku kemudian membawahku menuju sebuah pusat perbelanjaan.
Ternyata tempat kerja kami berdua sedikit berdekatan, jadi hanya butuh waktu 10
menit kesana memakai dua kaki.
Sengaja mengantar bekal makan siang ke
rumah sakit, pada hal ada udang dibalik batu. Izumi menyuruhku menjadi sales
marketing produk kosmetik. “Izu harus capai target penjualan bulan ini, jadi
ka’Lavi harus menolong” tangan mungilnya menepuk dua pipiku.
“Calon kakak iparku kan cakep artinya
bisalah jadi alat” senyum Izu.
Mau tidak mau kemauan gadis kecil di
sampingku harus kuikuti. Seluruh pengunjung berlarian berdiri di sekitar kami
seketika. “Produk kosmetik dijamin berkualitas karena bisa membuat manusia terjelek
maksudku wajah jeleknya tidak tersaingi menjadi sangat cantik” teriakan Izu
memakai pengeras suara.
“Wajah mulus mengkilat dan bisa
mengalahkan bulan mudah di dapat hanya dengan sekali oles” Izu.
“Beli tiga produk bisa langsung foto
selfie ma kakak paling cakep sedunia” masih ngoceh berkoar-koar menawarkan
produk kosmetik miliknya.
“Kalau ciuman boleh ga?” seorang
pengunjung bertanya.
“Tuhan, dengar yah adik manis selfie
boleh tapi ciuman tidak bolehlah masalahnya bukan muhrim. Apa lagi kakak paling
cakep sedunia ini sedikit alim, ngerti?” jawaban Izu membuatku ingin tertawa
keras.
“Lagian mamanya bisa-bisa jantungan
kalau ketahuan” ujar Izu kembali.
Dagangan kosmetik miliknya habis terjual
gara-gara ucapan nyeleneh ketika berteriak di tengah keramaian. Dia tidak
pernah absen menarik tanganku dari rumah sakit tiap jam istirahat. Apa yang
kulakukan? Mengikuti kemauan gadis centil berjualan kosmetik? Membantu ibunya
berjualan gorengan menjadi ciri khas Izu.
“Ka’Izu sudah berpindah ke lain hati
yah?” Hershel dengan wajah berkeringat menatap ke arah gadis centil.
“Pindah lain hati gimana?” Izu balik
bertanya sambil melayani pembeli gorengan.
“Ka’Kenaz sebentar lagi balik pulang”
Hershel.
“Memang kenapa kalau Izu pindah lain
hati?” entah bergurau atau sedikit ada hal lain…
“Kapan balik?” Izu.
“Jangan-jangan ka’Lavi memang ada
perasaan ma dia” Bisik Hershel.
“Hentikan kelakuan bodohmu” menepuk
wajah kurcaci di sampingku. Kenaz sebentar lagi balik berarti kami bertiga bisa
berkelahi seperti dulu lagi. Hal lebih gila kalau ternyata adikku itu menyukai
gadis centil juga. Satu-satunya teman di sekolah kemarin hanya gadis centil
bukan yang lain. Izu selalu mengekor kemanapun Kenaz bepergian atau berjualan
gorengan.
Saya tidak pernah takut Kirey menyukai
cowok lain. Lantas kenapa muncul sedikit rasa takut membayangkan gadis centil
yang baru kukenal beberapa bulan lalu kembali berdekatan bersama adikku
sendiri? “Maaf sedikit mengganggu acara kalian” suara itu tidak asing di
telingaku. Kenaz membuat kejutan terhadap kami semua…
Bagian 11…
Kenaz Yagil…
Saya memang sengaja merahasiakan
kedatanganku dari luar negeri biar terlihat seru. Bagaimana kabar mama
sekarang? Kurcaci jelek pasti masih nyerotos karena mama mengambil alih peran
sebagai pelatih. Ka’Lavi pun sudah lebih duluan tiba beberapa bulan lalu
dibanding saya karena sesuatu dan lain hal.
Rumah mama tidak banyak berubah bahkan
masih tetap seperti dulu. Poster pemain bola bertebaran di tiap sudut dinding
rumah. Hobi kurcaci jelek memang belum pernah berubah sama sekali. “Hershel
menjadi salah satu pemain sepak bola terbaik di dunia,” membaca satu kalimat…
Saya sudah membayangkan tentang impian
kurcaci jelek sejak kecil. Dia tidak pernah berubah hingga detik sekarang.
Kamar ini menjadi memory kami bertiga sewaktu masih kecil. Tidur bersama
walaupun dikatakan sering berantem satu sama lain. Mama masih tetap
mempertahankan bentuk kamar sederhana di rumah ini dengan alasan kenangan masa
kecil 3 jagoannya.
Kamar mama pun tidak ada perubahan sama
sekali. Foto keluarga juga terpajang besar di sini. “Jangan jadi pembenci” bayangan kata-kata mama terngiang tiba-tiba
ketika menatapa wajah seorang pria di sampingku dalam foto keluarga tersebut.
Sampai detik sekarang tangan mama terbuka lebar andaikan pria itu berjalan
masuk kembali ke rumah.
“Apa Lavi sudah pulang” suara mama belum
menyadari kehadiran putra keduanya.
“Perasaan anak mama lagi berjualan
kosmetik ma Izu kalau jam istirahat bukannya kembali ke rumah” kata-kata mama
lagi. Sejak kapan gadis jorok begitu akrab dengan ka’Lavi?
“Kabar mama gimana?” berbalik ke arah
mama.
“Kenaz” teriak mama memberi pelukan dan
ciuman berulang kali. Ternyata mama terlihat nyentrik memakai pakaian trend
emak-emak hasil kirimanku tiap bulan.
“Mama sangat cantik memakai sepatu kets”
menggoda mama.
“Mama kemanapun selalu berpakaian
olahraga apa lagi kalau melatih Hershel” mama.
Kekuatan ibu membuatku bisa berjalan.
Kenaz tidak akan pernah bisa berdiri tersenyum memegang bintang andaikan mama
tetap berdiam dalam ruang sunyi. Memiliki masa lalu buruk bukan alasan untuk
berhenti berlari mengejar objek terbaik. Mama berjuang tanpa mengenal lelah
agar jagoannya juga bisa menjadi seperti anak lain.
“Maaf sedikit mengganggu acara kalian”
memberi kejutan tiba-tiba terhadap kakak dan adikku.
“Ka’Kenaz” wajah Hershel hampir tak
percaya…
“Kau kembali juga” ka’Lavi tersenyum
kecil pertama kalinya buatku.
“Ka’Lavi tidak pernah tersenyum seperti
ini buatku” sindiran buatnya.
“Kakak Kennnnnnnnn” teriak seorang gadis
cantik hingga gendang pendengaranku hampir pecah seketika. Sepertinya saya
mengenal suaranya tapi mana mungkin…
“Kenaz” ibu Fay segera memelukku.
“Gara-gara terlambat bangun sampai Izu
gagal mengantar ke bandara dulu” ibu mengingat kembali moment masa lalu hingga
membuatku tertawa.
“Gadis jorok mana?” sampai detik
sekarang ledekan tersebut masih tetap berlaku.
“Apa kakak memang sudah lupa wajah
ka’Izu” Heershel.
Sebuah pukulan membentur kepalaku hanya
dalam hitungan singkat. Bagaimana bisa gadis tomboy, super jorok, berandal,
hancur berubah total menjadi cantik? Sejak kapan dia berubah imut? Apa mataku
memang lagi rusak atau gimana? Video call bersama manusia jorok memang tak
pernah kulakukan, tetapi menyelipkan beberapa barang buatnya diantara kiriman
mama memang sering sih.
“Gadis jorok?” kening berkerut hampir
tak percaya.
“Menurut ka’Kenaz?” dia segera menepuk
jidatku seketika.
“Kakak makin cakep sebelas dua belas ma
ka’Lavi” matanya tidak berkedip…
“Calon menantu harus makan gorengan
buatan ibu mertua sendiri” ibu Fay berkata-kata jahil kelewat kacau, tapi
sedikit membuat gugup.
“Rasanya sangat enak” ka’Lavi segera
menarik gorengan dari tanganku lantas memakan dengan begitu lahap depan kami
semua.
“Berarti ka’Ken bisa jadi model
penjualan kosmetik besok” gadis jorok mengedipkan mata beberapa kali. Dia
berubah menjadi sales marketing produk kosmetik? Apa dunia benar-benar sudah
kiamat atau belum? Gadis super duper tomboy berjualan produk kecantikan?
“Besok saya ada kerja” membalas
ucapannya. Saya tidak berbohong masalah pekerjaan. Pertemuan salah satu ceo
karena urusan kerjaan sedang menantiku hari esok. Perubahan besar terjadi
terhadap beberapa orang di sekitarku. Ka’Lavi tidak lagi melemparkan wajah
sinis ataupun sikap dingin terhadapku.
Kami bertiga akan kembali sekamar lagi.
Aksi dorong mendorong di atas ranjang belum berubah. “Minggir” kurcaci jelek
menendang kaki kiriku. Dengkuran keras tetap juga berkumandang seperti suara
sirene di malam hari. Kenapa mama tidak merubah rumah atau pindah mencari
tempat lebih luas?
Berada di atas meja makan menikmati
sarapan pagi. Saling menatap melihat hidangan mama masih tetap sama. Tiga
jagoan mama berebut makanan jauh berbeda dari sikap kami yang dulu. Ka’Lavi
begitu lahap menikmati masakan buatan mama. “Calon menantu” ibu Fay membawah
sesuatu di tangannya.
