CORONA VIRUS
Bagian 1…
Rutinitas
hidupku setiap hari hanya berkisar sekitar pasar tradisional guna menjajahkan
roti kukus isi daging. Terkadang saya harus berkeliling beberapa tempat di luar
sana guna mengantar pesanan orang. Tinggal bersama mama sekian tahun lamanya
serta menjalani getar getir hidup penuh objek-objek di dalam serangkaian kisah.
Berada pada sebuah Negara tak ber’Tuhan memang menjadi dilema. Kota tempat
tinggalku sangat indah bersama keaneka ragaman warna-warna keunikan tersendiri.
Di
antara sekian jalan depan mata, hatiku masih percaya kalau Tuhan itu
benar-benar ada walaupun sama sekali tidak terlihat. Siapa yang menciptakan
Tuhan? Menjadi ciri khas pertanyaan orang banyak di luar sana. Masa bodoh
tentang jawaban siapa pencipta sang semesta, namun jalanku tetap mengenal jelas
akan kebesaran sang khalik. “Rubi, antarkan pesanan dokter langganan kita
seperti biasa!” perintah mama dari dalam.
“Tunggu
sebentar” membalas suara mama.
“Jangan
lama-lama” kalimat yang selalu saja gentayang sekitar pendengaran telinga.
“Sedikit
lagi” berusaha merapikan beberapa koleksi buku-buku kesukaanku.
Mengayuh
sepeda kesana kemari sambil membawa pesanan demi pesanan beberapa langganan.
Rumah sakit besar bersama desain arsitek cukup fantastis sedikit membuatku takjub.
“Akhirnya pesananku datang juga” salah seorang dokter dengan pakaian khas
miliknya berjalan ke arahku.
“Dokter
Han, maaf sedikit terlambat” menundukkan kepala.
“Sedikit
terlambat berarti dapat diskon” sang dokter tertawa hebat.
“Kalau
diskon berarti mama bisa rugi besar, saya tidak bisa bayar uang kuliah biar
bisa jadi asisten dokter suatu hari kelak”…
“Bosan
dengar jawaban begini terus” dokter Han.
“Dokter
kan banyak duit berarti harus banyar lebih banyak lagi bukannya minta diskon,
gimana sih” cetusku terlihat cemberut.
Meninggalkan
dokter Han setelah menerima uang pembayaran bersama wajah cemberut memang sudah
menjadi ciri khas seorang Rubi setiap harinya. Pria paruh bayah dengan perannya
sebagai seorang dokter spesialis terkesan hebat di sekitar pendengaran seluruh
warga kota. Semua orang tidak pernah meragukan sedikitpun kemampuan beliau di
dunia medis.
“Kau
di sini rupanya berkeliaran” pernyataan sinis seseorang menghentikan langkahku
seketika.
Kenapa
dia harus hadir seperti manusia gentayangan? Keberuntungan memang selalu ada
pada dirinya dan tidak mungkin bisa kuraih. Hal-hal menyakitkan hanyalah bagian
masa lalu, namun muncul kembali. Mama dan saya hanya sebagai korban kejahatan
satu keluaga paling bengis di antara semua mahluk.
“Saya
tidak ingin mencari masalah denganmu” kalimat tajam buatnya.
“Jadi?”
dia balik membalas…
“Artinya
minggir, ngerti?” mendorong tubuhnya.
Berpikir
keras tentang seberapa besar mereka menciptakan goresan luka hanya akan
menambahkan satu sisi buruk buatku. Saya harus membuang jauh keluar masa lalu
kemarin. “Hati yang gembiraaaa adalah obat, seperti hati yang senang…”
menyanyikan sebuah lagu khas setiap kali badai itu kembali bergentayangan.
Mendapat
julukan anak haram sekaligus perusak kehidupan rumah tangga orang memang
menyakitkan lebih dari apa pun di dunia. Sepertinya keberuntungan tidak pernah
berpihak terhadap jalanku. Kenapa harus bertemu lagi? Rasa sakit terus saja
dimainkan tanpa henti.
“Anak
ini bukannya pergi kuliah malah melamun saja seharian” tegur mama.
“Lagi
malas” rasa malas bahkan tidak ingin meninggalkan kamar.
“Mau
jadi apa kamu nanti” amarah mama mulai meledak.
“Baru
juga sekali bolos kuliah, bukan tiap hari” membalas pernyataan mama lagi.
“Kalau
ingin jadi asisten dokter Han harus giat kuliah dong” teriak mama melemparkan
sebuah bantal ke arahku.
