Sabtu, 21 November 2020

 

WHEN I SEE


Bagian 1…

 


HAVA…


Berirama menghentakkan jalan hidup di tengah suara keras angin ribut terdengar menyedihkan. Menikmati kesempurnaan merupakan mimpi tiap pribadi termasuk hidupku sendiri. Saya ingin tertawa lebar tanpa melihat keadaan yang sedang mempermainkan dinding ruang di sekitar jalan. Melupakan rasa sesak sekaligus beban pergumulan sambil tersenyum, namun keadaan selalu berkata lain. Ingin berlari bahkan tinggal diam di suatu tempat tersembunyi tanpa seorangpun mengenal wajahku merupakan objek terbaik yang ingin kulakukan.

“Hava, sayur buat kalian di rumah” nada suara bibi Azmi begitu perhatian.

“Terima kasih” membalas ucapannya.

Mengalungkan beberapa ikat sayuran dalam sebuah kantong sekitar leherku. Kenapa harus seperti itu? Seorang Hava sejak lahir tidak memiliki dua tangan sebagai pegangan. Sepertinya hidup benar-benar tidak adil. Miskin, tanpa kasih sayang ayah, menderita, cacat seolah menusuk begitu kuat hingga menyisahkan kisah terkacau.

Bunda hanya berjualan ikan di pasar demi menyambung hidup. Gadis remaja cacat sedang berjalan mengitari satu lingkaran menyedihkan di antara objek paling menyedihkan. Sejak kecil, saya harus belajar menjalani banyak hal tanpa bantuan seseorang. Seolah bunda sengaja membuatku melakukan segala sesuatunya seorang diri. Makan, menulis, menyikat gigi, mengambil air, berpakaian, dan segala aktifitas bukan memakai tangan seperti manusia normal. Tinggal di sebuah perkampungan kecil jauh dari kota besar menjadi bagian hidup kami berdua.

Permainan, nada cerita, cacat, derasnya badai seolah tak pernah berhenti menerkam jalan itu. Mereka semua tertawa histeris di dalam ruang sunyi setiap menitnya. Manusia bodoh sekaligus cacat semacam diriku hanya bisa berjuang menahan rasa sakit ketika nada cerita paling menyedihkan sedang menyergap tanpa belas kasih. “Hava anak terbaik bunda” seorang ibu yang selalu menganggap anaknya adalah harta berharga jauh melebihi batu berlian.

“Hava bukan anak terbaik bunda” membalas kesal pernyataan bunda.

“Kenyataan anak bunda paling cantik kan Cuma Hava” seperti inilah bundaku segera membawaku masuk dalam dekapannya.

Senyuman bunda membuatku bertahan untuk terus menyatakan satu kisah cerita  lain walaupun tanpa kedua tangan. “Semangat” kalimat  bunda ketika ujian akhir sekolah tiba.

Di satu sisi bunda mendidik keras kehidupanku pribadi agar tidak bergantung pada orang lain, di sisi lain dekapan hangatnya bersama kata-kata bijak juga menciptakan irama tersendiri. “Cacat bukan berarti segala objek yang sedang membungkus harus terlihat mati” ucapan bunda menatap ke arahku seolah menyadari jalan pikiran anaknya.

“Buktikan pada dunia kalau cacat bukan akhir dari segalanya, melainkan satu  kisah manis yang sedang Tuhan ciptakan untuk menyatakan nada cerita penuh hentakan seni tanpa batas” ya sekali lagi pernyataan bunda mendekap kuat tubuhku.

Saya ingin belajar tersenyum apa pun kondisi fisikku sekarang, tetapi seakan terdapat benteng cukup kuat menghancurkan segalanya. Mengarungi hidup tanpa kedua tangan tidak semudah pemikiran bunda. Banyak orang merasa kasihan ketika menatap ke arah manusia cacat sepertiku. Satu hal, di luar sana ejekan demi ejekan pun tidak pernah absen membungkus jalan hidup seorang Hava.

“Cacat tidak berarti mati, melainkan hidup apa pun lukisan perjalanan seseorang” kalimat bijak bunda untuk hari ini.

Terkadang saya sulit menerima kalimat bijak bunda oleh karena realita jalan hidup jauh lebih menyedihkan. Ingin memiliki tubuh normal seperti banyak orang di luar sana  merupakan impianku yang tidak mungkin tercapai. “Juara Kelas semester kali ini masih dipegang ma dia” salah seorang siswa menatap daftar urutan nilai sekolah sekitar mading.

“Percuma pintar kalau cacat” seseorang berbisik sambil tertawa…

“Makan harus memakai kaki, aduh gimana tuh rasanya” ujaran kebencian.

“Mungkin semua guru kasihan, makanya Hava dijadikan juara juara kelas terus”…

“Selalu saja” suara hati manusia cacat sedang berbisik. Mereka semua berpikir rasa kasihan seluruh guru terhadap kondisi fisikku menjadi alasan kenapa setiap akhir semester mendapat peringkat kelas. Tidak seorangpun pernah menyadari bagaimana seorang ibu berjuang menjadi penyemangat sang anak.

Sejak dulu bunda terus berada di sampingku memberi senyum kehangatan terbaiknya untuk melalui perjalanan sulit. Berusaha meluangkan waktu sekalipun dikatakan beliau harus berperan sebagai ayah untuk memenuhi kebutuhan rumah. Menutup rapat kedua telingaku ketika beberapa dari tetangga ataupun orang lain melemparkan gurauan ejekan terhadap anaknya.

“Kau harus buktikan satu jalan cerita termanis bagi bunda walaupun tanpa kedua tangan sempurna seperti kebanyakan orang di luar sana” ucapan tersebut selalu terngiang jelas ketika hendak mengajarkan kehidupan mandiri…

“Hava pasti bisa” melatih keras kakiku agar bisa menulis huruf satu demi satu beberapa tahun lalu. Saya ingin menyerah melakukan semua perintah bunda saat itu. Hal di luar dugaan adalah beliau terus berada di samping hingga salah satu kakiku dapat menggenggam sebuah pena.

“Tulisan Hava masih harus diperbaiki lagi biar bagus,” bunda terus saja menghapus ratusan huruf pada selembar kertas.

Bunda benar-benar menginginkan anaknya dapat membuat tulisan terbaik diantara semua anak normal lainnya. “Tulisan anak bunda harus seindah mungkin seperti wajahnya” menyerahkan sebuah pena .

Sejak kecil bunda terus melatih pergerakan kakiku ketika menulis ataupun menggambar beberapa objek di sekitar. “Cacat tidak berarti harus diam di tempat tanpa menunjukkan sebuah prestasi manis” kata-kata bunda untuk sekian kalinya memberiku dekapan hangat.

Semua orang bisa saja berpikir, manusia cacat sepertiku tidak memiliki satu kelebihan apa pun. Dunia hanya bisa berkata tentang kekurangan akan selalu membungkus bahkan rasanya mustahil menjalani segala sesuatu ketika salah satu anggota tubuh tidak dimiliki. “Bunda akan mematahkan kata-kata mereka di luar sana berarti Hava harus berjuang” genggaman erat seorang ibu menatap tajam ke arahku.

“Ucapan memang benar” tertunduk seolah menerima kenyataan hidup.

“Sepertinya Tuhan tidak pernah adil” berucap lagi sambil menghela nafas.

“Bukannya tidak adil, hanya saja Tuhan sedang mempersiapkan satu jalan cerita termanis buatmu dan tergantung bagaimana kau berjalan memperjuangkan semuanya” Bunda tidak pernah kehabisan kata-kata bijak setiap harinya.

Apa saya harus mempercayai setiap kalimat bunda? Rasanya sulit buatku berjalan menurut keinginannya terlebih menunjukkan tentang satu keistimewaan manusia cacat. Selama putri tunggalnya berada di bangku sekolah dasar sama sekali tidak menunjukkan prestasi apa pun. Bunda menyerah? Tentu tidak…

Terus berada di sampingku bercerita banyak hal bahkan membuatku terus duduk manis depan meja belajar. Pada akhir cerita adalah prestasi sekolah mulai beralih ke tanganku. Perlahan tapi pasti Hava si’cacat mulai masuk dalam daftar posisi lima besar hingga akhirnya berada di urutan pertama beberapa semester belakangan. Perjuangan bunda tanpa sadar menyatakan hidup pada tiap hembusan nafasku.

“Ibu ingin bicara dengan bunda Hava” wali kelasku menghalangi langkahku menuju perpustakaan sekolah.

“Apa boleh?” sekali lagi melemparkan sebuah pertanyaan.

Seperti ada sesuatu hal serius ingin diungkapkan olehnya tentangku. Entahlah. Mengangguk pertanda mengiyakan keinginan sang wali kelas. Apa saya membuat satu kesalahan besar? Pertemuan mereka menimbulkan rasa penasaran olehku. “Jangan takut, anak bunda tidak mungkin melakukan kesalahan” bunda benar-benar membaca isi pikiran anaknya.

“Maaf membuatmu malu” wajah menunduk.

“Hava tidak pernah mempermalukan bunda” mata manik bunda percaya…

“Entahlah” ragu atas ucapan bunda.

Singkat cerita, bunda berjalan masuk ke dalam sebuah ruang tempat wali kelasku. Saya hanya bisa bersandar di depan pintu agar bisa mendengar apa yang sedang mereka perbincangkan. “Saya meminta maaf sebesar-besarnya terhadap ibu guru kalau anak saya berbuat kesalahan” kalimat pertama bunda terdengar jelas.

“Hava gadis baik, pintar, penurut, berhati lembut hanya sedikit pendiam jadi tolong jangan menghukum dirinya” kata-kata polos bunda kembali terdengar.

Memangnya kesalahanku apa sampai wali kelasku memanggil bunda seperti ini? Pemanggilan orang tua bukan tanpa sebab. Hampir seluruh orang tua murid berhadapan dengan pihak sekolah seperti wali kelas atau guru lainnya karena membuat masalah besar. “Tuhan maha tidak adil, dengarkan doaku kali ini” berkata-kata di dasar hati. Selama ini saya selalu menganggap sang pencipta berlaku curang atas hidupku.

“Lindungi bundaku, jangan sampai serangan jantung mendadak” isi doa seorang manusia cacat. Cukup sang pencipta melindungi bundaku merupakan hal terbaik buatku. Saya tidak mungkin mendapat keistimewaan Tuhan jika dilihat bagaimana kisahku lahir tanpa dua tangan. Setidaknya, sang pencipta membuat bundaku tetap ada dalam genggaman tangannya.

Saya merasa tidak melakukan kesalahan apa pun, namun entahlah kenapa sampai wali kelas ingin bertemu mendadak seperti sekarang. “Siapa bilang kami memanggil anda karena Hava melakukan satu kesalahan besar?” wali kelas tertawa lebar di hadapan bunda.

“Berarti anak saya tidak membuat kesalahan kan?” mata bunda terbelalak…

“Hava anak baik, penurut, jenius mana mungkin memberi hukuman” wali kelas.

“Lantas?” bunda.

“Prestasi Hava jauh melebihi siswa lain di sekolah, jadi terlalu sayang kalau sekolahnya hanya sampai sekolah menengah saja tanpa mengenyam bangku perkuliahan” wali kelas.

“Maksud ibu?” bunda.

“Anak dengan standar terbawah sekalipun kami sarankan untuk terus mengenyam pendidikan pada salah satu kampus demi masa depan mereka terlebih siswi seperti Hava” wali kelas.

“Berarti?” bunda.

“Semua guru ingin yang terbaik bagi Hava. Setiap tahunnya pihak sekolah melakukan percakapan pribadi antara guru dan seluruh murid satu persatu bahkan mengisi selembar kertas tentang mimpi maupun kampus yang ingin ditujuh” wali kelas.

“Hava hanya diam ketika saya sebagai wali kelas bertanya tentang mimpi dan kampus pilihannya bahkan lembaran formulirnya pun kosong” wali kelas.

“Hava hanya butuh waktu” bunda.

“Manusia cacat mana mungkin bisa berlari keras mengejar mimpi walaupun dikatakan memiliki otak encer seperti manusia normal lainnya merupakan jawaban Hava dan pernyataannya itu membuatku sedikit khawatir” wali kelas.

“Dia hanya takut meninggalkan ibunya seorang diri” bunda.

Wali kelasku tidak kehabisan akal mencari cara agar saya meninggalkan perkampungan kecil untuk berada di kota besar mengejar mimpi. Cacat tidak berarti tidak memiliki tujuan dan mimpi besar itulah pernyataan terbaik darinya sebagai seorang guru. Rasa takut mendapat penolakan menjadi salah satu alasan kedua kakiku ingin tetap berada di tempat.

Andaikan saya berada jauh dari bunda berarti segala rutinitas harus kulakukan seorang diri tanpa dua tangan sempurna. Bagaimana bisa semua dikerjakan olehku. Bunda berjalan ke arahku di sekitar taman sekolah setelah pertemuannya dengan sang wali kelas. Kami berdua hanya diam menikmati udara sejuk sambil memperhatikan beberapa objek.

“Anak bunda pasti lapar” segera berdiri mencari jajanan di sekitar kantin.

Selang beberapa menit bunda membawa beberapa jajanan kantin juga sebotol air. Tidak ingin melemparkan beberapa pertanyaan hanya membuatku ingin menikmati makanan kantin. Beberapa hari belakangan kami berdua menghabiskan waktu di beberapa tempat. Berkeliling kampung hanya memakai sepeda peninggalan ayah merupakan hal terbaik yang pernah ada. Berjualan ikan di pasar bersama teriakan hebat bunda agar semua orang beralih ke tempat kami berdiri. Menikmati suasana angin laut sekitar bibir pantai. Makan gratis di rumah makan kecil milik ibu Asmi sahabat bunda.

“Bunda ingin Hava memiliki satu mimpi besar tanpa berpikir tentang kondisi tubuh harus sempurna seperti manusia lain di sekitar,” cepat atau lambat bunda pasti akan berkata-kata seperti ini.

“Hava takut” ciri khas seorang Hava hanya menundukkan wajah.

“Apa Hava tidak ingin bertanya mimpi besar bunda?”

“Hava tidak perlu tahu” jawaban untuk pertanyaan bunda.

“Hava bisa menjadi satu pribadi berintelektual dan berintegritas adalah mimpi besar bunda terhadapmu. Bertemu seorang pria yang mau menerima kondisi fisik Hava kemudian menikah bahkan mempunyai anak suatu hari kelak merupakan mimpi kedua” bunda.

“Mustahil” tertawa sinis mendengar pernyataan bunda.

“Apa pun alasannya Hava harus bisa mewujudkan mimpi bunda” kalimat seorang ibu yang tidak pernah ingin anaknya berpikiran sempit.

“Cacat bukan alasan untuk menghentikan pergerakan mimpi seseorang, ngerti?” bunda.

Menjadi pertanyaan sekarang adalah sebenarnya mimpiku ada di sekitar area mana? Menatap semalaman lembaran formulir sekolah merupakan kegiatanku sepanjang malam. Mengingat tiap kalimat bunda tentang sebuah mimpi besar. Ketika saya melihat satu jalur area, bagaimana kisah kelanjutan manusia cacat bergerak? Tembok besar menjadi benteng terkuat membuatku sulit percaya tentang pernyataan bunda.

Entah kekuatan dari mana hingga saya harus ikut setiap keinginan bunda tanpa rasa percaya sedikitpun. Satu hal, manusia cacat sepertiku bisa berjalan karena memakai iman seorang ibu bukan karena hasil kerja kerasku. “Anak bunda pasti bisa melewati semuanya” bunda membawaku masuk dalam dekapannya.

“Bagaimana kalau Hava gagal?” wajah menunduk seperti biasanya.

“Mencoba jauh lebih baik dibanding tidak sama sekali. Hava hanya harus mencoba, berjuang dan memberi kesempatan terhadap diri sendiri” bunda.

“Bagaimana kalau mereka semua menertawakan Hava?”

“Biarkan nada-nada cerita seperti itu menciptakan kisah manis buatmu” Bunda.

“Bunda…”

“Anggap semua hal yang terjadi seperti penolakan, kehidupan cacat, dan kegagalan sebagai seni untuk membuat Hava terlihat hidup di sepanjang area jalan terbaik” bunda. Saya ingin mencoba belajar percaya ucapan bunda untuk pertama kalinya sepanjang hidupku. Tuhan, ajar jalanku agar bisa berlari melihat ke arahMU.



Bagian 2…



HAVA…


Akhir kisahku adalah mengikut setiap keinginan bunda. Mendapat beasiswa pada salah satu kampus terbaik di kota besar jauh dari perkampungan tempat tinggalku. Sebenarnya saya ingin menjadi apa suatu hari kelak? Pertanyaan yang selalu saja mengganggu rutinitas hidupku. Jujur, saya tidak berani bermimpi tentang jalan hidup di depan mata.

Rasa takut menjadi bahan tertawaan, gagal, terlihat bodoh, cacat menjadi alasan terbesar kisahku tidak ingin berpikir tentang mempunyai atau bahkan mengejar mimpi besar. Mendayung sebuah perahu tanpa kedua tangan di tengah laut demi sebuah tujuan hidup rasanya mustahil dilakukan.

Memilih asal-asalan jurusan kuliah hanya untuk membuat bunda berhenti berkata-kata. Saya tidak memiliki satu pun mimpi yang ingin diwujudkan. Belajar menjalani segalanya tanpa bantuan bunda merupakan ceerita hidupku sekarang. “Hava harus bisa mengerjakan segalanya sendiri tanpa bunda” ucapan perpisahan antara ibu dan anaknya sedang terjadi.

Belajar hidup di sekitar perkotaan besar seorang diri demi mewujudkan keinginan bunda juga wali kelasku di sekolah. “Cacat tidak berarti tidak bisa melakukan segalanya seorang diri” bunda tersenyum ke arahku.

Dengan tubuh terlihat tidak bersemangat berjalan menuju sebuah kapal penumpang. Jarak antara kampung tempat tinggalku dan perkotaan cukup jauh, jadi harus memakai alat transportasi seperti pesawat atau kapal laut. Memilih kapal laut demi menghemat biaya transport merupakan alternative bagi kami orang miskin. Berada di laut selama dua malam satu hari membuatku sedikit ketakutan. Bagaimana kalau seseorang mencuri salah satu barang milikku?

“Tidak usah takut karena seluruh barang milik Hava akan tersimpan aman” seorang pria paruh bayah mengangkat beberapa kardus milikku.

“Paman seorang nahkoda sahabat bunda” senyum pria tua itu.

Ternyata bunda menyadari jalan pikiran anaknya sampai meminta bantuan terhadap nahkoda kapal tersebut. Pria tua itu memberi sebuah kamar khusus selama berada di kapal sehingga saya tidak perlu berada pada barisan penumpang lainnya berebut tempat. “Terima kasih paman” berkata-kata sambil membungkukkan badan ke bawah.

“Sama-sama Hava,” paman Edward mengelus anak rambutku kemudian berjalan keluar.

Entah seperti apa dunia perkotaan di luar sana? Sepertinya saya ingin tertawa lebar membayangkan berjalan seorang diri di tengah kota tanpa dua tangan sempurna. Tidak mempunyai mimpi tetapi terpaksa berjalan seperti sekarang terdengar kacau. Paman Edward tidak hanya memberi kamar khusus buatku melainkan menyuruh pelayan membawa makanan sesuai jadwal. Hal tidak terduga lagi adalah mengantarku ke sebuah rumah kontrakan kecil setelah kami berada di kota besar sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang nahkoda.

“Kebetulan rumah ini milik teman paman, jadi biaya sewanya juga tidak terlalu mahal” ujar paman Edward mengangkat semua barang milikku masuk ke dalam rumah.

“Jarak antara kampus dan rumah tidak jauh jauh, jadi Hava tidak perlu takut lagi” sekali lagi paman Edward tersenyum ke arahku.

“Paman”…

“Satu lagi, paman pasti akan sering berkunjung kalau kapal lagi sandar” paman Edward.

“Sekali lagi terima kasih paman” membungkukkan badan terhadapnya.

“Sama-sama Hava” kedua kalinya membelai anak rambutku kemudian berjalan keluar meninggalkan saya seorang diri.

Mengatur rapi barang seorang diri merupakan sesuatu hal terkacau buatku. Memakai dua kaki menyelesaikan segalanya benar-benar membutuhkan perjuangan. Andai kata saya memiliki dua tangan sempurna tentu hidupku tak akan sesulit seperti sekarang. menyapu sekaligus mengepel lantai rumah rasanya mustahil terjadi tetapi di luar dugaan terjadi sebuah mujizat. Mengapit sebuah sapu kecil sekitar lengan potongan tanganku menjadi alternative terbaik. Bunda memang melatih keras anggota tubuhku untuk menjalani aktifitas, tetapi terkadang saya gagal untuk beberapa  tempat selama bertahun-tahun lamanya.

Melipat pakaian memakai dua kaki dan mulutku benar-benar membutuhkan perjuangan keras. Kenapa saya harus berada di kota besar seperti ini? Seolah bunda sengaja menyuruh saya jauh terpisah darinya sehingga tidak lagi bergantung ataupun melakukan rutinitas memakai bantuannya. “Kenapa kardus ini berat sekali?” berusaha mendorong sebuah kardus. Mengambil sebuah pisau kemudian membuka isinya…

“Apa ini?” menatap isi kardus.

Terdapat beberapa toples berisi recehan koin juga lembaran uang kertas. Perjuangan seorang ibu menyisihkan uang bertahun-tahun lamanya demi masa depan sang anak. “Anak bunda harus memiliki mimpi besar sekalipun semua orang akan tertawa lebar karena rasanya mustahil untuk diraih” goresan tulisan bunda tertera jelas di bagian luar toples plastik tersebut.

Tuhan, mimpi seperti apa yang kuinginkan? Cacat menyatakan hidupku tidak mungkin bisa menggapai sesuatu. Kondisi tubuh seperti ini membuatku tidak pernah berani untuk bermimpi. Bunda selalu ingin yang terbaik bahkan mengajar tentang satu jalan menuju mimpi, tetapi hidupku sendiri terus saja melihat benteng cukup kuat sedang berteriak menertawakan diri.

Hiasan jalan sebuah pribadi terlihat hidup ketika gambar kesempurnaan mengikat kuat sebagai peranan terbaik. Berjalan seperti orang bodoh di tengah perputaran roda sama saja melenyapkan satu kekuatan dalam diri. Apa yang bisa dibanggakan oleh manusia cacat hingga dapat berlari mengejar perputaran roda tersebut? Hembusan angin cukup kuat berhembus mengitari sisi lain kisah cerita sang manusia cacat.

“Hei anak baru” seseorang berteriak seperti menatap ke arahku.

“Tempat pendaftaran kampus adanya di lapangan sana bukan ruangan di sini, ngerti?” dia berkata-kata dengan nada keras, lantang, bahkan terdengar sangat galak.

“Maaf” kebiasaan buruk seorang Hava adalah selalu saja membungkukkan badan…

Berada di kampus untuk pendaftaran ulang setelah dilakukan secara online terdengar membosankan. Mahasiswi jurusan keuangan menjadi pilihan di luar dugaan. Entahlah, kenapa saya tiba-tiba saja memilih jurusan tersebut? Sulit menentukan apa yang ingin kukejar seperti kebanyakan orang di luar sana. Membutuhkan waktu panjang untuk berpikir satu mimpi dari manusia cacat bernama Hava Elisa.

Suasana dan lingkungan berbeda di kampus baru menjadikan hidupku semakin hidup dalam rasa takut luar biasa. “Kau masih bisa merangkak andaikan dua kakimu tidak lagi berfungsi untuk berlari mengejar satu objek terbaik di sekitar jalanmu,” sebuah kalimat tertulis manis pada dinding utama perpustakaan kampus.

“University of Hava college” hal terkacau adalah sama sekali tidak menyadari kalau nama kampusku sama seperti namaku.

Saya benar-benar tidak memperhatikan nama kampus ketika mengisi lembar formulir beberapa waktu lalu di sekolah. Wali kelasku ibu Hana hanya menyerahkan selembar kertas tanpa memberitahu lebih detail tentang kampus tersebut. Bisa dikatakan, seorang Hava lulus tanpa tes di kampus tersebut. Menikmati dunia sendiri menjadi ciri khas seorang manusia cacat.

Berjalan pulang dan pergi dari kampus seorang diri bahkan tanpa bantuan siapapun terbiasa kulakukan. Mungkin karena rasa takut menerima penolakan atau menjadi bahan tertawaan hingga membuat saya tidak berani berada di tengah-tengah pergaulan kampus. Saya ingin tertawa lepas melupakan dua tangan sempurna yang tidak mungkin kumiliki seperti manusia normal lain. Rasa minder, kecewa, malu, takut menjadi benteng terkuat menghalangi tawa tersebut lepas begitu saja.

“Hati-hati kalau jalan!” suara paling angker tiba-tiba saja berteriak.

“Maaf” segera berlari dan tidak lagi memperhatikan wajah seseorang yang sedang menegur keras ke arahku.

Salah seorang dosen kampus dikenal sebagai pengajar berkualitas, tegas, galak, dingin, tidak pernah tersenyum menatap ke arahku. Dia orang yang sama ketika pertama kali menginjakkan kaki sekitar tempat ini menegur keras ketika saya salah memasuki ruang pendaftaran. Seluruh penghuni kampus terlihat gemetar ketika berdiri di depannya termasuk kehidupanku sendiri.

“Jangan Cuma pakai maaf, melainkan gunakan otak dan matamu” ucapan sekaligus tatapan matanya terlihat sangat dingin menunjuk ke arahku.

“Maaf” sekali lagi membungkukkan badan kemudian berlari jauh darinya.

Menikmati kesendirian menatap beberapa buku di tempat seharusnya. Ya, dimana lagi kalau bukan di perpustakaan. Kenapa juga mentalku terlihat lemah seperti ini setiap berdiri di tengah pergaulan kota. “Jangan hidup kalau kau sama sekali tidak memahami defenisi memiliki dan mengejar satu mimpi besar” salah satu slogan perpustakaan besar tertulis rapi pada meja tempatku berada. Saya saja tidak mempunyai mimpi terlebih mengerti defenisi mengejar mimpi…

“Pernyataan terbodoh” tertawa sinis membaca kalimat tersebut.

Tuhan, bisakah diriMU membuatku mempunyai sebuah mimpi besar untuk dikejar walaupun dua tangan tidak mungkin bisa menyatakan cerita manis di tiap hembusan nafas? Saya harus memakai salah satu kaki untuk menulis ketika berada dalam ruang perkuliahan. “Sepertinya saya butuh kalian menulis ribuan kata tentang kebahagiaan, mimpi, management keuangan, dan pola pikir ketika berjalan mengitari perputaran roda kehidupan” ucapan dosen terdingin.

“Tulisan memakai tangan bukan ketikan dengan jumlah kertas minimal 50 lembar, ngerti?” hal terkacau dari kalimatnya. Saya rasa ini bukan ujian akhir melainkan awal semester, tetapi kenapa seperti menghadapi detik-detik akhir di kampus?

“Bagaimana dengan Hava tanpa 2 tangan sempurna?” pertanyaan seseorang…

Salah seorang dari mereka sepertinya menyadari nama dan identitasku. Selama ini, saya hanya diam seribu bahasa dan tidak pernah bisa berjalan ke arah mereka untuk mencoba tersenyum ataupun mencari teman. “Dia kan cacat” mahasiswa lain seolah menyindir atau entahkah hanya mengemukakan pendapatnya masing-masing.

“Cacat bukan berarti tidak memiliki otak untuk berpikir” jawaban ganas sang dosen.

“Kau masih bisa memakai kaki untuk menulis” dosen itu benar-benar menghafal wajah dan namaku.

Diam seribu bahasa menjadi ciri khas seorang Hava. Waktu pemberian tugas berkisar dua minggu dari sekarang. Pola pikir ketika berjalan mengitari perputaran roda? Menulis kata demi kata kemudian membuatnya menjadi seperti bola dengan akhir cerita masuk dalam keranjang sampah. Tidak ada hal menarik untuk ditulis sesuai perintah mr. Juan alias sang dosen.

Hal lebih mengejutkan lagi adalah merobek seluruh tugas milik kami beberapa detik setelah membaca bagian isinya. “Hancur” kata dingin merobek bahkan membuatnya berhamburan di sekitar lantai.

“Berantakan”

“Kata apaan ini? sangat tidak berpendidikan” ejekan nada kalimat terdingin.

“Hava” dosen itu menyebut namaku.

“Saya tidak mengerti bagaimana beberapa kata ini beriringan sekaligus menciptakan kisahnya sendiri ketika gambar kelemahan dari satu objek tertentu terlukis jelas” dia membaca nyaring salah satu bagian kalimat hasil tulisanku.

“Sudah cacat overdosis dan sekarang hidupmu lebih kacau dibanding manusia normal” sangat tidak berperasaan…

“Buat lagi tulisan baru!” nada memerintah setelah merobek lembaran tugasku kemudian membuatnya berhamburan sekitar lantai.

Hal terkacau lagi adalah menolak untuk kesekian kalinya tugas milikku. Bukan hanya saya memang satu-satunya korban penolakan tugas melainkan hampir 80% mahasiswa lain mengalami nasib sama. Selalu membaca nyaring, menyindiri, tertawa sinis satu-satunya tulisan milikku dibanding yang lain. “Pola pikir tidak mungkin terbentuk kalau jalanmu sendiri hanya menilai dunia lain untuk berjalan mengitari perputaran” seperti biasa dia berkata-kata sangat dingin.

“Pandangan hidupmu jauh lebih cacat dibanding cacat fisikmu” memandang sinis seolah tanpa belas kasih sedikitpun.

Pertama kali seorang pengajar memperlakukan jalan hidupku seperti sekarang. Ibu Hana tidak pernah melemparkan ucapan-ucapan mematikan ataupun terdengar kasar. Bagaimanapun bunda mendidik keras anak semata wayangnya, tetapi tetap saja terdengar sangat lembut. “Menulis ulang tugasmu atau kau harus mengulang tahun depan” satu-satunya kata-kata tanpa perasaan dilempar ke arahku.

Berjalan seperti mayat hidup seolah tak memiliki harapan hidup itulah yang sedang terjadi atasku. Ibu jari kaki milikku penuh plester obat tetapi tidak memberi hasil. Berkeliling tempat hanya memakai dua kaki tanpa alat transportasi merupakan objek yang sedang kulakukan sekarang. “Ini mimpimu, jadi kau harus berlari secepat mungkin!” suara seseorang berteriak keras di tengah kota.

Apa yang salah pada penglihatanku setiap harinya? Seorang gadis berusia sama denganku terus saja berlari tanpa henti seakan hari esok tidak akan pernah ada. ketika berada di bus, pusat perbelanjaan, halte, kampus, jalan besar selalu saja gadis tersebut menjadi objek buatku. Tidak pernah merasakan kelelahan sedikitpun menjadi gambaran dirinya.

“Berlarilah selagi masih bisa” seorang kakek tua terus saja mengintruksi dirinya.

Akhir cerita adalah gadis itu terjatuh tepat di depanku. Menangis karena sakit? Tidak sama sekali merupakan jawaban terbaik. “Kau tidak kenapa-kenapa?” pertanyaan buatnya.

Dia segera berdiri bahkan berusaha menahan rasa sakit. “Hozhi” sang kakek tua berlari ke arah kami berdua.

“Maafkan cucu saya” pertama kalinya orang kota meminta maaf.

“Cucu saya bisu jadi sekali lagi maaf…” sang kakek.

Bukan saya satu-satunya gadis cacat yang sedang bernafas sekitar permukaan bumi. Selama ini menganggap diri hancur, tidak sempurna, sangat cacat, miskin menjadi hal terkacau yang selalu saja membentengi jalan hidupku. Usia gadis itu sama denganku bahkan dengan cerita yang sama pula yaitu cacat secara fisik. Dia bisu sejak lahirnya dan hanya bisa memakai bahasa isyarat. Lantas mengapa sang kakek selalu saja berteriak memberi semangat kalau tidak tidak bisa mendengar apa pun? Hozhi mempunyai mimpi besar yaitu menjadi atlet pelari tercepat.

Jauh berbeda denganku sama sekali tidak memiliki mimpi. Masuk kuliah asal mengambil jurusan karena keinginan ibu Hana wali kelasku juga bunda. Menghadapi salah satu dosen galak yang selalu saja menolak tugas milikku terdengar cukup kacau. Saya tidak sedang kuliah pada jurusan sastra tetapi dituntut seolah-olah hasilnya harus sebaik mungkin.

“Jurusan di sini bukan sastra mister melainkan management keuangan” seolah tidak tahan lagi menghadapi penolakan demi penolakan hanya karena tugas darinya.

“Siapa bilang ini jurusan sastra?” mr. Juan balik bertanya.

“Kenapa mister selalu merobek hasil milikku atau berteriak membaca nyaring isi dari tugas milikku sambil merobek dan membuatnya berhamburan di lantai?”

 


Bagian 3…

 


HAVA…


Sesuatu hal di luar dugaan berani melawan dosenku sendiri di hadapan para mahasiswa lainnya. “Lantas, maumu ingin dipuji?” mr. Juan.

“Maksudku”

“Saya hanya ingin kau menulis bagaimana jalan cerita tentang kebahagiaan, mimpi, management keuangan, dan pola pikir ketika berjalan sekitar perputaran roda bukan menuntut tulisanmu harus sastra habis,” kata-kata dingin bersama tatapan mata menusuk dari seorang mr. Juan.

“Kesalahan terbesarmu adalah kau selalu merasa menjadi manusia paling cacat yang harus mendapat belas kasih dari semua orang. Pola pikirmu hanya selalu berhadapan pada kata kesempurnaan hidup dan tidak pernah mencari jalan untuk berlari keluar” mr. Juan.

“Cacat dan benar-benar menyedihkan” sekali lagi mr. Juan berkata-kata ganas.

Hidupku memang benar-benar menyedihkan sekaligus cacat. Apa yang salah dengan ucapan sang dosen? Menatap lembaran kerta  putih kemudian mencoba merangkai beberapa kata bersama beberapa defenisi dari nara sumber berbeda tentang istilah-istilah tertentu. Menulis kata demi kata memakai kaki akan satu objek itulah yang sedang kulakukan. Membayangkan gadis bernama Hozhi memiliki mimpi besar membuatku sadar tentang kisah terkacau membungkus jalurku.

Di satu sisi saya benar-benar membenci tiap kata dari mulut sang dosen, tetapi di sisi lain semua ucapannya memang benar. Manusia tanpa dua tangan tidak berani memiliki mimpi besar untuk diraih dikarenakan selalu berada pada satu istilah yaitu kesempurnaan. “Kebahagiaan tidak bisa diukur dari permasalahan uang semata. Seseorang perlu menyadari konsep management keuangan untuk mulai berjalan ataupun berlari,” mr. Juan seperti biasa membaca salah satu isi bagian tulisanku.

“Pola pikir akan mulai terbentuk ketika kondisi keuangan mengalami permasalahan. Management keuangan seseorang dikatakan sukses bukan karena kelebihan melainkan dapat mengatur pada objek tepat dari jumlah terbatas” suara nyaring memenuhi ruang perkuliahan menjadi ciri khas mr. Juan. Selalu saja membaca nyaring hasil tugasku di depan orang banyak…

“Arti kalimatmu ini?” mr. Juan melingkari pernyataan pada tugasku memakai pena.

“Banyak orang berpikir bahwa kebahagiaan bisa dibeli memakai uang hingga menampilkan gambaran keangkuhan bahkan lebih dari kata tersebut” mencoba menjabarkan.

“Semua orang membutuhkan uang terlebih saya sebagai orang miskin, tetapi sukses tidak bisa dinilai dari objek semacam ini. Pengaturan keuangan ketika berhadapan dengan segala situasi terlebih hal-hal tersulit merupakan seni hidup dalam konsep management keuangan yang dapat membentuk pola pikir sekaligus menciptakan kebahagiaan tersendiri” melanjutkan penjelasan kembali.