“Rasanya terlihat enak” ka’Lavi segera
menarik sebuah mangkuk berisi sup segar.
“Ka’Lavi lagi lapar yah?” melihat sosok
kakakku menikmati hidangan sup pemberian ibu Fay.
“Sangat lapar” jawaban menohok ka’Lavi.
“Btw, Kenaz harus bertemu seseorang
setengah jam lagi” menyadari sesuatu.
Segera berlari keluar rumah mencari
apapun yang bisa membawaku kesana. “Gadis jorok antar saya ke alamat ini
memakai motor bututmu sekarang!” siapa pernah menduga Izu sedang mengemudikan
motor tahun tempo dulu…
“Tidak jalan! Tidak ada kata protes”
menepuk bahu gadis jorok.
Ternyata motor butut miliknya memiliki
tenaga super juga sampai bisa ngebut. “Terima kasih gadis jorok” ejekan itu
terus saja terlontar keluar.
“Pergilah!” nada memerintah setelah kami
berada depan gedung pencakar langit.
“Izu juga sejak tadi sudah mau pergi”
suaranya seperti ledakan nuklir.
Gadis sangat kesal akan sikapku barusan.
Dia tidak pernah marah bagaimanapun saya berlaku buruk ketika kami bersekolah
dulu. Kenapa situasi dulu dan sekarang berubah? Berjalan masuk ke dalam gendung
pencakar langit untuk urusan pekerjaan sesuai ucapanku kemarin.
“Perkenalkan saya Kirey pemilik
perusahaan” sosok wanita berkelas manyapa ramah…
Dunia arsitek memang berbeda dibanding
bidang lain. Pekerjaan Kenaz Yagil ada pada kata arsitektur hingga detik
sekarang. “Sebagai Ceo rencana pembuatan satu pusat tempat hiburan buat semua
orang sedang kami rancang” wanita itu mulai pembicaraan.
“Saya butuh konsep bersama desain cukup
unik dibanding tempat lain” melanjutkan kalimatnya lagi.
“Kenapa memilih saya bukan orang lain?”
satu pertanyaan…
“Semua mata tertuju terhadap seorang
arsitek ternama menjadi alasan sayapun ikut tertarik bekerja sama” Kirey.
“Maaf ibu”
“Panggil saja Kirey biar lebih akrab” Kirey.
“Maksudku begitulah”…
“Begitulah?” Kirey.
“Lupakan” balasku.
“Sudah menemukan jenis konsep yang
kumau?” Kirey.
Baru juga ketemu lantas harus langsung
memberi jawaban konsep? “Sekarang lagi trend satu istilah Global Warming, bagaimana kalau saya menaawarkan konsep seperti
dari dua kata tadi?” entah kenapa istilah tersebut muncul begitu saja.
“Terserah” Kirey.
“Beri saya waktu membuat rancangan,
setelahnya akan kembali berdiskusi langsung untuk mendapat persetujuan dari
anda maksudku ya begitulah” sedikit canggung berucap.
“Bagaimana kalau seminggu” Kirey.
“Okey, deal.” Global Warming memang
menjadi perhatian seluruh dunia. Ketakutan terbesar sejumlah Negara dikarenakan
dampak pemanasan global tersebut bisa saja berakhir tragis. Pemikiran
masing-masing Negara akan dampak ke depan terdengar cukup menakutkan.
Biasanya pihak perusahaan menuntut
sesuai konsepnya, tetapi Ceo wanita ini seperti kehabisan akal. Aneh juga
mendengar ucapan dia tadi. Dunia menganggap bahwa kekacauan serta penyebab
terbesar global warming adalah masalah pemakaian teknologi berlebihan, gas
industry hingga terjadi pencemaran udara, tissue, produksi limbah penghasil
metana dari peternakan, penggundulan hutan, dan lain sebagainya.
Satu sama lain Negara saling menyerang
tentang siapa, dimana, pertanggung jawaban, serta tahapan-tahapan sumber
pemanasan global itu sendiri. Negara penghasil sampah terbesar silahkan maju
berkata-kata setelah bukti kuat berdiri di depan merupakan makna pemberitaan
beberapa media. Pemimpin Negara A menyalahkan Negara D dan lain sebagainya
situasi dunia sekarang.
“Sibuk amat” ka’Lavi tiba-tiba saja
berada di kamar. Kupikir dia lagi di rumah sakit karena shift kerjanya malam
ternyata tidak.
“Biasalah” jawabanku.
Kami berdua tidak seperti dulu lagi
bertengkar hanya karena situasi kecil. Memory masa dulu terkadang membuat saya
ingin tertawa lebar. “Proyek besar yah?” ka’Lavi.
“Biasalah” jawaban sama.
“Pemanasan global?” ka’Lavi.
“Biasalah” kata sama kembali.
“Dengar-dengar salah satu pemimpin dunia
langsung menyebut merk sebuah Negara yang akan tenggelam sekian tahun lagi
karena dampak pemanasan global” ka’Lavi.
Hal tergila pemimpin dunia saling
menyorot ataupun menyudutkan satu sama lain. Apa ucapan pemimpin itu salah?
Tentu tidak sama sekali. Masing-masing berhak menyimpulkan atau mengeluarkan
pendapat. “Apa pendapatmu kasus pemanasan global?” Ka’Lavi duduk manis sambil
bertanya dengan sangat santai.
“Buat saya sih, penyebab terbesar bukan
karena teknologi-teknologi besar, listrik berlebihan, gas, atau apalah melainkan
kasusnya itu berada pada kata dosa manusia sudah di ambang batas” jawaban
terbaik buat semua Negara.
“Betul juga yah” ka’Lavi.
“LGBTQ dianggap kehidupan normal, sex
bebas, membunuh, perang agama, permainan politik, mengangggap diri Tuhan, menghalalkan
segala cara untuk kepentingan tertentu, aborsi, dan masih banyak lagi.”
“Kalau dilihat dari gambarmu kau ingin
menjelaskan sesuatu” ka’Lavi.
“Pemanasan global, dosa, dan manusia
penyampaian pesan cukup signifikan”…
Sebuah gedung membentuk bola dunia.
Dunia arsitek menyukai objek bersifat seni ketika mengungkapkan satu karya. Komposisi
pemyampaian pesan lewat konsep menjadi sesuatu hal yang menyenangkan. Jangan
menunjukkan karya bersifat pasaran jika jalanmu ingin tetap bertahan sekitar
jalur arsitektur. Abstrak, berseni, klasik. Menyimpan makna mendalam,
penyampaian pola pikir harus memiliki kombinasi seimbang lewat sebuah desain.
“Lukisan peta dunia, kegiatan manusia
zaman modern, teknologi-teknologi canggih, kutub es mencair, peradaban menyatu
pada bagian luar gedung tersebut” Ka’Lavi.
“Saya memang sengaja menciptakan seni lukis
bagian luar gedung berbentuk bola dunia agar menjelaskan beberapa hal” memberi
penjelasan.
Bagian dalam gedung itu sendiri akan
memainkan outdoor dalam indoor. Terdapat beberapa tempat menggambarkan tentang satu
kondisi. Kutub es dan sebagian besar mencair, teknologi-teknologi zaman modern,
ruang seni lukis, persaingan pembuatan nuklir, lautan lumpur, beserta
tempat-tempat misterius lain berada dalam gedung tersebut. Bagian dalam maupun
dinding langit gedung ini akan memainkan warna cokelat sehingga Nampak seperti
lumpur beserta lukisan kehidupan manusia bersama permainan dosa. Dari luar
menjelaskan situasi terbesar berkata tentang teknologi, limbah, penggundulan
hutan di mata manusia merupakan penyebab utama. Ketika mencoba masuk dan
menggali lebih dalam, kenyataan sebenarnya adalah penyebab terbesar global
warming adalah lumpur dosa seluruh penghuni bumi.
“Menurut informasi Negara yang dikatakan
akan tenggelam diam-diam memiliki beberapa tokoh tertentu yang akan meluncurkan
teknologi terbaru, tapi masih belum pasti juga, hanya saja kemungkinan besar
jauh-jauh hari penyataan-pernyataan berhubungan masalah global warming mulai
gencar berteriak” ka’Lavi.
“Aneh juga”…
“Tapi belum pasti juga sih, kalaupun
beberapa penemuan tersebut ada, tetap masih dalam kata tanda Tanya. Bisa saja beberapa
teknologi tersebut di alihkan ke Negara lain karena tergantung situasi di
Negara ini sendiri ke depan bagaimana terlebih masalah penolakan di beberapa
hal menjadi alasan juga” ka’Lavi.
“Belum pasti tapi sudah mulai diserang,
berarti ketakutan duluan yah” tertawa mendengar pernyataan.
“Tanggapanmu sendiri seandainya
teknologi tokoh-tokoh tadi akan dicekal?” ka’Lavi.
“Saya rasa mereka semua tidak punya hak
menyerang karena di beberapa tempat juga dari sudut pemakaian teknologi modern
jauh lebih hancur terlebih dunia lumpur dosa dimana-mana bahkan terlihat sangat
jorok” saya hanya mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Jangan jadikan pemanasan
global sebagai alasan menghalangi jenis teknologi-teknologi terbaru yang ingin
diluncurkan, lagian inikan bukan nuklir untuk membunuh jutaan orang…
Di lain tempat saya rasa tokoh-tokoh
tadi harus menemukan jalan keluar juga untuk berjaga-jaga. Menciptakan sebuah
alat yang kemudian akan digunakan di seluruh wilayah kutub es agar tidak
mencair. Air ataupun daging bisa dibekukan dalam sebuah freezer, berarti pasti
ada satu alat terbaru yang bisa mempertahankan keadaan di kutub sana. Sebuah
mesin beku dalam porsi sangat besar untuk sebuah wilayah perairan. Penghijauan
saja tidak cukup untuk mengatasi masalah ini.