“Saya
juga kan cuma perawat bukan dokter seperti yang lain ma”…
“Masa
bodoh, mau perawat atau dokter tetap sama saja” mama.
“Pergi
mandi sekarang atau bom nuklir tiap detik meledak!” teriak mama lagi.
Akhir
cerita adalah mengikuti kehendak mama dibanding merasakan satu ledakan nuklir
tanpa henti. Kepala cukup pening jika mendengar celoteh kiri kanan. Rasa malas
terus saja berkumandang memainkan pulpen dalam sebuah ruang perkuliahan.
“Masing-masing organ tubuh mempunyai anatomi tersendiri bersama peran fungsi
berbeda” seorang dosen anatomi sedang menjelaskan beragam bahasa alien di
hadapan para mahasiswanya.
“Rangkaian
anatomi harus tersusun di otak kalian, kenapa? Karena memang seperti itulah
menu keseharian anak-anak medis baik para dokter, perawat, maupun bidan”
ceramah membosankan seperti biasa mulai lagi.
“Membosankan”
wajah cemberut Nampak jelas di sekitar wajahku.
“Sepertinya
kau punya masalah” bisik Navi sahabatku.
“Ngga
cuma malas saja ma mata kuliah yang satu ini” membalas kalimatnya.
“Jangan
ambil jurusan perawat dong kalau gitu” Navi kembali berbisik.
“Terpaksa,
ngerti?” suaraku menggelegar hingga dosen mata kuliah anatomi memberi black
list terhadap namaku sekaligus nilai sudah dijamin dinyatakan error apa pun
yang terjadi. Semua ini karena perbuatan sahabatku sampai berurusan dengan
masalah besar. Mama bisa serangan jantung kalau mendengar beritaku sekarang.
Habis sudah hidupku.
Apa
yang akan terjadi setelah mama mendengar kabar kurang menyenangkan? Berkeliling
kota memakai sepeda motor besar hadiah ultahku dari mama demi melepas pening.
Kalau mengantar pesanan langganan harus tetap mengayuh sepeda seperti itulah
perintah nyonya besar. “Biar sehat dan jangan jadi pemalas,” omelan mama setiap
memerintah agar mengantarkan pesanan orang.
Roti
kukus milik mama sudah sangat digemari di seluruh kota, jadi penggemarnya juga
cukup banyak. “Jangan lupa pesanan dokter Han harus paling nomor satu di
dahulukan” teriak mama paling cerewet sedunia.
“Saya
ngerti dan tidak usah berteriak juga” cetusku sambil mengayuh sepeda.
Berkeliling
rumah sakit lagi bahkan harus bertemu asisten baru sang dokter alias musuh
bebuyutanku sendiri. Entah bagaimana cerita dia selalu menghantui hidupku
seperti setan gentayangan. Sejak sekolah dasar hingga sekarang tetap saja
berkeliling di sekitarku. “Gadis jelek rupanya lagi mengantar roti toh” sebuah
suara ledekan lagi berkeliaran sekitar telingaku.
“Jangan
mencari masalah kalau masih mau bernapas” ancaman dariku mendorong tubuh
seorang dokter angkuh. Perbedaan antara kami memang jauh bahkan dari segi
derajat. Zangbi si’musuh bebuyutan merupakan satu-satunya kakak kelas dengan
tingkat IQ tertinggi, sedang diriku jauh terlempar darinya. Aneh juga kalau dia
selalu menjadi kakak kelasku secara tiba-tiba alias menjadi siswa pindahan.
Karena terlalu jenius seluruh kampus terkenal mengejar dirinya jauh beda
denganku. Masuk jurusan keperawatan butuh perjuangan tebal muka mama luar biasa
biar lulus pada salah satu kampus.
“Dokter
Han pesananmu” menyerahkan pesanan beliau seperti biasa kemudian berlalu tanpa
basa-basi. Btw, kenapa pemberitaan media di sepanjang jalan hanya tentang kota
sebelah. Sebuah virus penyakit sedang menggemparkan kota sebelah. Banyak orang
tertular dengan begitu cepat di luar kendali. Kehidupan orang banyak berubah
total akibat jenis wabah yang dikenal dengan istilah corona virus.
Entah
virus tersebut berasal dari mana? Sulit mengungkap kisah sebenarnya tentang
kejadian sebenarnya. Dua minggu kemudian corona virus menyebar begitu cepat ke
kota tempat tinggalku. Aktifitas semua orang tetap seperti biasa, namun tanpa
sadar sebagian dari mereka berada dalam satu zona merah. Masa inkubasi
perkembangan virus itu sekitar tiga sampai empat belas hari.