Mr. Juan masih memainkan pena miliknya dan melingkari beberapa kata. “Kau belum menjelaskan tentang mimpi kemudian menghubungkan satu sama lain” mr. Juan.

“Lakukan perbaikan pada beberapa kata yang sudah saya lingkari dan jelaskan tentang mimpi besarmu!” mr. Juan melempar lembar jilitan tugas tepat ke mejaku.

Setidaknya lembaran tugasku tidak lagi dirobek dengan cerita berhamburan memenuhi lantai ruang perkuliahan. “Hava bisa menjadi satu pribadi berintelektual dan berintegritas adalah mimpi besar bunda terhadapmu. Bertemu seorang pria yang mau menerima kondisi fisik Hava kemudian menikah bahkan mempunyai anak suatu hari kelak merupakan mimpi kedua,” terbayang kata-kata bunda memenuhi beranda memoryku.

Kemungkinan besar mimpiku adalah mewujudkan mimpi bunda. Tiba-tiba saja suara handphone jadul milikku membangunkan saya dari tidur berkepanjangan. Semua orang memiliki alat komunikasi canggih, namun tidak denganku hanya sebuah handphone bekas yang dibeli bunda sebelum saya berada di kota besar. “Hava sudah makan” suara bunda terdengar hangat dari telepon tersebut.

“Bunda kenapa telepon pagi begini?”

“Sepertinya anak bunda baru bangun” bunda.

Bunda sepertinya sengaja berbicara denganku pagi-pagi buta setiap  harinya agar anaknya tidak bangun kesiangan. Mengingatkan berdoa sebelum beranjak dari kamar, membersihkan rumah, memasak untuk diri sendiri, makan sebelum berangkat kuliah. Rasa khawatir dalam dirinya begitu besar akan banyak hal termasuk bagaimana seorang anak tanpa dua tangan harus melakukan berbagai rutinitas tanpa bantuan seorang ibu. “Cacat secara fisik terlebih tanpa dua tangan bukan masalah besar untuk menjalani hidup” kalimat bijak bunda selalu dan selalu saja menyadari arah pemikiranku.

Saya ingin tersenyum lepas seperti orang lain, tetapi tidak pernah bisa. Selalu saja bayangan diri tanpa dua tangan berteriak hebat semacam beban yang tidak mungkin lepas seketika. Jauh berbeda dengan kehidupan Hozhi si’gadis bisu, dimanapun dirinya berada senyum lepas memancar begitu saja. Hal terbodoh adalah mengikuti dia diam-diam setiap latihan lari setelah pulang kuliah.

“Hozhi cucu kakek seorang atlet pelari nomor satu dunia” teriakan sorak sang kakek walaupun dikatakan gadis itu tidak mungkin bisa mendengar kata-katanya.

“Apa kau ingin menonton pertandingan Hozhi?” sang kakek mengagetkan tiba-tiba…

Sang kakek ternyata menyadari keberadaanku beberapa hari belakangan. “Maaf” hanya kata tersebut yang bisa keluar sambil membungkukkan badan ke arah beliau. Memberiku sebotol air mineral sambil tersenyum tanpa rasa marah sedikitpun. Hozhi anak yatim piatu dibesarkan oleh kakeknya. Ibunya meninggal setelah dia lahir, sedangkan ayahnya baru saja berpulang ketika usianya baru menginjak 7 tahun. Kehidupan Hozhi jauh lebih menyedihkan dibanding hidupku, tetapi masih bisa tersenyum lepas.

“Hozhi pasti senang melihat kehadiranmu memberi semangat” sang kakek tersenyum ke arahku.

“Saya pasti datang” bersemangat membalas ucapannya.

Pertama kali seorang Hava ingin berada di satu lapangan bersama ratusan penonton untuk memberi semangat bagi seorang atlet. Bolos jam kuliah mr. Juan serta lupa mengerjakan tugas darinya merupakan sesuatu hal terbaru buatku. “Masa bodoh, lupakan tugas ataupun ruang perkuliahan terlebih mr. Juan untuk hari ini” tersenyum di depan cermin dinding kamar. Pagi-pagi sekali, saya sudah berada di sebuah halte bus hanya demi mendapat barisan pertama sebagai pendukung Hozhi. Menikmati hembusan udara pagi benar-benar menyegarkan tubuh di sepanjang perjalanan…

Saya benar-benar berada di urutan barisan pertama sebagai pendukung salah satu atlet. Menunggu bukan masalah buatku hingga pertandingan segera di laksanakan. Hoszhi sang gadis bisu menatap ke arahku sambil tersenyum. “Hozhi pasti menang” pertama kali berteriak penuh semangat terhadap seseorang.

Suara peluit terdengar keras menandakan para atlet harus segera berlari mencapai garis finish. Posisi pertama masih ditempati oleh Hozhi tanpa beban sama sekali. Tiba-tiba saja suara penonton terhenti seketika setelah salah seorang peserta terjatuh di tengah lapangan. Seluruh badannya seperti terlempar jauh dari lapangan. Seseorang yang tadinya berada di urutan pertama menjadi terbelakang karena sesuatu benda menjebaknya.

“Hozhi…” teriakan sang kakek segera berlari.

Saya bisa melihat salah satu pesaing terkuat Hozhi tersenyum sinis seketika. Dia seolah sengaja membuat jebakan khusus tanpa seorangpun menyadari semua itu. Kecurangan dalam pertandingan memang biasa terjadi, tetapi kasus semacam ini belum pernah ada. “Benar-benar permainan paling halus di antara kecurangan lain” suara hati berbisik…

“Hozhi” sang kakek terus saja meraung seperti orang gila sepanjang perjalanan menuju rumah sakit terdekat. Berusaha mengekor di belakang seperti orang bodoh bahkan berjaga semalaman bersama pria tua itu.

“Keluarga Hozhi” seorang suster cantik berjalan ke arahnya.

“Ya suster” ujar kakek Hozhi.

“Dokter ingin menemui anda” suster.

Dokter memberi tahu kalau kaki Hozhi mengalami cedera cukup parah pada bagian kanan sehingga membuatnya tidak akan mungkin kembali menjadi seorang pelari. Kenyataan cukup pahit terdengar jelas di telinga. Impian terbesar sang kakek bersama Hozhi pupus sudah karena sebuah kecurangan tidak terlihat mata. Siapa yang akan percaya tentang kenyataan tersebut?

Sang kakek berusaha tetap memberi semangat terhadap cucunya walaupun kenyataan hati beliau sedang menangis keras jauh di dalam. Berjalan seperti orang bodoh ketika hendak menebus obat seolah tidak mempunyai pengharapan. Terus berjaga sedikit jauh dari mereka 24 jam, namun tidak dapat memberi penghiburan tersendiri.

“Kakek, makanlah!” menyerahkan makanan hasil buatanku sendiri keesokan harinya…

“Terima kasih karena terus berada di rumah sakit buat kami berdua” sang kakek.

“Hava hanya punya bunda dan tidak pernah merasakan mempunyai kakek seperti apa.”

“Namamu ternyata Hava” sang kakek baru mengetahui namaku setelah sekian hari...

Saya tertawa mendengar bagaimana kakek Lewi baru mengetahui namaku. Lebih kacau lagi adalah nama beliau juga baru kukenal sekarang sama sepertiku. Sepertinya beberapa hari belakangan saya selalu lupa menyelesaikan tugas-tugas kampus terlebih dari mr. Juan. Wajah sang dosen semakin terlihat ganas akibat ulahku. Bukannya kesengajaan, hanya saja berjaga di samping Hozhi sedikit membuatku lupa akan hal tersebut.

“Sekali lagi kau tidak mengumpulkan tugasmu artinya duniamu kiamat seketika” mr. Juan terlihat sangat marah.

Diam tanpa memberi alasan itulah keadaanku sekarang. Menghabiskan waktu seharian di ruang perpustakaan guna menyelesaikan tugas-tugas tambahan mr. Juan. Beberapa dosen lebih menyukai pengirimana secara online setiap pemberian tugas baik bersifat perorangan maupun kelompok jauh berbeda ketika berhadapan dengan mr. terganas sedunia. “Bagaimana keadaan Hozhi si’gadis bisu itu sekarang?” bertanya sendiri...

Entah bagaimana sang kakek membayar seluruh tagihan rumah sakit dalam jumlah besar? Perawatan medis Hozhi membutuhkan biaya cukup besar akibat cidera cukup parah ketika sedang bertanding beberapa waktu lalu. Belum lagi kondisi psikolog gadis bisu itu sepertinya sangat memburuk. Dia hanya mencoba untuk tidak menampakkan jelas di hadapan kakeknya. Segera menyelesaikan seluruh tugas kampus kemudian bergegas keluar dari perpustakaan menuju sebuah rumah sakit.

Saya memang tidak tahu cara bersahabat dengan seseorang, tapi minimal tubuhku bisa terus berada di sampingnya walaupun dikatakan mati kutu tentang bahasa isyarat. “Kakek” berteriak sekeras mungkin…

Sebuah mobil kecepatan penuh menabrak tubuh pria tua tidak jauh dari jalan rumah sakit di depan mataku. Sang kakek dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan. Mimpi gadis bisu untuk menjadi seorang pelari nomor satu dunia lenyap karena sebuah permainan bahkan membuatnya kakinya mengalami cidera cukup parah. Belum juga keluar dari rumah sakit, sang kakek mengalami musibah beberapa hari setelah kejadian tersebut.

Inikah yang dikatakan kehidupan? Cacat, miskin, masalah silih berganti melenyapkan kehidupan dalam sekejap. Apakah memang kami sebagai manusia cacat tidak memiliki tempat layak di dunia? Ataukah saya yang salah karena selalu melihat banyak hal dari objek-objek negative semata? Berjalan tanpa dua tangan selalu saja menyatakan keadaan-keadaan terbodoh dalam hidup. Kisah cerita Hozhi sang gadis bisu harus siap menjalani kehidupan biasa tanpa mimpi lagi.

Buat apa bermimpi besar kalau semua itu tidak mungkin bisa diraih? Jauh lebih baik duniaku berjalan biasa dan tidak harus berpikir tentang mengejar mimpi, minimal ceritaku tidak sesakit Hozhi sang gadis bisu. “Bantu kakek mengembalikan Hozhi seperti dulu” sang kakek berkata-kata di atas tempat tidur rumah sakit. Beliau masih bisa berbicara di saat-saat keadaannya sangat memprihatinkan…

“Mempunyai mimpi besar adalah hal terbaik buat hidup” sang kakek seolah menyadari benar tentang apa yang sedang kupikirkan.

“Mengejar mimpi besar memang menyakitkan jauh melebihi bayangan pemikiran semua orang, tetapi objek seperti itulah yang menjadi seni sekaligus kisah cerita termanis,” kakek Lewi.

Saya hanya terdiam mendengar setiap ucapannya. Jujur, hingga detik sekarang jalan hidupku tidak pernah berani untuk bermimpi besar apa lagi mengejar. “Bantu kakek mengembalikan mimpi besar Hozhi seperti dulu,” kalimat terakhir sang kakek sebelum menghembuskan nafasnya. Sang kakek pergi selamanya tanpa pamit terlebih dahulu terhadap Hozhi.

Saya saja butuh dibantu untuk memiliki sebuah mimpi, lantas sekarang beliau memohon bantuan untuk mengembalikan cucunya seperti semula? Permintaan terbodoh yang pernah kudengar seumur hidupku dari seseorang. Tiba-tiba saja Hozhi berlari masuk memeluk pria tua di hadapanku bersama tangisan histeris miliknya.

Biaya rumah sakit Hozhi dalam jumlah besar selain kepergian sang kakek merupakan masalah terbesar. Bagaimana bisa saya berada dalam masalah seperti ini? Dia tidak memiliki hubungan darah sedikitpun denganku, lantas kenapa juga saya harus terus berada di sampingnya seperti manusia terbelenggu? Wajah pucat Hozhi terlihat jelas setelah pemakaman sang kakek tercinta.

Tuhan, kalau memang manusia cacat seperti kami berdua diperhatikan olehMU berarti ada jalan keluar untuk masalah biaya rumah sakit Hozhi. “Dokter, boleh saya lihat tagihan rumah sakit atas nama Hozhi Lewi” memberanikan diri menghadap dokter yang sedang menangani kasus Hozhi.

“Seseorang sudah membayar lunas tagihan rumah sakit” ujar dokter.

“Apa kakek sebelum meninggal sudah membayar lunas?” bertanya…

“Bukan beliau tapi sosok misterius” senyum sang dokter terhadapku.

“Jangan khawatir, kau hanya perlu berada di dekat Hozhi dan mengembalikan dirinya seperti dulu pesan si’ pembayar misterius” kalimat dokter itu lagi.

Siapa sosok misterius ini? masa bodoh dengan sosok si’misterius itu yang penting satu masalah terselesaikan. Tuhan, mulai sekarang saya percaya kalau sebenarnya tanganMU selalu adil bagi kehidupan manusia cacat seperti kami. Mulai percaya tentang kebaikan Tuhan pertama kali terjadi sejak hari dimana biaya perawatan medis Hozhi lunas.

Beberapa hari belakangan saya harus disibukkan dengan permasalahan penolakan tugas seperti biasa dari dosen terganas di kampus selain menghadapi kasus Hozhi sang gadis bisu. Kesulitan terberat yang sedang bermain adalah kasus permasalahan kisah seorang pelari cacat tanpa pengharapan. Saya masih bisa menahan kegeraman dosen killer di kampus, tetapi menyaksikan hidup seorang gadis bisu kehilangan arah terlihat benar-benar  menakutkan.

Buat apa bermimpi besar kalau pada akhirnya perjalanan seseorang seperti mayat hidup di ujung cerita. Berjuang menciptakan cerita manis, tetapi menjadi sia-sia. Harapan untuk berjalan lenyap ditelan bumi. Rasa-rasanya saya tidak ingin memiliki satu mimpi besar sampai kapanpun juga. Hozhi tidak lagi bisa menampakkan senyum di wajahnya. Kisah hidupnya sekarang hanya bercerita mayat hidup, air mata, lelah, ingin mati, rasa pahit.

Saya tidak ingin menjalani dunia seperti Hozhi karena mengejar mimpi besar. Rasa takut bermimpi memang jauh lebih kuat dibanding segala objek apa pun dalam hidupku. Hal terkacau lagi adalah perintah untuk mengembalikan mimpi besar gadis bisu seperti permohonan sang kakek. Bagaimana kalau kekecewaan akan kembali dirasakan oleh Hozhi hanya karena mengejar mimpi besar untuk kedua kalinya? Bisakah saya mempertanggung jawabkan sesuatu hal yang akan terjadi di masa depan?



Bagian 4…


 

HAVA…


“Hozhi, apa kau di dalam?” berteriak di depan pintu rumah milik si’gadis bisu.

“Hozhi”…

“Hozhi” sekali lagi berteriak.

Rasa-rasanya saya ingin tertawa keras setelah menyadari teriakanku itu tidak berarti. Dia seorang gadis bisu dan bagaimanapun berteriak keras memakai alat pengeras suara sekalipun semuanya itu sia-sia. Mendobrak pintu rumah miliknya memakai tubuh serta kaki merupakan satu-satunya jalan. “Berhasil” tersenyum sekilas di akhir usahaku.

Rumah sederhana seperti sarang babi dengan segala jenis bau tidak sedap. Barang-barang berhamburan kiri kanan terlihat menjijikkan. Makanan membusuk begitu saja di atas meja, kamar, maupun dapur. Hidup sang pemimpi besar hancur berantakan di tengah jalan. Bunda tentu mengamuk besar andaikan seorang Hava berbuat ulah seperti yang dilakukan oleh Hozhi.

Gadis bisu hanya diam menyendiri dalam kamar seorang diri. Berusaha membersihkan rumah miliknya hanya memakai kedua kaki serta mulut untuk digerakkan ke kiri dan kanan. Bunda menyadari anak cacatnya suatu hari kelak hidup terpisah darinya sehingga benar-benar melatih melakukan pekerjaan rumah tanpa dua tangan. Seharian penuh menjadi petugas kebersihan di rumah milik Hozhi.

“Makanlah, selagi buburnya masih panas!” menyodorkan semangkuk bubur. Dia tidak merespon apapun yang kuberikan. Dunianya hanya bercerita tentang mayat hidup tanpa pengharapan. Apakah benar bermimpi besar dapat membuat seseorang menjadi depresi atau gila seperti kisah sang gadis bisu? Hal terbodoh yang pernah kulihat.

“Percuma saja saya bicara, kau kan memang bisu” berkata-kata bodoh terhadapnya.

Dia hanya tertidur di atas ranjangnya. “Yah Tuhan, tubuhnya panas sekali” tak sengaja lenganku menyentuh kening si’gadis bisu. Sepanjang malam saya harus terus berjaga sambil mengompres memakai air hangat agar demamnya segera turun. Bagian bawah kelopak mataku menghitam seketika seperti hantu gentayangan. Di kampuspun saya masih harus berhadapan dengan beberapa dosen terlebih mr. Juan.

“Tugasmu makin berantakan” kalimat sinis mr. Juan ketika saya berada di kampus.

“Teori memang penting, tetapi kreatifitas sendiri sekaligus praktek jauh lebih bernilai ketika berada di lapangan” tugas makalah milikku di coret habis-habisan oleh sang dosen killer seperti biasanya.

“Gunakan kreatifitasmu untuk menjelaskan penyelesaian satu kasus keuangan bersama beberapa istilah-istilah penting ketika berada dalam situasi jebakan, ngerti?” melemparkan seluruh kertas tugas milikku berhamburan ke lantai. Saya hanya bisa menarik nafas dalam-dalam seperti biasanya. Memungut kembali lembar tersebut menggunakan dua kakiku.

Berjalan lamban seolah tidak lagi memiliki tenaga menuju sebuah halte. Semalaman terus berjaga di samping Hozhi membuatku terlihat sangat lelah. Kasusku sekarang adalah cara mengembalikan kehidupan gadis bisu seperti semula dan menghadapi salah satu dosen terkiler sedunia di kampusku. Bulatan bola selalu saja mempermainkan keadaan di lapangan bagi seorang pemain antara satu sama lainnya. Lapangan hijau berbicara dan menyatakan bahwa salah satu tim harus menang ketika sedang mempermainkan tendangan terhadap satu objek bola.

“huffftttttt” menarik nafas dalam-dalam.

Apa yang sedang kupikirkan? Lupakan. “Sampai kapan juga kau harus terus menyiksa diri sendiri?” menatap tajam Hozhi si’gadis bisu setelah saya berada kembali di rumahnya.

“Saya pikir gadis bisu sepertimu kuat tapi ternyata terlalu lemah” berkata-kat lagi walaupun kenyataannya dia tidak akan mungkin mendengar ucapanku.

Kesulitan terbesarku adalah sama sekali tidak mengerti bahasa isyarat dalam bentuk apa pun. Saya tidak memiliki dua tangan untuk digunakan berkomunikasi terhadap gadis bisu. Hidup seatap dengannya membuat hidupku terdengar menyedihkan. Harus tetap berada di sampingnya suka atau tidak menjadi hal terkacau sekarang. permasalahan keuangan minipis juga sedang menyergap seperti badai.

Uang pemberian bunda hampir habis hanya buat membayar obat milik Hozhi, uang transport pulang pergi kampus, dan terakhir uang makan. Jarak rumah Hozhi sedikit berjauhan dari kampus, sedangkan saya harus tetap tinggal bersama dengannya untuk merawat juga berjuang mengembalikan semangat hidupnya. Terkadang menatap tajam terlihat menakutkan menjadi alternative terbaik agar dia mau makan.

“Saya tidak mungkin meminta uang bunda lagi” berbicara sendiri sambil mengerutkan kening. Hidup bunda sudah terlalu susah, jadi, tidak mungkin membuatnya khawatir. Satu-satunya cara adalah bekerja sambil kuliah. Menjadi pertanyaan, siapa orang yang ingin mempekerjakan manusia cacat sepertiku? Memakai dua tangan sempurna belum tentu diterima kerja apa lagi kalau hanya mengandalkan dua kaki.

Melihat seseorang memakai kostum besar menyerupai beruang untuk perhatian orang banyak membuatku ingin melakukan hal sama. Tidak seorangpun menyukai aksiku, mereka semua lewat begitu saja. “Kau hanya memakai kostum terus berdiri seperti patung tanpa gerak, jelaslah semua orang terlebih anak-anak jauh dari kata tertarik” seseorang berkata-kata penuh penekanan di belakangku.

“Mr. Juan” seluruh pergerakan tubuhku terlihat sangat panik.

Jangan sampai dosen itu mengenal wajahku. Bagaimana ini? “Berikan kostummu!” perintah mr. Juan sangat dingin. Dia tidak berubah sedikitpun, terhadap semua orang selalu saja bersikap galak. Menggeleng kepala sekeras mungkin sambil berusaha menjauh darinya.

“Kalau tidak mau tinnggal ngomong bukannya menjauh ketakutan” gertakan mr. Juan.

Entah bagaimana cara dia mendapat kostum sama seperti milikku. Akhir cerita, sang dosen terlihat kacau di depan banyak orang terlebih anak-anak yang sedang lalu lalang. Kisah sebagai manusia terdingin, galak, menakutkan, hancur, mengerikan tiba-tiba saja menghilang ditelan bumi. Semoga saja dia tidak menyadari wajahku dibalik kostum sekarang. Melakukan aksi gila, menari, bernyanyi, memancing tawa, bersahabat terhadap banyak anak adalah dirinya yang sekarang.

“Ambillah!” menyerahkan sejumlah uang hasil aksi kocaknya hari ini.

Diam bagai patung merupakan gambaran diriku saat ini. Bagaimana bisa dosenku bertingkah kacau bahkan saya sendiri lupa betapa killernya dia sebagai tenaga pengajar. “Ingat, kau harus bisa mempertontonkan aksi terkocak kalau ingin menarik perhatian mereka” mr. Juan berlalu begitu saja setelah mengucapkan kalimat tersebut.

“Masa bodoh sikap dosen killer itu” bersikap acuh sambil menghitung lembaran uang mmemakai dua kakiku setelah kembali berada di rumah milik Hozhi.

Pertunjukan sang dosen benar-benar menghasilkan uang. Btw, apa kelebihanku? Menari, mennyanyi, menciptakan tawa, bermain music, atau banyak lagi tidak pernah bisa kulakukan. Jauh berbeda dengan mr. Juan seolah diciptakan Tuhan dengan banyak hal menarik. Gunting tajam itu selalu saja merobek tiap sudut objek menjadikan seluruh jalan tercabik-cabik seketika. “Saya sudah katakan teori tidak selalu digunakan di bidang apa pun termasuk management keuangan” sikap mr. Juang terlihat sangat dingin.

“Tugasmu kali ini lebih cacat dibanding kemarin” merobek lembaran kertas…

Diam menjadi ciri khas manusia tanpa tangan sepertiku. “Segala sesuatu tidak bisa dilakukan atau didasarkan tanpa teori ketika mengambil sebuah peran” pernyataan tersebut tiba-tiba saja keluar dari bibir mulutku.

“Titik lemahmu terlalu menilai segala sesuatu dari teori, sampai kau sendiri tidak bisa menciptakan satu penyelesaian kasus keuangan atau objek lain memakai dunia kreatifitasmu sendiri” mr. Juan.

“Wajar memang pemikiranmu terlihat sangat cacat bahkan lebih dari itu jauh melebihi cacat fisik pada dirimu, karena kau selalu menilai segala sesuatu dari teori” mr. Juan sekali lagi menatap sinis ke arahku.

Satu-satunya jalan adalah tidak lagi membalas ucapannya. Duduk termenung di ruang perpustakaan kampus terdengar kacau. Saya tidak pernah bisa melawan atas segala perbuatan sang dosen killer. Cara berpikir cacat bahkan lebih jauh melebihi cacat fisik pada diriku sendiri? Apa betul seorang Hava tidak hanya caacat fisik tetapi juga dalam segala Sesuatu dinyatakan cacat?

“Tulisan manusia tanpa tangan ternyata sangat rapi” seorang wanita tiba-tiba saja berada di sampingku ketika saya berusaha menyelesaikan kembali tugas pemberian mr. Juan.

“Anda siapa?” dua mataku tak berkedip seketika.

“Saya dosen jurusan sastra sekaligus salah satu pengelola perpustakaan kampus” jawaban darinya.

“Maksudku nama” membalas ucapannya.

“Panggil saja ibu maksudku kakak Moza biar lebih bersahabat”…

“Pasti kau lagi stress berat menghadapi salah seorang dosen tergalak di kampus” dia bisa menebak apa yang sedang kupikirkan.

“Dari mana anda tahu?” terkejut heran.

“Siapa sih tidak mengenal mr. Juan di kalangan mahasiswa dan para dosen” ka’Moza.

“Kakak kan dosen sastra bukan jurusan…”

“Tapi tetap saja kami semua mengenalnya” ka’Moza.

“Begitu rupanya” terlihat lesuh…

“Btw, tulisanmu sangat rapi yang pernah saya lihat” dia mengalihkan pembicaraan lain.

“Semua itu tidak ada artinya” cetusku.

“Kenapa?”

“Karena saya manusia cacat dan tidak memiliki tangan seperti yang lain” menjawabnya.

“Berarti ucapanmu itu hanya menilai kesempurnaan secara fisik, wajar saja mr. Juan mengamuk tiap saya lewat depan kelasmu” dia bertolak pinggang sambil tertawa.

Saya baru sadar kalau ternyata selama ini banyak orang menjadikanku sebagai objek perhatian. Suara mr. Juan memang cukup keras terlebih ketika mengamuk lebih ganas lagi hingga semua orang tidak berkutik dibuatnya. Bagaimana bisa kehidupan perkotaan begitu keras sampai harus berhadapan terhadap banyak kasus? “Kalau boleh tahu, defenisi cantik menurutmu seperti apa?” dia terus saja memancing…

“Tentu saja mempunyai dua tangan, tidak memiliki cacat fisik, tinggi, menarik, bentuk tubuh gitar, bibir seksi, kulit putih mulus” jawaban tersebut membuat dia tertawa keras.

“Pantesan dosen terkiler makin membencimu, kau sadar tidak kalau amukan keras mr. Juan terdengar jelas sekitar area fakultas sastra” ka’Moza.

“Saya baru sadar” menjawabnya.

Defenisi cantik menurutku memang seperti itu bahkan semua orang tentu berpikiran sama denganku. Realita di luar sana menyatakan kesempurnaan kecantikan adalah ketika anggota tubuh tidak pernah terlihat cacat sama sekali. “Semalam saya bermimpi” dosen sastra seolah ingin mencurahkan isi hatinya terhadap seorang mahasiswi.

“Kenapa saya perlu tahu mimpi anda?” bertanya sedikit judes.

“Saya sedang menulis di sebuah papan tulis, kemudian seorang pria tua bertanya terhadapku tiba-tiba saja. Jelaskan defenisi cantik menurut pemikiranmu?” dia tetap saja memberi tahu isi mimpinya.

“Jawaban kakak?” menatap ke arahnya.

“Defenisi cantik tidak bercerita tentang penampilan, kesempurnaan fisik, kecantikan wajah. Defenisi cantik itu simple/ sederhana, percaya diri, dan menjadi diri sendiri” jawaban sang dosen.

“Tiba-tiba saja banyak orang bertepuk tangan buatku dimulai dari ribuan orang yang sedang berada di sebuah gedung, pria tua tadi, dan masih banyak lagi” terus saja bercerita tentang mimpinya semalam.

Pertama kalinya, seorang dosen sekaligus pengelola perpustakaan bercerita tentang sesuatu hal. Bisakah saya percaya akan setiap ucapannya? Dia seperti bunda, kakek Hozhi, dan juga ibu Hana. Ketika semua orang tidak ingin melihat ke arahku, tetapi Tuhan memakai mereka untuk berusaha menghancurkan benteng terkacau pada sudut ruang hidupku.

Jangan jadikan cacat sebagai alasan untuk tidak memiliki satu mimpi besar merupakan isi pesan bunda tanpa rasa bosan sama sekali tiap harinya. Selama ini saya menganggap hanya orang-orang sempurna dengan angota tubuh lengkap bersama kesempurnaan fisik yang dapat menjadi pemeran utama ketika berlari pada satu pertandingan. Defenisi cantikpun mempunyai cerita terbaik untuk dikenang sekaligus berperan bagi mereka dengan kategori seluruh organ tubuh lengkap.

Tuhan, ajar hidupku tentang satu cerita manis dimana saya bisa menjadi pemeran utama terbaik dan mempunyai mimpi besar seperti ucapan bunda. Buat nafasku berteriak tentang defenisi cantik sesungguhnya bisa menjadi bagian terbaik buatku juga bahkan saya benar-benar berada dalam kategori tersebut. Hancurkan setiap benteng yang sedang membelenggu jalanku sehingga tidak pernah mempercayai kisah terbaik juga dipersiapkan olehMU untukku manusia cacat tanpa kesempurnaan.

Saya ingin belajar percaya kisah pemeran utama di satu bagian jalan bisa tertujuh terhadap orang-orang yang dikatakan lemah, terbelakang, terlebih cacat secara fisik. Terkadang rasa takut muncul begitu saja ketika melihat beberapa cerita kegagalan hidup mereka di luar sana termasuk Hozhi si’gadis bisu. Sampai detik sekarang saya tidak menemukan cara mengembalikan semangat hidup sang pemimpi besar bernama Hozhi seperti semula.

Kehidupan seorang manusia tanpa tangan harus bergumul tentang pekerjaan, hozhi si’gadis bisu, kampus bersama tugas-tugas pemberian beberapa dosen terlebih mr. Juan. Tidak mungkin juga semua keluh kesah harus saya ceritakan pada bunda karena sesuatu dan lain hal. Berusaha mengatur waktu sebaik mungkin agar salah satu dari bagian tersebut tidak terbengkalai.

“Sampai kapan kau harus seperti mayat hidup terus?” muak, tidak tahan, kesal, kecewa berbaur menjadi satu mendorong tubuh sang gadis bisu dari ranjangnya.

“Saya benar-benar kesulitan berbicara denganmu atau harus mengekspresikan apa pun” berteriak geram.

“Tidak berarti kehilangan kakek terus hidupmu hancur begitu saja” semakin mendorong tubuhnya memakai dua kakiku keluar dari kamar. Satu-satunya cara terbaik membuat dia melihat dunia luar lagi adalah membawanya keluar kamar. Menunjuk matahari pagi memakai salah satu kaki agar bisa membuka matanya. Saya tidak memiliki dua tangan untuk berperan sebagai alat komunikasi bahasa isyarat, sedang dia bisu merupakan kekacauan terbesar bagi kami berdua.

“Kenapa juga saya ingin berjuang mengenalmu waktu itu?” kalimat kesalku.

Hal terbodoh selanjutnya adalah selalu mendorong tubuhnya atau menendang memakai kaki agar dia keluar dari kamar tiap hari. Memaksa makan, mandi, berjalan keluar rumah untuk menghirup udara segar. Memaksa dia memakai kostum beruang agar kami berdua bisa menyambung hidup. Saya tidak mungkin menyusahkan bunda di kampung demi kebutuhan makan di kota. “Jadi atlet pelari tercepat memang sudah hilang ditelan bumi, minimal kau harus bisa cari makan” nada menggertak terhadapnya. Sifat mr. Juan sepertinya menular terhadapku sewaktu harus berhadapan dengan Hozhi. Memaksa dia menari di depan banyak anak dengan segala cara yang bisa membuat dirinya paham keinginanku.



Bagian 5…


 

HAVA…


Selalu mendorong atau menendang tubuh Hozhi memakai salah satu kakiku terdengar kejam memang. “Kau harus bisa mendapat uang” teriak geram karena komunikasi antara kami berdua sangat sulit.

“Ternyata gadis sepertimu bisa juga menggertak, memaki, atau menendang orang” seseorang tiba-tiba saja menyindir setelah kami berdiri di tengah keramaian.

“Seperti saya mengenal suara itu” mencari tahu arah suara tersebut.

“Mr. Juan” terkejut seketika.

“Hebat” tepukan tangan mr. Juan.

“Kan mr. Juan yang mengajarkan saya memaki sekaligus menggertak”…

Pemandangan mengejutkan seketika adalah Hozhi si’gadis bisu menangis histeris seolah mengenal pria di hadapan kami berdua. “Lama tidak bertemu” sikap dingin sang dosen hilang ditelan bumi.

“Mister mengenal dia?” mulut menganga hampir tidak percaya.

“Hozhi bisa baca tulis, kalau memang mau komunikasi terhadapnya tinggal tulis di selembar kertas, simple kan?” ketika berkata-kata terhadapku sikap sang dosen kembali menjadi dingin bahkan terlalu sinis.

“Mana saya tahu mister, kalau sadar sejak dulu juga sudah kulakukan” cetusku.

Hozhi masih histeris dalam tangisannya, sedang mr. Juan sendiri berusaha menghapus air matanya. Pemandangan apaan ini? Kenapa juga saya harus mengenal mereka berdua? Berarti pembayaran biaya perawatan rumah sakit Hozhi ternyata dibayar oleh dosenku sendiri. Saya tidak tahu bagaimana mereka bisa saling mengenal, minimal pertemuan ini semoga bisa mengembalikan kehidupan Hozhi.

“Berhenti nangis!” mr. Juan berbicara sambil menggerakkan tangannya.

Entah kenapa terlihat seperti pemandangan kurang menyenangkan. Bagaimana bisa dosen terkiler berubah jadi lembut seketika di hadapan seorang gadis bisu. Giliran denganku terlihat geram tiap saat tanpa henti. Penolakan tugas bersama kata-kata mengerikan selalu saja terlempar ke arahku. Mengekor di belakang mereka membuat terlihat bagaikan manusia bodoh. Perubahan drastis terjadi semenjak pertemuan antara Hozhi dan mr. Juan dari hari ke hari.

Hubungan mereka di masa lalu memunculkan rasa penasaran berlebih. Hozhi yang dulu terlihat seperti mayat hidup perlahan mulai membaik. Jarak di antara mereka cukup jauh yaitu 10 tahun, lantas? “Gunakan kostum ini buat biaya makan!” melemparkan kostum ke tangan Hozhi memakai salah kakiku. Di luar dugaan dia perlahan mulai tersenyum lebar bahkan dengan senang hati memakainya.

Pendapatan hari ini lumayan banyak gara-gara keahlian Hozhi menghibur banyak anak. Melakukan dance tanpa bisa mendengar suara music di sela-sela tingkah kocak darinya. Semua orang tertawa lebar ketika sang gadis bisu melakukan perannya dibalik sebuah kostum. Salah satu kelebihan terbaik dari seorang manusia cacat semacam dirinya. Tiba-tiba saja dia menyodorkan sebotol soda sambil tersenyum lebar. Saya bukan tokoh pengubah hidupnya, melainkan sosok pribadi terdingin dari semua manusia yang pernah ada.

Duduk termenung di tengah ruang perpustakaan kampus setelah jam kuliah. “Apa kelebihanku?” bergumam sendiri. Hozhi memiliki beberapa kelebihan walaupun dikatakan istilah bisu menggambarkan kata cacat dalam dirinya.

“Hei, jangan melamun di perpustakaan!” tegur seseorang menepuk bagian punggung belakangku. Pria berpakaian santai, berkacamata, memegang sebuah laptop sedang menatap kebingungan ke arahku.

“Perkenalkan, kakak senior tapi dari fakultas seni di kampus Hava University” berteriak keras di tengah-tengah ruang perpustakaan hingga menjadi perhatian semua orang.

Pertama kalinya saya melihat senior paling narsis jauh melebihi kata kejiwaan. Saya tidak menanyakan nama tapi sudah memperkenalkan diri lebih dulu. Semua orang geleng-geleng kepala melihat tingkat narsis darinya. “Namaku Nevil sosok senior paling diidolakan, understand?” masih berteriak narsis.

“Nevil, ini bukan lapangan tapi perpustakaan” seorang wanita memukul kepalanya memakai sebuah buku berulang kali.

“Nevil kan hanya mau kenalan saja” berusaha melepaskan diri.

“Ini bukan lapangan mahasiswa narsis” wanita itu alias kakak Moza masih bergelut emosi.