Di tempat lain harus ada alat
penetralisir polusi udara yang akan terpasang pada jalan-jalan terlebih sekitar
pabrik. Proses kerjanya yaitu menghirup seluruh gas beracun/ karbon dioksida
kemudian membuatnya menjadi oksigen, ion, dan beberapa vitamin untuk
disemprotkan ke udara. Tiap pabrik dituntut memiliki pipa saluran pembuangan
limbah pada satu tempat yang telah ditentukan. Jadi pipa-pipa ini memiliki
bahan khusus yang akan mengantarkan air limbah menuju tempat seharusnya. Limbah
tersebut dalam satu bendungan akan mengalami proses kembali agar tidak merusak
lingkungan dan bisa digunakan kembali atau dibuang ke laut.
Sekedar berjaga-jaga dari mulut
pemimpin-pemimpin yang ingin menyerang masalah pemanasan global karena
teknologi terbaru. Kenyataan sebenarnya sih bahwa penyebab terbesar global
warming adalah peradaban dosa manusia berada di ambang paling menjijikkan dan
mereka semua selalu menyangkal hal
semacam ini. Hidup dalam dosa itu memang sangat nikmat sehingga jalan seakan
sulit melihat petualangan bersama Tuhan.
“Mama jangan buat Hershel lari terus”
kurcaci jelek mengigau.
“Tukang mendengkur masih sibuk mengigau”
ledekan ka’Lavi.
“Apa kakak tidak pernah rindu berkelahi
denganku?” wajahku tertunduk...
“Menurutmu?” ka’Lavi.
“Entahlah”…
“Makan, tidur, berada di dekat mama,
mandi, ke sekolah selalu saja berkelahi. Keadaan sekarang berkata lain, kalau
dulu kita bertiga masih ingusan apa lagi belum bertobat” ka’Lavi.
“Maaf selalu saja mencari masalah sampai
ka’Lavi sendiri terpancing juga,” pertama kali meminta maaf seumur hidupku
terhadap kakakku sendiri.
“Sikapku yang dulu juga lebih iblis
dibanding pribadimu, jadi tetap saja kita berdua sama-sama kacau” ka’Lavi.
“Tetap juga saya harus minta maaf”
celoteh seorang adik.
“Btw, maafmu bisa saya terima asalkan
menyerahkan gadis centil ke tanganku. Gimana menurutmu?” ka’Lavi.
“What?” bagaimana bisa pria sempurna
semacam ka’Lavi menyukai gadis jorok? Dia salah makan atau kebetulan bicara
ngelantur? Menurut informasi dari kurcaci jelek, ternyata ka’Lavi pernah
menolak mentah-mentah bahkan bersikap sangat kasar terhadap gadis tercantik
alias primadona sekolahnya.
“Sudah malam tidur sana” ka’Lavi
melempar bantal ke arahku.
Saya masih kebingungan sendiri melihat
gaya nyeleneh kakakku. Konsentrasiku buyar pergi entah kemana gara-gara ucapan
ka’Lavi semalam. “Calon menantu” ibu Fay alias mama gadis jorok seperti biasa
mengantarkan makanan ke rumah pagi ini.
“Makasih lagi tante” segera ka’Lavi
berdiri menyambut kehadiran ibu Fay.
“Calon menantu” ujar mama gadis jorok.
“Tante gimana vitamin pemberian Lavi?
Apa tidurnya nyenyak?” ka’Lavi.
“Sangat nyenyak” jawaban ibu Fay. Kenapa
telingaku sedikit kepanasan yah? Sesuatu tidak beres sedang menggerogoti
pikiranku sekarang? ka’Lavi menyukai gadis jorok? Apa kakakku lagi sakit?
Lantas siapa dokter Rein? Saya tidak sengaja mengangkat handphone miliknya
kemarin.
“Saya
benar-benar curiga, dokter Rein diam-diam menyukai dokter terdingin” suara
pria di telepon tertawa terbahak-bahak kemudian mematikan sendiri handphonenya
di sana.
“Astaga, saya terlambat sekarang” segera
berlari meninggalkan mereka semua.
Saya sudah janji akan datang tepat waktu
hari ini guna membicarakan kembali jenis desain terhadap sang pemilik sebuah
perusahaan besar. “Mau kemana?” gadis jorok tiba-tiba saja berhenti di depan
rumah memakai motor miliknya.
“Cepat antar saya kembal kesana” segera
naik ke motor miliknya.
“Ayo cepat! Saya sudah terlambat
sekarang” menepuk bahu gadis jorok. Suka maupun tidak mantan gadis tomboy harus
mengikuti kemauanku. Dia pintar juga dalam urusan balap membalap alias melaju
dengan kecepatan tinggi. Siapa sangka gadis tomboy menjadi sales marketing
produk kosmetik? Lebih gila lagi karena kakakku menyukai dirinya…
“Makasih buat tumpangannya gadis jorok”
segera turun dari motor miliknya.
“Kakak pikir kesini itu ga pakai bahan
bakar? Ongkos bayarku, cepat” gadis jorok segera merampas dompet milikku
kemudian membuka isinya seketika…
“Mampus” segera menarik dompetku.
“Foto siapa tu yang lagi tidur nyenyak
mirip orang kesurupan?” celotehnya.
“Bukan siapa-siapa. Pergilah!” nada
mengusir. Dia pergi dengan wajah kesal. Hampir saja isi dompetku dibongkar
total ma manusia jorok. Kegiatanku hari ini adalah menjelaskan jenis beberapa
kerangka tempat hiburan yang akan menjadi pusat perhatian seluruh lapisan
masyarakat dan dunia.
Pertemuan antara saya dan pihak ceo
merupakan proyek kerja cukup memakan waktu. “Berarti secara detail kau sengaja
mengalihkan minat masyarakat terhadap tempat hiburan dengan gaya misterius,
namun membawa sebuah pesan?” Kirey.
“Ya begitulah” jawabanku.
“Bagaimanapun juga objek paling trend
sekarang berada pada kata global warming” berkata-kata kembali.
“Boleh juga” Kirey.
“Gedung membentuk bola dunia akan
memainkan outdoor dikemas dalam paket indoor. Terdapat hutan buatan, kutub es,
peradaban manusia, ruang seni lukis, satu tempat untuk menampilkan berbagai
jenis senjata termasuk permainan nuklir, jenis-jenis café maupun restoran mengambil
konsep desain berhubungan dengan pemanasan global, dan beberapa permainan cukup
menegangkan sekaligus menghibur…” penjelasan cukup panjang.
“Lukisan-lukisan yang akan dipamerkan
dalam ruang seni berada pada jalur kehidupan manusia zaman modern. Contohnya,
lukisan menggambarkan satu ruang paling gelap dan anehnya jutaan manusia lebih
menyukai perjalanan di jalur tersebut dalam sebuah bulatan global,” berbicara
lagi tentang objek lain dari sebuah seni.
“Ngomong-ngomong sudah makan siang?”
Kirey bertanya di sela-sela komunikasi kami tentang pekerjaan.
Kejadian terbodoh yaitu Kirey sang Ceo
memaksa saya makan siang bersama di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di sini.
Waktu yang dibutuhkan ke tempat tersebut memakan waktu 30 menit memakai mobil
mewah miliknya. “Silahkan belanja kosmetik terbaru kami” kenapa suara gadis
jorok bergema begitu kencang?
“Lipstik keluaran terbaru” sejak kapan
kakakku mau berteriak keras-keras begini…
“Mau kemana?” Kirey bertanya sambil
mengekor di belakangku.
“Gadis jorok kenapa bisa kakakku
berteriak begini?” pertanyaan itu mengalihkan perhatian semua orang.
“Ken mau ikut bergabung dengan kami?”
ka’Lavi.
“Lavi” Tubuh Kirey terdiam seketika.
Kakakku dan Ceo wanita bernama Kirey ternyata saling kenal.
“Izu” Kirey juga mengenal gadis jorok.
Saya hampir tidak percaya pemandangan gila di hadapanku sekarang. Gadis jorok
dan Kirey merupakan dua saudara kandung, tetapi berpisah karena perceraian
orang tua mereka. Gadis yang ditolak ka’Lavi habis-habisan ketika masih sekolah
dulu adalah Kirey kakak kandung gadis jorok.
“Kabarmu bagaimana?” wajah sedih Kirey
terlihat jelas.
Saya bisa mengambil kesimpulan kalau
rasa suka buat kakakku masih tersimpan kuat di dasar hati pemilik perusahaan
terbesar di kota ini. “Kenapa kalian bisa saling kenal begini?” Kirey bertanya
lagi.
“Memang kenapa? Ka’Kirey penasaran?”
pertanyaan jutek Izu.
“Apa kau tidak mau melihat papa di
rumah?” Kirey melemparkan pertanyaan buat Izu.
“Ka’Ki sendiri gimana? Apa di otak kakak
hanya ada uang sampai lupa wajah mama bagaimana?” Izu. Perceraian orang tua
menghancurkan tali persaudaraan mereka. Hidupku seperti mereka tidak pernah
merasakan kasih sayang sempurna dari salah satu orang tua yang sudah membuatku
terlahir…
Terkadang sikap egoisme orang tua
memberi luka mendalam pada jalan anak sendiri. Mama mengajar kalau saya jangan
jadi pembenci terhadap papa sendiri. Apa saya bisa hidup seperti keinginan
mama? Foto keluarga kami berlima harus tetap ada di dompetku terdengar
menyedihkan. Gadis jorok dan Kirey memiliki cerita berbeda tentang perpisahan
orang tua mereka. Suasana tegang membuat kami merasa kurang nyaman ketika
berada pada salah satu restoran dari pusat perbelanjaan disini.