Hal
lebih mengejutkan adalah ada banyak orang berjatuhan kiri kanan dua minggu
setelah pemberitaan beberapa orang positif corona sekitar kotaku. Mereka semua
tertular tanpa sadar ketika sedang menjalankan rutinitas seperti biasa. Rumah
sakit penuh pasien. Demam, flu, batuk merupakan gejala awal virus tersebut
hingga merenggut nyawa banyak orang begitu cepat…
Bagian
2…
“Apa
yang terjadi?” teriakku melihat satu wabah virus menghancurkan semua orang.
Sahabatku
tidak lagi tertolong bahkan dalam sekejap melenyapkan nyawanya. Tiba-tiba
orang-orang jatuh bergeletakan ke tanah hanya dalam hitungan beberapa waktu
saja. Virus itu menghancurkan seluruh kota tempat tinggalku.
Hal
terbodoh adalah mama berusaha mendorong hingga membungkus tubuhku ke suatu
tempat agar virus tersebut menjauh dariku. Mengunci sebuah ruang sekitar lantai
atas rumahku sehingga tak seorangpun dapat masuk dengan mudah. Saya dapat
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri di luar ada banyak nyawa berjatuhan. Mencoba
mengintip di balik pintu apa yang dilakukan mama selanjutnya.
“Bodoh”
sahutku. Melakukan desinfektan ke seluruh ruangan termasuk menyiapkan makanan
dengan tubuh terbungkus mantel besar sambil memakai masker sekitar wajahnya.
Mama tidak ingin segala sesuatu yang akan kusentuh terkontaminasi virus
tersebut. Saya hanya bisa menangis di balik pintu tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Tuhan,
lindungi putriku” jerit tangis seorang ibu.
“Mama
jahat” berjuang mendobrak pintu ruang memakai kaki yang masih terikat oleh
sesuatu.
“Tiang
awan bahkan tiang api akan terus berjaga di sekitarnya. Saya percaya kekuatan
doa seorang ibu tentu diindahkan olehMu” seorang ibu merintih dalam tangisnya.
Mama
pergi menjauh meninggalkan rumah, minimal anaknya tidak tertular olehnya.
Kenyataan yang ada adalah mama positif virus Corona seperti penduduk lain.
Virus itu menyebar begitu cepat dalam tubuhnya ketika berada di pasar beberapa
waktu lalu. Saya melihat mama jatuh tergeletak ke tanah sama seperti yang lain
dari ruang kamar yang masih terkunci rapat. “Mama jahat…” teriakanku bergema.
Seolah
tahu apa yang akan dilakukan oleh anaknya sehingga dengan sengaja memasang
jeruji besi kuat ke seluruh jendela ruang tersebut. Mama tidak boleh
meninggalkan Rubi sendirian. Mereka membawa mama kemana? Saya bahkan tidak bisa
mendekap kuat dirinya. Tuhan, sekarang Rubi tidak bisa lagi mendengar teriakan
mama setiap harinya.
Kenapa
mama melakukan semua itu? Saya ingin mama kembali. Mereka semua meraung dalam
ketakutan menyaksikan bagaimana wabah virus Corona membunuh siapapun tanpa
ampun. Saya bisa mendengar jelas di luar sana petugas pemerintah segera membawa
seluruh mayat yang masih berserakan di jalan satu per satu.
Hal
terbodoh buatku akan tetapi bagi seorang ibu semua itu sangat berharga. Masih
berjuang memakai kekuatannya yang masih tersisa demi sebuah kehidupan sang
anak. Berusaha melepaskan tali yang diikat kuat oleh mama, namun semuanya
sia-sia. “Mama jahat…” berteriak sekuat mungkin dengan isakan tangis tanpa
henti. Tuhan, masihkan hatiMU melihat lukaku? Sedikit saja menatap ke arahku.
Saya
seorang diri seperti orang bodoh meratapi nasib. Tiba-tiba saja, mataku dibawah
ke satu cermin kecil di ruangan tersebut. Berusaha memecahkan cermin dan
kemudian mengambil pecahannya untuk memotong tali yang masih mengikat tubuhku.
Hal selanjutnya adalah berjuang mendobrak pintu keluar agar bisa keluar dari
ruang brengsek ini.
Mencari
akal bahkan segala benda di sekitarku menjadi alat hingga saya bisa berlari
keluar rumah hanya demi mencari tubuh mama. Mereka membawa mama begitu saja
tanpa bertanya terlebih dahulu. “Berhasil” setelah berulang kali menendang
bahkan mendobrak dengan apapun di sekitarku. Berlari sebisa mungkin menuju
lantai bawah rumah.