“Bibi, lepaskan” dia memanggil wanita ini bibi.

“Jangan panggil saya bibi dimanapun atau apa pun alasannya” makin memukul kepala si’senior narsis. Ternyata hubungan mereka berdua adalah keponakan dan tante. Terdengar kacau menyaksikan kisah pertarungan sengit di ruang perputakaan. Tiba-tiba saja perutku sakit karena tertawa lebar menonton tingkah mereka. Lebih kacau lagi, ka’Moza mendapat teguran langsung dari atasan karena perbuatan konyolnya bertingkah seperti anak kecil.

Terjadi tarik menarik rambut antara bibi dan keponakan dalam ruang perpustakaan yang tidak boleh memperdengarkan suara sekecil apa pun. Mr. Juan menunjuk tepat ke arahku seketika setelah mereka berdua di pisahkan. Pertama kalinya, saya terus tertawa tanpa memperdulikan tatapan sinis dosen terkiler karena tingkah kacau hari ini. “Kau cantik kalau tertawa seperti ini” Nevil mencubit pipiku. Meringis kesakitan akibat ulah mahasiswa senior fakultas seni terlihat jelas di hadapan mereka.

“Buatkan saya laporan keuangan memakai system menjebak untuk beberapa kasus sekaligus gunakan serangkaian isitilah-istilah tertentu di dalamnya!” nada memerintah mr. Juan setelah kejadian kemarin di perpustakaan. Tugas kemarin saja belum selesai, sekarang ingin membunuhku lagi…

“Jangan lupa tugas kemarin harus selesai” mr. Juan.

Kepalaku sakit membolak balik buku memakai salah satu kakiku kemudian menulis beberapa pernyataan. Laporan keuangan system menjebak? Memangnya saya ini karyawan apa? Perasaan, statusku masih berperan sebagai mahasiswi lantas kenapa jadi harus menyusun tugas seperti ini? “Kau terlalu berfokus pada data penyusunan biasa, sedangkan kata menjebak tanpa disadari oleh orang banyak tidak terlihat di sini” tangan mr. Juan membuat tanda silang besar pada lembaran tugasku.

“Gunakan kreatifitasmu otakmu menyusun satu laporan keuangan sehingga orang di sekitarmu tidak menyadari beberapa data jebakan di dalam untuk menyatakan beberapa objek, terlebih ketika seseorang atau oknum tertentu ingin bermain-main” mr. Juan seperti biasanya melemparkan lembaran kertas tugasku di hari berikutnya.

Sesuai perkiraan kesekian kalinya tugas dari mr. Juan harus sempurna tanpa cacat. Penolakan demi penolakan seolah tubuhku adalah robot dapat menyelesaikan segala tugas pemberiannya. Menendang kaleng soda sambil berjalan tanpa semangat menjadi aktifitas keseharianku setiap berjalan pulang. “Junior, apa kabarmu?” senyum lebar mahasiswa narsis menghalangi jalanku seketika.

“Senior, minggir!” kalimat kesalku.

“Juniorku pasti lagi stress gara-gara tugas dosen terkiler” dia bisa menebak…

Seluruh fakultas mengenal dosen terkiler bernama mr. Juan tentu membuat seluruh penghuni kampus berlari ketakutan. Banyak mahasiswa pindah jurusan hanya karena tidak tahan berdiri di hadapan sang dosen. Entah bagaimana cerita sampai Hozhi dapat membuatnya terlihat sedikit lembut. Apa mr. Juan memiliki perasaan khusus terhadap gadis berusia 19 tahun semacam Hozhi? Mr. Juan berusaha menyempatkan diri bertemu Hozhi setiap harinya ketika jam mengajarnya selesai.

Gadis bisu itu memang sangat cantik dan siapapun tentu mendambakan dirinya. Kekurangan dia hanya terletak pada kata bisu bukan objek lain, tidak seperti diriku selalu saja kacau. Rambut hitam panjang, senyum ayu, bibir seksi, tubuh semampai, kulit mulus menjadi gambaran seorang Hozhi. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya apa kelebihan dalam diriku? Semuanya terlihat hancur bahkan lebih kacau lagi karena tidak memiliki dua tangan.

Senyum lebar Hozhi kembali karena kehadiran mr. Juan tiba-tiba di hadapannya. Tidak lagi meneteskan bulir-bulir Kristal di dalam kamar sederhana miliknya. Rasa sakit menerima kenyataan kalau dia tidak mungkin kembali ke dunia atlet sebagai pelari atau kepergian sang kakek lenyap seketika. “Mempunyai mimpi besar adalah hal terbaik buat hidup” entah kenapa ucapan kakek Hozhi terngiang di telingaku.

Bisakah saya mengembalikan mimpi sang gadis bisu sedang saya sendiri terdengar kacau untuk mengejar apa pun dalam hidup? “Apa segitu pentingnya bermimpi dibanding memahami objek lain?” bertanya pada diri sendiri.

“Gambarmu ternyata bagus juga” seseorang menepuk bahuku tiba-tiba.

“Sejak kapan anda berdiri di belakang saya?” pertanyaan melotot menatap salah satu staf pengelola kampus sekaligus berperan sebagai dosen sastra.

“Panggil kakak Moza bukan anda, ngerti?” senyumnya menghias.

Saya ingin melepas stress bahkan melupakan tugas pemberian mr. Juan hingga menghabiskan waktuku menggambar sesuatu objek di sekitar perpustakaan. “Kalau bermimpi itu menyakitkan, kenapa harus dikejar?” dia membaca nyaring tulisan pada ujung sebelah kanan hasil gambarku.

“Ka’Moza seperti lupa kalau lagi berperan sebagai staf pengelola perpus tapi berteriak nyaring gitu” sedikit menyindir.

“Seseorang terlihat lelah, letih, lesu, sakit, bahkan tanpa tenaga sedang berjalan di tengah derasnya ombak, lumpur, ataupun bukit terjal hanya demi meraih sebuah bintang” sekali lagi berkata-kata menyimak apa yang sedang kugambar.

Segera menarik kertas gambar milikku dari tangannya. “Jalanmu tidak akan pernah memiliki satu alur cerita ataupun seni terbaik kalau kau meraih mimpimu dengan begitu mudah alias lurus semudah membalikkan telapak tangan” ka’Moza.

“Saya tidak ingin seperti Hozhi gadis bisu penuh semangat mengejar mimpi, namun tiba-tiba terlihat seperti mayat hidup karena semuanya tidak seperti yang diharapkan” entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja.

“Bisa saya simpulkan kalau kau benar-benar selalu hidup dalam ketakutan dan tidak berani bermimpi terlebih karena cacat fisik pada dirimu” ka’ Moza.

“Sangat ketakutan lebih dari ucapan kakak” mengangguk dengan kepala tertunduk…

“Saya ingin menunjukkan sesuatu terhadapmu” membawaku menuju mobilnya. Akhir cerita adalah kami berada di sebuah gedung pertunjukkan balet setelah sejam penuh mengendarai mobil miliknya. Seorang gadis melakukan sebuah pertunjukkan tarian balet dengan sangat gemulai bahkan semua orang tidak berhenti bertepuk tangan buatnya.

“Dia seorang penari balet terbaik di pertunjukkan ini” ka’Moza menatap ke arahku.

“Saya juga tahu kalau gadis itu penari balet” cetusku.

“Apa kau merasa ada sesuatu yang mengganjal pada dirinya?” Ka’Moza.

“Kenapa membawaku ke tempat seperti ini?” balik bertanya.

“Gadis penari balet itu bernama Hope Balerina seorang manusia autis tanpa sesuatu hal menarik dalam hidupnya ketika berjalan” ka’Moza.

Saya hampir tidak percaya menyaksikan seorang gadis autis menampilkan tarian balet gemulai jauh melebihi manusia normal. Irama music terbaik berhasil dipertontonkan mengiringi tiap gerakan tarian darinya. Ending tariannya sulit diprediksi oleh banyak penonton menjadi ciri khas penari balet autis semacam dirinya.

“Bermimpi besar merupakan objek terbaik. Berjalan dalam raungan kesakitan karena mengejar mimpi menjadi bagian termanis di dalamnya” pernyataan sang dosen sastra.

 “Kau bisa menghargai bintang di tanganmu suatu hari kelak ketika kedua kakimu berlari mengejar di dalam ombak, lumpur, ataupun bukit terjal. Jauh berbeda sewaktu segala sesuatunya terlihat begitu mudah diraih tanpa peran apa pun” ka’Moza.

“Kalau semua mudah diraih kan hidup tidak perlu menyatakan kekecewaan atau amarah karena sang pencipta selalu memalingkan wajahNYA” balasku.

“Kau tidak akan pernah bisa menghargai bintang yang ada ditanganmu seandainya kau genggam dengan begitu mudah, lurus, dan tanpa hambatan” ka’Moza.

“Siapa bilang?”

 “Hidupmu terlalu menyedihkan” menertawakan pemikiranku.

“Saya selalu takut menghadapi kenyataan, hidupku memang terlalu menyedihkan.”

Menjadi seperti penari balet terdengar sulit ingin selalu berjuang. Di satu sisi saya ingin berjalan mengejar bintang, tetapi bayang-bayang ketakutan jauh lebih kuat tertawa bahkan menari tanpa henti. “Kenapa saya tiba-tiba terdaftar dalam komunitas grup apaan ini?” sedikit terkejut melihat namaku masuk dalam deretan satu komunitas disabilitas pada salah satu aplikasi media social.

Saya hampir tidak percaya ibu maksudku ka’Moza memasukkan akun milikku ke dalam sebuah grup. Dimana dia tahu nama akun media milikku? Telinganya benar-benar panjang untuk mencari tahu sesuatu informasi terbaru di kampus termasuk apa pun dalam diriku. Btw, mr. Juan dan ka’Moza memiliki perbedaan cukup jauh ibarat langit sama bumi sewaktu berhadapan dengan banyak mahasiswanya. Masa bodoh…

Ada banyak kesaksian cerita hidup seseorang ketika menjalani satu jalan terkacau dengan kondisi tubuh tidak sempurna seperti manusia normal. “Bertubuh pendek tanpa dua tangan sekaligus menjadi pelengkap hiasan hidupku sejak lahir” caption bersama wajah penuh senyum dari salah satu anggota grup tersebut. Tidak menaruh amarah terhadap Tuhan merupakan hal mustahil. Foto-foto pada akun miliknya terlihat menikmati hidup.

“Tuhan selalu adil walaupun realita menyatakan seolah rasa ketidakadilan selalu tertawa lebar bagi jalan hidup manusia disabilitas termasuk cerita perjalananku pribadi” sekali lagi caption bersama postingan wajah tersenyum lebar terpampang nyata pada akun beranda miliknya. Rasa penasaran berkepanjangan membuatku ingin terus melakukan stalking terhadap akun media social miliknya. Grup tersebut membuatku menemukan banyak kisah disabilitas baik dari segi mental, intelektual, maupun tanpa kesempurnaan anggota tubuh secara fisik.

“Temukan satu cara yang bisa membuatmu memiliki sebuah mimpi besar, kemudian gunakan ribuan cara untuk mengejarnya tanpa henti walaupun salah satu anggota tubuhmu tidak sesempurna seperti manusia normal lainnya” seorang pianis dengan suara merdunya berkata-kata melalui video hasil unggahan asisten pribadinya dalam grup tersebut. Pianis tersebut buta sejak lahir hingga kedua matanya terlihat sangat menakutkan. Saya bukan satu-satunya manusia terlahir cacat di dunia ini, tetapi hal terbodoh adalah selalu saja marah terhadap Tuhan atas apa yang sedang terjadi.

“Pikiran antara manusia dan Tuhan sangat jauh berbeda. Terkadang Tuhan mengizinkan hidup terlahir tanpa salah satu anggota tubuh bukan karena rasa ketidakadilan, melainkan seseorang hanya diajar untuk mengerti makna seni terkuat hingga menjadikan bulatan kehidupan termanis di antara sekian juta deretan cerita hidup banyak orang.” Sekali lagi seseorang menuliskan kalimat tidak biasa dalam grup tersebut. Mereka semua berada pada garis hidup dengan cerita disabilitas. Manusia tanpa dua kaki, namun kenyataannya dinyatakan sebagai pelari nomor satu dunia tercepat mengalahkan orang normal. Gadis autisme menjadi seorang penari balet terbaik menyatakan satu cerita berbeda dibanding kehidupan di luar sana. Perjuangan luar biasa membuatnya tidak kehabisan akal untuk terus bertahan mengejar mimpi. Jatuh bangun di tengah derasnya ombak selalu saja mempermainkan kehidupan hingga akhir cerita kemenangan menjadi bagian terbaik darinya.



Bagian 6…


 

HAVA…


Tuhan, lihat ke arahku hingga sayapun berani bermimpi besar sama seperti mereka. Hilangkan rasa takut ketika dua kaki ingin belajar berlari mengejar sesuatu objek paling mustahil di depanku. Jujur, saya tidak ingin terlihat lemah di hadapan banyak orang bagaimanapun situasi mempermainkan keadaan, tetapi selalu saja gagal. Memiliki wibawa, charisma, tata bahasa berpendidikan, disegani, dapat mengungkapkan berbagai objek melalui hasil pemikiranku sendiri menjadi hal yang selalu kuinginkan tanpa sadar.

Bayangan ketakutan untuk mengejar mimpi, enyahlah sekarang juga dari jalanku. “Saya ingin belajar mengerti arti mengejar mimpi tanpa rasa takut di dalam ombak, lumpur, dan jurang terjal” nafasku terputus-putus berkata-kata di hadapan seorang dosen sastra sekaligus pegawai pengelola perpustakaan.

“Kau berlari hanya untuk memberi tahu ini?” dia tertawa keras.

“Sebutkan mimpimu?” kembali melanjutkan pembicaraan…

“Berwibawa, berintegritas, memiliki charisma, disegani, berpendidikan ketika mengungkapkan berbagai objek, mampu menampilkan ragam ide hasil pemikiranku di hadapan orang banyak dengan sangat baik tanpa perlu diragukan oleh siapapun” jawaban terbaik buatnya.

“Berarti kau harus mengejar bagaimanapun caranya, semangat” mendekap diriku sambil tersenyum mengungkapkan satu pernyataan.

Sejak hari dimana Hava Elisa menyatakan mimpinya ada banyak perubahan terjadi. Hasil tugas mr. Juan kemarin tentang mimpi akhirnya bisa kuselesaikan setelah sekian lama tertunda tanpa kejelasan ataupun keraguan. Aneh terdengar, terus saja memberiku banyak tugas dengan akhir cerita tragis yaitu penolakan berkepanjangan. Untuk pertama kalinya, tugas tentang cerita mimpi diterima oleh sang dosen terkiller di kampus.

Rasa marah tidak lagi berkata-kata setiap mendapat penolakan oleh sang dosen pembunuh berdarah dingin namun tak terlihat. “Junior, mau kemana?” seru Nevil menghadang jalanku.

“Kantin” jawaban cuek.

“Bibi Moza paling centil bilang kalau juniorku yang satu ini pintar menggambar gitu” senior Nevil.

“Kenapa senior menanyakan hal semacam itu?”

“Itu dia masalahnya, bagaimana kalau kita berdua bekerja sama cari uang maksudku sambilan gitulah, juniorku paling menggemeskan” senior Nevil.

“Senior, sepertinya saya tidak tertarik” kata-kata penolakan.

“Memangnya kau bisa kerja dimana tanpa dua tangan selama masa kuliah seperti sekarang? Restoran, driver food, cleaning servis, supermarket, mall, dan masih banyak lagi harus memakai dua tangan…” sindiran pedis darinya.

Kata-katanya memang semuanya betul untuk segala sesuatu dua tangan benar-benar berharga di setiap jalan hidup. Selalu saja berdiri di hadapanku tersenyum lebar agar mau bekerja sama dengannya. Berpakaian super cuek, kaca mata hitam, tas ransel, celana pendek berkeliling kampus ataupun berada dalam ruang perkuliahan merupakan gambaran senior kampusku bernama Nevil. Selalu bisa membuat seseorang di sekitarnya tertawa keras termasuk diriku tanpa sadar menjadi kelebihan dirinya.

“Kenapa senior selalu berkeliling kampus berpakaian celana pendek setengah paha semacam lagi bertanding bola saja” menertawakan penampilannya.

“Hidup itu bebas buatku artinya yah bebas-bebas saja” balasan menohok sang senior.

Suka maupun tidak terpaksa saya harus mengikuti keinginan senior dari fakultas seni tentang kerjasama antara kami berdua. “Gambarku jelek” masih belum percaya diri.

“Tenang saja, kita tinggal promosi melalui akun media social terus memakai kreatifitas tinggi biar diminati orang banyak maksudku terlihat berseni biarpun jelek sih” senior Nevil.

“What?” pertama kalinya teriakan lepas ketika berada di samping seseorang.

“Intinya gambar bisa pesan antar gitu hanya dengan mengirim foto dan alamat lewat sebuah aplikasi market atau beberapa akun media social” senior Nevil.

Karena terus saja memaksa sampai akhirnya saya harus menyetujui keinginan sang senior mahasiswa seni di kampusku. Minimal sebagai tambahan uang saku agar tidak menyusahkan bunda di kampung. Beasiswaku hanya cukup buat bayar uang kuliah bukan beban lainnya seperti uang kos atau kebutuhan makan tiap harinya. Saya juga tidak bisa menjadi seperti Hozhi memakai kostum sampai menarik perhatian orang banyak. Satu-satunya jalan untuk bertahan hidup di kota demi meraih mimpi adalah bekerja sama dengan senior ternarsis di kampus.

“Gambar apaan ini jelek bangetttt” komplain salah satu kostumer melalui akun media social miliknya membuatku sedikit tertawa.

“Sangat hancur” nada tidak puas kembali muncul.

“Lebih dari kata hancur” sekali lagi nada ejekan.

Ratusan pesan marah konsumen membuatnya terlihat kacau. Di satu sisi saya harus bisa mengerjakan semua tugas kampus, perkuliahan, dan juga menggambar bersama sang senior terkacau. “Apa yang salah?” mencoba memperbaiki sekaligus mencari ide kreatifitas lain demi memikat konsumen.

“Hozhi” tiba-tiba saja seseorang menghentikan kegiatanku di lapangan bebas sekitar kampus.

“Buatmu” gadis bisu sedang memegang selembar kertas sambil tersenyum manis.

“Buatku?” dua bola mataku masih belum memahami sesuatu. Beberapa hari belakangan saya tidak lagi tinggal serumah dengannya dikarenakan kegiatan perkuliahan padat juga masalah pekerjaan tambahan uang saku bersama sang senior. Kembali ke rumah lamaku menjadi satu-satunya jalan sekarang, lagian senyum keceriaan si’gadis bisu kembali berkumandang setelah sekian lama.

Hozhi tidak lagi memakai bahasa isyarat ketika berkomunikasi denganku, melainkan menulis sesuatu pada selembar kertas. “Gadis cantik ini siapa?” pertanyaan senior Nevil.

“Hozhi, salah seorang mantan atlet pelari tercepat di Negara ini” jawabku.

“Mantan?” senior Nevil.

“Kakinya cedera parah sampai membuatnya tidak mungkin kembali menjadi seorang pelari kembali”…

“Makanlah!” tulisan tangan Hozhi pada sebuah kotak bekal makan siang.

“Sangat cantik boleh juga jadi model” seniorku menatap wajah gadis bisu dari ujung rambut hingga ujung kepala. Harus diakui memang kecantikan natural Hozhi memikat semua orang di sekitarnya. Menjadi pertanyaan sekarang adalah bisakah dia berlari kembali mengejar mimpinya walaupun dikatakan harus memulai lagi dari nol? Dunia medis dapat saja berkata jika cedera kaki sang gadis bisu menjadi kisah akhir paling tragis. Keadaan menyedihkan kemarin hanyalah nada cerita mengejar mimpi besar di dalam ombak.

Terkadang rasa penasaran hubungan antara mr. Juan dan Hozhi berada dimana? Dosen terkiller takluk di hadapan gadis bisu terdengar sebuah lelucon. “Mungkin saya tidak bisa lagi tinggal di rumahmu” menulis sebuah kalimat pada selembar kertas.

“Kenapa?” balas menulis.

“Kau tidak memerlukan saya lagi” segera mengepak beberapa barang milikku.

Selama ini saya takut meninggalkan dia seorang diri di rumahnya. Keceriaan Hozhi berangsur pulih setelah pertemuan antara dia dan mr. Juan. Di luar dugaan gadis bisu itu menghalangi saya keluar dari rumahnya. Tetap menolak permintaannya untuk tetap tinggal bersama. Di luar dugaan dia berlari mengejar seperti orang kesurupan ketika bus berjalan hingga ke rumah kontrakan tempatku berada. Beberapa kali terjatuh, namun tetap saja berusaha bangun kemudian mengejar bus kembali.

Hal terbodoh lagi adalah dia terus berjaga semalaman depan pintu rumahku. “Gadis gila” kesal melihat tingkah bodohnya. Tanpa rasa bosan tetap berdiri mematung ingin tinggal bersama denganku.

“Hozhi…” tiba-tiba saja dia jatuh pingsan akibat perbuatannya semalam.

Mendorong tubuhnya masuk ke rumah dan untuk kesekian kali terus berada di sampingnya suka maupun tidak. Kenapa saya harus mengenalmu? Komunikasi antara kami berdua terlalu sulit terjalin dikarenakan factor cacat fisik satu sama lain. Bisakah saya membuat dia kembali bermimpi lagi seperti dulu jauh sebelum peristiwa itu?

“Saya ingin melihatmu kembali berada di sebuah lapangan berlari sejauh mungkin dan menjadi pemenang” menatap dia yang masih terbaring lemah.

Lapangan arena pertandingan sedang berteriak keras memanggil untuk dihadapi. Berlari menyelesaikan garis finish merupakan keunikan objek. Pilihan di tangan ingin berhenti atau terus berlari tanpa memikirkan pertanyaan tentang kenapa kaki harus terlihat kuat untuk bertahan apa pun alasannya. “Akhirnya kau sadar” kata-kata sedikit judes setelah gadis bisu bangun dari tidurnya.

“Karena perbuatanmu saya harus bolos kuliah hari ini,” menggerutu tidak jelas membayangkan bagaimana mr. Juan akan menambahkan beberapa tugas tambahan lagi sebagai hukuman akibat kelakuanku sekarang.

“Makanlah!” memperlihatkan sebuah tulisan ke arahnya.

“Saya ingin tetap tinggal bersama denganmu” membalas tulisanku pada lembaran kertas berikutnya.

“Dengan syarat, kau harus kembali ke lapangan dan mengejar mimpimu” memberi persyaratan terhadapnya.

Dia terkejut membaca tulisanku tentang hal tersebut. Tanpa pikir panjang  kepalanya menggeleng seketika pertanda ingin kehidupan yang sekarang bukan cerita kemarin. Rasa trauma menjadi alasan utama seorang gadis bisu tidak ingin kembali berlari mengejar mimpi. Memberi waktu berpikir selama beberapa hari menjadi alternative terbaik buatnya. Hozhi pasti akan kembali menjadi bintang suatu hari kelak.

Dia hanya butuh waktu untuk memulai mengejar mimpi dari nol kembali. Cedera kaki merupakan sisi unik membentuk satu kekuatan ketika berlari. Kehidupan tanpa mimpi besar merupakan hal terbodoh ketika menatap sebuah jalan di depan mata. Sisi seni terbaik mengejar mimpi terletak pada rasa sakit karena ombak besar ataupun lautan duri menghantam begitu dasyat. Jalan lurus tidak terlihat menarik ketika dua tangan begitu mudah meraih satu bintang terbaik dalam hidup.

“Beberapa kata disini terlihat hancur karena pernyataanmu” seperti biasa mr. Juan mengoreksi lembaran tugas milikku kemudian mencoret-coret sedemikian rupa di kampus.

“Saya menginginkan susunan laporan keuangan hasil pemikiranmu sendiri untuk satu kasus soal kemarin dan tidak hanya berpatokan pada buku” mr. Juan menggeleng-gelengkan kepala terus menatap bahkan melingkari hasil laporanku.

“Di lapangan kau akan menemukan banyak kasus berbelit-belit, mengundang emosi, permainan pajak, beban tidak masuk akal, anggaran mines tetapi tuntutan menyebar ke segala arah harus memperlihatkan hasil, permainan, dan segala jenis objek” mr Juan memberi penekanan di setiap kata-katanya.

Diam adalah cara terbaik ketika berhadapan dengannya. Dosenku yang satu ini memang super jenius hingga membuat semua mahasiswanya terlihat stress tingkat dewa. “Kau harus bisa menciptakan sendiri beberapa system sehingga orang di sekitarmu tidak mungkin bisa bermain ataupun mempermainkan untuk kasus masalah keuangan, baik ketika berada di satu perusahaan terlebih instansi pemerintahan, ngerti?” lembaran kertas tugas milikku dilempar ke arahku seperti biasanya. Berusaha memungut lembaran kertas tersebut memakai jari kakiku seperti biasa. Kata seperti biasa memang selalu tertawa ketika berhadapan dengan sang dosen terkiller. Raut wajah mr. Juan siap menerkam mangsa bahkan memakan hidup-hidup semua yang ada di sekitarnya. “Kenapa masih membungkuk semacam manusia pengemis di situ?” pertanyaan sinis sang dosen.

“Saya bertanya pada manusia bukan patung” mr. Juan.

“Bantu Hozhi mengejar mimpinya kembali” entah mengapa kalimat itu keluar begitu saja di saat-saat amarah dosen killer tidak terkendalikan.

“Kenapa mengalihkan perhatian?” mr. Juan.

“Entahlah” jawaban buatnya.

“Manusia aneh” mr. Juan.

“Saya pikir mister cocok juga menjadi pelatih lari Hozhi bahkan sangat sempurna” kesekian kali pikiranku hanya berada di sana bukan tentang masalah tugas pemberian sang dosen yang selalu saja mendapat penolakan.

“Hozhi sahabatmu lantas kenapa kau menyuruh saya?” mr. Juan.

“Kan mister juga bagian terpenting tiba-tiba muncul sampai menghentikan tangisnya kemarin bukan saya” kalimatku terdengar kesal…

“Jangan-jangan kau berpikir kalau saya mencintai anak kecil seperti kalian terlebih Hozhi?” mr. Juan.

“Memang pertanyaan saya kesitu? Kalimatku tadi hanya ingin mister mengembalikan mimpi Hozhi sekaligus menjadi pelatih lari buatnya” kalimat sedikit menekan.

“Kalau kau berhasil mengembalikan mimpi Hozhi berarti saya juga akan menerima permohonanmu untuk menjadi pelatih lari buatnya” mr. Juan menghentikan langkahku seketika.

Hal terkacau adalah meminta bantuan, tetapi sekarang sang dosen menyuruh balik mengembalikan mimpi seorang gadis bisu. Saya juga kurang mengerti hubungan di antara mereka berdua. Hozhi berjalan ke depanku setelah beberapa hari kemudian. Mengusir gadis bisu itu jauh lebih baik agar jalannya sadar untuk kembali memulai segala sesuatu dari nol demi mengembalikan sebuah mimpi. “Saya menyukaimu, tapi tidak mungkin bisa memenuhi permintaanmu” sebuah kalimat tertulis rapi pada selembar kertas.

Mendorong tubuhnya memakai salah satu kakiku menuju suatu tempat saat itu juga. Rasa kesal berkepanjangan mendengar respon penolakan darinya. “Kau lihat gadis autis di sana sama seperti hidup kita berdua? Cacat” memperlihatkan sebuah tulisan sambil menunjuk ke arah sosok seorang penari balet sedang berlatih keras…

“Sudah Ribuan kali di luar sana, orang banyak meragukan kemamuannya bahkan mengalami cedera kaki seperti dirimu, tapi dia tidak pernah berhenti berjalan sekalipun harus memulai semua tentang balet dari nol” berkata-kata lagi melalui tulisan ada selembat kertas bahkan semakin mendorong tubuhnya. Detail kisah Hope Balerina si’gadis autis diceritakan oleh seseorang dalam grup komunitas kaum disabilitas pada salah satu akun media social.

Kenapa juga saya harus terobsesi sampai gila seperti sekarang ketika mendorong sosok mayat hidup untuk memulai kembali kisahnya di suatu area? Kisahku memiliki cerita sendiri sama halnya dengan dunia gadis bisu di hadapanku. Cacat fisik bisa saja mempermainkan ruang kehidupan, tetapi tidak berarti menghancurkan cerita mimpi ketika kaki sedang belajar berlari. Ribuan luka memang menciptakan kepingan-kepingan hingga jutaan tetesan air mata mengalir begitu saja, namun dibalik semuanya terdapat busur pelangi dalam pembentukan pertahanan. “Saya ingin belajar memulai lagi dari nol” selembar kertas berisi tulisan tangan Hozhi tertempel rapi depan pintu rumahku.



Bagian 7…


 

Hozhi…


Hanya dia yang selalu berada di dekatku pada masa terpuruk. Cidera parah sewaktu pertandingan kemarin membuatku tidak mungkin lagi kembali berlari. Kepergiaan kakek semakin menghancurkan dinding ruang hidupku. Gadis bisu terdiam di dalam kamar tanpa pengharapan, tetapi seolah Tuhan sengaja mengirim dia untuk tetap berada di dekatku. Berawal dari pertemuan pertama kami karena bertabrakan hingga dia terus mengekor di belakangku.

Saya memang kesulitan berkomunikasi terhadap orang banyak terlebih dirinya. Hava tidak pernah sekalipun berjalan jauh dari hidupku di masa-masa tersulit. Kemungkinan besar karena kami berdua dilahirkan cacat sehingga rasa saling membutuhkan satu sama lain terjalin. Memaksa tubuhku menatap sinar matahari bagaimanapun caranya. Seorang gadis bisu terlihat seperti mayat hidup, namun dia tidak pernah kehabisan akal.

Di luar dugaan tiba-tiba saja bagian masa laluku muncul ketika Hava memaksa saya memakai sebuah kostum untuk mencari uang di luar sana. Kakak itu kembali di hadapanku seolah menginginkan jalan ceritaku yang lalu. Tangis histeris keluar begitu saja di hadapan mereka. Hava memiliki kemiripan sikap seperti kakak Juan selalu hadir menjadi objek terbaik.

Tuhan sengaja menghadirkan mereka buatku. Saya tidak ingin kehilangan bagian terbaik di sekitar jalan hidupku lagi. Mengekor Hava ketika hendak kembali tinggal di rumahnya lagi membiarkan saya seorang diri. Cukup saya kehilangan kakekku, tetapi untuk kali ini tanganku tidak akan membiarkan Hava berlari jauh dari hidupku. Saya menyukai dia bahkan menganggapnya sebagai saudara perempuanku.

Keadaan mempermainkan sebuah perisai kehidupan di sekitar jalur perjalanan. Hiasan jalan itu tidak terlihat bernilai oleh karena segala objek lemah terus saja bermuara sambil tertawa. Hal seperti inilah membuat saya terkadang hidup dalam ketakutan lebih dari bayangan pemikiran di luar sana. Senyum memang menghias di sepanjang jalan, akan tetapi bayang-bayang kelemahan jauh lebih kuat menerkam seperti singa kelaparan.

Mengekor di belakang menjadi alternative terbaik agar dia tetap di sampingku. Terus berdiri depan rumahnya semalaman sampai gadis tanpa tangan membuka pintunya buatku. Tiba-tiba saja semua terlihat gelap dengan cerita akhir dimana saya berada dalam sebuah kamar. Kesekian kalinya Hava merawatku tanpa dua tangan sempurna. Kami berdua sama-sama dilahirkan sebagai gadis cacat jauh dari kata sempurna. Hal seperti ini juga membuatku ingin tinggal serumah dengannya. Objek terbodoh adalah memberi persyaratan yang tidak mungkin bahkan terlalu mustahil kulakukan kembali.

Kembali ke arena pertandingan dan memulai segala sesuatu sebagai seorang atlit pelari dari nol lagi. Jelas-jelas dokter menyatakan kalau saya tidak mungkin lagi kembali bertanding sampai kapanpun juga. Semua beresiko untuk dilakukan. Melanjutkan kehidupan di luar sana dengan mencari pekerjaan lain jauh lebih baik. Dia mendorong tubuhku dan membawaku ke suatu tempat.

“Kau lihat gadis autis di sana sama seperti hidup kita berdua? Cacat” berteriak keras memperlihatkan sebuah tulisan geram di hadapanku sambil menunjuk sosok seorang penari balet sedang berlatih.

“Sudah Ribuan kali di luar sana, orang banyak meragukan kemamuannya bahkan mengalami cedera kaki seperti dirimu, tapi dia tidak pernah berhenti berjalan sekalipun harus memulai semua tentang balet dari nol” sekali lagi pernyataannya berteriak kuat melalui selembar kertas.

Kertas putih itu bermain pada sebuah alur dengan cerita berbeda. Kekuatan selembar kertas berteriak dalam kelemahan memberi jalur tidak terduga. Bisakah saya kembali memulai satu kisah hanya karena lembaran kertas putih tadi berisi sebuah pernyataan? Mungkinkah tanganku meraih bintang dalam segala jenis kelemahan terlebih permainan ombak selalu saja tertawa lebar?

“Mengejar mimpi lagi?” tertawa sendiri.

Gadis bisu bisa bercerita apa? Kemungkinan besar, saya terlalu gila untuk mengejar mimpiku kemarin, tetapi sekarang semua hal berubah dalam sekejap. Cedera kaki membuatku benar-benar hidup dalam ketakutan bahkan melenyapkan keberanianku seketika. Kepergian kakek semakin menghancurkan dinding dasar hatiku untuk menatap sesuatu. Saya bukan lagi pemimpi besar ketika berjalan di sekitar sudut persimpangan.

“Tidak ada salahnya mencoba sesuatu kembali” sebuah tulisan tertulis manis pada satu jenis pesawat permainan anak yang terus saja beterbangan di sekitarku. Taman di sore itu terlihat sangat ramai hingga saya sendiri tidak mengetahui pasti pengirim kata-kata tersebut melalui trik pesawat.

Hal terbodoh adalah entah kegilaan apa yang sedang merasuk diri sampai menyetujui kemauan gadis tanpa dua tangan beberapa hari setelahnya. Lebih hancur lagi, kakak Juan tiba-tiba saja berperan total sebagai pelatih lari buatku. terkejut, marah, jengkel, ingin berteriak itulah kenyataan hidupku menatap sosok pelatih di hadapanku. Sekian tahun lamanya dia menghilang tanpa kabar dan sekarang menawarkan diri begitu saja. Tidak bisa disangkal kalau pertemuan dengannya sedikit membuatku lupa masa-masa sukar kemarin terlebih akibat kepergian kakek.

“Mr. Juan akan menjadi pelatih terbaik, jadi kau harus percaya” satu pesan melalui salah satu aplikasi medsos muncul di berandaku.

Ka’Juan yang kukenal kemarin jauh berbeda dengan pribadi di hadapanku sekarang. “Kau harus bisa mengangkat beban ini” raut wajah menggertak sambil memakai bahasa isyarat di lemparkan ke arahku. Dia tiba-tiba saja berubah dari manusia manis menjadi pelatih tergalak jauh mengalahkan iblis.

Selalu saja menyuruhku melakukan hal sama setiap hari dengan alasan pemanasan yaitu membersihkan seluruh lapangan di beberapa tempat dan mengangkat air berulang kali. Menggertak keras bahkan mendorong tubuhku membuatku seperti manusia lemah. Membersihkan seluruh ruang perkuliahan, lapangan, perpustakaan, dan beberapa area kampus tempat dia mengajar. Ini latihan atau acara perbudakan?

Kenapa ka’Juan mengalami banyak perubahan setelah sekian tahun menghilang begitu saja? Apa salahku? Tangannya tidak pernah lagi memegang sekotak es krim bersama senyuman di wajahnya ketika berdiri di depanku. Tatapan wajah sinis, pemarah, kasar, dingin, angkuh merupakan gambaran dirinya sekarang. Kenapa membenciku segitu sadis? Harusnya yang menjadi pembenci berdarah dingin itu saya bukan ka’Juan.