“Makan dulu baru setelah itu kalian
lanjutin pertengkaran kembali” ujarku berusaha menghentikan suasana tegang
karena pertemuan tidak disengaja.
“Ken betul, ntar ga punya tenaga buat
bertengkar kalau lapar” ka’Lavi.
Bagian 12…
Kirey tidak pernah menduga pertemuan di
antara adik dan cinta pertamanya terjadi. Menghabiskan waktu di luar negeri
membuat dia lupa sejenak akan memory-memory di masa lalu. “Saya tidak pernah menyukaimu, pergilah!” ingatan kalimat penolakan
Lavi berulang kali gentayangan bagaikan hantu gila sekitar pikiran Kirey.
“Kenapa sampai sekarang bayanganmu masih
membekas?” menatap foto pria tampan di tangannya.
“Kenapa kau bisa tersenyum buat adikku,
sedang sedikit saja buat tidak pernah bisa?” rasa sakit dalam diri seorang
Kirey makin bertambah. Berlari menghirup udara pagi merupakan rutinitas wanita
cantik bernama Kirey. Bayangan Lavi memakai seragam tiba-tiba muncul ketika
tidak sengaja melintasi sebuah sekolah. Senyum dingin selalu saja terlintas
jauh beda dengan diri Lavi yang sekarang.
Entah kenapa mobil Kirey meluncur menuju
sebuah rumah sakit di tengah kota setelah aktifitas lari paginya tadi. “Lavi
dan Xoan satu tempat kerja” Kirey bergumam melihat tubuh pria tampan sedang
bergegas menangani pasien darurat.
“Mereka berdua cukup kompak bekerja
sama, pada hal musuh bebuyutan sejak dulu” Kirey sibuk melihat bekas teman sekolahnya
berada dalam sebuah ruang IGD.
“Siapa dokter cantik itu? Diam-diam
memperhatikan wajah Lavi segitunya,” Kirey memperhatikan pergerakan seorang
dokter cantik.
Dia hanya ingin bertemu Xoan sahabat
masa sekolah, tetapi tidak pernah menyangka Lavipun bekerja di rumah sakit yang
sama. Pesona Lavi Yagil bisa dikatakan akan selalu membuat banyak wanita jatuh
seketika. Siapa sih ingin menolak dokter setampan Lavi? Perasaan Kirey tetap
sama bagaimananpun usahanya untuk melupakan pria itu. “Dokter Lavi” dokter Rein
mencoba memberanikan diri berada di ruang Lavi.
“Ada yang bisa saya bantu? Kok
tiba-tiba..?” Lavi.
“Apa kau punya waktu jam istirahat?”
Rein.
“Memang kenapa?” Lavi.
“Saya hanya mau mengajak anda makan
siang bersama sebagai tanda terima kasih” Rein. Alasan seorang wanita cantik
untuk memulai pendekatan. Pasien gawat darurat berhasil ditangani tepat waktu
berkat bantuan Lavi. Pihak rumah sakit memang sudah lama mengincar sang dokter
karena keahliannya di dunia medis. Lavi baru memberi respon setelah memutuskan
kembali ke Negara ini.
“Ka’Lavi dimana dirimu berada?” Izu
bersuara nyaring masuk tanpa mengetuk pintu.
“Maaf” Izu menyadari sesuatu.
“Maaf, sepertinya saya tidak bisa” Lavi
menjawab pertanyaan Rein.
“Dia siapa?” wajah Rein Nampak kecut.
“Calon a…” Izu ingin segera menjawab.
“Izu gadis centil” Lavi segera
membungkam mulut Izu.
“Maaf kami berdua harus pergi sekarang.
Dokter Rein makan siang ma dokter Xoan saja kan lebih asyik” ujar Lavi sambil
mendorong tubuh Izu keluar dari ruangan. Kirey diam-diam sibuk memperhatikan
kejadian tadi dari tempat tersembunyi.
Dua wanita cantik menyukai Lavi, akan
tetapi keadaan berkata lain. Lavi sendiri sibuk bersaing menyukai gadis lain.
Terdengar gila mendengar cerita percintaan sosok pria tampan semacam Lavi. “Ka’Lavi
tugasmu sekarang menjual produk kosmetik sebanyak mungkin biar Izu dapat banyak
bonus dari perusahaan” Izu menepuk keras bahu Lavi.
“Gadis jorok” teriak Kenaz tiba-tiba.
Entah dari mana muncul menepuk kepala Izu hingga hampir terjatuh. Akan terjadi
persaingan antara 2 adik kakak memperebutkan seorang wanita.
“Ka’Ken keterlaluan” suara Izu terdengar
marah.
“Berarti kita berdua sepertinya akan
balik bertengkar kaya dulu lagi, hanya saja versinya berbeda dari situasi
kemarin” bisik Lavi ke telingan Kenaz.
“Kenapa ka’Lavi mengincar Izu, sedangkan
dua wanita cantik diam-diam menangis gara-gara mengejar dirimu. Itu namanya
serakah” balas Kenaz dengan suara berbisik pula jauh dari pendengaran Izu.
“Saya kan tidak pernah menyuruh mereka
mengejarku, lagian siapa yang kau maksud?” bisik Lavi.
“Kirey teman sekolahmu dan dokter Rein”
jawaban Kenaz kembali.
“Kalian bicara apa? Penasaran” Izu
berusaha mendekat biar percakapan dua pria itu terdengar olehnya, namun gagal…
“Apa kelebihan Izu sampai 2 pria tampan
siap bertempur untuk dirinya?” Kirey terus membuntut bagaikan FBI ataupun intel
yang sedang menangani satu kasus. Percintaan paling rumit siap bermain bahkan
membentuk cerita tersendiri. Sampai detik sekarang hati Kirey masih tetap
menyimpan satu nama sejak usia remaja. Sudah ditolak mentah-mentah bahkan
berulang kali, namun kenyataan pahit lainnya adalah dia belum bisa melupakan
Lavi.
Hanya bisa menatap dari kejauhan
terdengar menyedihkan. “Kenapa kau bisa tertawa lebar depan adikku? Kenapa kau
tidak pernah bisa tertawa keras depanku?” Kirey berteriak keras sekitar
parkiran bawah tanah dari rumah sakit. Lavi kembali bekerja setelah
menghabiskan waktu menjual kosmetik bersama Izu dan juga adiknya. Waktu
menunjukkan pukul sembilan malam menyatakan shirt kerja Lavi selesai. Tanpa
sadar Kirey mengekor diam-diam di belakangnya.
“Kirey” mata Lavi terkejut melihat
penampakan…
“Kau mabuk” Lavi mencium bau alcohol.
Wanita itu terus mengumpat bahkan berkata-kata kacau dalam keadaan mabuk. Menggotong
Kirey ke dalam mobil kemudian membawanya pulang ke rumah.
Semua penghuni rumah jantungan seketika
melihat Lavi membawah pulang seorang wanita cantik. Berusaha menjelaskan
persoalan sebenarnya agar anggota keluarga tidak salah paham terhadapnya. Kenaz
tertawa habis-habisan melihat tingkah konyol sang kakak. Mereka bertiga harus
tidur di luar dan membiarkan Kirey menempati kamar seorang diri. “Menyusahkkan
saja” rasa kesal Hershel.
Mereka bertiga tidak ingin tidur sang
ibunda terganggu sehingga lebih memilih ruang tamu sebagai tempat tidur
sementara. “Ini akibatnya mama ga mau renovasi rumah” gerutu Hershel kembali.
“Tidur di luar ma nyamuk” rasa kesal
Kenaz mulai terlihat.
“Kenapa kakak membuat dia mabuk gila
begini sampai kita semua jadi korban?” gerutu Hershel.
“Harusnya ka’Lavi terima saja cinta
Kirey dari pada menggoda gadis jorok” Kenaz.
“Langsung inti bicara, Kenaz naksir
Izumi, selesai masalahnya” sindir Lavi.
“Lantas ka’Lavi maunya apa?” Kenaz.
“Bertengkar denganmu” Lavi.
“Sudah malam ntar mama bangun baru tahu
rasa” Hershel segera menjadi pembatas tidur antara dua kakaknya. Posisi 3
jagoan keluarga Yagil membentuk tidur kesebelasan. Tendang menendang dalam
tidur seperti biasa dimainkan oleh mereka bertiga.
Sinar matahari menutupi wajah Kirey
hingga membuatnya tersadar sesuatu. Dia benar-benar kaget tidur di kamar
sederhana. Bukan karena ibu Nayara tidak memiliki uang melakukan renovasi rumah
melainkan hanya dirinya lebih menyukai kesederhanaan dan memory kecil bersama
tiga jagoan yang ingin tetap diabadikan. “Kau sudah bangun?” Kenaz menyapa
Kirey, sedang Lavi sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali karena operasi
mendadak di rumah sakit.
“Kami bertiga juga harus menjalani hidup
tanpa orang tua sempurna seperti dirimu” Kenaz hanya ingin menjelaskan beberapa
hal terhadap wanita cantik itu…
“Papa lebih memilih meninggalkan rumah
dibanding mencintai keluarga sendiri. Mungkin karena keadaan inilah menjadikan
kakakku pernah bersikap kasar ketika kalian masih satu sekolah” Kenaz.
“Kenapa dia bisa tersenyum lepas depan
adikku, sedang denganku tidak pernah?” Kirey.
“Cinta tidak bisa dipaksa dan jangan
pernah memaksa seseorang menyukai dirimu. Ka’Lavi memiliki karakter berbeda,
jadi, kalau kau masih ingin mencoba mengejar berarti…” Kenaz.
“Berarti?” Kirey.
“Kau harus belajar beradaptasi terhadap
pribadinya. Sejauh ini ka’Lavi sulit menyukai seseorang artinya imanmu beserta
perjuanganmu akan menentukan hasil. Andaikan kau tetap gagal setelah berjuang
dan berdoa dengan iman berarti kakakku bukan jodoh pilihan Tuhan buatmu” Kenaz.
“Menerima kenyataan Lavi menikahi adikku
sendiri?” Kirey tertawa sinis.
“Belum tentu juga Izu menikah ma
ka’Lavi” Kenaz.
“Pemandangan apaan ini?” tidak disangka
Izumi berada di depan pintu kamar.
“Izu cepat panggil calon menantu mama”
ibu Fay berteriak mengejutkan mereka.
“Calon menantu mama lagi ke neraka”
kalimat judes Izu segera berjala meninggalkan rumah keluarga Yagil. Pertemuan
antara ibu dan anak sedang terjadi setelah sekian tahun lamanya terpisah karena
masalah perceraian. Kirey menatap seorang ibu tua di depan kamar membuat dia
hampir menangis seketika.
“Mama” Kirey. Tubuh ibu Fay gemetar
melihat wajah putri pertamanya. Perceraian orang tua selalu saja menghancurkan
tiap sisi pada ruang tersembunyi seorang anak. Ekspresi sosok ibu menghadapi
sang anak setelah sekian tahun.
“Kabar mama gimana?” Kirey. Mereka
berdua saling berpelukan melepas rindu. Factor keadaan pula mengharuskan Kirey
lebih memilih tinggal bersama sang ayah. Sampai detik sekarang sang ayah masih
tetap bertahan seorang diri tanpa pernikahan kembali.
“Apa mama tidak ingin bertemu papa
lagi?” Kirey.
Ayah Kirey lebih memilih menghabiskan
hidupnya di Negara asing setelah perceraian, sementara Kirey untuk sementara
tetap tinggal bersama kakek neneknya karena status sekolahnya pada saat itu. Kenaz
membiarkan mereka berdua berada di kamar…
“Kapan saya bertemu papa? Apa saya bisa
memberi pintu maaf andaikan papa berdiri di di hadapanku?” Kenaz merenung
membayangkan perpisahan orang tuanya sambil sedikit berbalik melihat pertemuan
ibu dan anak.
“Siapa yang akan menang ketika waktu
pertemuan itu tiba? Kebencian atau pintu maaf?” suara hati Kenaz berteriak
begitu keras di dasar sana.
Kenaz berjalan mencari angin segar
memakai sepeda masa kecilnya. Melihat tingkah sosok ibu penuh semangat terus
melatih Hershel biar menjadi seorang pemain bola terbaik suatu hari kelak. Ibu
Nayara hampir tiap hari memberi latihan-latihan keras terhadap putra bungsunya
dan hal tersebut membuatnya pun tidak pernah terlihat di pagi hari untuk
menikmati sarapan. Dia tidak lagi sedang memancing bakat Kenaz ataupun mencari
beasiswa, melainkan berjuang menjadi sosok pelatih terhebat bagi Hershel. “Seberapa
besar keyakinan mama terhadap Hershel?” Kenaz berdiri tiba-tiba di belakang ibu
Nayara.
“Ken tidak kerja?” ibu Nayara.
“Mama jangan mengalihkan pertanyaan”
Kenaz memberi sebotol air mineral segar.
“Kalau mama bisa berdiri disamping Lavi
juga Ken, berarti keyakinan mama terhadap si’bungsu lebih dari kata 100%” ibu
Nayara.
“Pola didik mamaku memang beda dibanding
para ibu di luar sana. Lebih parah lagi masalah mengajar agar hidup jangan
menjadi pembenci terhadap orang tua sendiri. Terkadang mama membuat hidup Ken
gila” Kenaz menarik nafas panjang.
“Apa mama masih menunggu pria itu sampai
sekarang?” Kenaz.
“Mama melakukan semua itu untuk masa
depan kalian bertiga. Andaikan mama terjebak dalam status kebencian atau
berselingkuh apa lagi tidur bersama pria lain berarti kalianpun tidak akan
menikmati hasil seperti sekarang” ibu Nayara.
“Mamaku memang beda” Kenaz kembali
menarik nafas panjang.
“Suatu hari kelak ketika Ken menjadi
seorang ayah pasti akan mengerti tentang pola mendekap anak sendiri” ibu
Nayara.
“Hershel capek berlari terus sambil
nendang bola, boleh istirahat ga?” protes Hershel dari kejauhan.
“Mau main bola denganku?” Kenaz
berteriak ke arah Hershel.
“Hershel ingin istirahat bukan main
bola, ngerti?” cetus Hershel langsung berbaring. Mereka bertiga duduk di bawah
pohon besar sambil bersenda gurau satu sama lain. Ibu Nayara menatap
dalam-dalam putra bungsunya dengan harapan besar tentang satu jalur impian
diantara seribu mimpi. Ibu terkuat bersama pemikiran berbeda dari jutaan ibu di
dunia.
“Lakukan lompatan lagi!” berulang kali
menguintruksi Hershel ketika sedang latihan.
Tiap hari kegiatan sang ibu hanya berada
pada kata menjadi pelatih. “Tuhan, iman seorang ibu untuk kali ini tentu akan
didengar olehMU” kalimat tersebut menghembus bagaikan petir tanpa aba-aba. Dia
masih saja berjalan dalam doa bersama imannya mencari titik irama dalam sebuah
tarian kemenangan. Mengitari perputaran roda memang tidak mudah bahkan terlalu
sulit, tetapi sebagai ibu tuntutan berjalan dan berlari harus tetap berperan
sebagai kunci pondasi terbaik.
“Klub Manchester United akan melakukan
kembali pertandingan persahabatan…” tidak sengaja ibu Nayara mendengar berita
dari televisi. Seminggu lagi personil klub raksasa akan segera tiba. Sebuah
kesempatan datang sehingga sang ibu tidak mungkin melewatkan kembali hal
semacam ini.
Diam-diam mengbadikan moment latihan
Hershel sejak awal latihan menjadi sesuatu hal cukup menyenangkan bagi seorang
ibu. Berusaha mengamati serta mempelajari perkembangan latihan juga titik lemah
sang anak melalui video tersebut. Dapat dikatakan ibu Nayara hanya mengandalkan
beberapa buku, internet, rekaman pertandingan untuk memberi latihan khusus. Dia
bukan seorang pelatih jenus atau bahkan berpengalaman, melainkan hanyalah
seorang ibu yang sedang berjuang.
Ibu Nayara mendorong tubuh Lavi juga
Kenaz masuk ke kamarnya. “Lavi ngantuk parah” celoteh Lavi dengan mata tertutup
berjalan mengikuti sang mama. Seharian bekerja di rumah sakit membuat Lavi
kelelahan.
“Apaan sih mama? Besok Ken ada
pertemuan” cetus Kenaz.
“Jangan ribut” ibu Nayara segera
mengunci pintu kamar. Membiarkan Hershel tidur nyenyak seorang diri di kamar
sebelah, sedang dua kakaknya harus melakukan beberapa tugas.
“Bantu adikmu mewujudkan mimpinya” ibu
Nayara menyerahkan sejumlah video rekaman ke tangan mereka berdua. Tugas dua
jagoan Yagil adalah mengedit, mengambil moment-moment penting dari latihan
Hershel tiap hari, dan membuatnya jadi satu rekaman. Mencari
kelebihan-kelebihan si’bungsu merupakan sesuatu hal paling berharga bagi sang
ibu.
Kedatangan klub raksasa masih seminggu
lagi, tetapi dua kakak Hershel harus begadang tiap malam beberapa hari
belakangan agar menemukan jalan keluar mewujudkan satu mimpi. Lavi memohon
bantuan agar temannya mau gentian jadwal shift kerja sehingga bisa pulang ke
rumah lebih awal. Kenaz sendiri sibuk mencari informasi tempat-tempat
berkunjung personil klub tersebut bersama pelatih mereka. Menyiapkan beberapa
strategi agar bisa bertemu langsung pelatih Manchester United merupakan hal
tergila terlebih memohon sesuatu benar-benar tidak masuk akal…
“Hershel, coba tendang bolanya dari
jarak jauh memakai beberapa tekhnik yang tidak mungkin orang lain miliki dan
hanya kau pemiliknya” teriak Lavi, sedang Kenaz sendiri sibuk merekam adegan
tersebut.
“Saya akan coba memasukkan seni lukis
dalam rekaman biar lebih memancing ekspresi gitulah” Kenaz mengambil sebuah
gambar Hershel sedang menendang bola. Melukis juga merupakan salah satu talenta
terbaik dari Kenaz di waktu senggang.
Hershel sama sekali tidak tahu menahu
rencana yang akan dilakukan oleh ibu bersama dua kakaknya. Hari kedatangan klub
raksasa pun tiba sesuai jadwal. Kenaz harus berpura-pura mengambil peran
sebagai petugas bandara agar bisa menjalankan aksi, tetapi sayangnya gagal.
Belum juga melakukan dialog terhadap sang pelatih, ternyata mereka semua keburu
pergi karena diserang para fens. Kaki Kenaz kesakitan akibat terjatuh dan diinjak
oleh banyak manusia sekitar bandara.