“Bersihkan gudang di sini sekarang juga!” kalimat memerintah sambil memakai bahasa isyarat.

Entah kenapa juga saya selalu menjadi manusia penurut apa pun kalimat perintah dari seorang ka’Juan. Satu pemandangan kejam terlihat olehku setelah seharian berperan sebagai tukang bersih gudang kampus besar. Robekan kertas berhamburan ke lantai karena ulah ka’Juan sendiri. Lebih parah lagi, robekan kertas tersebut milik Hava sahabat terbaikku. Kalau memang memiliki dendam terhadap saya, jangan sekali-sekali melampiaskan atau membalas ke arah Hava.

Saya benar-benar tidak tahan melihat kelakuan ka’Juan beberapa hari belakangan terhadap Hava. Robekan kertas selalu saja berhamburan seperti biasa depan banyak mahasiswa. Seolah ka’Juan memang sengaja ingin mempermalukan sahabatku di hadapan orang banyak. “Ini tidak bisa dibiarkan” suara hatiku berteriak seketika.

Menjatuhkan segala peralatan kebersihan di tangan, kemudian berlari menarik keras tubuh ka’Juan dan mendorongnya ke lantai hingga terjatuh. Hal lebih gila lagi adalah mengambil seember lumpur di luar sana dengan akhir memandikan tubuhnya seketika. Tidak peduli seberapa geram dirinya akibat perilakuku. Saya mungkin cacat dalam hal pendengaran, tetapi dua tangan juga kakiku masih berfungsi sangat baik.

Terlihat jelas raut wajah ka’Juan sangat geram akibat ulahku. Salah sendiri menyerang sahabatku terus-terusan seperti singa kelaparan. Hava hampir tidak percaya ulahku bahkan dua bola matanya terus terbelalak dengan mulut terbuka. Pertama kali seorang dosen terkiller dipermalukan habis-habisan di hadapan banyak orang.

“Kenapa juga saya harus mengenalmu” tulisan sinis dosen terdingin yang kemudian berjalan keluar dari ruang tersebut. Seperti ingin memakan hidup-hidup diriku tetapi sesuatu menahan dirinya. Saya tidak perduli lagi kegeraman dari sang dosen. Sesuatu di luar dugaan kulakukan hari ini.

Seorang mahasiswa sahabat Hava mengangkat jempolnya terhadapku pertanda kagum atas apa yang kulakukan. “Kau memang terbaik di antara paling terbaik” berkata-kata sambil melakukan pergerakan tangan untuk membuatku mengerti  ucapannya. Btw, dua bola mata Hava masih terbelalak melihat peristiwa tersebut.

Sejak tadi semua orang bubar setelah kepergian sang dosen, tetapi tubuh Hava masih tetap saja mematung di tempat kejadian. Tiba-tiba saja seseorang menarik dua tangan kami keluar dari ruang tanpa kelembutan sedikitpun. Siapa lagi kalau bukan dosen terdingin sekaligus berperan sebagai pelatih terkejam…

Raut wajah Hava masih belum berubah bahkan dua bola matanya tetap sama yaitu terbelalak dalam waktu yang cukup lama. “Rasakan ini” tanpa pikir panjang sekali lagi mendorong tubuhnya ke tanah setelah kami berada di sebuah lapangan. Menginjak-nginjak kaki sang dosen hingga membuat semakin geram. Salah seorang dosen tertawa lebar menyaksikan aksi yang sedang kulakukan.

Terjadi kejar mengejar antara saya dan ka’Juan di sekitar lapangan, sedang Hava sendiri sekali lagi masih berdiri mematung bahkan belum sadar dari shock tadi. Kekacauan berikutnya adalah kami bertiga jatuh karena peristiwa kejar mengejar sampai membuat Hava menjadi korban tabrakan…

Saya tidak mau lagi ka’Juan berperan sebagai pelatih lari buatku apa pun alasannya. Sang dosen menumpahkan kekesalannya terhadap dua gadis cacat. Kalau saya sendiri sih bisu jadi tidak mungkin bisa mendengar ribuan makian darinya kecuali Hava. Beberapa hari belakangan setelah peristiwa tersebut, Hava terus saja tertawa seperti orang gila. Ratusan panggilan dari ibunya melalui handphone dihiraukan.

“Kenapa kau jadi gila setelah bangun dari shockmu beberapa hari lalu?” pertanyaan bagi Hava melalui tulisan seperti biasa.

Kekacauan selanjutnya adalah Hava diam sesaat, kemudian tiba-tiba tertawa keras kembali tanpa henti. Salah satu kakinya tiba-tiba saja menulis pada lembaran kertas milikku setelah tersadar sesuatu hal. “Habislah kita berdua karena ulahmu” coretan tulisan Hava.

“Sekali-sekali ka’Juan maksudku manusia iblis itu harus diberi pelajaran” membalas tulisannya.

“Kau dan saya harus mengejar mimpi melalui bantuan mister Juan, lantas sekarang?” tulisan Hava.

“Saya bisa berlatih sendiri tanpa bantuan manusia iblis” balasku.

“Mustahil” Hava.

“Saya pasti bisa mengejar mimpiku kembali tanpa bantuannya” kembali menulis.

“Tapi saya lebih percaya kemampuan mister Juan dibanding kau berlatih sendiri” Hava.

“Bukan hanya saya seorang mendapat perlakuan buruk. Ada banyak anak didiknya di luar sanapun diperlakukan sama” Hava.

Dunia ka’Juan benar-benar berubah setelah sekian tahun berlalu. Sikap manis kemarin tidak mungkin lagi kembali. Dingin, ganas, iblis, seram, menakutkan, galak merupakan gambaran hidupnya yang sekarang. Kami berdua harus meminta maaf terhadapnya suka maupun tidak. Hava terus saja memaksa agar mengikuti kemauannya membuat surat permohonan maaf terhadap sang iblis jahanam.

“Mister Juan merobek lembaran tugas milikku berarti ingin mendidik, walaupun terlalu menyakitkan sih” tulisan Hava selanjutnya setelah pengakuan permohonan maaf dilakukan terhadap sang dosen.

“Masing-masing pengajar memiliki cara tersendiri ketika meluapkan satu sisi emosional terhadap anak didiknya” sambung Hava.

“Entahlah” balasan tulisan buatnya.

Rasa geram memaki luar biasa bermain ke arah kami berdua di hadapan manusia iblis. Telinga Hava memang sangat kebal mendengar ribuan kata-kata kekesalan, untung saya tidak bisa mendengar setiap ucapannya. Pola latihan diberikan buatku pun lebih sadis dibanding kemarin. Membersihkan seluruh ruang perkuliahan kampus tersebut selama seminggu harus saya jalani. Mencabut rumput liar di sekitar taman bunga merupakan jenis hukuman kedua. Menjadi pelayan kantin sekaligus petugas kebersihan di tempat tersebut terdengar kacau.

Saya ini sebenarnya mau jadi pelari atau pembantu begini? Rasa kesal berteriak begitu saja. “Mau saya bantu” seorang pria bersahaja memakai celana pendek menepuk bahuku.

“Tahukan nama saya? Nevil” gerakan tangannya menjelaskan sesuatu…

Tanpa pikir panjang kepalaku mengangguk seketika pertanda setuju menerima bantuan. Nevil merupakan senior sekaligus sahabat Hava di kampus hanya beda fakultas saja. Membersihkan lantai, meja, kursi, dan berlari bolak balik mengantar makanan membuat sangat kelelahan. Membersihkan dapur sekaligus cuci piring kiri kanan semakin menyatakan hal paling menyedihkan dalam hidup.

Rasa capek hilang karena Nevil sangat pandai menghidupkan suasana. Akhir cerita terjadi persahabatan sejati antara gadis bisu, gadis tanpa dua tangan, dan seorang pria super kocak. Dia sangat pandai menciptakan beberapa karya seni dari beberapa segi di luar pemikiran banyak orang. Lebih kocak lagi adalah mengajakku bergabung dalam acara pencaharian tambahan uang demi menyambung hidup. “Hozhi gadis paling cantik artinya harus jadi model lukis kami berdua” Nevil berkata-kata memakai bahasa isyarat dengan pergerakan tangannya terhadap manusia bisu sepertiku.

Saya harus bisa mengatur waktu antara latihan dari manusia iblis, berada di tengah kerumunan orang banyak sambil memakai kostum beruang, dan terakhir ikut dalam project tambahan uang biaya hidup bersama dua sahabatku. “Setiap pagi, kau harus berlari naik turun tangga tanpa memakai lift untuk mengantar makanan ataupun pesanan dosen maupun staf kampus, ngerti?” bahasa isyarat manusia iblis kembali memerintah.

“Kau tidak boleh memakai bus ataupun transportasi apa pun untuk acara pulang pergi ke kampus” manusia iblis.

“Lantas saya kemari harus pakai apa?” meminta penjelasan.

“Gunakan kakimu buat lari” jawaban manusia iblis. Andaikan Hava tidak percaya terhadapnya, tentu saya tidak mungkin mengalami kesulitan seperti ini. lebih gila lagi adalah saya harus berlari mengelilingi seluruh area kampus sebanyak lima puluh kali putaran sebelum melakukan tugas darinya yaitu menjadi pelayanan kantin sekaligus cleaning servis. Begitupun sebaliknya ketika hendak pulang harus melakoni hal sama yaitu berlari sebanyak 50x mengitari area seperti tadi…

Suka atau tidak tetap harus kulakukan bukan karena ingin tunduk terhadap manusia iblis melainkan demi memenuhi permintaan Hava. “Ikut saja perintah mister Juan dan jangan mengeluh!” tulisan pesan Hava setiap harinya di handphone milikku. Saya harus bisa mengatur pernafasan ketika berlari setiap hendak berlari. Memulai segala sesuatu dari nol memang benar-benar menyakitkan jauh melebihi apa pun.

Rasa-rasanya ingin berhenti seketika untuk kembali bermimpi. Kakek tidak pernah melatih sekacau ini sewaktu beliau masih hidup. Tugasku adalah berlari, berlari, berlari, sekali lagi segala sesuatu sekitar area hidupku hanya bercerita tentang berlari. Seorang gadis bisu sedang belajar memulai satu alur cerita. Melupakan masa-masa tersulit kemarin serta berjuang menemukan satu jalan di antara segala kata kemustahilan untuk menembus sesuatu. Semua pintu tertutup rapat hingga tidak satupun celah terlihat oleh kasat mata, tetapi anggota tubuh lain harus berjuang…



Bagian 8…


 

Permainan teka teki selalu saja berada pada satu alur misteri bersama serpihan-serpihan kertas tanpa pernah bisa ditebak bagaimana akhir selanjutnya. Dua gadis cacat dengan cerita mimpi berbeda sedang menatap satu kata terbaik di sekitar jalan mereka. “Jenis tugas kali ini makin hancur saja” nada dingin mister Juan memeriksa lembar tugas Hava.

Semalaman terus berjaga mengerjakan tugas dari sang dosen, namun kenyataan pahit sekali lagi harus diterima. Cerita paling tragis memang mendapat penolakan setiap pengumpulan tugas. Tidak pernah sekalipun dosen gadis cacat tersebut memberi pujian terhadapnya. Apa sih yang salah? Hava memiliki satu kadar IQ cukup tinggi bahkan selalu mendapat nilai sempurna. Semua berubah ketika dua kakinya berada di sebuah kampus ternama terlebih peranan mister Juan sebagai dosen paling berpengaruh.

“Kondisi, gambaran, kenyataan, aspek, lingkup antara permasalahan susunan kata management keuangan dan beberapa objek di luar sana memiliki kasus terbalik dari perumusan sebenarnya” ungkapan mr. Juan memberi tanda silang sekitar lembaran tugas milik Hava.

“Logika, kebijakan, beberapa istilah tertentu, system penerapan berperan penting untuk mencari tahu sesuatu hal ataupun memasang sesuatu objek bersifat menjebak” penekanan mister Juan semakin kacau saja.

“Langsung ke inti saja mister” cetus Hava.

“…” mr. Juan.

“Katakan saya menolak lembaran tugasmu kesekian kalinya” Hava.

“Memang seperti itulah” mr. Juan. Sejak kejadian Hozhi mendorong tubuh sang dosen terlebih melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur semua berubah…

Dua gadis cacat seperti sedang berada dalam gua singa setiap berdiri di hadapan sosok pria tinggi bernama Juan. Pola pemikiran untuk membentuk sisi lain dari kaum generasi muda zaman sekarang membuat sang dosen sendiri memiliki cara berbeda dibanding yang lain. Terdengar menyakitkan memang, tetapi tuntutan ingin memancing ataupun menggali satu objek tertentu memaksakan pria tersebut melakoni peranan manusia iblis.

“Lagi stress yah?” sosok dosen wanita sedang berdiri di belakang Hava.

“Ka’Moza pergi saja sana!” Hava terlihat sangat akrab…

“Jangan terlalu stress” Moza segera menarik kursi agar bisa duduk di samping Hava.

“Entahlah” Hava.

“Temanmu yang cantik itu, namanya siapa ya?” Moza.

“Siapa temanku?” Hava menghentikan kegiatannya.

“Pelari cantik, terus Hava mengemis gitu ma Juan biar bisa jadi pelatihnya” Moza.

“Dari mana ka’Moza menyadari semuanya?” Hava mencurigai sesuatu hal.

“Telingaku panjang dan kebetulan saya lagi lewat depan kelasmu waktu kau mengemis memohon agar dosen galakmu menjadi pelatih gadis cantik” Moza.

“Ka’Moza” nada kesal Hava.

“Btw, gadis cantik itu sangat rajin membersihkan seluruh ruang perkuliahan bahkan jadi pelayan kantin” Moza.

“Mister Juan gila stresss sinting” kekesalahan Hava bertambah.

Moza terus tertawa dalam ruang perpustakaan hingga menjadi perhatian. Ruang perpustakaan hening bukan lagi bagian kisah kampus ini dikarenakan salah satu staf selalu saja terlihat gila ketika tertawa. Teguran maupun surat peringatan sudah beberapa kali dilayangkan buatnya, tetapi tetap saja melanggar aturan perpustakaan. “Bukan keterlaluan hanya saja ingin mengajarkan hidup” Moza berkata-kata ditengah tawanya.

“Suara ka’Moza bisa dipelankan sedikit?” Hava.

“Kalau boleh jujur, saya menyukai mahasiswa atau katakanlah generasi muda yang tidak akan pernah mengenal istilah gengsi untuk menjalani jenis pekerjaan di depannya selama itu bersifat halal” Moza.

“Hubungan antara perlakuan mister Juan terhadap Hozhi dan pernyataan kakak?” Hava.

“Bisa dikatakan mister Juan suka juga kehidupan anak muda seperti itu” Moza.

“Berarti?” Hava.

“Usia muda memang menyenangkan terlebih ketika menginjak usia Sembilan belas tahun ada banyak permainan teka-teki bermunculan di depan jalan” Moza.

“Saya tidak mengerti?” Hava.

“Salah satu objek paling menarik adalah kau membiarkan hidupmu diproses sedemikian rupa oleh karena realita menyedihkan. Tekuni pekerjaan terkecil terlebih dahulu sebelum hidupmu dipercayakan sesuatu yang lebih besar sehingga bintang di tanganmu tetap bertahan” Moza.

“Pekerjaan kecil?” Hava.

“Ada banyak generasi muda di luar sana tidak ingin menyentuh jenis pekerjaan semacam jadi tukang cupir, sopir, pembantu rumah tangga, buruh kasar, penjual sayur di pasar, tukang batu, dan segala jenis pekerjaan yang dikatakan hina karena status lulusan sekolah mereka atau permasalahan kekayaan luar biasa” Moza.

“Kebanyakan dari mereka lebih menyukai sesuatu hal bersifat instan, memamerkan barang bermerk, berada pada arus pergaulan buruk, seks bebas, dan hal-hal bersifat mengerikan menciptakan satu cerita tentang sebuah jurang” kembali Moza melanjutkan ucapannya.

Peranan generasi muda memang mempengaruhi keadaan satu bangsa. Andaikan kehidupan mereka berada dalam belenggu tentu bangsa tersebut kehilangan banyak hal berharga. Sebuah bangsa dalam satu Negara dikatakan hidup, apabila bibit maupun generasi penerus menciptkan terobosan-terobosan terbaik. Setiap anak muda bisa saja menciptakan satu karya terbaik, tetapi menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara membuatnya tetap bertahan apapun situasi dunia yang sedang membelit? Mengajarkan pekerjaan harus dimulai dari objek paling rendah terlebih dahulu merupakan proses pendidikan terbaik di antara segala sudut pola pikir yang pernah ada.

Moza meninggalkan ruang perpustakaan dan membiarkan Hava menyelesaikan tugasnya di sana. Pandangan mata teralih ke suatu tempat bahkan membuatnya menghentikan langkahnya seketika. “Hai Dosen berdarah dingin” godaan Moza mengganggu aktifitas Juan.

“Berhenti berceloteh! Tempatmu bukan disini, ngerti?” Juan menatap Moza.

“Tidak perlu memakai urat buat bicara denganku” Moza menarik kursi agar bisa duduk berhadapan dengan salah seorang dosen terkiller di kampus itu.

“Ada keperluan apa? Langsung saja” sikap dingin Juan.

“Jadilah pengajar sekaligus sahabat bagi mahasiswamu. Tidak semua mahasiswa bisa di bentuk dengan cara keras, maksudku sesuaikan tempat dan baca situasi” tegur Moza.

“Kau dan saya berbeda” Juan.

“Hava cukup kuat juga sampai bisa bertahan sejauh ini” Moza.

“Bukan urusanmu” Juan.

“Btw, saya Cuma mau memberitahu kalau minggu depan Lara sudah berada disini? Moza.

“Wanita cantik, kaya raya, baik hati, jenius, sempurna tergila-gila terhadap manusia dingin terdengar kacau” sindiran Moza.

“Jangan lupa kalau manusia dingin juga memiliki kekayaan cukup stabil” balasan sindiran Juan.

“Terserah” Moza berjalan meninggalkan Juan seorang diri.

Di balik sikap dingin Juan membuat seorang wanita sempurna tergila-gila terhadapnya. “Saya akan mengejarmu kemanapun kau pergi, camkan itu” kata-kata Lara terus saja menghantui pikiran Juan tiap saat.

Juan meneguk secangkir kopi sambil menikmati suasana pagi. Tinggal seorang diri pada salah satu apartement mewah menjadikan dia menyadari bagian terpenting hidupnya. Tiap sudut ruangannya selalu terlihat rapi, bersih, bahkan sangat unik dengan desain interior unik. Selalu menikmati masakan sendiri merupakan rahasia public untuk waktu cukup lama.

Seorang tenaga pendidik bersama cerita beda ketika ingin menjadi bagian pembentuk pola pikir dunia generasi muda. Memasuki bayang-bayang perjalanan anak-anak muda bisa dikatakan cukup sulit tetapi memiliki petualangan tersendiri. “Selalu saja” Juan menendang motor butut roda dua miliknya. Mogok di jalan seperti biasanya sampai akhirnya mendorong menuju sebuah perbengkelan terdekat. Manusia berduit paling pelit untuk membeli sebuah kendaraan roda empat terbaru.

Membeli sebotol air mineral demi menghilangkan rasa haus di siang bolong. Tiba-tiba saja terdengar suara seorang gadis terjatuh karena sebuah tabrakan kecil oleh salah satu pengendara motor di sekitar pinggir jalan raya tidak jauh dari tempat duduknya. “Gadis itu lagi” gerutuh Juan menyadari sesuatu hal.

“Cukup dua tanganmu tidak berfungsi, tapi dua matamu itu harus bisa difungsikan” nada dingin Juan seolah bermasa bodoh terhadap anak didiknya sendiri.

“Kenapa harus bertemu mister di jalan begini?” Hava terlihat kesal.

“Ini semua gara-gara mister terus saja menolak tugasku sampai harus begadang semalaman sampai-sampai berakhir tragis ditabrak orang” sindir Hava. Mau tidak mau sang dosen harus bertanggung jawab membawa anak didiknya ke rumah sakit.

“Makanlah!” memberi sebungkus roti terhadap Hava setelah meninggalkan rumah sakit tadi. Hava diam membisu melihat perilaku sang dosen.

“Mister tidak salah makan?” kaget melihat tangan sang dosen memotong beberapa bagian roti di tangannya kemudian membawahnya masuk ke mulut Hava. Sosok dingin bisa juga ketakutan habis karena rasa bersalah tadi.

“Sedikit salah makan lebih tepatnya” Juan berkata-kata setelah suapan roti terakhir. Sikap dingin dosen membuat Hava hampir tak percaya tentang kejadian hari ini. Gadis cacat itu harus ketinggalan jam kuliah pertama karena kecelakaan kecil yang dialaminya. Pandangan mata banyak orang melek melihat sang dosen killer membonceng mahasiswanya ke kampus.

“Cepat turun dari motorku!” Juan berucap dingin mendorong tubuh Hava.

“Saya juga sudah mau turun mister” Hava.

Tiba-tiba saja seorang wanita cantik, tinggi, bibir seksi, langsing, putih bersih, kulit mulus, rambut hitam panjang terurai, fashionable muncul di hadapan mereka. Pemandangan histeris wanita tersebut melihat sang dosen mengejutkan Hava. “Saya ingin memberi kejutan” senyum wanita cantik itu segera memeluk erat Juan.

“Lara hentikan!” Juan berusaha lepas dari kegiatan pelukan Lara.

“Kau tidak akan bisa kulepaskan bagaimanapun caranya” Lara makin memeluk tubuh Juan.

“Begitu dong, cari wanita seumuranmu dan jangan mendekati gadis di bawah umur” entah dari mana Nevil muncul di hadapan mereka bersama Hozhi. Terjadi saling tatap menatap antara satu sama lain. Kedatangan Lara lebih cepat dari perkataan Moza kemarin. Lara akan menjadi dosen pula pengganti dosen lama untuk salah satu mata kuliah pada fakultas seni. Bisa dikatakan gedung fakultas antara seni dan management bersebelahan.  

Nevil menarik tangan Hava untuk berjalan meninggalkan dosen killer bersama wanita cantik di sekitar parkiran kampus. Hozhi sedikit terkejut melihat cara Nevil memperlakukan Hava. Pergerakan Nevil terlihat jelas kalau dirinya benar-benar menyukai Hava. “Kalau jalan itu hati-hati” tegur Nevil setelah Hava menjelaskan kejadian sebenarnya.

“Hozhi mana? Bukannya Hozhi tadi bersama denganmu?” Tanya Hava.

“Lagi membersihkan kolam renang” jawaban spontan Nevil.

“Kalau begitu saya kesana dulu” Hava segera berdiri dari tempatnya.

Gadis tanpa dua tangan berjalan menuju kolam renang kampus tempas Hozhi berada. Terdengar percakapan serius antara dosen killer bersama Hozhi pada pinggir kolam renang tersebut hingga membuatnya bersembunyi. “Dua minggu ke depan jadwal pertandinganmu dimulai lagi” gerakan tangan Juan menjelaskan sesuatu terhadap Hozhi.

“Pertandingan kecil tapi bisa saja mengubah banyak hal” Juan.

Setelah sekian lama Hozhi tidak pernah menginjak kembali arena pertandingan, pada akhirnya dirinya berjalan lagi ke tempat seharusnya. Juan menegaskan agar gadis bisu tersebut harus mempersiapkan diri sekaligus latihan cukup keras untuk memulai semuanya dari nol. “Ketidakmungkinan bisa berubah mungkin tergantung cara berpikirmu. Jangan kecewakan siapapun terlebih sahabatmu sendiri” Juan menyadari ikatan pertemanan yang sedang terjadi di antara dua gadis cacat.

Hava diam mematung mendengar pernyataan dosen terdingin. Sejak hari itu Hozhi mulai berlatih sangat keras. Berlari memutari kampus ratusan kali setiap harinya tanpa rasa jenuh. Berusaha mengatur pernapasan bahkan berjuang menahan rasa sakit ketika kakinya kembali bermasalah. “Hozhi semangat” Nevil berteriak keras dari kejauhan menyaksikan perjuangan gadis bisu.

Pertandingan kecil tetapi memberi arti bagi gadis tersebut. “Apa pun hasilnya nanti saya tetap berada di sampingmu” tulisan pesan Hava buatnya melalui salah satu aplikasi medsos.

“Hozhi tetap pelari terbaik di mataku” kembali bunyi pesan masuk ke handphonenya dari seorang Nevil.

Hari yang dinantikan tiba juga setelah latihan cukup ketat bagi gadis bisu tersebut. “Saya hanya harus mencoba” suara hati Hozhi berbisik menatap orang-orang di sekitarnya.

“Kalaupun gagal setidaknya saya akan mencoba lagi, lagi, lagi, dan lagi sampai menang” Hozhi menepuk dadanya sendiri di tengah lapangan.

“Hozhi harus berjuang” tulisan besar Hava mengambil barisan terdepan.

Bunyi suara peluit terdengar menandakan seluruh atlet harus berlari mencapai garis finish. Berlari di antara teriakan orang banyak terkadang memberi tantangan tersendiri. Desain pikiran terbentuk ketika dua kaki melihat satu sisi garis akhir. Tetesan keringat berbicara sekaligus berteriak kuat tentang proses perjalanan mengejar mimpi besar. “Hozhi” suara teriak Hava menyaksikan bagaimana gadis bisu itu hampir mencapai garis akhir.

“Menang” Nevil segera memeluk Hava.

Pertandingan pertama Hozhi setelah sekian lama menghilang menjadi awal permulaan kisahnya. Dunia medis menyatakan cedera kaki Hozhi tidak mungkin bisa membuatnya kembali mengejar mimpinya, tetapi semua itu dipatahkan seketika. Kenyataan di depan mata adalah sesuatu hal paling mustahil terjadi yang kemudian terjadi perputaran hingga berbalik arah menjadi mungkin terjadi. Seluruh pintu benar-benar tertutup rapat bahkan sedikitpun celah tidak terlihat. Oleh sebuah perjuangan hingga Tuhan mengulurkan tanganNYA untuk mulai membuka satu titik celah dengan akhir cerita jauh di luar bayangan.

“Dia menang” Juan berbicara terhadap seseorang melalui saluran telepon.

“Kau hebat juga memprediksi kemampuan Hozhi” ucapan Juan kembali.

“Kau bicara dengan siapa?” Lara tiba-tiba saja berdiri di depannya.

 


Bagian 9…


 

Juan…


Jalan itu benar-benar tertutup rapat bahkan terlalu mustahil mencari celah. Sosok gadis bisu berhasil menyatakan kemenangan telak pada pertandingan kecil. Kepercayaan Hava tentang sahabatnya benar-benar terbukti. Mengemis di depanku hanya demi sebuah permintaan menjadi pelatih Hozhi agar bisa kembali menjadi seorang atlet lari terbaik.

Bantu dia kembali meraih mimpinya” sosok seseorang dibalik gadis bisu selain Hava sahabatnya. Hozhi benar-benar dikelilingi orang-orang terbaik dalam hidupnya. Dia tidak pernah menyadari bagaimana dua orang mengemis di hadapanku untuknya.

Jelas-jelas dokter spesialis ortopedik berkata-kata cedera kakinya tidak mungkin bisa membuat dia kembali berlari sekeras apa pun perjuangannya. Siapa pernah menduga dua manusia terbaik di samping gadis bisu itu mematahkan tiap pernyataan sang dokter. Seorang Hava yang terlihat seakan tidak percaya tentang memiliki dan mengejar mimpi, tetapi berjuang di belakangnya. Sosok manusia misterius pun selalu ada buatnya tanpa seorangpun sadar semua itu.

“Kau harus berlatih lebih keras untuk bisa menembus beberapa pertandingan besar, ngerti?” gerakan tangan bermain agar membuat gadis bisu memahami sesuatu hal.

“Pergilah!” mengusir Hozhi dari hadapanku segera.

“Latih dia lebih keras lagi” satu pesan masuk dari seseorang…

“Kenapa bukan kau saja yang melatih dia?” balasan pesan terhadap manusia tersebut.

Saya sepertinya harus bisa mengatur waktu antara menjadi dosen pengajar dan pelatih lari si’gadis bisu. “Sejak dulu saya ingin melemparkan satu pertanyaan” terus memeriksa lembaran tugas milik Hava seminggu setelah pertandingan Hozhi selesai.

“Kenapa kau selalu takut mencari titik celah sewaktu berada di satu jalur tidak biasa?” masih melingkari beberapa kata pada lembaran kertas tersebut. Sekarang focus saya tidak lagi ke arah Hozhi melainkan terhadap Hava. Dua gadis cacat selalu saja berdiri di hadapanku mengungkapkan beberapa karakter serta pendirian berbeda. Hava hanyalah sekumpulan anak yang sedang ketakutan untuk berteriak keras ketika sebuah objek berlari menghadang jalur kehidupannya pribadi. Factor terbesar adalah permasalahan cacat dalam dirinya sehingga selalu saja menjadi senjata iblis menghancurkan banyak hal menarik.

“Saya tidak mengerti pertanyaan mister” gadis tanpa dua tangan terlihat gugup.

“Kau bisa berjuang demi masa depan sahabatmu sendiri, lantas bagaimana jalan ceritamu sendiri? Apa bisa disebut seni atau tidak sama sekali” berujar lagi…

“Saya juga mempunyai mimpi sama seperti Hozhi” kalimat Hava.

“Bisa jelaskan mimpimu, walaupun kemarin sudah kau ungkapkan melalui tugas yang saya berikan!”

“Saya ingin berdiri di hadapan banyak orang mengungkapkan banyak ide, mengerti bahasa management keuangan di segala bentuk, berintegritas, berkharisma, berwibawa, seorang intelektual, disegani karena sesuatu tidak biasa yang sedang mengalir kuat dalam kehidupanku” Hava.

“Berarti kau harus berani menciptakan ceritamu sendiri bukannya berada pada aspek ketakutan sekalipun ada banyak cerita kacau ingin bermain-main mencoba menjebak jalanmu” pertama kali seorang Juan killer sedikit berkata-kata lembut terhadap mahasiswanya sendiri.

Siapa sih tidak merasa kesal terhadap sikapku selalu menolak tiap tugas dari banyak mahasiswa. Saya tidak mencari tugas kampus paling sempurna hanya saja dua tanganku ingin sesuatu yang berbeda saja. Sebagai dosen tuntutan membentuk sekaligus berjuang mengajar untuk menciptkan terobosan-terobosan. kenyataannya karakter hidup, pola pikir, juga masalah pengetahuan harus berjalan seimbang. Masing-masing pengajar memiliki cara tersendiri berhadapan dengan anak didiknya termasuk kisahku.

Memang benar ucapan Moza tentang penyesuaian tempat ketika peranan sebagai pendidik sedang dijalankan. System A tidak selamanya bisa digunakan terhadap sekelompok muda mudi, begitupun sebaliknya beberapa proses lain harus menyesuaikan keadaan. Tidak mudah membentuk sehingga tetap terjadi keseimbangan antara karakter, mental, sikap, dan pengetahuan. Masing-masing dunia mahasiswa memiliki sisi plus mines dalam diri mereka terlebih berhadapan dengan satu jalur menjebak di depan…

“Sayang lagi ngapain sih?” Lara wanita cantik sedang merusak mood.

“Keluar dari ruanganku sekarang!” rasa kesal terhadapnya.

Kemanapun dua kakiku berhenti wanita cantik itu terus saja seperti cacing kepanasan mengekor. Lara selalu saja mengumumkan terhadap semua orang di sekitar tentang berita pertunangan yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Rasa-rasanya membuatku gila dikejar wanita cantik tetapi terlihat mengenaskan. “maaf, saya tidak sengaja salah masuk ruangan” Gadis tanpa tangan terkejut menemukan keberadaan kami berdua pada salah satu ruang kelas perkuliahan.

“Kalau sengaja juga tidak masalah” Lara.

Saya seperti patung diam membisu. Anak didikku berlari keluar, sementara wanita cantik ini masih tetap berdiri di dekatku. “Upppssss pemandangan kacau” tiba-tiba Moza hadir di tengah kami.

Memberi kode terhadap Moza agar segera mengalihkan perhatian Lara. Kenapa bukan kakakku saja menjadi incaran Lara? Kenapa juga orang tuanya datang langsung melamar ke rumah sampai-sampai ayah setuju segala? “Bantuanku tidak gratis” cetus Moza setelah berhasil membuat Lara keluar meninggalkan ruangan.

“Maksudmu ada acara timbal balik gitu” menatap kesal Moza.

“Wow, tadi saya lihat Hava berlari kacau seperti melihat pemandangan…” Moza.

“Jangan berpikir negative” membalas kalimatnya.

“Seorang dosen killer berada di tengah” Moza.

“Maksudmu?”

“Saya curiga sesuatu kalau dosen killer di depanku ini menyukai salah satu anak didiknya sendiri tanpa sadar” Moza.

“Memangnya anak didikku yang mana?”

“Antara Hava dan Hozhi” Moza.

“Kenapa tidak sekalian saja bilang kalau saya menyukai Moza dosen gila” ucapan menggoda dirinya.

“Itu tidak mungkin karena saya tahu pasti siapa dirimu. Hati-hati ketahuan mahasiswa lain apa lagi Nevil, habis kau” godaan Moza.

“Secara Nevil juga menyukai salah satunya dan jelas-jelas sebagai tante yang baik tentu lebih memilih mendukung keponakan sendiri” kata-kata Moza membuatku tertawa.

“Keluar dari ruanganku!” segera mendorong Moza. Kekacauan apaan barusan? Tadi Lara membuat keonaran, sekarang Moza lebih gila lagi…

Saya mimpi apa semalam dicurigai hal semacam ini? Membereskan seluruh lembaran tugas mahasiswaku di atas meja kemudian berjalan meninggalkan kampus. Berkeliling jalan memakai motor tua merupakan alernatif penghilang stress. Tanpa sengaja motorku menabrak seorang wanita tua di tengah jalan. “Apa ibu baik2 saja?” rasa khawatir muncul seketika. Kaki juga tangan ibu tersebut mengalami luka cukup serius akibat perbuatanku.

Mengantar ke rumah sakit menjadi tanggung jawabku sekarang. Wanita paruh bayah itu ternyata tersesat di kota sebesar ini. Hal terkacau lagi karena seluruh barang-barangnya do copet sewaktu berada di pelabuhan. Tidak ada jalan lain kecuali membawa beliau ke apartemen milikku. “Semua ikan hasil olahan buat putriku habis dicopet orang” raut wajahnya terlihat sedih.

“Nama ibu siapa?” sejak tadi hingga detik sekarang saya belum mengetahui namanya.

“Zamerah” jawaban wanita paruh bayah itu.

“Panggil saja saya Juan” memperkenalkan nama balik.

“Kau sangat tampan anak muda” ibu Zamera.

“Biasa saja” kalimat membosankan yang selalu berceleoteh di sekitar pendengaranku.

Meminta ibu Zamerah mengingat lagi nomor handphone putrinya yang bisa dihubungi, tetapi kenyataannya kalau kata tidak ingat lebih kuat bermain. Saya tidak pernah menyangka pagi-pagi sekali beliau sudah bangun membersihkan rumah bahkan menyiapkan beberapa hidangan makanan di atas meja. Menikmati masakan terenak menjadi kebiasaanku beberapa hari belakangan. “Sangat jago masak” bergumam sendiri. Mamaku sendiri tidak pernah tahu cara memasak paling lezat di hadapan anak-anaknya. Satu hal, kelebihan mama hanya pintar ngelawak di tengah-tengah sampai membuat perut papa kesakitan karena terus saja tertawa.

“Buat ibu” menyerahkan sebuah handphone keluaran terbaru ke tangannya.

“Ibu mana tahu menggunakan barang seperti ini” ibu Zamera menolak pemberianku.

Saya hanya ingin menunjukkan rasa terima kasih terhadapnya. Berusaha menjelaskan sesuatu sampai menerima pemberianku dan membuatnya mempelajari beberapa cara penggunaan handphone di tangannya. Memaksa ibu Zamera agar tetap berada di apartement hingga menemukan alamat putrinya.

“Putri ibu sangat jenius hanya saja terlalu sulit mengerti hidup tanpa mimpi rasa-rasanya seperti sayur tanpa garam sangat hambar” ibu Zameraa.

“Lantas ngapain kuliah di kota?” ucapku sambil meneguk jus hasil buatan beliau.

“Karena terpaksa” ibu Zamera lebih memberi jawaban nyeleneh.

Di luar dugaan papa dan mama masuk tiba-tiba ke apartement. Orang tuaku memiliki kunci cadangan dengan kata lain mereka bebas keluar masuk tempat tinggalku. “Umurmu sudah berapa? Bisa-bisanya jual mahal begitu ma gadis paling sempurna di dunia seperti Lara” teriakan papa hingga membuat ibu Zamera kaget.

“Papa berhenti dulu marahnya, makanan di sini enak banget” teriak mama sambil menarik papa ke meja makan.

“Mama…” cetus papa.

“Coba dulu baru bicara” mamaku dikenal sebagai tukang makan tapi badan tetap saja kurus. Rasa geram papa hilang gara-gara menyantap makanan di atas meja. Mama dan papaku tertidur lelap di kamar seolah lupa tujuan mereka kemari. Entah kemana perginya kakakku, tumben tidak lagi mengekor di belakang papa mama setiap ke apartementku. Kenapa bukan kakak saja yang dijodohkan ma gadis sempurna semacam Lara?

“Juan, dimana dirimu berada?” suara tidak asing lagi.

“Mau apa kemari?” sangat geram melihat tingkah Moza bersama keponakan tercintanya berada di apartementku.

“Saya juga tidak bakalan kemari kalau bukan karena bibi memaksa terus” Nevil.

“Bukan bibi tapi Kakak Moza” teriak Moza menjewer telinga keponakannya.

“Terima kenyataan kalau kau sudah tua” ejekanku.

“Berhenti mengejek!” cetus Moza. Kekacauan berikutnya adalah papa mama terbangun dari tidur dan sekarang apartementku seperti pasar. Ibu Zamera sendiri tetap berada di kamar sebelah karena tidak ingin ikut campur urusan keluargaku.

Gosip berjalan tertawa habis karena kelakuan mama dan Moza, sedang papa bersama Nevil sibuk bermain catur. “Kalau mama lebih suka Moza jadi calon menantu dibanding Lara” sindir mama memeluk Moza.

“Papa lebih pilih Lara, jelas-jelas orang tuanya langsung datang melamar Juan” balas papa ke mama.

“Apa-apaan ini” sangat geram.

“Masalahnya Juan itu lagi naksir anak kecil bukannya naksir Moza” ledekan Moza.

Pernyataan tersebut membuat orang tuaku terkejut seketika. Tidak pernah menyangka Moza akan membuat kekonyolan seperti ini. “Juan gila” kalimat mama selanjutnya.

“Tapi anak kecilnya berprestasi karena yang satu jenius, terus yang satu lagi pelari tercepat maksudku seorang atlet” Moza makin menambah bumbu.

“Hava itu milik Nevil bukan milik dosen killer sepertimu” rasa kesal Nevil.

“Apa-apaan ini?” teriakku.

“Cari yang seumuran dengan anda! Jangan ganggu Hava” cetus Nevil.

Terjadi pertengkaran hebat akibat kelakuan brengsek Moza. Papa berteriak hanya ingin Lara sebagai menantunya, sedang mama menginginkan Moza. Di tempat lain Nevil melemparkan kata-kata kacau ke arahku karena disangkanya saya mengejar gadis pujaannya. Mereka semua bertempur seperti orang kerasukan antara satu sama lain. Perlu diketahui kalau Moza anak sahabat terdekat mama. Terjadi kesepakatan untuk menjodohkan anaknya di antara dua sahabat sejati sekaligus tetangga yang akan selamanya bertetangga.

“Jangan coba-coba melihat Hozhi sebagai wanita” pesan hancur dari penggemar gadis bisu. Seolah-olah saya ini seorang manusia bejat bahkan siap menerkam mangsa. Apa betul Juan sang dosen ganas menyukai anak dibawah umur? Rasanya mustahil.

Mengusir mereka semua keluar dari apartementku merupakan hal terbaik sekarang. Ibu Zamera sendiri diam seribu bahasa di kamar sebelah mendengar perang dunia tiga. Menurut Moza kalau saya menyukai tanpa sadar salah di antara dua anak didikku. “Memangnya siapa yang kusuka?” membayangkan wajah Hava maupun Hozhi.

“Dosen sinting, gila, miring” mengejek Moza seketika.

Bagaimana bisa mereka datang membuat gempa di apartementku. Belum lagi beberapa pesan bernada nada geram darinya. “Hozhi itu gadis lugu, jangan coba-coba mempermainkan dirinya kalau masih ingin hidup” kata-kata tersebut bermakna gerah…

“Bilang saja kau naksir Hozhi” balasan pesan dariku.

“Saya menyuruhmu melatih Hozhi bukan menjadi laki-laki tua penggoda” sontak kata-kata tersebut membuatku sangat marah setelah membacanya. Jelas-jelas dia sendiri datang mengemis sambil bersujud meminta saya menjadi pelatih Hozhi. Salahku dimana? Mereka semua termakan omongan Moza. Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, laki-laki tua tidak tahu malu itu dirinya bukan saya.

Awas saja kalau berdiri di depanku tentu pukulan tanganku pasti melayang buatnya. Ibu Zamera tertawa hebat melihat perang dunia tiga yang sedang terjadi tadi. “Kehidupan seperti itu biasa terjadi” ibu Zamera berkata-kata di tengah tawanya setelah mereka semua pulang ke rumah masing-masing.

“Sepertinya nama yang disebutkan wanita tadi mirip nama putriku” ibu Zamera.

Jangan-jangan anaknya kuliah di kampus tempat saya mengajar. “Buka pintunya dong manis” hal tergila kakakku adalah sengaja memasang bel rumah/ apartement dalam bentuk nada hancur seperti ini. Ibu Zamera makin tertawa kacau mendengar kata-kata dari bel apartementku. Sejak kedatangannya baru hari ini beliau mendengar alarm bel apartement berbunyi.

“Maaf mengganggu, kakak Moza menyuruh kami membawakan pesanan mister kesini” sangat mengerikan. Kelakuan Moza keterlaluan sengaja mengirim dua anak didik saya.

 

 

Bagian 10…


 

Hava…


Panas terik begini tapi harus berlari mengekor di belakang Hozhi. Kami berdua mendapat tugas mengirim paket pesanan mister Juan langsung ke rumahnya. Perintah gila dari ka’Moza membuatku sedikit kesal. Hobi baru Hozhi yaitu selalu berlari dimanapun kakinya berpijak. Lebih memilih berlari dibanding naik bus menuju alamat rumah mister Juan. Saya hampir pingsan beberapa kali di tengah jalan karena kelakuannya.

“Paket pesanan mister” nafasku tersendat-sendat. Hozhi lebih memilih naik tangga dibanding memakai lift menuju lantai 7 apartement dosen terkiller. Rasa-rasanya saya hampir mati mengekor di belakang Hozhi.

“Hava” seseorang di belakang mister Juan menyebut namaku.

“Bunda” hampir tak percaya bundaku berada di apartement dosen terdingin di kampus. Ada apa sebenarnya? Kenapa bunda tidak pernah memberitahu kedatangannya ke kota? Lantas, saya harus bertemu dengan bunda di sini? Gila…

“Kalian saling kenal?” mister Juan menunjuk ke arahku.

“Kenapa mister menyembunyikan bunda di sini? Segitu bencinya yah ma gadis cacat sepertiku sampai memanggil bunda segala dari kampung?” meluapkan rasa kesalku.

“Hava gadis kesayangan bunda salah paham” bunda berlari memelukku.

“Pikiranmu terlalu sempit” sindiran sinis mister Juan. Akhir cerita, bunda menceritakan semua kejadian sebenarnya. Wajahku ingin segera bersembunyi dari dosen paling dingin karena berpikir negative tentangnya. Meminta maaf dalam keadaan malu menjadi satu-satunya jalan saat ini. Hozhi terus saja tertawa melihat tingkahku di hadapan dosen terkiller. Kenapa juga bunda ke kota tanpa memberitahu terlebih dahulu?

Semua barang-barangnya habis lenyap di copet oleh beberapa preman kota sekitar pelabuhan. Mister Juan memaki hebat ke arahku di belakang bunda. Menatap tajam seakan ingin memakan hidup-hidup diriku seketika. Kata-kata kejam terus saja dilemparkan selama jam mata kuliahnya berjalan beberapa waktu belakangan tanpa henti. Nada memerintah seenak jidat terus saja diperankan. Hal lebih kacau lagi adalah bunda ingin bekerja di rumahnya sebagai pembantu selama berada di kota.

“Buat biaya ongkos bunda pulang” ujar bunda. Rasa geram makin bermuara memenuhi ruang hidupku sekarang. Suka maupun tidak terpaksa saya harus menerima kenyataan bunda menjadi pembantu di rumah dosen terdingin. Terkadang rasa ingin marah bahkan berteriak muncul, tetapi sesuatu menahannya. Bagaimanapun juga dua kakiku masih berjuang mengejar sesuatu hal terbaik, jadi saya harus bisa bertahan ketika terjadi pertempuran di segala aspek.

Kemampuan mister Juan tidak perlu diragukan dalam hal membentuk ataupun melatih anak didiknya sendiri. Ada banyak perubahan yang terjadi terhadap Hozhi ketika menjalani latihan tidak biasa oleh seorang dosen terganas. Kenyataannya adalah mister Juan bukanlah seorang atlet, tetapi memiliki satu sisi peranan berbeda dibanding orang lain. Ada banyak hal bermuara begitu saja dalam benakku walaupun dikatakan setiap tugasku terus saja mendapat penolakan demi penolakan.

“Tulisanmu ternyata sangat rapi yah, pada hal kau hanya menulis memakai kaki saja” pertama kalinya dosen terganas hari ini memberi sebuah pujian.

“Hava manusia paling jenius sedunia” senyum manisnya pertama kali terlihat.

“Mister tidak salah bicara atau gimana?” mataku terbelalak dibuatnya.

“Tentu saja tidaklah” mister Juan membelai rambut panjangku. Saya mimpi apa semalam? Dosen terdingin, tergalak, terganas, terjahat, dan segalanya bercerita ter… bersikap sangat manis berubah 360°.

Perubahan sikap beberapa hari belakangan terhadap mahasiswa terlihat jelas. Tiba-tiba saja memeluk kuat Hozhi sambil tersenyum lebar tanpa rasa geram. Biasanya Hozhi disuruh berlari ratusan kali putaran, namun sekarang malah menepuk bahu bahkan lebih menekankan agar tidak memaksakan diri. Memberiku segelas jus alpukat setelah jam mata kuliah berakhir. Apa mister Juan salah makan? Jangan-jangan bunda sengaja bekerja di rumahnya untuk mengubah perilaku seorang dosen terkejam dalam segala hal.

“Saya pikir bertukar pendapat antara satu sama lain lebih menyenangkan” ujar sang dosen terdingin dalam kelas.

“Mister tidak salah makan?” salah satu temanku bertanya.

“Biar tidak tegang setidaknya harus terjalin persahabatan diantara kita” mr. Juan.

“Maksudnya tadi itu, mister makan apa semalam?” cetusku ingin mengumpat.

“Semalam saya makan nasi ketan hasil buatan seorang bunda terbaik sih” mr. Juan.

Di luar dugaan, tatapan mata sang dosen sangat manis bahkan tidak terlihat ingin memakan hidup-hidup semua orang di sekitarnya. Ada yang tidak beres atau bagaimana? sampai detik sekarang, saya masih belum berani menginjakkan kaki kembali ke apartement tempat tinggal seorang dosen terkejam sedunia. Bunda memang bekerja di sana sih…

“Ingat umur” teriak Nevil menyerang dosen terganas. Di luar dugaan adalah senyuman wajahnya semakin terlihat manis tanpa membalas sepatah katapun.

“Senior, ada masalah apa?” berusaha menghalangi satu kekacauan…

“Dosen kejam di depanmu selalu saja lupa usianya berapa” sindir Nevil.

“Memangnya usia mister Juan sangat bermasalah yah?” tanyaku lagi.

“Gadis manis ingat tugas yang saya berikan tadi” mister Juan.

“Iya mister” membalas kalimat dosen terkejam.

Nevil makin histeris mengamuk mendengar kalimat sang dosen. Saya berusaha mengalihkan perhatian sambil mendorong tubuhnya memakai salah satu kakiku menuju kantin kampus. Seniorku yang satu ini akhirnya lupa tentang kejadian tadi. Ternyata usaha seni kreatif kemarin mulai memperlihatkan hasil. Banyak kosumen menyatakan rasa puas atas lukisan kami beberapa minggu belakangan. Tidak sia-sia juga ide cemerlang Nevil untuk sebuah hasil karya terbaik.

“Hasil kerja kerasmu kemarin” Nevil menyerahkan amplop berisi uang.

“Jumlahnya lebih dari perkiraan” menghitung lembaran uang memakai kaki…

“Gambarmu disukai orang banyak, jadi wajarlah” senyum Nevil.

“Otak encer, tulisan rapi seperti penulis kaligrafi, bisa menggambar sekalipun dikatakan tanpa dua tangan. Belum tentu manusia normal bisa seperti dirimu” Nevil membelai lembut rambut ikalku.

“Biasa saja” berusaha menghindar.

“Tidak selamanya kehidupan sempurna itu bercerita tentang seluruh anggota tubuh terlihat lengkap tanpa cacat, tergantung jalan pikiranmu menilai satu sisi ruang ketika kau mengelolah sesuatu hal” Nevil.

Selama ini memang jalan pikiranku selalu saja terhenti pada kata ‘normal’ karena memiliki anggota tubuh lengkap, sedang saya sendiri tidak memiliki hal tersebut. Pintu perantara untuk mengejar bintang tiba-tiba saja terhenti oleh rasa tidak percaya diri berlari tanpa dua tangan. Saya masih mencoba berjalan untuk meraih apa yang kuinginkan, namun ada saat dimana benteng iblis berusaha menghalangi semuanya.

“Kau hanya manusia cacat yang tidak mungkin bisa memegang satu bintang” teroran iblis terkadang muncul seketika berselubung di sekitar jalanku.

Usia belasan tahun memang masih berada pada jalur keragu-raguan bahkan benteng iblispun jauh lebih kuat mencekam untuk menghancurkan sebuah cerita terbaik di depan mata. Posisi seperti ini membuat banyak generasi muda bukan hanya saya selalu saja terjebak oleh ribuan permainan. “Iblis, enyahlah dari hidupku” teriakanku bergema begitu saja melihat gemerlap bintang malam. Saya tidak ingin diperdaya lagi oleh teroran iblis tentang kata tidak bisa karena anggota tubuhku cacat.

Sudah waktunya duniaku berteriak keras di dalam kekurangan melawan tiap jebakan hidup sendiri. Saya ingin menjadi seorang yang bisa memberikan ide-ide luar biasa, berintegritas, berwibawa, berkharisma, disegani karena menciptakan karya berbeda, memiliki sisi intelektual tinggi suatu hari kelak. Hava berarti hidup sama seperti jalan cerita di depan apa pun situasi badai sekalipun hanya mengandalkan anggota tubuh yang ada.

“Semangat Hava” berkata-kata terhadap diri sendiri menatap di depan cermin.

Mulai detik sekarang jalan hidup seorang gadis cacat bernama Hava Elisa akan bercerita lain dibanding banyak orang di luar sana. “Saya ingin mengajak kalian makan di sebuah café khas anak muda tidak jauh dari kampus,” tiba-tiba saja mister Juan memegang tangan Hozhi di depan mataku.

Apa yang terjadi? Jangan-jangan mister Juan menyatakan rasa suka terhadap Hozhi. Kenapa jadi kurang menyenangkan? Berarti kalimat Nevil tadi tentang masalah usia karena dosen terganas menyukai gadis jauh dari umurnya. Hozhi memang cantik walaupun memiliki sebuah kekurangan sekitar gendang pendengarannya. Wajar saja diperebutkan oleh senior tampan semacam Nevil dan dosen terganas di kampus.

“Jangan salah paham” mister Juan melepaskan tangan Hozhi.

“Saya tidak bertanya apa-apa” sedikit menggerutu.

“Saya hanya ingin menghentikan kegiatan lari gadis cantik seperti Hozhi dengan menarik tangannya” mr. Juan.

“Saya tidak ingin kalian berpikiran kalau dosen di depanmu ternyata laki-laki tua gatal” mister Juan berujar kembali.

Akhir cerita adalah saya dan Hozhi tertawa melihat kelakuannya. Sejak kapan dosen terdingin berubah menjadi tukang traktir orang kiri kanannya? Mister Juan terlihat lebih bersahabat terhadap anak didiknya sendiri akhir-akhir ini. Tidak lagi menekankan latihan ekstrim bagi Hozhi, menatap tajam ke semua orang, bersikap dingin, ataupun menolak lembaran tugas milikku. Selalu memuji hasil tugas adalah paling terbaik di antara semua mahasiswa.

“Hozhi pasti bisa menjadi pelari nomor satu tercepat di dunia” mister Juan berteriak di tengah lapangan sambil menggerakkan tangannya sebagai bahasa isyarat.

Larimu hancur begitu mana bisa mengejar kekalahanmu kemarin” kata-kata mister Juan terhadap Hozhi masih teringat jelas di telingaku.

Atur pernapasan waktu berlari itu penting” teriakan dosen gila beberapa waktu lalu.

Harus saya akui memang, beberapa pertandingan selalu dimenangkan oleh Hozhi. Mister Juan mendaftarkan nama Hozhi tanpa persetujuan siapapun di beberapa kejuaraan lari. “Hari ini jadwalmu bertanding” tanpa pemberitahuan terlebih dahulu terhadap kami. Mengikuti semua keinginannya suka maupun tidak yaitu bertanding. Ini benar-benar gila langsung membawa ke arena pertandingan tiba-tiba. Hal yang terjadi sekarang sangat berlawanan arah dari karakter kejamnya.

 


Bagian 11…

 

Perubahan drastis Juan membuat seluruh penghuni kampus bertanya-tanya. Dua gadis cacat hampir tidak percaya terhadap kelakuan manis dari sang dosen terdingin. “Kenapa ka’Juan senyumnya kelewat manis beberapa hari belakangan” suara hati si’gadis bisu berteriak keras di dalam. Perubahan drastis terjadi seolah sesuatu merasuk tubuh dosen terkejam menjadi tiba-tiba seperti malaikat.

Hozhi harus mengikuti pertandingan lari tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu maupun persiapan matang. Kekacauan seorang pelatih ganas semacam Juan membuatnya hidup seperti di neraka level seribu. Menolak setiap lembaran tugas dari Hava merupakan kisah miris lainnya. “Garis kecil beberapa istilah disini belum sepenuhnya jelas” merobek seperti biasa lembaran tugas Hava.

“Gambaran ilustrasi permasalahan keuangan pada kasus di atas terlihat sederhana, tetapi memiliki unsur begitu halus untuk tiap jalurnya. Tulis kembali ide baru mengenai penejelasan maupun penyusunan berbeda dibanding system lainnya!” tangan Juan sekali lagi mencoret-coret lembaran tugas gadis cacat di hadapannya kemudian menghamburkan semuanya ke lantai.

Pergantian bulan sekaligus tanggal baru memberi ribuan pertanyaan tentang perubahan sikap dingin sang dosen. Semua terjadi begitu saja tentang senyum manis, tebar pesona, kata-kata lembut, persahabatan antara dia dan seluruh anak didiknya. “Saya ingin menjadi sahabat kalian” ungkapan manis dengan sikap yang terlalu soft bagi pemikiran semua orang.

Perubahan besar terjadi hingga setiap mata tidak berkedip ketika menatap diri seorang dosen terkejam. “Apa ada kesalahan terhadap tampilanku hari ini?” sosok dosen terdingin berubah menjadi soft boy.

“Ka’Juan yang  kukenal kemarin kembali” deru suara hati Hozhi menatap senyum manis sosok pria di hadapannya.

“Saya merasa ganjal” Moza terus mengamati perubahan sikap Juan dari kejauhan.

“Sepertinya saya harus jadi detektif” Moza menarik nafas mengendap-ngendap bagaikan seorang pencuri di siang bolong mengamati tiap pergerakan Juan.

Hal lebih gila adalah Moza menyamar sebagai orang culun demi mengelabui semua orang. “Mencari tahu memang tujuan utamaku” cetus Moza. Siapa pernah menduga kalau ternyata dosen sastra kampus tersebut memiliki kualitas aktis cukup meyakinkan. Menguntit kemanapun manusia terkiller berada. Moza sangat yakin sesuatu tidak beres disembunyikan oleh Juan sampai membuatnya terlihat sebagai manusia soft boy.

“Selalu saja mengamati tiap latihan maupun pertandingan si’cantik Hozhi” gerutu Moza dalam hati.

“Perasaanku berkata kalau hatinya lebih sedikit lari ke Hava, lantas kenapa jadi ada perubahan yah?” tingkah dosen sastra seperti orang bodoh.

“Kenapa jadi begitu manis pada semua orang termasuk ma saya” Moza menunjuk diri sendiri.

Aksi sebagai detektif sudah dimulai beberapa hari lalu, namun belum memperlihatkan hasil maksimal. Sosok Moza masih terus mencari tahu rasa keterpaksaan manusia bengis tiba-tiba berubah jadi soft boy. Sulit dipercaya perubahan terjadi begitu saja. “Moza dosen paling manis lagi cari apa?” suara seseorang mengagetkan Moza.

“Juan habis makan apa?” Moza berusaha bersikap tenang.

“Makan bubur mungkin” kalimat sang dosen.

“Kau berubah jadi manis begini, sejak kapan?” Moza.

“Sejak kapan juga jadi penguntit di belakang” wajah lembut manusia kejam tertata baik.

“Siapa bilang saya jadi penguntit, enak saja” cetus Moza segera berjalan.

“Mau kemana?” menarik kerah baju Moza masuk ke ruangannya.

Mereka saling menatap satu sama lain untuk beberapa saat. “Sepertinya Juan manusia iblis sudah kembali” gumam Moza. Dosen sastra sekaligus petugas perpus berusaha ingin lepas tetapi sesuatu menahan dirinya.

“Saya ada kelas tambahan” Moza berusaha menghindar.

“Rasa curigamu mengenai masalah perubahanku, lupakan saja” Juan.

“Saya tidak berpikir ingin lupa” Moza.

Juan mendorong tubuh Moza menuju parkiran mobil. Pada akhirnya mereka berdua berada di satu tempat tidak terduga jauh dari keramaian. “Kenapa membawaku kemari?” Moza.

“Jangan-jangan kau mau mengamuk karena mengadu pada orang tuamu kalau suka ma anak kecil? Memang kenyataan,” cetus Moza.

“Bilang saja kau cemburu” goda Juan.

“Kau bukan tipeku” Moza.

“Kau mau bilang bule-bule di luar sana tipemu?” Juan.

“Saya memang menyukai cowok bule sih, tapi kehidupannya harus sesuai…” Moza.

“Misalnya” Juan.

“Tidak seks bebas karena budayaku mengajarkan kehidupan takut terhadap Tuhan. Selain itu harus dewasa, tidak suka pamer, pergaulan masih status normal-normal saja” Moza.

“Bule kebanyakan budayanya bebas, ngerti?” Juan.

“Pasti ada satu atau dua dengan kehidupan tetap sesuai jalan Tuhan, lagian saya juga belum tahu jodohku siapa dan belum pasti, gimana sih?” Moza.

Perbincangan mereka berdua terdengar kacau. Sosok Moza tidak menyukai beberapa objek hidup di luar sana. Dunianya simple saja ketika berjalan. Dalam benaknya sama sekali tidak terpikirkan ingin berkeliling dunia menikmati suasana liburan terbaik. Lebih menyukai suasana perkampungan dibanding perkotaan ketika ingin rehat sejenak dari aktifitasnya. Sejak kecil kehidupannya lebih senang menghabiskan malam tahun baru di sebuah gereja dan beribadah hingga jam dua belas tiba dibanding melihat kemeriahan kembang api.

Cita-citanya bukan berlibur keliling dunia, jadi wajar saja kalau sosok Moza lebih menyukai aktifitas biasa. Kalaupun ingin menghabiskan waktu liburan di sebuah Negara, kemungkinan besar hanya melihat dua Negara. Korsel dan Jepang merupakan tempat favorit yang ingin dikunjungi suatu hari nanti, itupun di sekitar bagian pedesaannya bukan perkotaan. Menyukai suasana alam, makanan tradisional, pemandangan desa di dua Negara tersebut memiliki daya tarik berbeda buatnya.

“Btw, bukan itu yang saya pertanyakan” Juan.

“Lantas apa dong?” Moza balik bertanya.

“Kenapa kau tidak mencoba menerima tawaran beberapa orang di Negara ini untuk berdiri?” Juan.

“Membosankan membahas hal semacam ini” gerutu Moza.

“Kau sadar kan kalau ekonomi juga roda pemerintahan di sini lagi kacau” Juan.

“Kekacauan kan memang sejak dulu bukan baru sekarang” Moza.

“Moza…” nada Juan meninggi.

“Setidaknya beberapa kelompok penting bisa tersenyum manis kalau saya menolak untuk berada di atas” Moza.

“Entahlah” Juan.

“Katakan ke beberapa penguasa, bagaimanapun tingkat kejeniusanmu bahkan cara paling halus sekalipun untuk melenyapkan jalanku dari muka bumi tanpa disadari oleh orang sekitar, tetap saya tidak akan pernah mati karena Tuhanku punya kekuatan luar biasa untuk membuatku tetap bertahan” Moza.

“Tadi kau bilang tidak peduli sekarang kenapa jadi lari begini?” Juan.

“Sekedar bicara saja bukan berarti saya menyetujui permintaanmu” Moza.

“Lupakan, hari sudah mulai gelap lebih kita pulang saja” Juan segera menghidupkan mesin mobilnya.

Teka teki misterius akan terungkap seiring waktu berjalan. Seorang perempuan sedang bergumul sebuah beban terberat di luar pemikiran banyak orang. Menyatakan keputusan bersama beberapa bagian aspek tertentu pula membutuhkan waktu cukup lama. Diam seribu bahasa sekian tahun lamanya menjadi alasan untuk berpikir kembali. “Baru kali ini saya melihat ka’Moza duduk termenung” sapa Hava di sekitar ruang perpustakaan.

“Masa?” balas Moza.

“Btw, Saya merasa sedikit ganjil ma perubahan mister Juan” Hava berpikir sejenak.

“Itu dia yang saya pikirkan dari tadi” seru Moza.

“Dari manusia terkejam tiba-tiba berubah jadi soft boy” Hava.

“Siapa tahu dosenmu lagi pengen setting-settingan gitu” Moza.

“Mirip drakor saja, dari manusia tsundere menjadi soft boy” Hava menggeleng-geleng kepalanya membayangkan dosen terdingin di kampus.

“Ternyata Hava diam-diam suka nonton drakor juga yah” tawa Moza.

“Jelaslah, semua orang juga pada senang cuci-cuci mata ma oppa-oppa atau nunna-nunna” ledek Hava sembari membaca sebuah buku di atas meja.

“Minggu depan pertandingan Hozhi” Hava berujar kembali.

“Pertandingan kali ini macam jaraknya cukup mepet yah?” Moza.

“Tapi Hozhi bisa mengatasi semuanya” Hava.

“Kuharap kakak juga ada di sana memberi dukungan” Hava.

“Tentu saja” semangat Moza.

Sosok Hozhi memulai kembali mengibarkan benderanya setelah cukup lama berdiam. Mengejar mimpi merupakan hal paling menarik di sepanjang perputaran roda kehidupan. Berjuang membuktikan bahwa kata mungkin tentu saja bisa terjadi di sepanjang jalan kemustahilan tanpa ujung sekalipun. Cacat, cedera kaki, kemiskinan, ataupun beberapa objek lain bukan alasan dua kaki terhenti mengejar sebuah bintang.

“Fighting” tulisan besar tertera rapi memberi semangat terhadap Hozhi.

“Ini kesempatan emas buatmu biar bisa balas dendam terhadap lawanmu pada putaran final nanti” gerakan tangan sosok pria mengungkapkan satu pernyataan.

“Ka’Juan yang kukenal kemarin ternyata kembali” suara hati gadis bisu bergema…

“Hhhhmmmm” Moza berjalan memakai topi membawa selebaran kertas.

“Hozhi semangat” teriak Hava.

Mereka semua hadir hanya demi memberi dukungan penuh terhadap sang pelari. Pertandingan tersebut merupakan penentu pertemuan kembali antara dua atlet lari pada putaran final nanti. Kirey merupakan salah satu atlet lari nomor satu bahkan kemampuannyapun tidak perlu diragukan lagi. Dibalik kesuksesan pelari tersebut tersimpan sebuah cerita penyebab utama Hozhi sang gadis bisu mengalami cedera cukup parah.

“Hozhi, fighting” teriak Moza memberi semangat.

“Korban drakor” ledek Nevil menyindir.

“Kau pikir saya tidak tahu koleksi drakormu penuh di laptop” balas Moza terhadap keponakan sendiri.

Mereka semua berada pada barisan utama bersama personil seluruh mahasiswa Hava university memberi dukungan penuh terhadap Hozhi. Ide jahil Nevil membuat seluruh penghuni kampus hadir tanpa kecuali pada pertandingan tersebut. “Hozhi berjuanglah meraih bintangmu sendiri” pertama kali sosok Hava berteriak di sekitar lapangan tanpa henti.

“Kenapa wajah mister Juan seperti ada di sana sini” raut wajah Hava berubah seketika. Dua kaki gadis cacat tersebut berhenti berjalan sekitar pinggir lapangan sekaligus menjadi titik kemenangan sahabatnya.

“Akhirnya pertandingan kali ini dimenangkan oleh seorang gadis cantik” salah seorang host berteriak.

“Saya sudah duga ada yang tidak beres disini” cetus Moza berlari ke tempat dimana Juan berdiri.

“Mister, kenapa tiba-tiba berdiri di sini?” Hava sedikit kebingungan.

“Kenapa raut wajahmu kebingungan seperti itu?” kalimat sinis Juan.

Moza hadir seketika menarik kuat tangan Juan seketika dan membiarkan Hava seorang diri. “Maumu apa memegang tangan?” Juan terlihat sangat sinis.

“Ternyata kau kembali juga yah” Moza.

Mereka berdua berdiri saling memandang jauh dari suasana riuh penonton. “Dua anak kembar mempermainkan banyak orang” ungkap Moza menyadari sesuatu hal. Bagaimana tidak, seorang Juan tidak mungkin memeluk erat anak didiknya sendiri macam tadi. Berlari memeluk kuat Hozhi setelah di depan umum. Perhatian Hava teralih ke tempat lain hingga tidak menyadari kejadian tersebut.

“Kenapa Nadav harus berpura-pura jadi dirimu segala?” pertanyaan Moza kembali.

“Ceritanya panjang” Juan tidak lagi bisa mengelak. Moza satu-satunya orang terdekat yang tahu pasti sosok Juan manusia terdingin ternyata mempunyai saudara kembar. Juan berusaha menghindar agar identitas keduanya tidak terbongkar ke public.

Mau tidak mau seorang Juan harus bercerita sedetail mungkin terhadap Moza. “Kau harus menutup mulutmu” nada dingin sang dosen terkejam.

“Tergantung situasi” balas Moza kemudian berjalan pergi meninggalkan Juan.

Perayaan atas kemenangan Hozhi sedang berlangsung di sekitar kantin kampus keesokan harinya. Hal lebih mengejutkan adalah sang dosen membayar seluruh makanan sebagai ucapan syukur atas kemenangan si’gadis bisu. “Betul-betul drakor on going” sindir Moza terhadap pria di depannya.

“Ka’Moza bicara apa?” pertanyaan Hava kurang paham. Acara saling menatap satu sama lain terjadi di kantin karena ulah Moza.

“Kalian semua harus makan sepuasnya” teriak Nadav saudara kembar dosen terdingin yang sedang menyamar. Karakter dua anak kembar dapat dikatakan sangat berlawanan arah. Nadav merupakan sosok pria dengan karakter soft boy, ramah, selalu tersenyum, sabar, baik hati, sulit berteriak apa pun masalah yang sedang dihadapi olehnya. Jauh berbeda dengan seorang Juan adik kembarnya terlihat kejam, dingin, pemarah, angker, iblis, menyeramkan, bahkan ingin memakan hidup-hidup semua orang di sekitarnya.

“Hava kalau boleh tahu siapa artis korea favoritmu?” tatapan Moza beralih ke tempat Hava duduk.

“Banyak sih, kalau ka’Moza sendiri siapa?” Hava.

“Sebenarnya sih saya tidak terlalu mengidolakan artis manapun, tapi bisa jadi juga kalau saya fens sejati oppa Shiwon ma oppa Park seojun” Moza.

“Hubungan cerita tadi?” tanpa sadar ternyata Nevil sejak tadi menguping.

“Tiba-tiba saja ingat drakor gitu” Moza.

Bisa dikatakan dua manusia kembar berhasil mengelabui banyak orang. “Nadav makan apa semalam?” pertanyaan Moza menyodorkan segelas jus wortel.

“Siapa itu Nadav?” Hava masih bingung.

“Upppsssss, maksudku Juan semalam makan apa?” Moza.

“Makan makanan manislah masa makanan pedis” nada suara Nadav terdengar sedikit penekanan.

Juan dan kakak kembarnya terpaksa saling bertukar peran karena sesuatu hal terjadi. Di lain tempat sosok Nadav memiliki peran penting bagi perjalanan si’gadis bisu. Siapa pernah menduga kakak kembar Juan sengaja menyamarkan namanya sewaktu berusia remaja. Biaya rumah sakit Hozhi ketika berada di rumah sakit dibayar oleh Nadav bukannya Juan. Terjadi kesalahpahaman diantara semua cerita kemarin karena perbuatannya.

“Tidak gitu juga keles berusaha membongkar rahasia” bisik Nadav ke telinga Moza.

“Kau benar-benar menyukai anak di bawah umur” mengirim pesan.

“Saya hanya menganggap Hozhi sebagai adik tidak lebih” balas pesan Nadav melalui sebuah aplikasi media social.

“Memangnya saya menyebut nama Hozhi?” tulis pesan Moza lagi.

“Dua anak kembar ternyata tanpa sadar menyukai anak berusia masih belasan tahun, sangat-sangat gila” Moza berkata-kata sendiri dalam hati.

Tatapan curiga Moza memang sering terjadi ketika melihat cara Nadav memperlakukan Hozhi. Hal terkacau lain lagi adalah seluruh karyawan satu gedung stress berat akibat ulah Juan ketika berada di kantor. Pergantian peran berakibat fatal antara satu sama lain. Tidak ada lagi cerita traktir-traktiran atau senyum manis sang bos terhadap karyawan. Jari telunjuk Juan selalu saja bermain tiap detik menatap semua manusia dalam gedung tersebut.

“Laporanmu terlalu menyedihkan” tatapan sinis Juan menatap salah satu karyawan.

“Pikiranmu sesempit ini?” merobek kertas berisi ide-ide stafnya.

“Saya tidak suka manusia pemalas sepertimu, ngerti?” jari telunjuk Juan bermain.

 


Bagian 12…


 

Nadav…


Mengamati peran Juan dari kejauhan sedikit membuatku terkejut. Imejku sebagai bos paling lembut hilang ditelan bumi. “Saya benci suasana rumpi” raut wajah terjahat Juan. Gara-gara ulah Moza terpaksa kami berdua harus bertukar peran. Juan menyukai anak kecil membuat orang tua kami dihantui rasa takut. Tidak seorangpun sadar kalau saya memiliki saudara kembar. Sejak kecil Juan tinggal bersama papa mama di luar negeri, sedang hidupku sendiri menghabiskan waktu hingga usia remaja di rumah nenek.