Lavi terjebak beberapa jam dalam lift
salah satu hotel berbintang dengan berpura-pura menyamar sebagai cleaning
servis. Ibu Nayara sendiri diusir mentah-mentah oleh petugas karena ingin
mendobrak masuk ruang pertemuan antara para pemain. Semua rencana sudah
dilakukan, namun akhir dari semua ini hanya bercerita tentang kegagalan. Tiket
masuk bertanding pun habis jauh-jauh hari sebelum jadwal pertandingan.
Sepertinya segala jalan tertutup untuk mengejar satu bintang.
“Saya akan buktikan kekuatan ibu memang jauh
lebih kuat” ibu Nayara berjuang mencari segala jalan meski jutaan pintu
tertutup rapat di depan matanya.
Pertandingan persahabatan berakhir
dengan kemenangan tetap seperti biasa berada di tangan klub raksasa semacam
Manchester United. “Mister, tolong terima anakku di klub milikmu” teriakan sang
ibu sangat nyaring setelah melewati berbagai kegagalan. Semua mata tertuju ke
arahnya ketika dia berusaha menghentikan sebuah mobil dengan tidak
memperdulikan nyawa sendiri.
Seorang pria bule membuka kaca mobil
pada akhir cerita, sedang petugas berusaha menghalangi sang ibu melakukan aksi
gila. “Anakku ingin menjadi pemain bola sama seperti yang lain” dia masih
berjuang mengeluarkan sesuatu dari tas kemudian menyerahkan benda tersebut ke
tangan pria bule dalam mobil.
“Dasar wanita gila” teriak salah seorang
security.
“Pergi dari sini” mengusir wanita tua
memakai perilaku kasar.
“Jangan sakiti mamaku” Lavi segera
berjalan menerobos mendorong beberapa security.
“Sekali lagi menyentuh mama, tanganmu
hancur seketika” Kenaz pun berusaha melindungi ibunya sendiri dari perlakuan
kasar mereka.
“Itukan dokter ma arsitek terkenal yang
lagi ramai diberitakan di dunia medsos” seseorang berteriak menunjuk ke arah
mereka. Pemberitaan inipun tiba-tiba viral seketika karena kegaduhan wanita tua
setelah pertandingan persahabatan dua klub bola. Hal lebih mencengangkan lagi
adalah nama dua pria berprestasi masuk dalam pemberitaan tersebut.
Nasi sudah jadi bubur dan wajah mereka
ada dimana-mana. Ternyata selama ini Lavi juga adiknya Kenaz belum sadar kalau
ternyata diam-diam beberapa akun mengidolakan mereka. Tidak pernah tahu kalau
namanya sendiri menjadi sorotan manusia berprestasi sesuai bidang
masing-masing. Apa yang akan terjadi setelah kejadian kemarin? “Kenapa kalian
segila ini buat Hershel” si’bungsu menangis histeris depan ibu dan dua
kakaknya.
“Entahlah, kenapa saya segila itu yah?”
Lavi.
“Maaf membuat kalian semua susah”
Hershel menangis makin keras.
“Hentikan tangisanmu kurcaci jelek” cetus
Kenaz terdengar risih.
Menurut berita, rencana kepulangan
personil klub raksasa batal dikarenakan insiden tersebut. Wajah wanita paruh
bayah terpampang jelas di tiap pemberitaan media. “Jangan menyebarkan hoaks,
ngerti?” Kenaz tidak tahan melihat pemberitaan media beberapa hari belakangan
sehingga menarik kerah baju seorang pria di tengah jalan.
“Hentikan kelakuan bodohmu” entah dari mana
Izu berjalan sampai ada diantara dua manusia itu. Berusaha melerai agar tidak
terjadi perkelahian membuat tubuh Izu terjatuh ke aspal jalan. Pria itu
akhirnya berlari pergi karena ketakutan…
“Masih hidup?” Kenaz memberi pertanyaan
kacau.
“Maksud ka’Ken apa?” Izu.
“Perasaanku berkata kalau gadis jorok
yang kukenal waktu masih sekolah tetap sabar, tidak seperti sekarang kelewat
judes” sindir Kenaz.
“Namanya juga perubahan pergaulan” Izu.
“Ternyata kalau gadis tomboy plus jorok
beralih menjadi sosok feminim mudah marah yah” sindir Kenaz lagi.
“Ka’Ken memang keterlaluan” Izumi
memukul keras kepala pria di depannya.
“Apa kau mau berkeliling kota sepanjang
malam denganku buat lepas stress?” Kenaz.
“Terserah” jawaban judes Izu. Kegiatan
mereka berdua kali ini adalah mencicipi segala jenis jajanan sekitar pinggir
jalan serta melakukan beberapa hal gila sambil tertawa keras tanpa
memperdulikan pandangan orang lain. Berada di tengah pusat keramaian
menyaksikan atraksi lucu dari sekelompok badut.
“Bisa-bisanya motormu mogok begini?”
ledekan Kenaz mendorong motor milik Izu. Hal terkacau adalah seorang arsitek
berprestasi tidak memiliki mobil, lebih menyukai menghabiskan waktu memakai bus
umum untuk bepergian ataupun ke tempat kerja.
“Sudah numpang ma motor orang, pakai
meledek lagi” celoteh Izu.
“Kenapa ga beli mobil pada hal uangnya
banyak?” sindir Izu lagi.
“Saya selalu lupa beli mobil, lagian
uangku itu ditabung buat melamar seorang gadis” Kenaz.
“Ka’Ken punya pacar? Siapa?” Izu.
“Pacar dalam mimpi, lagian masih
rahasia” jawaban Kenaz bersikap cuek.
“Kenapa bisa kalian jalan berdua? Mana
gelap lagi” sosok Lavi tiba-tiba saja hadir di tengah mereka. Mendorong motor
mogok sepanjang jalan membuat Kenaz menjadi lelah seketika. Saling menatap satu
sama lain sedang terjadi di antara mereka bertiga. Membiarkan Izu berjalan
masuk ke rumahnya, sedang Kenaz sendiri pulang memakai mobil milik Lavi.
“Kau sudah lihat berita?” Lavi bertanya
setelah mobil terparkir di garasi rumah.
“Berita membosankan” bahasa Kenaz tak
ingin mendengar.
Kakak beradik langsung tertidur pulas di
kamar tanpa melanjutkan dialog pembicaraan tadi. Pemberitaan media semakin
meluas setelah video latihan Hershel tersebar di dunia maya. Ibu Nayara
berusaha bersikap tenang karena wajahnya menjadi sorotan public. Siapa pernah
menyangka karena peristiwa kemarin membuat dia dikenal sebagai sosok ibu paling
menginspirasi. Diam-diam beberapa wartawan mencari tahu tentang biografi
perjalanan dua tokoh anak muda berprestasi di Negara ini. Insiden tersebut
memancing rasa ingin tahu tentang kisah seorang dokter dan arsitek terkenal
yang sedang berjuang melindungi sang ibu.
“Permisi” sapa seorang pria tua.
Sekumpulan manusia bule sedang bersama pria itu di tempat usaha gorengan ibu
Nayara.
“Mister bule pelatih klub bola
Manchester United ingin berbicara dengan anda” kembali berbicara sambil
mencicipi gorengan tanpa permisi.
“Maksudnya?” ibu Nayara masih
kebingungan.
“I like quality of the mother child’s
game” ucapan mister bule.
“Artinya?” ibu Nayara.
“Mister bule mau membawa anak ibu keluar
negeri buat latihan khusus, udah gitu langsung jadi anggota klub Manchester
United gitulah pokoknya” pria itu mencoba menjelaskan.
“Apa saya bermimpi?” Ibu Nayara ingin
menangis terharu.
“Jadi pemain bola seperti Cristiano
Ronaldo ma Messy?” mata ibu Fay tidak berkedip sama sekali.
“Yes” mister bule menganggukkan kepala.
Kisah perjuangan sosok ibu pada akhirnya membuahkan hasil. Dia tidak pernah
menyangka pihak internasional meliput berita tentang dirinya dengan peranan
sebagai ibu terbaik yang pernah ada. Hershel menangis histeris mendengar kalau
mimpi menjadi pemain bola dunia sedang menanti. Si’bungsu memang terkenal
sebagai anak paling mudah menangis di antara tiga jagoal keluarga Yagil. Latihan
keras sang ibu membentuk satu objek terbaik dari segala jalan di luar sana.
Bagian 13…
Ibu Nayara…
Jalan itu bermuara tidak pada tempatnya.
Kepingan bangunan berserakan dimana-mana seolah segala sesuatu hanya bercerita
pada satu objek terburuk. Debu beterbangan di udara menciptakan rasa sesak
ketika tubuh menghirup dalam-dalam. Jalan bermuara tadi menggambarkan kehidupan
keluargaku yang tidak sesuai dengan defenisi keluarga harmonis. Variasi cerita
tentang kepingan hidup hanya akan berada pada satu hal bersifat luka tiap
waktu. Sebagai ibu, dua kaki dituntut untuk benar-benar kuat berlari di antara
pecahan beling. Menciptakan seni berbeda dibanding para ibu terhadap kehidupan
anak-anaknya. Mempunyai kekuatan luar biasa untuk membuatku berlari memegang
pintu terbaik. Saat semua orang berkata kalau saya tidak akan mungkin membawah
tiga jagoan menciptakan petualangan, tetapi sang pencipta sama sekali tidak
pernah mempermalukan jalan hidupku.