Kehebohan Moza menyindir adikku menyukai anak kecil menjadi pemicu terberat papa mengamuk besar. Tukar tempat harus dijalankan bagaimanapun juga. Seluruh mahasiswa ketakutan tiap melihat wajah Juan ketika sedang berjalan. Penghuni kampus hampir tidak percaya perubahan terbesar terjadi pada sosok dosen mereka. Wajarlah, jelas-jelas orang yang berdiri di hadapan mereka bukan adikku melainkan kakak kembarnya sendiri.

Saya juga geram melihat tingkah Juan andaikan kecurigaan Moza memang benar. Jangan sampai gadis remaja yang dimaksud ternyata Hozhi. Wajar saja Nevil keponakan Moza sampai menyerang habis Juan dengan kata-kata menyebalkan. Rasa takut membayangkan Hozhi jatuh ke pelukan pria dingin semacam Juan benar-benar menghantui pikiranku.


Flashback…


Usiaku masih menginjak empat belas tahun menjalani kehidupan remja seperti anak lainnya. Sejak kecil, saya merindukan ingin memiliki seorang adik manis, lucu, juga imut. Hal menyebalkan yang kudapat adalah berlawanan dari keinginanku. Adikku sekaligus kembaranku benar-benar menyebalkan jauh berlawanan dari karakterku. Dingin, judes, pemarah, selalu menatap sinis, cuek menjadi gambaran dirinya. Menyuruh mama agar memberiku adik perempuan ternyata membuat semuanya sangat geram terlebih Juan…

Kisah inilah menjadi penyebab saya lebih baik memilih tinggal bersama nenek. Seiring berjalannya waktu, seorang gadis kecil berusia tiga tahun sedang menunggu kakeknya di samping supermarket tidak jauh dari tempatku bersekolah. “Imut habis” memandang anak perempuan itu dari kejauhan. Berusaha berjalan di depannya beberapa hari kemudian. Gadis kecil selalu saja berdiri tanpa rasa bosan di sana. Andaikata saja anak perempuan itu menjadi adikku bukannya Juan…

“Mau ice cream?” senyumku. Gadis kecil bersikap cuek seolah tidak pernah mendengar suaraku. Sang kakek menjelaskan kalau cucunya bisu sejak lahir sehingga tidak mengerti bahasa yang saya gunakan. Entah mengapa hal tersebut membuatku ingin terus mempelajari bahasa isyarat melalui internet juga beberapa buku.

Singkat cerita, saya selalu berusaha menjadi seorang kakak baginya. Membawa Hozi ke rumah, memberinya banyak makanan, mengajari dirinya baca tulis sejak dini, dan banyak hal lagi kulakukan. Menggendong gadis kecil setelah jam sekolahku selesai untuk dibawah pulang ke rumah. Selama tujuh tahun saya melakukan semua itu tanpa rasa bosan sama sekali. Berusaha mencari tahu talenta yang dimiliki olehnya.

“Larimu terlalu cepat” menggerakkan tangan agar mengerti ucapanku.

“Kau harus jadi pelari tercepat suatu hari nanti” tersadar sesuatu setelah mencoba mencari tahu bakat terpendam dalam diri gadis kecil. Bisa dikatakan kemampuan lari gadis kecil sukses membuatku terlihat sesak sejak usia tiga tahun.

“Hozhi harus bisa bermimpi besar bagaimanapun ceritamu berjalan nantinya” mengungkapkan sebuah pernyataan melalui bahasa isyarat. Gadis kecil dapat berkomunikasi juga melalui tulisan karena bertahun-tahun saya berjuang keras melatih dirinya.

Saya sengaja menganggur setahun setelah lulus sekolah menengah. Menghabiskan waktu melatih adik kecilku menjadi hal paling menarik buatku. Sengaja mendaftarkan namanya pada pertandingan-pertandingan kecil di kota tersebut. “Nadav harus lanjut kuliah tahun ini” rasa geram papa melalui saluran telepon. Hal selanjutnya adalah perpisahan antara saya dan gadis kecil terjadi juga pada akhirnya.

Satu masalah lagi yaitu sejak awal pertemuan saya memakai nama Juan di hadapan gadis kecil. Pikiranku saat itu sekedar ingin mengelabui adik kembarku andaikan bertemu Hozhi suatu hari kelak. “Kakak mau lihat Hozhi di kejuaraan dunia suatu hari kelak, jadi dua kakimu harus berjuang” memeluk kuat gadis bisu di hadapanku sebelum perpisahan terjadi. Tidak ada lagi cerita bersama gadis kecil seiring waktu berjalan. Saya harus melanjutkan kuliah keluar negeri bahkan harus serumah kembali dengan adik kembarku.

 

Flashback…


“Siapa bisa menyangka gadis kecil tumbuh semanis ini” menatap sebuah foto anak berusia tiga tahun bahkan masih terpajang manis di dalam dompetku.

“Juan memang keterlaluan” amarah papa tak terbendung.

“Apa kurangnya Lara? Cantik, pintar, lulusan luar negeri, wanita karir, kaya, sempurna tapi dicuekin begitu saja” papa masih saja ngomel di rumah.

“Papa sejak tadi ngomel, berhenti dikit bisa gak?” celoteh mama di dapur.

“Jelas-jelas Lara datang melamar” rasa geram papa terus berlanjut.

“Gosip Juan penyuka anak kecil bikin malu keluarga saja” sementara makan tetap saja ngomel.

Saya masih belum yakin kalau Juan bisa juga menyukai seorang gadis. Mantanku saja sudah berapa? Sedang adikku sendiri masih begitu-begitu saja bahkan tidak suka melihat perempuan manapun buat dijadikan pacar sampai detik sekarang. “Pokoknya mama lebih pilih Moza dibanding Lara” teriak mama di atas meja makan. Beberapa tahun silam saya dan Moza hampir saja jadian, tapi entah kenapa batal.

Mantanmu terlalu banyak” Moza menolak menjadi pacarku. Masih terbayang jelas raut wajah Moza menatap ke arahku dengan sedikit kegelian.

Saya geli pacaran ma cowok yang punya banyak mantan, uppppsssss” sindir Moza waktu itu.

Semenjak peristiwa penolakan tersebut, sampai detik sekarang seorang Nadav Levin tidak lagi mengumbar-ngumbar cinta ke semua wanita. Pernyataannya benar-benar menusuk sampai-sampai setiap saat menghantui kehidupanku. “Kenapa bukan Nadav bajingan ini saja yang kalian jodohkan sebagai pengganti” Juan datang tiba-tiba…

“Nadav gampang dapat pasangan, kalau Juan kan terlalu dingin berarti suka maupun tidak orang tua harus turun tangan” cetus mama.

Terjadi pertempuran sengit antara satu sama lain. Tidak seorangpun dari antara kami ingin mengalah. Lebih parah lagi Moza masuk begitu saja ke rumah tanpa permisi semakin memanas-manasi. “Bibi bukan hanya Juan saja penyuka anak kecil melainkan kakaknya lebih parah lagi” sindiran Moza semakin menciptakan perang dunia ketiga.

Kami berdua tidak berhasil mengusir Moza. “Karena kelakuanmu papa mama makin geram” teriakan Juan.

“Akhirnya mama papa sudah tidur tenang di kamar” berkata-kata ke arah mereka sejam setelah pertempuran sengit.

“Masa saya dipersalahkan? Paman dan bibi pada akhirnya juga bakalan tahu kalau-kalau calon mantunya ternyata anak kecil” Moza tertawa lebar.

Selalu saja Moza menyimpan rasa curiga terhadap kami. “Coba tutup mata kalian kemudian bayangkan seseorang” Moza berujar lagi.

“Permainan gila” Juan sangat kesal. Kami berdua pada akhirnya mengikuti kemauan Moza gara-gara sebuah ancaman kecil. Bayangan gadis kecil muncul begitu saja berlari sambil tertawa. Ini tidak mungkin terjadi? Saya sudah benar-benar gila. Bagaimanapun juga Nadav Levin hanya mencari yang seumuran bukan anak di bawah umur. Dia tetap adik kecil buatku sampai dunia kiamat sekalipun.

“Sudah saya simpulkan” sindir Moza.

“Permainan apaan ini? hanya perasaanmu saja” Juan makin geram hingga mendorong Moza.

“Sainganmu terlalu kuat, jadi hati-hati” teriak Moza setelah Juan berjalan ingin masuk ke kamarnya.

“Perempuan gila, pulang cepat sana” segera mengusir Moza seketika. Bagaimana kalau ternyata dua anak kembar harus berkelahi memperebutkan anak dibawah umur? Tuhan, kedua orang tuaku bisa serangan jantung mendadak. Saya tidak mungkin menyukai dirinya.

Merenung tentang apa yang sedang terjadi. Kenapa juga saya harus mengemis sampai bersujud segala memohon agar Juan mau menjadi pelatih Hozhi. Setelah kepulanganku dari luar negeri belum pernah sekalipun kedua kakiku ingin berdiri di hadapannya. Seakan ada sesuatu hal berperan sebagai benteng  hingga saya tidak pernah ingin bertahan berada di sampingnya.

“Saya ingin tetap menjadi dirimu seminggu lagi” entah mengapa pernyataan tersebut keluar begitu saja ketika kami berada di kamar mala mini.

“Ternyata pernyataan Moza terbukti kalau kau benar-benar menyukai dia” Juan.

“Perasaanku biasa-biasa saja jauh berbeda denganmu” membalas ucapan Juan.

“Membayar biaya rumah sakit, diam-diam terus saja mengekor di belakang memperhatikan tiap pergerakan gadis itu, pertama kali mengemis di depanku sambil bersujud agar menjadi pelatih buatnya, dan sekarang meminta waktu seminggu lagi” Juan.

“Perasaanmu terlalu heboh”…

“Kau memeluk dia tiba-tiba” sindir Juan.

“Apa yang akan kau lakukan kalau kita berdua menyukai gadis yang sama seandainya semua itu betul?” pertanyaan kacau.

“Entahlah, kemungkinan saya akan membunuhmu” kalimat dingin Juan.

Membayangkan papa depresi berat karena kelakuan anak kembarnya terus saja menghantui pemikiran. Jawaban menohok seorang Juan membuatku ingin tertawa. Apa yang akan terjadi? Bunyi handphoneku berdering seketika sewaktu saya sedang mengajar di dalam kelas dua hari setelah percakapan kami. Papa menyuruh saya kembali ke kantor untuk menyelesaikan kasus permasalahan antara beberapa ceo perusahaan, karyawan, dan Juan.

Seorang Juan sedang bentrok karena permasalahan penayangan beberapa iklan maupun program pada stasiun TV milik papa. “Saya benci penayangan-penayangan tidak mendidik baik dalam bentuk iklan, program acara, maupun film” karakter Juan memang bermain spontan mengungkapkan apa yang tidak disukai. Saya harus menyamar sebagai cleaning servis di sebuah ruangan besar terdengar kacau…

“Rating jauh lebih penting dibanding permasalahan ingin mendidik” salah seorang ceo yang sedang menjalin kerja sama mengangkat suara.

“Buat saya, membentuk dan mendidik jauh lebih berharga ketimbang mengejar rating, ngerti?” Juan.

“Silahkan memutuskan hubungan kontrak kalau tidak suka” kembali kalimat Juan.

“Berikan saya alasan tepat untuk bertahan disini atas dasar pernyataan membentuk maupun mendidik jauh lebih berharga dibanding mengejar rating!” salah seorang ceo lainnya angkat bicara.

“Persaingan masalah komponen-komponen banyak anak sedang dipertaruhkan di segala bidang hingga ke akar-akarnya. Internasional lebih melihat kualitas baik dari segi IQ terlebih kasus karakter ketika sedang berada pada satu lingkup” Juan.

“Jangan hanya memikirkan kasus ingin mengejar keuntungan, cobalah berpikir tentang situasi hari ini dan ke depannya demi perjalanan bibit maupun anak-anak muda di luar sana” lanjutan pernyataan Juan.

Saya tidak bisa berkutik ketika adikku berkata-kata. Keuntungan memang sangat berperan dalam dunia bisnis, tetapi pola pikir akan permasalahan membentuk/ mendidik jauh lebih bernilai dibanding apapun juga. Selama ini tayangan-tayangan media terlalu banyak merekayasa hal-hal tidak masuk akal sehingga menjadi bahan konsumsi anak-anak maupun kaum muda di luar sana.

“Sudah selesai ketegangan antara dirimu dan mereka?” kalimat pertama Juan setelah semua orang meninggalkan ruang tersebut.

“Kau pikir saya tidak tahu penyamaranmu tadi?” seperti biasa Juan berujar dingin.

“Biasa saja keles ga usah pake urat” membalas adik kembarku.

“Sejak dulu saya merindukan waktu liburan bersama adik kembarku bahkan sampai detik sekarang belum terkabulkan sama sekali” berucap kembali.

“Langsung ke inti topic” Juan.

“Okey” mendorong tubuh Juan menuju parkiran. Masih mengenakan pakaian cleaning servis mengemudikan motor butut milik manusia dingin. Adikku memang memiliki kebiasaan gila yaitu mengoleksi barang-barang tua bahkan terkesan rongsokan. Seharian penuh dua anak kembar menghabiskan kegilaan seperti anak kecil di suatu tempat. Bermain perosotan, ayunan, lompat tali, kelereng, berlari mengejar penjual gorengan keliling pertama kali kami lakukan. Juan menikmati suasana seperti ini sekalipun raut wajahnya terlihat terpaksa.

Kami berdua menyusuri suasana keramaian di tengah kota. “Saya suka caramu memakan habis orang-orang di kantor” berbicara jujur terhadap adikku sendiri. Menikmati sunset hanya berdua saja pertama kali terjadi sejak kami dilahirkan dari Rahim yang sama.

“Pertanyaanku sekarang, kenapa tiap nada kalimatmu terhadap objek manapun terlalu lembut?” Juan benci melihat tingkahku.

“Kehidupan adik kakak memiliki keunikan berbeda-beda baik dari segi karakter ataupun cara mempresentasikan satu objek tertentu antara satu sama lain. Kau dan saya punya cara masing-masing untuk penyelesaian sebuah kasus” membalas dirinya.

“Entahlah” Juan.

“Sejak dulu saya memimpikan ingin membangun beberapa pintu gerbang sebagai pusat sumber kehidupan bagi dunia satu generasi ke generasi berikutnya” sekali lagi pertama kalinya saya mengungkapkan sesuatu.

“Contohnya sebuah gedung perpustakaan unik dengan desain arsitek hasil pemikiranku sendiri” berkata-kata kembali. Sebuah gedung di tengah kota berdiri kuat bersama sesuatu hal unik diantara segala objek. Perpustakaan tersebut membentuk seperti sebuah batu gunung misterius di tengah gemuruh air yang sedang mengalir di sekitarnya. Pada malam hari, gedung perpustakaan akan terlihat seperti nyala api bersama gemerlap sinarnya. Dapat dikatakan batu gunung merupakan gambaran sebuah pondasi paling kuat untuk membangun. Sama halnya pintu gerbang inovasi ataupun dasar hidup seseorang adalah buku untuk memulai sebuah petualangan menciptakan dan mengejar mimpi. Di tempat lain api bercerita tentang proses luar biasa dalam memahami, mendidik, berlari, meraih bintang.

“Gedung perpustakaan akan dilengkapi beberapa aplikasi modern sehingga tidak terlihat membosankan, understand?” lanjutan kalimatku buatnya sambil melemparkan sebuah batu kecil ke dalam kolam.

“Semoga mimpimu terwujud” Juan tersenyum pertama kalinya buatku.

“Aminnnn” teriakanku.

Anak kembar keluarga Levin memang benar-benar memiliki sisi unik berbeda. Kedua orang tuaku harus bangga memiliki anak seperti kami. Kesalahan kami hanya karena sedikit menyimpan rasa terhadap anak usia belasan tahun dan itupun belum tentu sepenuhnya dikatakan sebagai perasaan cinta. Sulit menerka hati Juan menyukai siapa. Papa harus siap menerima kalaupun satu kenyataan berusaha disangkal tetapi pada akhir cerita tetap juga terjadi. Saya pikir Juan menyukai Moza, cerita lainnya adalah semua itu hanya kecurigaan belaka bukan kebenaran sebenarnya.

“Pagi mister” Hava menyapaku.

“Perasaan sudah siang bukan pagi?” balasku.

“Lupakan ucapanku tadi” Hava.

“Mungkin ada sesuatu hal bisa saya bantu?”

“Bunda mengirim makanan buat mister sebagai ungkapan terima kasih” Hava.

Wanita paruh bayah di rumah Juan ternyata bunda Hava. “Sangat enak” kalimatku langsung mencicipi makanan pemberiannya. Saya makan dengan begitu lahap tanpa sisa sama sekali. Hava terus saja memperhatikan cara makanku seperti tidak bernapas sama sekali.

“Coba sifat mister yang dulu, mana mungkin saya mau langsung antar” celoteh Hava.

“Sifatku sekarang menurutmu gimana?”

“Intinya mister bukan lagi iblis dari segala iblis yang pernah terlahir ke dunia” Hava.

Kata-kata Hava membuat perutku sakit karena tertawa habis-habisan. “Bunda sudah balik ke kampung” kalimat terakhir Hava kemudian berjalan pergi begitu saja. Mungkinkah adik kembarku menyukai gadis itu dan bukan Hozhi? Kalau benar berarti Juan tanpa sadar memiliki satu perasaan terhadapnya.

“Bisa saja hatinya memang buat Hozhi atau Moza?” berkata-kata sendiri.

Mencoba memperhatikan tiap gerak gerik Juan sewaktu berada di rumah. Hati adikku begitu sulit ditebak tentang gadis impiannya. Tipekal wanita idaman pria di depanku seperti apa sih? Raut wajahnya selalu saja terlihat datar, dingin, kejam, tanpa senyum, bahkan ingin memakan hidup-hidup semua orang disekitarnya. Sulit buat saya percaya kalau seorang Juan menyukai anak belasan tahun. Tentu sesuai standar internasional dong dan sesuatu yang berbeda menjadi sosok idamannya. “Mister” tegur Hava di kampus…



Bagian 13…


 

Hava…


Sepanjang hari saya melihat mister Juan duduk termenung seolah memikirkan sesuatu. “Mister” tegurku hingga dia terkejut. Beralasan ingin mengumpulkan tugas membuatku berdiri di hadapannya kembali. Dosenku sekarang sudah tidak seperti dulu selalu saja menolak lembaran tugasku. Entah kerasukan atau jalan cerita kemana, hanya saja semua itu terkadang membuatku sedikit ketakutan dibanding kegeramannya.

“Hozhi mana?” mr. Juan.

“Lagi latihan lari 100 kali putaran keliling kampus” balasku.

“Jadi Hozhi belum istirahat sejak tadi?” mister Juan segera beranjak dari kursi ingin mencari keberadaan sahabatku. Sosok pria dingin selalu khawatir terhadap Hozhi? Mister Juan benar-benar menyimpan perasaan suka…

Saya bisa melihat dari kejauhan bagaimana mister Juan memperlakukan Hozhi jauh berbeda dibanding kemarin. Katanya tidak menyukai anak dibawah umur semacam kami, lantas sekarang macam cacing kepanasan sewaktu berada di dekat Hozhi. Dasar lidah tak bertulang. Terkadang, saya merindukan sosok mister Juan yang dulu. Tanpa sadar memberiku satu kekuatan dibalik pernyataan sinisnya. “Hava, jangan sampai naksir ma manusia dingin” membenturkan kepala sendiri ke tembok.

Saya bukan Hozhi si’gadis lugu bahkan begitu mudah jatuh karena jebakan raut wajah manis manusia terganas sedunia. Semakin diperhatikan, tingkah Hozhi semakin terlihat semangat jika sosok mister Juan berdiri di sampingnya. Berarti sahabatku punya saingan terkuat untuk mengejar cinta sang dosen. Saya tidak mau masuk dalam barisan personil menyukai pria kejam seperti mister Juan.

“Mau makan bersama denganku malam ini?” tulisan Hozhi pada selembar kertas. Saya sulit memahami pergerakan tangannya, sehingga cara kami berkomunikasi melalui tulisan semata. menganggukkan kepala pertanda menerima ajakannya.

Kami berdua tinggal serumah karena Hozhi tidak ingin berpisah. Dua gadis cacat berkomunikasi dengan cara berbeda karena kekurangan masing-masing. Hozhi tidak tahu masak sampai-sampai masakannya selalu saja gosong. Bekerja di kantin atas perintah mister Juan dilakoni sebagai tukang cuci piring dan bersih-bersih, tapi kasus masak-memasak mati kutu.

“Lagi baca apa?” pertanyaan Hozhi melalui melalui tulisan…

“Baca penyemangat hidup” sebuah buku kecil menjadi tempat komunikasi seperti biasa.

Sebuah grup komunitas gabungan dari kaum disabilitas. Saya menyukai kata-kata penyemangat mereka melalui banyak tulisan. Seolah satu kekuatan muncul seketika untuk hidup mengejar bintang pada satu titik jalan hidup. Manusia cacat punya cerita manis serta hiasan kisahnya merupakan objek menginspirasi tergantung cara pribadi masing-masing.

Sejak menjadi anggota grup tersebut, saya jadi lebih bisa menghargai tiap objek dan tidak lagi melemparkan banyak pertanyaan kekecewaan terhadap Tuhan. Disabilitas bukanlah sesuatu hal menakutkan pada diri beberapa orang di luar sana. Salah satu cara digunakan oleh sang pencipta untuk menyatakan sebuah kekuatan di dalam kelemahan. Hidup tanpa dua tangan bukanlah sebagai kutuk atas jalanku, melainkan hanya ingin membentuk pola pikirku ketika belajar berlari.

“Hozhi, ayo lari sejauh mungkin” teriakanku di tengah-tengah pertandingan Hozhi.

Gadis bisu sedang berdiri di antara manusia-manusia normal demi menggapai sebuah bintang. Lawan beratnya sekaligus penyebab dia mengalami cedera ikut menyaksikan pertandingan tersebut. Kirey menatap tajam ke arah pertandingan yang masih berlangsung. Rasa takut terbaca jelas di sekitar matanya.

“Hozhi harus menang biar dunia tahu siapa dirimu” teriakanku sekali lagi.

“Kau sahabat manusia cacat di sana?” tidak kusangka Kirey berbicara di dekatku.

“Bukan lagi sahabat melainkan saudara kandung sendiri” menjawab pertanyaannya.

“Suaramu itu mengganggu pertandingan” Kirey.

“Kau hanya takut kalah pada pertandingan final nanti” balasan menyindir.

“Apa maksudmu?” Kirey.

“Kalau memang kau tidak takut, lantas kenapa menghalalkan segala cara demi ambisimu bahkan mengorbankan banyak hal untuk menjadi nomor satu” pernyataan penekanan buatnya.

Akhir cerita adalah Hozhi memenangkan pertandingan tersebut. Pertandingan final nanti merupakan pertemuan kembali antara dirinya dan Kirey. Seperti biasa seluruh penghuni kampus hadir menyaksikan pertandingan tersebut. Saya bisa melihat bagaimana mister Juan memeluk erat dirinya di  hadapan banyak anak mahasiswa. “Wajahmu kenapa lihat adegan di sana?” seperti biasa kakak Moza berdiri di dekatku tiba-tiba.

“Tadi manusia reseh sekarang dosen sedikit reseh” gerutuku.

“Apa kau bilang?” ka’Moza

“Tidak ada siarang ulang” cetusku.

“Oh begitu” Moza.

“Lupakan” balasku.

Merayakan kemenangan Hozhi seperti biasanya dilakukan. Acara traktir-traktiran dilakoni oleh dosen terdingin yang kemudian berubah tanpa sebab menjadi dosen soft boy. Kantin kampus menjadi tempat kami menghabiskan waktu sepanjang hari. Luapan kegembiraan satu sama lain merupakan ciri khas kami. Walaupun dikatakan Hozhi bukanlah salah satu mahasiswa di sini, tetapi tetap saja dirinya merupakan anak didik salah satu dosen paling berpengaruh.

“Sejak dulu sampai sekarang tetap saja jiwa menteri social melekat pada dirimu” entah bagaimana bisa ka’Moza berucap seperti itu terhadap mister Juan.

“Maksudnya kurang saya pahami” mister Juan.

“Suka traktir kiri kanan dan selalu memperhatikan kebutuhan orang berarti apa lagi namanya kalau bukan menteri social?” nada kalimat Moza.

“Mereka berdua memang sudah tidak waras, jadi jangan dengarkan mereka” Nevil berbisik di sampingku.

“Nadav upppssss maksudku mister Juan” ka’Moza selalu saja salah memanggil nama.

“Ka’Moza lagi marah?” tulisan Hozhi menatap ke arahku.

“Sifat ka’Moza memang biasa usil” membalas tulisannya.

“Hava, nama artis drakor yang lagi viral siapa yah?” ka’Moza menghentikan aktifitas makanku dengan sebuah pertanyaan.

“Sangat banyak. Ada BTS, Blackpink, Suzy, Yoona, pokoknya masih banyak”…

“Artis bukan Kpop” Nevil.

“Artis ma Kpop apa bedanya? Sama saja” balasku.

“Cerita drakor tentang anak kembar banyak tidak? Masalahnya saya suka cerita gituan” ka’Moza.

“Cukup banyak” jawabku.

“Btw, demam drakor dimana-mana” Nevil.

“Banyak orang dibuat berhalu ma cerita drakor” gurauanku.

“Termasuk bibiku Moza” sindir Nevil.

“Termasuk dirimu juga keles” ka’Moza.

“Makan ya makan bukan ngegosip kiri kanan” tegur mister Juan.

Singkat cerita, kami akhirnya terdiam sesaat kemudian melanjutkan kembali gurauan satu sama lain. Pertama kalinya buatku menikmati suasana hangat di antara mereka semua beberapa waktu belakangan. Dialog menyebalkan, tetapi juga mengundang tawa. Saya belajar banyak hal dari kehidupan dunia mahasiswa di sekitarku. Tidak lagi merasa tidak layak menjalani keadaan normal seperti orang lain, itulah keadaanku sekarang. Saya berbeda bukan berarti berjalan tanpa mimpi melainkan memiliki sisi unik sama halnya dengah orang di sekitarku.

“Kalau jalan pakai mata” tanpa sadar saya menabrak seseorang di sekitar supermarket.

“Mister Juan kenapa bisa belanja malam begini di sini?” berusaha menahan rasa sakit di bagian kaki kiriku karena kesandung sebuah benda.

“Kenapa? Ada yang salah?” sifat mister Juan terdengar dingin sekali.

“Tsundere berubah jadi soft boy terus kembali lagi ke tsundere” berkata-kata sendiri.

“Jangan lembek baru jatuh begitu saja terlihat menderita kesakitan sekali” sedikitpun rasa kasihan terhadapku tidak pernah dimiliki oleh mister Juan.

“Mister sadar gak kalau salah satu kakiku kesakitan gara-gara keranjang belanjaan mister? Bukannya menolong malahan makin menyerang” rasa geramku.

“Kau bukan putri cinderela, ngerti?” mister Juan.

Kegiatan terkacau adalah makin menggertak bahkan bersikap sangat dingin terhadapku. Saya sulit menebak sosok mister Juan? Terkadang tiba-tiba sangat lembut, tetapi yang sekarang terlihat monster jauh melebihi bayangan semua orang. Terdengar lucu atau patut ditertawakan, gadis sepertiku meraung kesakitan tetapi harus berjalan kaki menuju rumah sakit bersama dirinya.

Tuhan, mana rumah sakitnya sangat jauh. Saya bukan Hozhi seorang pelari yang bisa berlari di segala keadaan tanpa rasa sesak. Rasa-rasanya dosenku ini ingin saya cepat mati kalau diperhatikan. Bajuku basah karena keringat berjalan kaki di malam hari bersama dirinya menuju rumah sakit. “Juan datang kesini dalam rangka apa?” seorang dokter cantik memakai jas putih tersenyum di depan kami.

“Dia kesakitan butuh diperiksa” nada dingin mister Juan terdengar.

Bagaimana kakiku tidak tambah kesakitan kalau disuruh jalan kaki menuju rumah sakit. “Kakimu cukup agresif juga” gurauan dokter cantik itu dalam ruangan.

“Agresif dari hongkong” cetusku sangat kesal.

“Dokter, peralatan apaan ini?” perhatianku beralih ke tempat lain.

“Alat sederhana buat pemeriksaan beberapa penyakit dalam waktu singkat” jawabanya.

Sebuah kotak kecil dilengkapi mesin otomatis untuk pemeriksaan medis. Kotak ini berfungsi sebagai pengukur suhu, tekanan darah, gula darah, asam urat, kolesterol, bahkan beberapa penyakit menular. Terdapat beberapa tombol pada kotak tersebut dengan fungsi berbeda-beda. Hanya dengan memasukkan salah satu jari seperti jari telunjuk ke dalam sebuah ruang kecil dari alat tersebut, kemudian menekan salah satu tombol pemeriksaan yang diinginkan maka hasil akan terbaca melalui layar kecil. Pengambilan dari jari tersebut akan terproses sesuai petunjuk pemeriksaan. Beberapa penyakit menular seperti TBC, HIV, Hepatitis, dan virus Covid dibuat otomatis bahkan lebih disederhanakan dalam satu kotak alat kecil sehingga bisa di bawah kemana-mana.

Terkadang pasien maupun tenaga medis harus menunggu beberapa waktu untuk mengetahui hasil doagnosa umum tentang beberapa penyakit menular sehingga tanpa sadar sudah terjadi kontaminasi antara satu sama lain. Darah akan mengalir ke strip masing-masing kemudian akan terproses dengan akhir cerita hasil akan terbaca melalui layar kecil. Pemeriksaan keseluruhan bisa dilakukan hanya dengan menekan satu tombol otomatis yang dikhususkan untuk menyebarkan tetesan darah ke semua alat strip seluruh penyakit dalam kotak kecil tersebut sehingga data hasilnya akan keluar bersamaan. Di sisi lain, pemeriksaan tekanan darah sendiri bisa dilakukan manusia yaitu menyambungkan sebuah alat tensi pada kotak itu dan lakukan prosedur seperti pada umumnya maka hasil akan keluar juga.

“Ternyata alat medis sekarang makin otomatis rupanya” sedikit bergurau.

“Kakimu terlalu agresif kalau dipikir-pikir” godaan sang dokter.

“Bukan agresif tapi kakiku itu lagi stress mati, dokter” berkata-kata sambil berusaha berjalan keluar dari ruangan dokter cantik tadi.

Saya tidak pernah menyangka dosen tergalak selalu saja dikelilingi banyak wanita-wanita cantik. Contoh kecilnya, sampai detik sekarang ibu Lara semacam cacing kepanasan tidak berhenti mengejar dirinya. Ka’Moza tetap setia tersenyum lebar buat sosok dosen bengis. Lah sekarang baru di ujung gerbang rumah sakit sudah langsung dapat pelukan hangat dari dokter paling cantik sedunia. Belum lagi Hozhi sahabatku sendiri terus saja mengekor di belakang mister Juan tanpa mengenal kata lelah…

Btw, pertanyaanku sekarang adalah kenapa ya kebanyakan dokter diseluruh dunia itu wajahnya selalu berada di urutan nomor satu paling tercantik ataupun tertampan? Lupakan pertanyaanku tadi, entar seluruh dokter kepalanya besar karena makan pujian. “Juan, kapan-kapan makan berdua bareng yah?” dokter cantik berbicara tanpa basa basi.

“Adik kecilmu ternyata imut juga” dokter cantik sedikit mencubit pipiku.

Mister Juan seolah tidak peduli bahkan beranjak pulang begitu saja. Sosok pria dingin yang selalu dikejar oleh banyak gadis-gadis cantik. “Daebak” menggeleng-geleng kepala seorang diri dalam kamar membayangkan wajah manusia terdingin merupakan idola terbaik. Keras, dingin, galak, bengis, kejam, manusia aneh, sulit ditebak menjadi gambaran seorang mister Juan. Beberapa waktu lalu terlihat lembut sekali jauh melebihi kelembutan awan di langit biru maupun kapas putih, tetapi sekarang kembali berubah jadi iblis. Rasa-rasanya ingin memakan hidup-hidup diriku setiap melihatku di kampus seminggu belakangan.

“Mulai lagi menolak tiap lembaran tugasku” menggerutu seorang diri.

“Kenapa menghalangi jalanku?” raut wajah terkejam kembali beraksi.

“Justru saya harusnya balik bertanya, kenapa mister jalan lewat sini sedangkan ruang kantornya itu di arah barat sana?” sekali-sekali saya harus berani melawan.

Saya tidak ma uterus-terusan diperlakukan bodoh seperti dulu. Masa iya sih terjadi perubahan seperti dulu lagi seminggu belakangan? Jangan-jangan jiwa dosenku ini sedang tertukar kemarin? Suka traktir mahasiswanya sendiri, tetapi sekarang jangan harap. Liburan kampus tinggal menghitung hari. Tebakan seluruh mahasiswa benar kalau ternyata akan terjadi masa liburan panjang dibanding tahun kemarin karena sesuatu dan lain hal.

“Hava jangan pulang kampung kalau liburan nanti” Nevil hadir di ruang perpustakaan secara mengejutkan bersama penampilannya seperti biasa.

“Kenapa memang?” tanyaku cuek.

“Cari uang tambahan kuliah” Nevil.

 “Nanti saya pikir lagi” membalas kalimatnya.

“Okey, kalau begitu saya pergi dulu” bayangan Nevil seketika menghilang.

Hal paling menyebalkan adalah mister Juan menyuruh saya merangkum beberapa pernyataan tokoh-tokoh mahasiswa belakangan ini. Menjelajah, mengamati, mengambil kesimpulan, mempelajari system pergerakan maupun pola pikir mereka terlebih ketika satu sisi objek tidak terkendali dipermainkan. Hubungan management keuangan dan kasus pembelajaran seperti ini dimana? Entahlah. Ka’Moza sibuk mengamati pergerakanku sehari sebelum libur kampus akan dimulai. Saya masih bergumul dengan barang semacam ini. Akhir  cerita adalah terjadi dialog antara kami berdua. “Terlalu banyak generasi muda di luar sana merusak masa depan mereka terkadang, makanya beberapa dosen sengaja menarik perhatian mahasiswa untuk satu objek tertentu” ka’Moza.



Bagian 14…


 

Moza…


Ekspektasi dan realita memang selalu berlawanan. Ekspektasiku berkata saya ingin membentuk satu pemikiran maupun karakter generasi muda melalui sebuah tulisan, tetapi di tempat lain realitanya tidak seperti bayangan. Ada banyak kesulitan untuk menggenggam jemari tangan mereka. Memasuki pintu kehidupan generasi muda dibutuhkan beragam cara sewaktu melakukan pendekatan. Sebagian besar kisah mereka hanya mengungkapkan tentang dunia media social bersama pergaulan tak berarti untuk mempermainkan jalan pemikiran.

Ketika berhadapan dengan satu akar permainan kelompok tertentu, maka sisi emosional pun jauh lebih kuat membungkus hingga menghancurkan tiap jalur yang sedang membentuk jalan hidup mereka. “Aksi mahasiswa menentang undang-undang terbaru tentang tenaga kerja” sepintas membaca halaman berita utama pada salah satu aplikasi media social.

Saya sama sekali kurang memahami maksud oknum tertentu dibalik kisah gila semacam ini. Kalau boleh jujur, hidupku benanr-benar membenci kisah cerita generasi muda menghancurkan kehidupan sendiri dengan cara berteriak seperti orang kerasukan di tengah jalan demi meraih sebuah keadilan. Jangan terlalu termakan oleh sebuah film ataupun drama bersama cerita kemenangan seseorang akan diraih ketika menjadi salah satu personil demonstran terbaik. Carilah satu jalur cerita film maupun drama yang bisa membentuk sekaligus mendidik jalan hidupmu bukan menghancurkan.

Tidak salah mencari keadilan di tengah ribuan ketidak-adilan, hanya saja gunakan cara paling tepat. Ada banyak oknum tertawa lebar menyaksikan generasi muda bertindak anarkis di tengah kehidupan bengis demi sebuah keadilan. Saya menyukai generasi muda dengan cerita berbeda terlebih di dunia mahasiswa. Ketika berhadapan pada satu objek terburuk sekalipun tetap terlihat sangat tenang untuk menanggapi ataupun melihat sesuatu di depan…

Tidak mudah dipermainkan oleh banyak pihak menjadi satu nilai plus buatnya. Apa pun kisah cerita terburuk yang sedang mengamuk bagaikan singa kelaparan, jalur kisahnya dibuat berbeda jauh melebihi banyak orang di luar sana. Keras dan tegas merupakan perpaduan terbaik menggambarkan jalannya, tetapi bijak ketika menatap tiap sisi objek yang sedang berjalan di sekitarnya. Berani mengungkapkan kebenaran melalui alur tempat di luar dugaan hingga semua musuh tidak berkutik seketika. Saya menyukai kisah generasi muda dengan karakter tadi dibanding harus berteriak di tengah kerumunan seperti orang kerasukan.

Andaikan ribuan ketidak-adilan tertawa hebat bahkan segala jalan tertutup, gunakan lututmu untuk menangis di hadapan sang pencipta. Kekuatan doa jauh lebih berpengaruh dibanding apapun di dunia ini untuk menghancurkan mereka yang sedang mempermainkan keadaan. Terkadang Tuhan mengizinkan ribuan ketidak-adilan berteriak kuat untuk membentuk satu cerita terbaik dalam kelompok generasi muda. Kekuatanmu hilang ketika dengan mudahnya dua kaki berlari menjadi bagian dari para demonstran bahkan bertindak anarkis seperti manusia tidak beretika.   

Kasus antara buruh, pengusaha, dan para pejabat sudah sering terjadi sejak dulu. Pada dasarnya kelompok buruh harus menyadari beberapa hal termasuk kesulitan-kesulitan tertentu ketika berada pada jalur market. Saya tidak sedang berada di pihak kaum pengusaha, hanya saja ketika peringatan hari buruh jangan selalu berteriak di tengah jalan seperti orang kerasukan dengan banyak tuntutan. Keadaan ketidak-seimbangan pada satu Negara terkadang menjadi kendala utama untuk memenuhi tuntutan parah buruh.

Gunakan peringatan hari buruh dengan sesuatu yang membuatmu atau orang di sekitar tertawa lepas. Hal semacam ini juga kemungkinan membuat kaum pengusaha terjebak bahkan sangat geram hingga semakin melakukan sesuatu hal di luar dugaan. Para investor pun ketakutan berinvestasi akibat objek seperti ini yang pada akhirnya memutuskan…

Dunia pejabat sepertinya menyukai permainan bersama cerita-cerita kacau untuk mempermainkan banyak hal di depan mata. Kelompok pejabat A tergila-gila tentang permasalahan ratusan investor, sedang kelompok pejabat B menjadi malaikat kesiangan dengan tujuan tertentu ataukah entahlah (hanya Tuhan yang tahu). Tidak salah mengejar investor, hanya saja jangan terlalu berlebihan seperti pengemis kelaparan. Lakukan perbaikan demi perbaikan terlebih dahulu di Negara sendiri, masalah investor tentu akan datang dengan sendirinya.

“Hati-hati ma kegilaan menarik investor, bisa jadi beberapa di antara mereka menjual negaramu tanpa sadar” berceloteh sendiri di kamar menonton berita. Kenapa saya berkata begitu? Percaya atau tidak, kelak akan terjadi satu system pemerintahan hanya dengan seorang pemimpin. Zaman sekarang permasalahan mata uang, ekonomi, generasi muda, pemerintahan tiap Negara, dan banyak lagi mulai dikendalikan olehnya tanpa seorangpun menyadari ataupun percaya tentang pernyataan ini. kalaupun negaramu akan menjadi bagiannya, minimal dalam deretan paling akhirlah di antara semua Negara suatu hari kelak…  

“Hufftttt lagi-lagi perselisihan pejabat” membaca sampul halaman depan Koran terbaru. Bisa dikatakan beberapa kelompok sedang menyembunyikan rasa takutnya oleh sesuatu hal. Demi menutup lokasi jalan masuk sampai gedung-gedung tertentu tiba-tiba saja dilahap habis oleh si’jago merah. Sebenarnya kecurigaanku sejak dulu tentang permasalahan gudang senjata lenyap seketika karena kobaran api. Salah satu gedung pusat penyimpanan berkas hancur tanpa sisa dan semua itu menjadi tanda Tanya besar.

“Kau tahu kekacauan bangsa ini?” Juan tiba-tiba saja masuk ke dalam ruanganku.

Liburan semester membuat kampus menjadi terlihat hening. Saya masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan lagi sehingga waktu liburku sedikit tertunda. Kekonyolan Juan adalah berdiri seperti robot pada sudut ruang kerjaku. Tidak seorangpun menyadari sesuatu yang sedang terjadi terhadapku kecuali Juan.

“Bisa jelaskan, kenapa sampai kau menolak hal paling berharga?” melemparkan pertanyaan ke arahku. Salah satu Tokoh wanita tertentu sepertinya percaya kemampuan yang dimiliki oleh sosok manusia semacam diriku, tetapi saya sendiri masih ragu…

Salah seorang tokoh tertentu mungkin sulit mengungkapkan sesuatu hal hingga berakhir dengan objek penyerangan terhadapku. “Kenapa kau penasaran begitu?” balik bertanya.

“Jangan terlalu jual mahal, coba berpikir kalau kau dipihak orang tersebut” Juan.

“Satu hal, Bukan masalah jual mahal tapi…” balasku.

“Tapi apa?” Juan

“Saya juga mengalami situasi sulit kemarin bahkan mereka bungkam sekaligus semakin ingin mempermainkan banyak objek, sekarang saja baru datang seperti pengemis”...

“Sampai detik sekarang mereka tidak pernah terlihat ingin meminta maaf sedikit saja atas semua hal tersulit yang sudah terjadi. Seolah-olah tanpa rasa bersalah seenak gue…” berkata-kata lagi.

“Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan,” Juan.

“Bukan salah tokoh itu sih, hanya saja keadaan membuat saya ingin keluar” jawabku.

“Moza” tegur Juan.

“Saya juga sudah berdoa kalau persiapan sesuai keinginanku tidak ada, berarti itu urusan mereka tentang masalah kekacauan sekaligus kehancuran di Negara tercinta, bodoh amat, urus sendiri.”

“Persiapan?” Juan.

“Orang-orang yang saya inginkan bekerja sama untuk memperbaiki keadaan di Negara ini. Saat mengalami sesuatu hal aneh, saya menyuruh seseorang untuk mempersiapkan semua itu dengan cara tidak biasa dan bisa dikatakan dalam status mengerikan untuk tahap proses baik dari segi kepribadian maupun otaknya.”

“Saya tidak mengerti?” Juan.

“Menyuruh beberapa tokoh-tokoh tertentu berpetualang mencari orang-orang yang akan menjalani tahapan proses tanpa mereka sadar kalau sebenarnya sedang dipersiapkan untuk permasalahan bangsa dan Negara paling rusak di mata dunia” menjelaskan sesuatu…

“Hanya ini satu-satunya cara untuk memperbaiki Negara paling rusak yang bahkan sampai sekarang tidak pernah berkembang sejak kemerdekaan dari segi apa pun. Saya ingin mereka diproses sangat mengerikan demi sebuah kemurnian, kenapa?”…

“Kenapa?” Juan.

“Minimal mereka dapat bertahan bagaimanapun situasi paling rusak dan karena memang negaranya sendiri sangat-sangat kacau dari ribuan segi. Orang pintar memang banyak tapi saya butuh sesuatu yang tidak biasa, kuat, murni, dan merupakan pilihan Tuhan.”

“Maksudmu?” Juan.

“Mata bisa menipu bagaimanapun tenang atau sempurnanya kepribadian bahkan kejeniusan seseorang. Makanya, saya menyuruh pendeta berpetualang mencari pilihan Tuhan kemudian melakukan proses luar biasa baik dari segi kepribadian maupun kualitas pembentukan otak mereka, biar saya tidak salah memakai orang suatu hari kelak”...

“Terlihat cukup berani juga tanpa melihat apa pun di depan…” Juan.

“Kalaupun persiapan itu ada, mereka yang diproses tidak akan rugi sekalipun bangasa dan Negara ini menolak mentah-mentah karena di tuduh ingin menyebarkan satu ajaran agama lain…”

“Ucapan seperti…?” Juan.

“Negara ini terlalu sibuk fanatic tentang agamanya, sedangkan satu-satunya jalan untuk melakukan perbaikan hanya dengan cara seperti tadi yaitu orang-orang pilihan Tuhan kemudian diproses sedemikian rupa. Tapi, terserah sih bangsa ini maunya apa, bodoh amat.”

“Berarti kau ingin?” Juan

“Banyak Negara di luar sana tentu akan mencari-mencari mereka kalau bangsa ini menolak. Pilihan Tuhan tidak mungkin salah dan yang rugi bukan saya atau mereka tapi bangsa ini.” Sepanjang waktu berpikir akan beberapa situasi membelit di luar sana, tentu banyak negara sedang mencari sosok dengan tingkat skil berbeda untuk menata ataupun memulihkan sesuatu yang dikatakan rusak.

“Rencanamu selanjutnya?” Juan.

“Beberapa dari mereka kemungkinan ikut saya ke Negara yang kuinginkan, sisanya berpencar ke belahan dunia kelak kalau penolakan terus terjadi. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan kalau kami bisa mengubah banyak hal di belahan dunia di luar sana. Jalan pasti terbuka. Semua orang pasti tertawa atau menganggap halusinasi, masa bodoh” menegaskan kembali. Kalau dipikir lagi, mimpiku tidak bercerita ingin berada pada satu jalur struktur kepemerintahan melainkan tempat lain yang ingin kukejar bagaimanapun caranya.

Andaikan Negara ini menerima persyaratan dari saya pribadi berarti resiko apa pun siap kujalani. Di tempat lain saya juga ingin memiliki selembar ijasah pendidikan luar negeri dengan kata lain proses perbaikan Negara akan kulakukan di dua tempat tergantung situasi. Teknologi sekarang sudah canggih, jadi bisa dilakukan online. Selain itu mimpiku sebagai penulis harus tetap berjalan di luar sana…

“Kalau persiapan sesuai keinginanmu tidak ada, berarti?” Juan.

“Persiapan untuk perbaikan Negara ini tidak ada? berarti saya lepas total. Satu hal yang ingin kulakukan adalah menggapai mimpiku di Negara besar di luar sana, tidak ada yang mustahil bagi Tuhan” menjawabnya.

“Tuhan pasti bisa membawaku keluar meninggalkan bangsa dan Negara ini, kalau perlu saya ingin pindah kewarganegaraan saja sekalipun semua orang akan melemparkan istilah-istilah penghianatan ke arahku. Saya kan sudah bebas dan tidak bisa terikat karena persiapan itu tidak pernah ada. Tenggelam saja di laut kalau baru sekarang mau persiapkan” melanjutkan kembali kalimatku.

Percakapan dialog mengerikan akhirnya selesai juga. Terserah andaikan beberapa tokoh ingin menyimpulkan bahkan memberi istilah sandiwara sastra atau apalah. Ada hal terlalu sulit untuk diterka, menggali, mengerti, mengejar, dan beberapa rumusan kata-kata dibalik sebuah perjalanan. “Adu perutku mules amat” pagi-pagi buta terbangun dari tidur gara-gara kebelet masuk kamar mandi.

“Saya habis makan apa semalam?” mencoba mengingat kembali kegiatan makanku.

Sudah beberapa kali keluar masuk WC karena perut mules. “Dosamu kelewat heboh karena terus saja mengejek anak kembar” pesan WA Nadav.

“Makanya jangan terlalu rakus kalau makan” Juan juga ikutan kirim pesan.

Dari mana mereka berdua tahu kalau saya buang-bung air terus? Ada yang tidak beres ini? “Bilang saja ingin balas dendam karena mengadu ma orang tua kalian kalau dua anak kembarnya menyukai gadis belasan tahun” balasan chat buat mereka berdua. Terjadi pertengkaran hebat antara kami bertiga sampai saya sendiri lupa perut mulesku.

“Btw, sudah baca berita belum?” chat Nadav.

“Berita apaan?” balasku.

“Kemenangan salah satu partai di sebuah Negara besar dalam pemilu” Nadav.

“Kau kan terkadang kepo politik” lanjut pesan chat Nadav.

Bergegas tanganku menghentikan aktifitas ejek mengejek melalui chatingan. Rasa penasaran seketika muncul untuk mencari tahu sesuatu informasi terbaru di luar sana. “Masa iya sih bisa menang? Rata-rata personilnya hebat betul menikmati perannya sebagai iblis berwajah malaikat” menggeleng-geleng kepala depan computer.

Demi sebuah kursi menghalalkan segala cara biar menang, hal seperti ini memang biasa terjadi juga sih. Kasus di Negara besar di luar sana pertama kalinya benar-benar melewati batas. Kisah pandemic kemarin hanyalah rekayasa belaka dibalik permainan politik terkejam sebuah partai. Seperti diketahui sosok A yang masih menjabat periode pertama dikenal dengan tutur kata terkacau juga membuat semua orang ilfil sekaligus stress. Kelemahannya inilah dimanfaatkan oleh suatu kelompok untuk memanipulasi sesuatu hal.

Jauh-jauh hari sebelumnya kelompok tersebut sudah merencanakan sesuatu dengan sangat matang. Sengaja menambahkan bumbu-bumbu penyedap di belakang sehingga terjadi perselisihan antara si’A dan beberapa pemimpin Negara lain. Hal lebih terlihat adalah Negara C sangat muak akan pernyataan aturan presiden A. Menjadi Tanda Tanya besar, kenapa menjelang pemilu di Negara tersebut tiba-tiba saja terjadi satu wabah penyakit yang melanda seluruh dunia?

Coba pelajari kilas balik beberapa kejadian sebelumnya. Awal kemenangan si’A beberapa tahun silam menjadi sejarah terbaru di sana. Secara manusia, lawan politiknya merupakan idola semua orang karena tingkat kejeniusan bersama sikap ketika berhadapan dengan semua orang diperkirakan akan memenangkan pemilu. Di luar dugaan terjadi kesalahan prediksi sampai menyebutkan kecurangan terbesar saat itu. Saya menonton sebuah video bagaimana ribuan orang berkumpul memanjatkan doa bagi si’A hingga sebuah mujizat terjadi seketika.

Awalnya saya juga sangat tidak menyukai karakter si’A, tetapi karena video tersebut seolah mataku terbuka tentang sebuah pintu. Tentu perkumpulan seperti itu berusaha dihindari oleh partai tersebut karena kekuatan doa dalam jumlah banyak memberi dampak sangat besar. Hal kedua adalah terlihat jelas pendukung si’A sangat banyak bahkan hampir 90% mendukung dirinya kembali menjadi presiden pada periode kedua menjelang pandemic. Akun IG miliknya memperlihatkan bagaimana pendukungnya sangat banyak di setiap kampanye.

Kejadian seperti inilah menjadi alasan utama penyusunan strategi. Lebih kacau lagi adalah si’A dan banyak Negara selalu saja bertikai kiri kanan, menjadi tanda Tanya? Kelompok tersebut sengaja memainkan permainan halus di belakang sehingga seolah-olah si’A selalu saja mencari masalah terhadap siapapun. Jebakan demi jebakan dibuat, kenyataan memang kalau si’A memiliki karakter emosional yang dengan mudah dipermainkan. Kemungkinan besar terjadi adu domba antara satu sama lain…

Andaikan wabah penyakit tersebut berada di Negara mereka, tentu kecurigaan public dapat terbaca seketika. Kesimpulannya, sengaja memulai permainan jauh dari benua mereka. Harus saya akui memang kalau Negara C memiliki ambisius tinggi untuk menjadi nomor satu dan mengalahkan Negara-negara raksasa terlebih dalam system perdagangan. Di lain tempat, emosional si’A sengaja dipancing sampai selalu saja membuat pernyataan-pernyataan kacau. Singkat cerita adalah terjadilah pandemic menjelang pemilu. Logikanya sangat tidak masuk akal buat saya kenapa tiba-tiba saja…

Kemungkinan besar kalelawar yang dikonsumsi oleh sepasang suami istri ternyata telah disuntikkan virus, kemudian dibuatlah sebuah jalan cerita. Andaikan rencana ini gagal, alternative kedua adanya peledakan tiba-tiba di sebuah laboratorium Negara C. Sisi ambisus tersebut menjadi jerat bagi sumber pandemic dimanfaatkan oleh sekelompok oknum. Semua orang menarik kesimpulan sana sini tentang virus tersebut. Virus tersebut diciptakan untuk menghindari perkumpulan dalam bentuk apa pun. Berdoa seperti pada video tersebut sehingga tidak akan mungkin dilakukan lagi terlebih kampanye besar-besaran.

Salah satu orang terkaya dunia pernah berkata, akan terjadi sebuah wabah penyakit sars di seluruh dunia. Dia pasti menyadari sesuatu hal sampai membuat pernyataan tersebut, hanya saja dianggap angin lalu pada waktu itu. Secara manusia, fakultas medis terbaik di seluruh dunia ada di Negara si’A, lantas kenapa tiba-tiba banyak korban? Berpikir realistis saja tentang perkembangan obat-obatan dan teknologi kedokteran termaju bahkan sulit disaingi. Makanan mereka gizinya sangat lengkap. System imun rakyat di Negara si’A bukan dibawah standar melainkan ada perbedaan dibanding yang lain. Lantas kenapa tiba-tiba menjadi donator penyumbang korban pandemic terbesar di dunia?

Tidak masuk akal buat saya hal semacam ini. kemungkinan besar kelompok iblis berwajah malaikat sengaja memanipulasi keadaan sampai korban berjatuhan sana-sini. Bisa saja melipat gandakan virus sampai overdosis. Masker N95 dengan begitu mudah dibagikan, jauh berbeda di beberapa Negara termasuk tempat saya lagi bernafas sekarang. Protokol kesehatan pun hampir keseluruhan masyarakatnya mematuhi kalau diperhatikan. Yang saya tangkap adalah si’A sengaja dijebak sehingga gagal dalam penanganan wabah hasil ciptaan mereka.

Tentu seluruh rakyat akan menjadi musuh terbesar si’A oleh karena pernyataan-pernyataan ngelantur darinya. Kenapa tiba-tiba saja rasis antara kulit hitam dan putih terjadi? Negara-negara lain juga jangan asal berbicara sampai semakin menimbulkan masalah. Semua sudah diatur demi sebuah kursi kemenangan. Terserah mau percaya pernyataan ini atau tidak. Lebih kacau lagi adalah si’A bersama istrinya sengaja dijebak sehingga ikut menjadi korban wabah penyakit tersebut. Pembunuhan halus dengan tangan bersih tetapi menusuk…

Permasalahan lain lagi yaitu pangeran Charles, pangeran William, dan juga PM Boris dinyatakan positif virus. Sangat mengganjal kalau seseorang tersadar sesuatu. Negara Inggris memang memegang beberapa Negara di dunia dan bisa saja menjadi permasalahan ke depan. Entah dengan kelompok sama atau kelompok lain yang sedang memanfaatkan situasi pandemic untuk melakukan pembunuhan halus terhadap anggota kerajaan.

Di kerajaan lain juga tidak luput dari intaian mereka. Salah satu anggotanya menjadi korban sampai dinyatakan meninggal. Secara otomatis, sifat virus ini mematikan dan penyebarannya sangat cepat di luar dugaan. Berarti penularan ke anggota kerajaan lain bisa tersebar karena kontak langsung. Raja dan ratu bisa meninggal dengan begitu mudah…

Pelajaran buat banyak Negara tentang situasi pandemic agar mengerti sesuatu. Bagi Negara C jangan kelewat ambisius karena berakibat fatal. Tidak salah memang satu keinginan untuk menjadi nomor satu, tetapi bijaklah melihat situasi dan jangan kelewat overdosis. Negara-negara lain pun berpikirlah lebih dahulu untuk menyatakan sesuatu karena belum tentu sesuatu yang di depan mata kalian itu sepenuhnya benar. Bisa saja kelompok tertentu di belakang bermain-main sampai menciptakan adu domba atau perang besar.

Si’A juga harus belajar agar tidak terpancing keadaan. Belajar mengendalikan diri untuk tidak berucap sembarang saja terlebih memakai sisi emosional tidak jelas pada tiap deretan peristiwa maupun keadaan. Tidak perlu kecewa dan bertanya kenapa bisa kalah dalam pemilu. Tuhan punya maksud, intinya mengucap syukurlah dalam segala hal sekalipun hal seperti ini terlalu menyakitkan bahkan lebih dari kata tersebut. Saya pun selalu diperhadapkan hal-hal terpahit, disini tuntutan memilih antara tetap melihat Tuhan atau melawan Tuhan?

Bagi kelompok partai pemenang pemilu kalau seandainya dugaanku betul, sampai berapa lama sih kalian menikmati masa jabatan sampai sekejam itu? Di luar sana banyak orang menangis, mengalami PHK besar-besaran, terkucilkan, nyawa berhamburan begitu saja seperti barang rongsokan, tenaga medis bunuh diri karena tidak ingin menularkan penyakitnya, dimana hati nuraninya kalian? Orang bunuh diri tidak ada sejarah masuk surga berarti 100% di neraka, apa kalian bisa bertanggung jawab terhadap kehidupan mereka?

Kasihan sekali kehidupan kalian, hanya demi sebuah kursi segala cara dihalalkan. Semoga saja tuduhanku terhadap kelompok partai ini salah, entah kenapa hatiku selalu saja berteriak kalau mereka yang bermain-main di belakang. Semua orang memberitakan wakil presiden berasal dari benua apalah terdengar membosankan di telingaku. Sekalipun berasal dari kayangan, di mataku iblis terkejam yang pernah ada. Di luar kulit sudah hitam, sekarang di dalam hatinya lebih hitam lagi. ingin berkata saya rasis? Silahkan…

Salah satu mantan presiden di sana dan berasal dari partai  dan warna kulit sama sebenarnya memiliki sebuah organisasi penyesatan di Negara tersebut. Kenyataannya adalah dia ingin disembah sebagai Tuhan sekaligus diagung-agungkan jauh melebihi sang pencipta. Karakter sebagai pemimpin bijaksana, baik, dewasa, bersahaja, berkharisma, dan hal-hal terbaik berhasil dilakoni, tetapi dibalik semua itu sifat iblis lebih kuat bermain dalam dirinya. Percaya atau tidak terserah. Pesanku, jangan selalu ditipu oleh penampilan seseorang dari luar karena bisa saja berbanding terbalik jauh melebihi pemikiran semua orang. Selamat buat presiden terbaru di Negara sana, semoga kau puas dengan semua yang didapat olehmu. Umur sudah bau tanah, tapi makin menjijikkan. Sadis…

“Semoga saya yang salah menuduh dan semua penjelasanku tadi tidak betul” tertawa sinis seorang diri menatap computer di atas mejaku.

“Pada hal saya berencana mengejar mimpi menjadi penulis sekaligus kuliah di Negara sana, tapi putus sudah” menarik nafas panjang.

Perasaanku berkata kalau pihak Disney memberi banyak sinyal akan menerima tulisanku bahkan difilmkan tidak lama lagi. Di lain tempat beberapa kampus terkenal di sana juga sudah memberi sinyal menyetujui saya melanjutkan pendidikan di tempat mereka, tinggal memilih universitas mana? Semua itu sepertinya harus berakhir bahkan tidak akan pernah terjadi karena masalah politik. Kenapa saya berkata begitu? Saya hanya menghindari banyak tokoh-tokoh tertentu dengan peranan iblis berwajah malaikat yang kemudian mencoba bermain-main melakukan sebuah penjebakan terhadapku. Mungkin banyak orang akan menertawakan saya karena terlalu berhalusinasi tentang ucapanku barusan mengenai sinyal dari produksi perfilman ataupun kampus, terserah ejekan kalian…

Saya mengalami sesuatu hal, jadi untuk sementara kemungkinan besar semua itu masih tertahan sampai waktu Tuhan tiba. Hanya saja masalah politik di sana membuatku beralih tempat lain. Rencana lanjutanku adalah mengejar mimpi di sebuah Negara tempat dimana sosok menginspirasi buatku tinggal di sana. Idolaku itu sudah lama meninggal, tapi saya selalu menyukai kehidupannya. Kalau Tuhan izinkan berarti saya akan kuliah di Inggris pada salah satu universitas sekaligus menjalani kehidupan sebagai penulis di sana. Kemungkinan besar juga tulisanku beberapa diantaranya ingin saya kirim ke Korsel andaikata dalam bentuk drama, sedang sisanya keseluruhan di Negara tempatku kuliah nanti. Bisa dikatakan tulisanku jauh melebihi kata kritis, jadi kemungkinan besar akan mengalami pro dan kontra di luar sana. Tiap penulis memiliki perbedaan masing-masing sewaktu bersuara tentang sesuatu hal, selain itu juga terdapat kelebihan maupun kekurangannya…

Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan sekalipun semua orang tertawa mendengar pernyataanku. Kalau Tuhan yang membuka pintu tidak ada satupun dapat menutup, kalau Tuhan yang meninggikan maka tidak seorangpun dapat merendahkan. Saya mau mengambil jurusan teknologi karena ingin mencari ataupun merakit semua alat yang terkadang kuselipkan dalam tulisanku. Terdengar gila memang, tapi itulah mimpi selalu saja bercerita tentang sesuatu hal bahkan rasanya terlalu sulit digenggam dan pada akhirnya bisa digenggam. “Saya di depan rumah ka’Moza sekarang” nada kalimat Hava melalui telepon pagi-pagi begini…

“Sejak kapan kau berdiri depan rumahku?” pertanyaan pertama setelah membuka pintu.

“Sejak dari tadi” jawaban gadis tersebut.

“Kenapa kau bisa tahu alamatku?”

“Nevil” Hava.

“Saya ingin balas budi terhadap ka’Moza sebagai ucapan terima kasih” Hava.

“Balas budi?” keningku berkerut tidak mengerti.

“Membantu saya menyelesaikan tugas dari dosen iblis tentang masalah kehidupan mahasiswa” Hava. Kupikir masalahnya dimana, ternyata karena peristiwa beberapa waktu lalu. Acara traktir-traktiran mulai dijalankan olehnya di sepanjang jalan gang kecil. Bercerita satu sama lain tentang sesuatu objek yang dapat membuat kami berdua tertawa lebar. Pertama kali melihat sosok Hava tertawa lepas tanpa beban. Saya menyukai tipekal anak belasan tahun semacam Hava dan Hozhi. Mereka berdua memiliki jalan cerita berbeda bersama keunikan masing-masing di dalamnya.



Bagian 15…

 

 

Acara traktir-traktiran sedang dilakoni oleh Hava. Liburan kampus dipergunakan olehnya buat mendapat penghasilan tambahan. Pesanan gambar lukisan online ternyata banyak peminatnya sehingga mereka banjir orderan. Nevil memang jenius dalam hal memasarkan serta menemukan ide-ide terbaru demi kepuasan konsumen. “Kakak Moza makan sepuasnya, nanti Hava yang bayarin” Hava terus saja mengajak Moza berkeliling kota menikmati beberapa tempat penjual makanan.

“Bisa-bisa perutku mules lagi kalau begini” gerutu Moza.

“Obat diare banyak dijual di apotik kalau mules” Hava.

“Bukannya itu Hozhi?” Moza menunjuk seseorang.

“Lagi makan bareng mister Juan” Hava.

Hozhi bersama sosok pria tidak asing lagi sedang menikmati suasana sunset tidak jauh dari tempat mereka berdua. “Itu bukan Juan tapi kembarannya” Moza bergumam seorang diri dalam hati.

“Mister Juan benar-benar jatuh cinta habis ma Hozhi kalau diperhatikan” Hava.

“Dodol garut amat, maunya saja dikelabui anak kembar” Cetus Moza sangat pelan.

“Ka’Moza seperti bicara sendiri” Hava.

“Hava pernah pacaran tidak?” Moza mengalihkan perhatian.

“Cowok mana sih yang naksir ma cewek cacat tanpa dua tangan?” Hava.

“Tuhan, jelas-jelas dua cowok keren lagi memperebutkan ni manusia tapi ga sadar” gerutu Moza kembali dalam hati.

“Kalau seandainya Hava ditaksir ma dua cowok dengan kepribadian berbeda” Moza.

“Maksud kalimat kakak?” Hava.

“Cowok A dengan kepribadian sangat galak, dingin, judes, jenius, sadis habis, tidak pernah senyum. Di tempat lain cowok B memiliki sikap ceriah, baik hati, jenius, tidak pernah marah, murah senyum. Lantas Hava pilih mana?” Moza menatap serius bola mata Hava.

“Macam cowok A tadi mirip karakter mister Juan?” kata-kata polos Hava.

“Memangnya satu-satunya karakter A tadi hanya dimiliki dosen gilamu?” Moza.

“Betul juga” balas Hava.

“Ayo jawab siapa yang akan Hava pilih?” Moza.

“Tidak tahu” jawaban menohok Hava.

“Lupakan, ayo pulang!” rasa kesal Moza.

“Bisa-bisa perang dunia tiga kalau begini ceritanya. Juan dan keponakanku Nevil menyukai gadis yang sama, lebih parah lagi Hava terlihat polos atau apa?” suara hati Moza masih berteriak di dalam…

Gara-gara makan terlalu banyak perut mules Moza kumat kembali di rumah. Keluar masuk kamar mandi terulang lagi malam-malam. “Makanya jangan melemparkan pertanyaan aneh terhadap Hava, rasakan akibatnya” pesan Juan terpampang jelas melalui salah satu akunnya di media social.

“Dari mana manusia bengis ini tahu?” gerutu Moza seorang diri.

“Kau ternyata penguntit terganas” balas pesan Moza.

“Terserah saya dong. Btw, coba buka emailmu sekarang!” tulisan pesan Juan.

“Memang kenapa?” Moza.

“Kau kan suka kepo masalah luar atau berita-berita terbaru” Juan.

“Dua anak kembar memiliki ciri khas sama sekarang yah” balas Moza.

Tangan Moza mencoba membuka sebuah file berisi tentang kesaksian hidup seseorang. Dialog chating bersama Juan dihentikan seketika. Kisah tersebut masih berhubungan dengan peristiwa pandemic kemarin. Siapa pernah menduga sesuatu hal tiba-tiba saja mengguncang dunia…


Dear…

Si’Pembaca…


Sebut saja namaku NN, disini saya ingin bersaksi sedikit mengenai kisahku kemarin. Saya lulusan kesehatan di Negara ini yang sedang mencari pekerjaan dua tahun sebelum pandemic virus mengguncang dunia.  Jujur, saya sangat kesulitan mencari rumah sakit yang mau menerimaku untuk bekerja di tempat mereka. Jatuh di beberapa tempat membuat saya ditolak. IPK ijasahku bukannya rendah malahan sangat tinggi, tetapi itu saja tidak cukup. Beberapa temanku menyebutku sebagai mahasiswi terjenius di kampus sekalipun saya memiliki beberapa kelemahan sewaktu masih praktek kemarin. Butuh waktu memang buatku untuk menjalani satu kata paling tepat antara saya dan pasien. Seiring berjalannya waktu saya sudah mulai bisa menyesuaikan tempat dan kondisi. Objek tadi tidak cukup untuk membuatku dengan mudah diterima bekerja di rumah sakit.

Kembali ke kisahku sebelumnya, dimana saya memutuskan berada di sebuah kota kecil demi mengadu nasib jauh dari tempat asalku menjadi keputusan terbaik. Singkat cerita, surat lamaran kerjaku pun menyebar ke semua rumah sakit. 1% keberuntungan dan 99% orang dalam kalau diterima kerja di sebuah RS manapun di Negara ini. Tidak ada kenalan berarti jangan mimpi bisa mendapat pekerjaan. Sangat mengenaskan memang kehidupanku…

Salah satu anggota keluargaku akhirnya punya kenalan juga pada salah satu RS di kota kecil tersebut yang mungkin bisa merekrut saya sebagai pegawai. Secara kebetulan, orang itu sangat dekat dengan direktur RS. Saya akhirnya kembali memasukkan lamaran untuk kedua kalinya di RS tersebut. Beberapa minggu panggilan tes belum ada, sampai akhirnya saya memutuskan tiba-tiba kembali ke kota asal dengan alasan tertentu.

Setelah di kota asal saya kembali, panggilan tes kerja pun baru datang di kota kecil tersebut. Saya juga mendapat panggilan kerja di sebuah perusahaan swasta di sana. Maksudku ingin mengisi waktu luang setidaknya bekerja apapun untuk sementara waktu yang penting halal. Singkat cerita, karena masalah biaya akhirnya saya memutuskan tidak kembali ke sana. Magang pada salah satu rumah sakit kecil demi mendapat surat pengalaman kerja harus kulakukan.

Magang kerja tidak gratis melainkan harus dibayar demi selembar kertas pengalaman. Saya berusaha bekerja segiat mungkin agar bisa diterima di RS tersebut setelah magang. Sekalipun gaji kecil tidak menjadi masalah karena begitu sulitnya lulusan tenaga medis mendapat pekerjaan. Biaya sekolah sangat mahal, tetapi sulit bekerja dan kalaupun diterima kerja gajipun sangat tidak sesuai.

Entah bagaimana cerita, terkadang tiba-tiba saja seolah Tuhan mengingatkan saya pada sebuah peristiwa wabah penyakit sekian tahun lalu di sebuah Negara bahkan memakan banyak korban. Sama sekali pada saat itu, tidak terlintas apa-apa tentang kejadian ke depan sehingga menganggap semuanya angin lalu.

Sepertinya Tuhan sudah memberi beberapa tanda seakan tidak menghendaki saya bekerja di RS. Secara manusia, saya sudah dipastikan lulus kerja di RS tempat magang karena pada saat itu perjuanganku luar biasa. Melakukan semua pekerjaan walaupun dikatakan mendapat kata-kata makian dari beberapa orang. Jujur, kehidupan seperti fanpo alias pembantu rumah tangga bukan lagi tenaga medis tapi tetap berusaha dijalani.

Handphoneku rusak total sewaktu membersihkan alat pel atau kamar mandi pasien, pada hal saat itu uangku tidak ada buat beli baru. Ujian tes selalu saja diundur oleh pihak RS, entah ingin memakai gratis tenaga atau hal lain. Menjadi asisten salah satu dokter spesialis dengan akhir cerita tragis terkadang dipermalukan depan orang. Terdengar menyedihkan kalau dipikir-pikir…

Hal paling tragis lagi adalah terjadi satu kasus terhadap pasien sekalipun bukan saya yang berperan, tetapi namaku pun terseret di dalam. Ketua ruangan di tempatku tidak ingin bertanggung jawab bersama, malahan berusaha melemparkan semuanya terhadap saya seolah semuanya karena kesalahanku. Pedis sekali hidupku karena tekanan demi tekanan bersamaan muncul. Berhenti sebagai anak magang dan asisten dokter merupakan keputusan terbaik.

Saya seolah marah terhadap Tuhan sampai melemparkan banyak pertanyaan kenapa. Secara manusia, hatiku tidak bisa terima kenyataan terkacau terus saja datang. Kembali ke kota kecil tadi dan kemudian mencoba menyebarkan lagi surat lamaran ke semua RS. Kenalan anggota keluargaku sudah tidak mau menolong karena kesempatan kemarin sudah ditolak olehku. “Tuhan, pekerjaan apa saja, kumohon kirimkan buatku yang penting ada” desis suara hatiku setiap saat.