Putra bungsuku pada akhirnya sukses
masuk dalam klub bergengsi. Siapa tidak bangga? Proses latihan sepanjang waktu
membuahkan hasil di ujung cerita. Saat semua pintu tertutup rapat ketika sang
anak ingin mencoba berlari, sedang iman seorang ibu dituntut untuk memainkan
cerita petualangan tersendiri. Andaikan situasi hidupmu berada pada lingkaran
menyedihkan, saya hanya ingin berkata tetaplah kuat. Dunia seorang anak
mempunyai cerita berbeda ketika tangan ibunya jauh lebih dibanding variasi
objek manapun.
Mungkin hari ini cerita hidupmu sebagai
ibu selalu saja berada dalam area kegagalan, namun terkadang Tuhan sengaja
mengizinkan semua itu terjadi agar imanmu menciptakan irama music berseni. Pola
pikir sebagai orang tua adalah belajar untuk tetap berdiri kuat bagaimanapun
situasi sang anak. Cerita kekuatanmu menentukan jalan hidup serta petualangan
ketika deretan objek mencekam mempermainkan alur irama.
“Masakan mamaku memang is the best”
Kenaz mengangkat jempolnya.
“Ka’Lavi mana?”
“Ada pasien mendadak di rumah sakit
butuh operasi segera” Kenaz. Rumah ini memiliki memory tentang jalan hidup tiga jagoanku. Suasana terasa
sangat sepi tanpa kehadiran si’bungsu ketika kami sedang makan bersama. Pertama
kali meninggalkan ibunya demi sebuah cerita berbeda. Pihak klub menyukai bakat
dalam diri Hershel sebagai pemain baru. Hadiah terbesar dari sang pencipta
adalah memberi berita luar biasa. Sosok bungsu dikenal sebagai pemain paling
ditakuti oleh banyak lawan.
“Mama, anakmu mencetak goal” teriak
Hershel berulang kali sambil berlari di lapangan setelah berhasil memasukkan
bola ke gawang. Siaran langsung pertandingan si’bungsu membuat kami semua harus
begadang agar bisa menonton walau hanya lewat televis semata.
“Lavi belum pulang?” tersadar sesuatu.
Seharusnya jadwal kerja putra sulungku
berakhir sore tadi, lantas kenapa masih pulang juga? Malam makin larut
membuatku sedikit khawatir. “Coba telepon kakakmu!” menyuruh Kenaz menghubungi
Lavi. Sepuluh menit kemudian berlalu, wajah Kenaz terlihat kacau di telepon.
“Ka’Lavi ingin bicara” Kenaz menyerahkan
handphone miliknya ke tanganku.
“Mana yang akan mama pilih kalau
diperhadapkan dua kata?” suara terdengar sedikit serak.
Seorang ibu tentu menyadari sesuatu hal
terjadi di rumah sakit. “Kebencian atau pintu maaf?” pertanyaan bodoh darinya
membuatku tersadar apa yang sedang dia alami.
“Pertanyaan bodoh” menjawab putra
sulungku.
“Lavi benci dua kata itu” putra sulungku
seolah ingin meluapkan sisi emosionalnya.
“Buang rasa bencimu, lihat dia sebagai
papa terbaik sekalipun kenyataannya memang tidak seperti yang kau bayangkan”
jawaban pernyataan tersebut. Naluri seorang ibu menyadari pasien yang sedang
ditangani olehnya bukan siapa-siapa, melainkan ayahnya sendiri. Dia tidak
menjelaskan apa pun, pertanyaan itu sudah memberi tanda tentang seseorang dari
masa kecilnya.
“Seorang dokter memiliki defenisi
berjuang untuk menyelamatkan nyawa seseorang, tidak perduli karakter pasien itu
seberapa jahat di depannya” ungkapan perasaan sosok ibu sepertiku.
“Kenapa Lavi harus mengingat kata-kata
mama?” Lavi menangis…
“Lakukan demi masa depanmu bukan buat
mama, jangan menjadi pembenci” berkata-kata kembali.
Saluran telepon tiba-tiba putus
seketika. Tubuhku terdiam bagai patung membayangkan kesulitan putra sulungku saat
ini. Lavi hanya butuh waktu untuk mengerti akan alur jalan dari berbagai sisi.
“Mamaku memang beda, langsung mengenali pasien dokter Lavi” Kenaz tertawa sinis
mendengar percakapan tadi.
“Tiga jagoanmu masih hidup dalam suasana
perang batin antara kebencian ataukah pintu maaf” Kenaz menarik nafas panjang
kemudian berjalan masuk kamarnya.
Pertarungan sengit sedang mempermainkan
perjalanan ketiga anakku. Ketika saya hidup berbaur bersama kebencian, maka
petualangan merekapun hancur seketika. Ibu bodoh tentu akan mendidik dalam
bentuk rasa benci, tetapi ibu bijak tahu menempatkan keadaan untuk menciptakan
satu kualitas. Membangunkan Kenaz dengan paksa dalam tidur pulasnya. “Masa
depanmu jauh lebih penting artinya anak mama harus memilih ruang terbaik”
berkata-kata sambil mendekap tubuh jagoanku.
Kami berdua diam membisu sepanjang
perjalanan menuju rumah sakit. Tubuh pria tua terbaring tak berdaya dalam
sebuah ICU. Sebuah mobil menabrak tubuhnya hingga terpental jauh dari letak
kejadian. “Anakmu terjebak dengan pernyataan bodoh mama” Kenaz melihat Lavi
terus terjaga di samping pria tua.
“Mamaku memang beda” Kenaz makin tertawa
gila.
Kami bertiga diam membisu di ruang ICU. Hal
paling sulit dilakukan bagi seorang anak adalah memberi pintu maaf ketika sisi
buruk orang tuanya selalu saja mencekam menciptakan cerita-cerita pahit tanpa
ampun sama sekali. Masa depan tiga jagoanku jauh lebih berharga dibanding
kehidupanku sendiri. Menjadi pembenci sama saja menghancurkan jalan mereka.
Memilih merawat ayah anak-anakku merupakan
sikap bijak seorang ibu. Tetap berada di sampingnya setelah sekian tahun
menghilang bahkan menyisahkan serpihan-serpihan gila sekitar persimpangan
jalan. Semua orang bisa saja berkata saya wanita tua gila tetap ingin berada di
dekat pria iblis. Hidupku memang terlihat bodoh karena dua tanganku masih
terbuka lebar untuk seorang mnausia bejat…
Flashblack…
“Dasar perempuan jelek, gila, kampungan”
Caci maki Liron Yagil.
“Masak saja tidak pernah becus” ucapan
menyakitkan.
“Wanita kurang ajar” tangan dan kakipun
ikut bermain.
Memukul, menampar, melemparkan caci
maki, mabuk, berselingkuh menyatu seolah tidak pernah memberi belas kasih
terhadap hidupku. Ketiga jagoanku menjadi saksi bagaimana ibunya mendapat
perlakuan kasar. Kehidupan Nayara hanya berkata-kata tentang neraka bukan
cerita keluarga harmonis. “Tinggalkan rumah ini sekarang juga!” dia mengusir
sambil melemparkan semua pakaianku ke lantai.
Flashblack…
“Masa depan tiga jagoanku jauh lebih
berharga” berkata-kata di samping pria itu.
“Karena itu saya belajar untuk tidak
menjadi pembenci” berbisik di telinga ayah dari tiga jagoanku.
“Tuhan, beri dia kesempatan hidup
sehingga saya bisa membuktikan kalau hidupku tidak berada di sekitar jalan
pembenci” menggenggam tangannya.
Balas dendam terbaik adalah mendekap
dirinya sekalipun robekan luka demi luka selalu saja bermain-main. Menjadi ibu
terbaik adalah dengan cara memperlihatkan terhadap dunia seorang anak tentang
kekuatan mendekap dalam balutan kasih. Merawat tubuh lumpuh ayah ketiga jagoan
terdengar bodoh, tetapi bagaimanapun juga serpihan hidup memang seharusnya
seperti itu…
“Tinggal serumah bersama pria yang sudah
membuat kita semua menderita” tidak sengaja sepasang telingaku mendengar
percakapan Lavi bersama adiknya.
“Kalau disuruh memilih, saya akan
membiarkan pria itu terbaring kesakitan” Lavi duduk bersandar dalam ruang
kerjanya.
“Kenapa ka’Lavi membiarkan dia bertahan
hidup?” Kenaz tertawa sinis.
“Pernyataan mama tiba-tiba saja
bergentayangan dan sangat menusuk seperti tombak” Lavi.
“Rasa-rasanya sulit memanggil dia dengan
sebutan papa” Kenaz.
“Mungkin kita berdua perlu latihan, apa
lagi kita akan tinggal serumah dengan dia, suka maupun tidak” Lavi.
“Rasanya sulit sekali memberi pintu
maaf, tetapi menjadi pembencipun sama saja menghidupkan kembali
lingkaran-lingkaran iblis sekitar jalan sendiri” Kenaz.
“Jadi?” Lavi.
“Mendengar ucapan mama mungkin jauh
lebih baik dari pada tetap berada pada situasi ego ataupun dendam kebencian”
Kenaz.
“Berarti kita sudah harus latihan
memanggil nama papa” Lavi.
Mereka berdua tertawa lebar pada akhir
percakapan. “Ka’Lavi” sosok Izu tiba-tiba saja hadir di tengah ruang kerja
Lavi.
“Gadis jorok” Kenaz.
“Tumben ka’Ken main-main ke ruang dokter
terjenius di rumah sakit ini” Izu.
“Memang kenapa?” Kenaz. Saya baru
menyadari kalau ternyata dua jagoanku menyukai gadis yang sama. Sejak kapan
Lavi memberi tatapan suka terhadap seorang gadis? Mereka berdua sudah mengenal
kata suka terhadap lawan jenis, terdengar lelucon di telinga sang ibu.