Saya masih menganggur setengah tahun setelah berada di kota kecil tersebut. Sampai akhirnya Tuhan mengirimkan sebuah pekerjaan kecil walaupun tidak sesuai jurusanku. Itupun karena ada kenalan di dalam, bahkan saya masih harus menunggu beberapa waktu lagi dan hampir saja ditolak habis-habisan. Satu hal, entah mengapa pikiranku selalu berkecamuk karena tiba-tiba saja kasus virus di sebuah Negara sampai memakan banyak korban di seluruh dunia diingatkan terus-terusan secara tiba-tiba. Hampir keseringan muncul begitu saja di hatiku terlebih setelah saya mendapat pekerjaan.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya wabah virus pandemic yang sering muncul tiba-tiba dalam pikiranku terjadi. Saya baru menyadari kalau ternyata Tuhan ingin memberi tahu bahwa virus tersebut akan muncul kembali dari sumber Negara sama seperti dulu bahkan lebih parah hingga memakan banyak korban. Ternyata, dibalik penolakan demi penolakan RS ada maksud Tuhan.

Percuma juga memberi tahu orang andaikan menyadari cepat tentang pandemic tersebut akan terulang kembali karena mereka tidak akan percaya. Tuhan tidak mengizinkan saya bekerja di RS demi menghindari beberapa hal. Satu lagi, mereka yang berusaha menghancurkan sekaligus menyerang saya sewaktu magang di kota tempat asalku sudah mendapat balasan. Intinya, saya tidak berdoa jelek tentang mereka. Tuhan mendengar jerit hatiku dan menampung tetesan air mata yang sedang berteriak pada saat itu.

Saya ingin mengungkapkan sebuah rahasia yang sudah lama terpendam bertahun-tahun lamanya. Mereka dengan kondisi sering menyerang kehidupanku entah dalam berbagai bentuk selalu mendapat balasan tidak terduga. Hukum tabur tuai sering terjadi. Tertimpa banyak masalah, penyakit, banyak hutang, bahkan meninggal, dan hal-hal lain terjadi seiring berjalannya waktu. Sekali lagi, intinya saya tidak berdoa jelek ataupun mengucapkan kutuk terhadap mereka. Rasa sakitku terpendam jauh di dalam dan terkadang harus menangis keras di suatu tempat tak terlihat. Kemungkinan saat itulah air mataku tertampung hingga sesuatu hal terjadi. Btw, pernyataanku barusan lupakan saja karena tidak begitu penting…

Tuhan juga masih memelihara kehidupanku sekalipun di tengah-tengah situasi pandemi. Keadaan menyedihkan memang sering terjadi, tetapi tergantung pribadi kembali cara menanggapi hal tersebut. Tentu situasi PHK, kelaparan, ketakutan, kemiskinan, bangkrut, situasi ekonomi terperosok menjadikan kehidupan sulit menerima. Percaya saja kalau ternyata dibalik peristiwa tersebut terdapat sesuatu hal terbaik diberikan buatmu pribadi.

 

“Kesaksian seseorang dari sekian banyak orang yang juga sedang bercerita tentang pandemic” Moza menutup akun emailnya seketika.

“Andaikan tuduhanku benar terhadap partai itu, lantas semuanya diam membungkam seribu bahasa berarti kekuatan hukum dikendalikan oleh mereka jauh melebihi bayangan pikiran sejauh ini” Moza berkata-kata sendiri sekitar sudut ruang kamar.

“Butuh sebuah strategi menyerang personil partai iblis tersebut satu persatu” Moza.

“Tentu semua bukti berusaha dilenyapkan oleh mereka dalam bentuk apa pun” sekali lagi dia berkata-kata sendiri. Secara logika, kalelawar merupakan obat sesak nafas di beberapa tempat, lantas tiba-tiba menjadi sumber pandemic? Sangat tidak masuk akal kalau dipelajari kembali. Semoga saja mata beberapa pemimpin dunia yang berada di samping partai tersebut tidak pernah salah…

Semua butuh waktu mengungkapkan kebenaran sesungguhnya. “Silahkan nikmati kemenangan kalian dan tertawalah sepuas mungkin sampai hari itu…” tawa sinis seorang Moza menatap setiap personil partai iblis berwajah malaikat.

Sebuah cermin terpampang jelas di depan sedang berjuang memakai bahasanya sendiri. Bentuk rupa terungkap seketika memberi penjelasan satu deretan cerita. Tersadar satu objek ternyata sedang bersembunyi pada sudut ruang terkecil. Ketika salah satu tangan hendak menemukan keberadaannya, di luar dugaan benda terkecil terbaca jelas melalui cermin tadi. Deretan peristiwa berteriak kuat oleh karena luapan emosional, ketakutan, jutaan tetesan air mata, luka, rasa sakit mengalir begitu saja tanpa henti dibalik benda kecil tadi. Nyawa orang banyak pergi begitu saja seperti permainan hanya demi meraih sesuatu hal yang tidak berarti.

“Wajar saja hampir keseluruhan pendeta tidak ingin berpihak terhadap kelompok partai tadi” Moza masih mencoba merenung sesuatu. Dapat dikatakan banyak pendeta jauh lebih memilih si’A dibanding personil partai iblis. Kenapa? Karena partai si’A terang-terangan kalau tidak menyukai sesuatu, sangat jauh berbeda dengan partai iblis yang selalu berperan sebagai malaikat depan public tetapi menghanyutkan di belakang layar.

Pilihan pendeta jarang salah dikarenakan mereka benar-benar berdoa meminta pemimpin terbaik dari Tuhan. Secara manusia si’A memiliki ucapan paling menyebalkan, namun kemungkinan besar ada sesuatu hal sampai kaum pendeta di Negara sana kebanyakan ingin tetap memperjuangakan apa yang dianggap layak melalui sebuah doa terbaik mereka. Sepertinya terjadi kecurangan suara pemilu sampai partai tersebut berhasil menang dibanding si’A. logikanya, kenapa sampai ingin melakukan perencanaan pembunuhan terhadap si’A dan istrinya dengan sengaja menularkan virus sehingga terlihat bukan pembunuhan? Ketakutan terbesar adalah kalah dalam pemilu setelah perjuangan menghalalkan segala cara sejauh ini dilakukan oleh mereka. Tentu masalah beres kalau si’A bersama istri mati seketika.

“Saya tidak percaya kemenangan partai iblis di sana bukan karena kecurangan suara” gerutu Moza. Perubahan beberapa system pemilu pasti terjadi dikarenakan kasus penularan pandemic virus.

“Masalah lain lagi tapi bukan kasus pemilu melainkan tentang perselisihan terbesar para pemimpin dunia adalah persaingan ingin memperlihatkan siapa paling terkuat” Moza menarik nafas panjang.

Kesombongan banyak pemimpin dunia adalah selalu saja berjuang mengejar barisan dengan kekuatan militer terbaik. Di balik semua itu hanya bercerita tentang kesombongan, ketamakan, keegoisan, keserakahan, obsesi terkacau sampai mengorbankan banyak orang di bawah. Kasus seperti inilah menjadi salah satu kekuatan munculnya masalah-masalah besar. Penjebakan pun dimainkan oleh kelompok tertentu demi sebuah kursi. Tidak salah menciptakan satu benteng pertahanan Negara, akan tetapi jangan keterlaluan. Banyak orang-orang tidak mengerti apa-apa menjadi korban seketika. The Bible book memang menubuatkan akan terjadi perang dunia ketiga suatu hari nanti. Salah satu kitab suci yang diakui keilahiannya benar-benar ya dan amin.

“Minimal para pemimpin dunia kalau mau perang dunia ketiga, setidaknya saya mati dulu baru terjadi. Kenapa? Kepalaku sakit melihat perang dimana-mana” Moza menggerutu seorang diri di kamar.

“Kalian para pemimpin dunia, belajarlah untuk tidak serakah ataupun egois ketika melihat deretan garis hidup di depan. Bisa saja karena perbuatan kalian itulah sampai kelompok lain atau bahkan dirimu sendiri menghancurkan kehidupan orang banyak” Moza.

Teka teki, jalan, sudut persimpangan, menggenggam atau melepas, ribuan pertanyaan, kerikil-kerikil tajam bertebaran dimana-mana, dan masih banyak lagi selalu saja menari sambil tertawa di setiap objek kehidupan. “Liburan kampus sangat-sangat lama juga kalau dihitung-hitung kembali” Moza menatap kelender beberapa hari setelahnya.

Suara handphone berbunyi seolah mangalihkan perhatiannya. “Bibi” teriak Nevil.

“Kenapa telepon jam begini? Saya sudah  bilang jangan panggil bibi, ngerti?” Moza.

“Btw, tolong buka pintu rumah sekarang juga!” penekanan kalimat Nevil.

 Nevil numpang nginap di rumah dikarenakan terjadi perselisihan dengan orang tuanya. Bagaimana tidak dia suka memancing kekesalan ayahnya sampai mengamuk tidak jelas. “Saya memakan semua kue buatan mama, terus papa mengamuk besar gitulah” curhatan Nevil membuatku tertawa keras.

“Wajar papamu mengamuk, masalahnya anaknya yang satu ini kelewat rakus”…

“Lupakan kemarahan papa! Bantu Nevil mendapatkan Hava” kalimat serius Nevil.

“Berjuang sendiri, entar sainganmu mengamuk ma saya” Moza.

“Dia pria tua paling galak bukan saingan” celoteh Nevil.

“Masa?” Moza.

Tanpa sadar Juan mendengar dialog percakapan antara Moza dan sahabatnya. Juan hanya ingin memberikan beberapa barang milik Moza yang kebetulan tertinggal di rumah orang tuanya seminggu lalu. Lebih memilih tidak masuk ke rumah Moza merupakan pilihan terbaik. Merenung sepanjang jalan sambil mengendarai motor tua miliknya membuat dia tersadar sesuatu hal.

“Saya ingin berkata jujur terhadap saudara kembarku sendiri” Entah dari mana Nadav tiba-tiba saja berada di sampingnya setelah memarkir motor di sebuah taman kota.

“Kenyataannya pernyataan Moza memang benar kalau saya menyukai anak kecil” ungkapan perasaan Nadav.

“Lantas?” nada cuek seorang Juan.

“Bantu saya menjelaskan sesuatu terhadap papa biar ga serangan jantung terus dapat restulah pokoknya” Nadav.

“Kau sudah menyatakan perasaanmu terhadap anak kecil itu?” Juan.

“Belum” Nadav.

“Itu masalahmu bukan masalahku” Juan.

“Kenapa mister Juan ada dua orang?” tiba-tiba Hava berada berdiri di depan mereka.



Bagian 16…


 

Hava…


Kebiasaan latihan lari Hozhi di malam hari membuatku sesak nafas. Terkadang saya harus mengekor di belakang dia ketika berlari. Permasalahanku sekarang adalah melihat mister Juan sedang mengendarai motor tua sambil berkhayal di seberang kanan, sedangkan di seberang kiri tidak jauh dari tempat kami ada lagi dirinya mengemudikan mobil keluaran terbaru. “Apa mataku lagi sakit?” mengucek-ngusek dua bola mataku.

Taman kota terlihat menarik ketika hiasan lampu di sekitarnya berkelap-kelip tanpa henti. Suasana malam itu sangat sunyi bahkan hanya ada seorang pada salah satu kursi di sekitar taman tersebut sedang menikmati gemerlap bintang malam. Entah bagaimana bisa perhatian mengarah terhadap orang tadi. “Itukan mister Juan” mataku tak berkedip.

Seseorang berjalan santai ke tempat dosen terkejam di tengah taman. “Mataku tidak sakit, memang mister ada dua” teriakanku segera berlari ke tempat mereka berdua.

“Kenapa mister Juan ada dua orang?” tanpa permisi terlebih dahulu langsung melemparkan sebuah pertanyaan di depan mereka berdua.

“Hozhi” mister Juan menatap seseorang di belakangku.

Saya dan Hozhi butuh jawaban atas pemandangan di hadapan kami malam ini. Saling menatap satu sama lain selama beberapa menit terdengar kacau. “Maaf membuat kalian bingung bahkan mempermainkan orang banyak” salah di antara mereka mengangkat bicara.

“Kami berdua kembar. Saya Nadav Levin kakak kembar Juan Levin” pertanyataan barusan membuat saya baru menyadari fam keluarga mister Juan selama ini ternyata Levin.

Kakak kembar manusia tergalak harus berpura-pura bahkan saling bertukar peran oleh karena keinginan orang tua mereka. Si’pembayar biaya rumah sakit Hozhi bukan mister Juan melainkan saudara kembarnya sendiri. Sengaja menggunakan nama mister Juan sewaktu pertemuan Hozhi di usia masih sangat kecil. Entah bagaimana cerita sampai mereka berdua berhasil mengelabui semua orang. Tidak seorangpun pernah sadar kalau ternyata mister Juan memiliki kakak kembar.

Sifat dua anak kembar terlihat sangat berlawanan arah antara satu sama lain. Mister Juan dikenal sebagai manusia terdingin bahkan terkejam tanpa senyum, sementara kakak kembarnya sendiri dikenal sebagai malaikat terbaik sejagat raya. “Saya sempat mendengar ucapan kalian tadi” rasa kesal melihat mereka…

“Jangan-jangan kalian berdua menyukai Hozhi?” pancingku. Hozhi tidak bakalan bisa mendengar apa yang kuucapkan barusan, kenapa? Karena dia bisu dan tidak bisa mendengar. Menyukai anak kecil? Berarti mereka berdua suka pada gadis yang sama. Kenapa juga si’malaikat harus menggunakan nama saudara kembarnya sewaktu pertemuan pertama kali antara dia dan Hozhi.

Pantas saja ka’Moza suka menyinggung drakor on going gitu, pada hal dua anak kembar lagi ingin mempermainkan orang banyak. Wajah Hozhi terlihat kecewa hingga berlari meninggalkan kami di taman. “Hozhi mengamuk sekarang” wajah salah satu dari mereka terbaca jelas tentang rasa khawatir…

“Itu urusanmu bukan urusanku” balasan dingin mister Juan seolah tidak perduli.

“Selesaikan sendiri, ngerti?” sikap sadis mister Juan. Sifat dosen beringas seperti biasanya sangat-sangat angkuh. Kakak kembarnya berjuang keras sampai sesak nafas mengejar Hozhi, tapi dia malah tidak peduli. Bagaimanapun Hozhi butuh waktu menerima sebuah kenyataan kurang menyenangkan.

Pertandingan Hoshi hanya menghitung hari, namun siapa menyangka akan terjadi permasalahan besar seperti sekarang. Perhatian besar dari sosok yang selama ini dianggap olehnya sebagai kakak atau apalah ternyata membuat cerita menyebalkan. Apa kau menyukai mister Juan?” menulis sebuah pertanyaan terhadap gadis bisu itu pada sebuah buku sebagai alat komunikasi di antara kami.

Rumah berukuran kecil menjadi tempat keheningan buat kami berdua. Dia seolah tidak bisa menjawab pertanyaanku tadi. Lebih parah lagi adalah penyakitnya kambuh kembali dua hari belakangan semenjak kejadian tersebut. “Mayat hidup” bergumam sendiri. Mengejar mimpi sepertinya bisa-bisa pupus di tengah jalan kalau jalan ceritanya seperti sekarang.

Cerita adik kakak sewaktu kecil berubah menjadi kisah percintaan? Sulit dipercaya? Sebenarnya, Hozhi menyukai siapa? Mister Juan atau kakak kembarnya Nadav? “Kau manusia bodoh selalu saja seperti mayat hidup tiap punya masalah” teriakanku terhadapnya. Reaksinya sesuai perkiraanku, tidak perduli bahkan hanya mengurung diri dalam kamar. Pertandingan final sebagai penentu kemenangan sekaligus menjadi perwakilan pada olimpiade nanti di depan mata, namun sesuatu hal sedang mengelabui kehidupannya.

“Mereka harus bertanggung jawab” kegeramanku mulai naik. Melangkah keluar rumah menuju sebuah halte bis. Sepanjang hari kelakuanku hanya berusaha mencari alamat rumah orang tua mister Juan setelah menjadi pengemis di depan ka’Moza. Mister Juan tidak ada di apartementnya sekarang, otomatis sedang menghabiskan liburan bersama keluarganya.

“Mister Juan, keluar sekarang!” teriakanku menggedor-gedor pintu gerbang sebuah istana besar memakai salah satu kakiku karena saya tidak memiliki dua tangan.

“Namaku mau diblacklist pada daftar nilai anda, terserah. Intinya keluar sekarang!” makin berteriak tidak jelas.

“Kau siapa? Berani-beraninya mendobrak gerbang istana keluarga Levin” sosok pria paruh bayah berdiri sambil bertolak pinggang di belakangku.

“Tidak perlu tahu siapa saya, intinya dua anak kembar tidak tahu umur harus mempertanggung jawabkan perbuatan mereka sekarang juga” jawaban geram dariku.

“Papa, jangan-jangan Juan menghamili anak kecil? Bagaimana ini?” rasa histeris ketakutan seorang wanita paruh bayah di samping pria tua tadi.

“Gadis sesempurna Lara ditolak mentah-mentah lantas sekarang buat ulah” rasa geram pria tua itu.

“Mama lebih menyukai Moza dibanding Lara lantas sekarang hancur sudah…” wanita itu semakin histeris…

Kenapa jadi berubah haluan begini? Mereka lebih menakutkan dibanding kegeramanku barusan. Tiba-tiba saja seseorang mendorong tubuhku memakai sebuah tongkat kayu. “Kau punya etika tidak masuk ke rumah orang?” bahasa tajam mister Juan. Saya bisa mengenali dua anak kembar Levin hanya dengan melihat tata bahasa mereka walaupun kemarin sempat tertipu.

“Saya tidak beretika memang, tapi kalian berdua lebih hancur lagi” jawabanku.

“Hava, maaf atas ucapan adikku barusan” kakaknya meminta maaf.

“Tinggal menghitung hari pertandingan final Hozhi dimulai dan apa yang terjadi sekarang? dia terlihat seperti mayat hidup tanpa semangat karena perbuatan setting-settingan dua anak kembar tua semacam kalian” penekanan kalimatku cukup jelas.

“Berarti bukan masalah menghamili anak orang kan?” wanita tua segera menghentikan tangisnya seketika.

“Mama masuk ke rumah saja biar kami berdua menyelesaikan masalah ini” kakak kembar mister Juan berucap sambil memegang tubuh wanita paruh bayah itu…

“Ternyata orang tuanya toh” gumamku dalam hati.

“Biarkan papa dan mama berdiri di sini! Biar mereka berdua tahu seperti apa keadaan calon menantunya sekarang di luar sana” sikap dingin mister Juan.

“Juan” gertakan ka’Nadav.

“Bagaimanapun papa dan mama bakal tahu bahkan bisa saja serangan jantung pada akhirnya karena kelakuan anak-anak mereka” mister Juan semakin ganas.

Calon menantu? Saya tidak mengerti ucapan mereka berdua. “Benar kata Moza kalau anakku Nadav menyukai gadis dibawah umur?” papa dari mereka berdua sedikit membentur-benturkan tubuhnya ke dinding tembok.

“Mampus, perang dunia ketiga dimulai” rasa belas kasih sedikitpun tidak pernah ada di hati dosenku sampai berucap kacau.

Percuma saja saya datang jauh-jauh mencari alamat mereka berdua. Berjalan pulang dengan tubuh lemas sambil menundukkan kepala membuatku terlihat semakin stress. Bagaimana bisa saya melihat sepasang suami istri mendadak serangan jantung karena mendengar anaknya menyukai gadis dibawah umur? Jarak usia sebelas tahun menjadi masalah terbesar sekarang? Kenapa juga saya berpikir jarak usia?

Bagaimana bisa kau harus menghentikan mimpimu hanya karena masalah percintaan? Sebenarnya siapa yang ada di hatimu? Mister Juan atau kakak kembarnya? Kenapa juga saya sedikit kacau begini? Kalau begini ceritanya berarti akan terjadi kekalahan telak ketika pertandingan nanti. “Buka pintu” seseorang menggedor-gedor pintu rumah.

“Kenapa datang kemari? Saya pikir kau dan saudara kembarmu sudah mati” kalimat pertama setelah saya membuka pintu rumah. Dua bola mataku masih masih bisa membedakan mereka berdua walaupun dikatakan kembar identik. Tatapan sinis sekaligus sikap dingin mister Juan menjadi titik penentu perbedaan terbesar mereka berdua.

Kupikir kakak kembarnya datang juga, ternyata hanya seorang diri. “Dorong Hozhi kemari kalau perlu halalkan segala cara agar bisa membuatnya berdiri di depanku sekarang!” kata-kata angkuh mister Juan.

Mau tidak mau perintahnya harus kulakukan. Dia mengancam masuk kamar untuk membuat kerusuhan kalau tidak melakukan keinginannya tadi. Tuhan, namanya mayat hidup ya tetap saja mayat hidup. Melemparkan beberapa boneka ke arah Hozhi sambil mendorong tubuhhnya keluar memakai salah satu kakiku. Tidak pernah kusangka mister Juan menyiram tubuhnya dengan beberapa ember berisi air es. Lebih ganas dari yang kulakukan…

“Kami berdua tidak mempermainkan perasaanmu” bahasa isyarat mister Juan terhadap Hozhi.

“Kakakku benar-benar menyukai dirimu sampai-sampai selalu saja menjadi pengemis di depanku demi meraih mimpimu, apa kau sadar?” pergerakan tangan mister Juan berusaha membuat Hozhi menyadari sesuatu hal.

“Sejak dulu kakakku merindukan seorang adik menggemeskan, manis, baik, perhatian. Kenyataannya sikapku berlawanan dari keinginannya, singkat cerita terjadilah pertemuan antara kalian sewaktu usiamu masih tiga tahun” penjelasan mister Juan masih berlanjut.

Saya tidak pernah menyangka peristiwa tragis semacam sekarang. “Foto gadis kecil berusia tiga tahun masih tersimpan rapi dalam dompetnya. Bisa dikatakan dia masih menganggapmu sebagai adik kecilnya sebelum perpisahan waktu itu” mister Juan.

“Kenapa tiba-tiba dipupuk jadi cinta begini?” pertanyaanku tanpa sadar.

“Mana saya tahu, langsung cari jawaban ma orangnya” pertama kali melihat tingkah kekanak-kanakan mister Juan dengan jawaban nyeleneh.

Harapan kami semua adalah Hozhi tetap mengikuti jadwal pertandingan final besok walaupun kemampuannya untuk menang sangat diragukan karena kondisi psikisnya sekarang. Bisa-bisa Hozhi flu berat disiram air es gitu. “Kakakku selalu ada buat sosok gadis bisu di belakang layar. Jadi, jangan kecewakan dirinya” mister Juan berkata-kata kembali dalam bahasa isyarat sebelum akhirnya meninggalkan kami berdua.

Mujizat kemenangan Hozhi besok kalau dipikir-pikir lagi. Saingan terberatnya Kirey tentu mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk pertandingan final. Kenapa juga menjelang pertadingan harus berhadapan masalah seperti ini? Apa Hozhi akan tetap bertanding atau berhenti di tengah jalan? Bagaimana kalau dia tidak menghadiri pertandingan besok?

Berpikir semalaman benar-benar mengganggu aktifitas tidurku. Mata panda terbentuk sendirinya di sekitar wajahku. Kekacauan terbesar lagi adalah Hozhi menghilang begitu saja sejak tadi malam tanpa kusadari. Mimpi apa saya semalam? Mencari di segala tempat dalam balutan piyama seperti orang kesurupan. Bagaimana kalau terjadi sesuatu terhadapnya? Apa yang harus kulakukan sekarang? Berjalan ke arena pertadingan lari tanpa tenaga sambil menundukkan kepala…

“Bunda, anakmu dalam masalah besar sekarang” panggilan telepon dari bunda setiap pagi yang tidak pernah absen sama sekali untuk menghubungi anaknya di kota. Handphone pemberian mister Juan benar-benar dipergunakan dengan baik olehnya sebagai alat komunikasi. Suara bunda tiba-tiba saja terputus seketika…

“Kenapa duduk di jalan begini?” suara seseorang menghentikan tangisku.

“Kenapa saya harus nangis buat gadis bodoh?” berkata-kata aneh.

Pertama kali, sosok mister Juan membawaku masuk dalam dekapan hangatnya seolah ingin memberi perlindungan. Seseorang yang selalu saja membentak, bersikap dingin, menolak tiap lembaran tugas, geram terhadapku berubah menjadi hangat? “Rambut ikalmu jadi berantakan kalau kau menangis” berusaha merapikan rambutku.

“Naiklah!” menyuruhku berada naik di atas motor butut miliknya. Mengemudikan motornya menuju satu tempat tanpa berkata-kata lagi di sepanjang jalan. Bukan main saya dibuat kaget seketika setelah kendaraan roda dua miliknya berhenti di sebuah arena pertandingan lari yang akan digelar hari ini. mengenakan piyama, bau iler, belum gosok gigi, rambut berantakan berdiri di tengah-tengah kerumunan orang banyak.

“Hozhi tidak mungkin melewatkan pertandingannya” ujar mister Juan. Semua peserta sudah mengambil start di tempat masing-masing, tetapi gadis bisu itu masih belum memperlihatkan dirinya. Bayangannya saja belum muncul. Kirey akan tertawa sepuas mungkin karena kegagalan seorang Hozhi mengejar mimpi. Kepalaku terus tertunduk bahkan tidak berani melihat lapangan pertandingan. Bunyi suara peluit tidak lagi terdengar seru karena perbuatan Hozhi.

“Persaingan ketat antara Kirey juara bertahan dan Hozhi sedang terjadi” teriak sang host sampai seluruh penonton berteriak histeris.

“Hozhi ikut bertanding” segera bangkit dari kursi hampir tak percaya.

“Makanya kepalamu jangan menunduk terus seperti oon” sindiran sinis mister Juan.

Sejak kapan Hozhi masuk lapangan? Kenapa saya tidak lihat? Bodoh amat, intinya dia harus menang dari si’licik Kirey sekaligus menjadi perwakilan di olimpiade nanti. “Hozhi, ayo berdiri lagi” seperti biasa Kirey menghalalkan segala cara sampai membuatnya terjatuh di tengah pertandingan.

“Selesaikan pertandinganmu! Kemenangan harus jadi milikmu” berteriak sekali lagi pada barisan terdepan dari suara penonton. Hozhi mencoba sekuat tenaga berdiri dan kembali berlari. Mujizat kalau dia bisa mengejar…

Satu per satu lawannya bisa dilalui sampai dua kaki Hozhi mulai bergerak semakin cepat di samping Kirey. Sulit mencari siapa pemenang pertandingan tersebut. Mereka berdua berada di garis finish bersamaan. Sebuah layar siaran ulang menjadi penentu kemenangan salah satu dari mereka diputar lambat. “Hozhi berhasil menginjak lebih dulu garis finish sekaligus sebagai pembuktian bagi semua orang bahwa kaum disabilitas memiliki kekuatan luar biasa dan cukup mencengangkan banyak pihak,” teriakan kekaguman sang host di hadapan orang banyak.

“Hozhi menang” berteriak kegirangan masih dalam balutan piyama.

“Hava, kenapa datang kesini berpakaian seperti ini?” ka’Moza tiba-tiba saja berdiri di samping memperhatikan penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wajahku menjadi merah karena malu menyadari gaya berpakaianku berbeda dari orang lain.

“Hava tetap cantik berpakaian piyama” Nevil membela perkaraku.

Di satu sisi sangat malu, tetapi di sisi lain tidak lagi peduli penampilanku. Saya pikir terjadi sesuatu terhadap Hozhi tadi sampai tingkahku seperti orang gila di sepanjang jalan. Akhir cerita kebahagiaan sahabatku adalah sebuah kemenangan ketika berlari mengejar mimpi. Kakak kembar mister Juan berdiri memeluk erat Hozhi setelah piala penghargaan diberikan. Menjadi pertanyaan, apa orang tuanya sudah bisa menerima kenyataan memiliki calon menantu dengan perbedaan usia cukup jauh? “Nadav masih harus bergumul berat demi mendapat restu orang tua” Bisikan Moza ke telingaku.

“Hozhi harus tetap menjadi bagian terbaik ketika saya berjalan atau berlari” kata-kata hangat kakak kembar mr. Juan. Akhir cerita adalah semua orang baru menyadari sebuah cerita anak kembar dari keluarga Levin.

Hozhi menyukai kakak kembar mister Juan? Berarti mereka berdua sudah saling menerima satu sama lain dan siap memperjuangkan hubungan di depan orang tua sang pria. Hozhi benar-benar beruntung mendapat pria malaikat semacam ka’Nadav walaupun usianya dalam kategori ajusshi gitulah.

“Hava, jadilah pacar setia dalam suka maupun duka buatku” suara seorang pria melalui microfon terdengar keras. Ada banyak nama Hava, mana mungkin yang maksud itu saya. Kampus terkenal di ibukota tempatku mengejar mimpi pun bernama Hava university. Ka’Moza sedikit menyenggol badanku sambil menunjuk sisi kanan tempat tersebut.

“Hava, I love you forever” tidak pernah kusangka seniorku di kampus berteriak gila melalui microfon di depan orang banyak. Suara riuh bukan lagi bercerita tentang pertandingan kemenangan melainkan pernyataan cinta. Nevil berjalan membawa setumpuk bunga mawar sambil terus menatap ke arahku.

“Hava jawabanmu?” ka’Moza menyuruhku menjawab…

“Terima terima terima terima terima…” hanya kata-kata tersebut terus saja berteriak…

“Kalau kau jadi pacarku, nanti saya downloadkan banyak drakor-drakor terhits buat kita nonton berdua di waktu senggang” tawaku meledak seketika mendengar pernyataan tersebut.

“Hava, jadi pacarku sekaligus pasangan hidupku forever yah” Nevil menyerahkan setumpuk bunga mawar hingga menghentikan tawaku seketika itu juga.

“Kupikir kau menyukai Hozhi?” kalimatku.

“Sejak kapan saya menyukai Hozhi?” gaya nyeleneh Nevil.

Di luar dugaan seseorang sedikit mendorong jauh tubuh Nevil dariku. Siapa pernah menduga sosok pria dingin muncul seketika di tengah suara riuh orang banyak. “Hava calon menantu keluarga Levin, jadi mundur sekarang juga!” mataku terbelalak melihat tingkah kacau mister Juan membuat sebuah pernyataan.

“Apa-apaan ini?” ujarku masih dengan mata terbelalak. Di satu sisi Nevil berteriak keras menyatakan cinta, di sisi lain mister Juan dosen paling ganas sedunia membuat pernyataan lebih kacau lagi. Saya makan apa semalam? Mimpiku apaan tadi malam? Kenapa jadi begini?

“Perasaan calon menantu keluarga Levin kan Hozhi?” saya sedikit mengalami serangan jantung mendadak.

“Memangnya anak keluarga Levin hanya satu?” mister Juan tetap bersikap dingin.

“Saya kan sudah bertanya jauh-jauh hari sebelumnya, Hava pilih siapa? Pria tampan tapi menyeramkan atau pria tampan tapi selalu tersenyum?” ka’Moza.

Kenapa semua perhatian mendadak ke saya semua? “Pria tua ingat umur” rasa kesal Nevil. Tidak pernah membayangkan sebelumnya tentang perasaan suka Nevil terhadapku. Bagaimana bisa sosok dosen dingin, ganas, menyeramkan, tidak pernah senyum membuat sebuah pernyataan? Kenapa juga saya harus mengingat dekapan hangat manusia iblis tadi pagi? Menjalin hubungan dengan seseorang sama sekali tidak terlintas dalam benakku. Seluruh penghuni kampus hadir disini bahkan menjadi saksi pernyataan terkacau mereka berdua.

“Bukan berarti pria tua lantas tidak bisa mendapat kemauan hatinya, ngerti?” mr. Juan.

“Kalau masih mau aman, jangan coba-coba mencari masalah” bahasa terganas mr. Juan sambil mendorong tubuhku menjauh dari Nevil termasuk kerumunan semua orang.

Bisa-bisanya tubuhku mau saja berjalan keluar tanpa menoleh kembali ke tempat Nevil. Serangan jantung? Memang kenyataannya saya seperti kehabisan nafas karena kejadian tadi. Tidak ada pernyataan cinta, tetapi langsung memutuskan seorang diri. Kekacauan lain lagi yaitu seorang manusia terdingin tiap hari datang ke rumah hanya untuk membuatku berjalan kaki memutari perkotaan memakai kaki. Motor tua miliknya selalu mogok di tengah jalan hingga saya seperti orang bodoh mandi keringat bahkan kehausan di siang hari karena berjalan kaki. Orang berduit paling pelit sedunia karena tidak pernah ada keinginan membeli kendaraan baru.

“Juan kenapa bisa lebih memilih dia dibanding saya?” kekecewaan ibu Lara.

“Lantas maumu?” sikap ganas mr. Juan.

“Kalian bicara saja dulu, saya kehausan gara-gara jalan kaki terus tiap hari” dua kakiku mulai melangkah meninggalkan mereka.

“Btw, kalau ibu Lara ingin ngerebut mister, ambil saja” kalimatku kembali.

“Tapi Juan lebih suka anak dibawah umur” ibu Lara berjalan lemas meninggalkan kami berdua seolah merelakan pria yang dicintainya menjadi milik orang lain.

Mister Juan tidak membiarkan Nevil berdiri di dekatku walau hanya sedetik. Raut wajahnya terbaca jelas dibalik sikap dingin mengenaskan sedunia. Hozhi menjalin hubungan bersama saudara kembar mister Juan dikarenakan perasaan suka. Menjadi pertanyaan, mengapa saya mengekor di belakang dosenku terus-menerus? Rasa suka atau rasa takut?

“Papaku ingin saya menikahi Lara, sedang mamaku maunya saya hidup bahagia bersama Moza, lantas sekarang tidak tahu kenapa tanganku bergerak begitu saja menarikmu” mister Juan berkata-kata di bawah terik sinar matahari…

“Tugasmu sekarang adalah berjuang merebut perhatian papa mama agar bisa menerima sosok semacam dirimu dalam keluarga besar Levin, ngerti?” serangan jantung mendadak seorang Hava masih terus berlanjut.

“Apa mister tahu rasanya berkeringat karena jalan kaki terus mengelilingi kota?” rasa kesalku makin membara.

“Saya serangan jantung karena perbuatan mister langsung menyatakan status kepemilikan tanpa bertanya atau menjelaskan pernyataan cinta. Objek paling kacau lagi membuat saya terus berjalan kaki sampai semua baju basah di bawah terik panas matahari”…

“Anggap saja melatih jantungmu biar sehat kalau kau berjalan kaki keliling kota” mr. Juan seolah cuek.

“Kekurangan Hozhi hanya pada kata bisu, sedang saya? Lantas mister mau saya banting tulang mencari perhatian? Gila”…

“Hozhi tidak bisa bicara berarti suka atau tidak kakakku Nadav harus berjuang, sedang kau berbeda” mr. Juan.

“Mister…” rasa-rasanya saya ingin menangis.

“Kalau papa mamaku berteriak anggap saja sebagai pembentukan mental seorang Hava. Tiap ucapan mereka dimasukkan ke telinga kanan, terus buang di telinga kiri, simple” mr. Juan.

“Mister Juan memang manusia gila”…

“Mereka panjang umur juga padahal saya baru cerita sedikit” jari telunjuk mister Juan menunjuk sepasang suami istri yang sedang berjalan di sekitar persimpangan tempat kami berdua berdiri.

“Tarik nafas dalam-dalam kemudian buang. Ingat masuk telinga kanan keluar telinga kiri” mister Juan menepuk-nepuk bahuku sambil tersenyum simple tanpa rasa berdosa sama sekali…

“Juan…” teriakan atom seorang pria tua dan tidak lain merupakan papa seorang manusia terdingin sedunia.

“Sudah cukup Nadav membuat keonaran, sekarang kau? Mama minta penjelasan Juan” kalimat histeris istri pria tersebut alias mama kandung mister beringas.

“Uuppppssss perang dunia ketiga siap terjadi” ka’Moza semacam mahluk halus tiba-tiba saja muncul seketika di tengah-tengah kami…

“Juan…” orang tua mister Juan berteriak bersamaan.

 

TAMAT