“Izu lapar? Mau makan?” Lavi memberi pertanyaan…
“Gadis jorok maksudku gadis imut apa kau
membawa gorengan kemari?” Kenaz.
“Pertanyaan kalian terdengar
menyeramkan” Izu.
“Bagaimana kalau mama juga ikut makan
bersama kalian” berkata-kata terhadap mereka setelah membuka pintu…
“Dengan senang hati tante” wajah riang
Izu merupakan nilai plus sampai dua jagoanku berhasil takluk di tangannya tanpa
sadar.
Suasana tegang bercampur aduk ketika
makan siang sedang berlangsung. “Izu, apa tante boleh tanya sedikit saja?”
pertanyaanku…
“Silahkan tante yang paling baik hati,
manis, dan tidak sombong” Izu.
“Izu pilih mana, cowok keren tapi manis
atau cowok keren tapi dingin?”
“Pertanyaan mama mencurigakan” Kenaz.
“Sangat mencurigakan” Lavi.
“Calon menantuku makan siang juga
rupanya” mama Izu alias ibu Fay berteriak keras. Entah dari mana dia muncul?
Perhatian semua orang beralih ke meja kami…
“Tante silahkan duduk” sapa Lavi penuh
semangat.
“Sebenarnya calon menantu mama yang mana
sih?” Izu jadi bingung.
“Gadis jorok maksudku gadis cantik
pertanyaanmu sedikit gila” Kenaz.
“Izu pertanyaanmu sedikit imut” Lavi.
“Izu jawaban dari pertanyaan tante tadi
mana?” bertanya ke arah Izu.
“Mama pilih mana, cowok keren tapi manis
atau cowok keren tapi dingin?” Izu balik bertanya terhadap ibu Fay.
“Mana mama tahu” raut wajah ibu Fay
kacau juga.
“Jawab apa yah?” Izu.
“Izu apa kau…” ucapan Lavi terpotong
seketika….
“Gadis jorok apa kau mau menikah
denganku?” Kenaz tiba-tiba saja berdiri menarik tangan Izumi.
“Kenaz…” Lavi ikut berdiri.
“Katakan kalau mama lagi mimpi?” ibu Fay
terbelalak.
“Perasaan ka’Ken bilang kalau sudah ada
pacar gimana sih? Apa ini macam permainan jahil kakak?” Izu.
“Saya serius tidak ada siarang ulan,
ngerti?” Kenaz.
“Melamar anak gadis pakai cara baik
dong, masa judes begitu?” menegur Kenaz.
“Mama…” Lavi hampir tidak percaya
mendengar ucapanku.
“Ka’Lavi, akhirnya Izu sebentar lagi
jadi adik iparmu yang paling cantik” Izu memukul keras pungung Lavi sambil
tertawa senang.
“Gadis bodoh, apa dia sadar perasaan
kakakku gimana?” celoteh pelan Kenaz menggeleng-geleng kepala.
“Ken serius mau nikah?” menatap serius
Kenaz.
“Dua rius malah mama,” Kenaz.
“Calon menantu” teriak ibu fay memeluk
keras Kenaz.
“Izu sadar tidak?” Lavi sedikit
meninggikan nada suaranya.
Kaki kiriku segera menginjak Lavi agar
menghentikan ucapannya. “Hershel mau
bicara ma ka’Lavi?” sengaja mengalihkan perhatian mereka semua. Izumi hanya
gadis polos, sedang dua jagoanku harus bisa menempatkan diri.
“Btw, lamaran tanpa pernyataan cinta
terdengar memalukan” sindir Izu terlihat marah.
“Cincin lamarannya mana?” Izu bertanya
lagi…
“Masih di toko, entar kalau lamaranku
diterima baru beli. Kalau ditolak kan rugi tenaga dan uang” Kenaz.
Perutku sakit seketika karena tertawa
mendengar jawaban Kenaz. Suasana lamaran terkocak dari jagoanku terhadap
satu-satunya teman yang selalu ingin berada di sampingnya sejak Kenaz kembali
ke sekolah. Moment bagaimana Izumi mengekor kemanapun Kenaz berjalan atau
berjualan gorengan menjadi pengalaman tidak terlupakan buatku. Ketika mengirim
paket, jagoanku pun selalu menyelipkan beberapa barang untuk seorang gadis
teman masa sekolah.
Flashblack…
“Baju apaan ini?” teriak Izu ketika
membuka barang kiriman Kenaz. Tidak pernah mau video call bersama Izu, tetapi
tetap menyelipkan sesuatu benda buatnya dari luar negeri. Kenaz belum menyadari
perubahan gadis yang dianggap jorok setelah sekian tahun berlalu.
“Memangnya saya rocker sejati sampai
mengirim lipstic hitam” cetus Izu.
“Tante, kenapa ka’Ken berubah jadi imut
mengirim bandana pink?”
“Boneka menyeramkan” teriak Izu sambil
berlari ketakutan melihat sesuatu…
Flashblack…
Terkadang saya tertawa mengingat tingkah
Izu menerima paket hadiah. Lavi duduk termenung seorang diri tidak jauh dari
tempatku berdiri. Suasana pohon bersama angin sepoi-sepoi di belakang rumah
sakit menambah alunan malam sepi. “Jangan merebut apa yang menjadi milik
adikmu” ungkapan perasaan seorang ibu.
“Lavi tampan, jenius, baik hati, tidak
sombong, mapan, seorang dokter pasti banyak gadis mau mengekor seperti
perangko” sekedar mengingatkan sosok dirinya…
“Entahlah” Lavi.
“Anak mama bernama Lavi Yagil selalu
saja diperebutkan ma banyak wanita, tapi kok bisa yah patah hati begini?”
sedikit menghibur sekaligus menyindir.
“Mama meledek, btw, kenapa juga Lavi
menyukai gadis semacam Izu pada kan secara ekspektasi nyari cewek anggun plus
jenius berkelaslah?” Lavi menertawakan diri sendiri.
“Fighting” segera memeluk hangat putra
sulungku.
“Mama sudah mulai bisa bahasa trend
sekarang yah?” Lavi.
“Gara-gara Izu” keceplosan menjawab.
“Mama mengingatkan lagi, keterlaluan” Lavi.
“Maaf maaf tidak sengaja” celoteh
seorang ibu.
Beginilah kisah hidup antara ibu dan
anak-anaknya. Masa-masa kritis sudah berlalu menciptakan akhir satu objek seni.
Ayah tiga jagoanku pun merasa bersalah sepanjang hidupnya karena perbuatan di
masa lalu. Tetap berjaga di samping sekalipun dia tetap berada di atas kursi
roda dan melupakan semua masa lalu. Andaikan sebagai istri, jalanku tetap
berada pada jalur dendam tentu dunia anak-anakku tak akan sehebat seperti sekarang.
“Mama, ini goal buatmu” teriak Hershel
ketika berhasil memasukkan bola ke gawang.
“Sosok Kenaz Yagil arsitek muda
berprestasi dengan karya seni pemberi inspirasi orang banyak di luar sana”
salah satu media besar menjadi jagoan kedua sampul halaman terdepan.
“Majalah luar negeri mencatat sosok
dokter paling disegani bahkan kualitas pikirannya mendapat jempol dari berbagai
Negara.” Kembali putra sulungku mengukir prestasi sekaligus membuktikan kalau
dirinya masuk dalam daftar jajaran dokter-dokter terjenius di dunia.
“Mamaku is the best” pernyataan Hershel
di hadapan banyak orang.
“Mamaku memang beda diantara jutaan ibu”
Kenaz.
“Mamaku selalu berhasil membuktikan
tentang petualangan dengan seni tersendiri buatku hingga detik sekarang” Lavi
berbicara di hadapan banyak media maupun para dokter-dokter asing.
Ciptakan seni terbaik dalam dirimu
ketika kau berperan sebagai seorang ibu hingga dunia sadar betapa kuatnya
dirimu. Selingkuh atau tidur bersama orang lain bukan jalan keluar bagi rumah
tangga yang sedang berada di ujung tanduk. Pikirkan masa depan anak-anakmu
kelak akan berada dimana dan jangan menjadi ibu egois pada satu titik tak
terduga.
“Saya benar-benar iri terhadapmu”
seorang dokter bernama Xoan bekas teman sekolah Lavi menyapa di sela-sela
perjamuan resepsi pernikahan…
“Maaf atas kelakuanku kemarin, andai
saja mami seperti mamamu” Xoan meneguk segelas jus segar di tangannya.
Resepsi pernikahan Kenaz bersama Izu
menjadi ajang maaf-memaafkan di antara putra sulungku dan temannya. Berita menggembirakan
kedua adalah orang tua menantuku Izumi rujuk kembali setelah perceraian
bertahun-tahun lamanya. “Lavi mau minum denganku?” sosok dokter cantik menyapa
jagoanku.
“Dokter Rein” Lavi bingung seketika.
“Lavi mau makan denganku” Kirey kakak
Izu segera menarik tangan Lavi.
“Dokter Lavi seperti kau ada operasi
mendadak” dokter Rein.
“Lavi kan harus isi perut dulu biar
punya tenaga” tatapan tajam Kirey.
“Ka’Lavi, ada masalah serius di sana”
segera Hershel menarik tangan Lavi meninggalkan dua wanita cantik itu. Akal-akalan
adiknya segera memberi pertolongan pada waktu yang tepat. Lavi Yagil butuh
waktu melupakan gadis manis yang sudah menjadi adik iparnya sekarang.
“Lavi…” teriak dua wanita cantik
bersamaan…