Hal
terbodoh yang mama lakukan adalah sengaja memasang pintu besi dengan terali
bergitu kuat sehingga seorang pun tidak akan pernah bisa membukanya. Menutup
segala celah pintu sampai setitik debu juga tidak bisa berhembus sesuka hati.
“Saya benci mama” menangis sejadi-jadinya.
“Mamaku
kenapa berubah jadi jahat” tangisku makin pecah.
Saya
hanya ingin mendekap satu-satunya orang tua yang kumiliki. Sejak kecil mataku
tidak pernah mengerti wajah ayah seperti apa. Tuhan, hanya mama yang kupunya.
Siapa yang akan memarahi Rubi?
Lebih
baik mendengar bagaimana dirinya memaki kesana kemari dibanding sama sekali tak
mendengar suaranya. “Tuhan, Kau pasti ada walaupun saya tidak akan pernah bisa
melihatmu secara langsung” jerit tangis di antara rasa luka yang sedang
berjalan.
Tuhan,
suara mama tidak akan kudengar selamanya. Omelan mama lenyap ditelan bumi.
Virus penghancur hidupku seolah tertawa besar menyaksikan bagaimana kisahku
sekarang. Menangis hebat dalam kamarku seorang diri. Kota ini seolah tanpa
penghuni sunyi sepi setelah pemerintah setempat mengeluarkan perintah lockdown.
Memberi garis merah agar tidak seorangpun boleh keluar dari tempat tersebut.
“Suara
mama mungkin masih ada di dapur” segera berlari menuju dapur tempat mama
melakukan rutinitasnya.
“Mama
mama mama” berteriak sekeras mungkin.
“Mama
hanya sembunyi saja kan?” terlihat seperti orang bodoh.
“Mama
pasti cuma ke pasar sebentar saja” air mata luar biasa mengalir.
Ini
pasti mimpi bukan kisah nyata. Virus itu merebut kehidupan banyak orang
termasuk melenyapkan nyawa mama juga sahabat baikku. Suara dering handphone
android milikku tidak lagi kuperhatikan. Semua orang ketakutan termasuk hidupku
sendiri memikirkan hari ini dan esok. Bagaimana saya menjalani semua hal tanpa
mama?
Sepasang
bola mataku seolah sengaja di bawah ke sebuah dinding kamar milikku. “Hati yang
gembira adalah obat, tetapi semangat yang patah keringkan tulang” tulisan
tangan mama mencoret dinding kamarku seakan tahu jerit tangis luka anaknya esok
hari.
Bagaimana
bisa seorang Rubi tertawa bahagia di tengah rasa luka seperti sekarang?
kehilangan mama, tetapi saya harus membuat satu suasana gembira. “Terdengar
lelucon” tertawa sinis membaca tulisan sekitar dinding tersebut.
“Hati
yang gembira adalah obat, tetapi semangat yang patah keringkan tulang. Berhenti
menjatuhkan air matamu!” secarik kertas hasil tulisan tangan mama sekali lagi
berada di atas meja belajarku. Bisakah saya menghentikan tangisku? Tuhan,
berikan satu cara untuk menghentikan air mataku dan tidak lagi menetes kembali!
Pada
akhirnya mataku lelah hingga membuatku tertidur lelap di tengah kesunyian
kamar. Semua orang diam dalam ketakutan di rumah mereka masing-masing. Virus
itu menjadi malaikat pencabut nyawa dalam sekejap. Seluruh dunia ketakutan luar
biasa ketika berjalan melewati tiap sudut persimpangan. Hitungan menit saja
nyawa banyak orang pergi begitu saja.
Virus
ini terlihat santai menikmati perjalanannya keliling dunia dengan peran sebagai
malaikat pencabut nyawa kelas kakap. Mama pun menjadi korban dari permainan
virus tersebut. Berawal dari kisah di suatu kota tertentu yang kemudian
berjalan masuk menyerbu lingkungan tempatku berada. Virus corona, kau memang
benar-benar hebat bahkan lebih dari kata paling terkuat di antara banyak objek.
“Kepalaku
sakit” tersadar seketika setelah tertidur berjam-jam lamanya. Entahkah karena
situasi tersebut hingga membuatku lupa segalanya termasuk makan selama dua hari
setelah kepergian mama. Bunyi perutku sekarang tidak bisa terhindarkan lagi.
Berjalan keluar kamar mencari sesuatu di dapur. Terlihat sangat bersih dan
tertata dengan rapi suasana area dapur rumah.
“Hati
yang gembira adalah obat, tapi semangat yang patah keringkan tulang” kesekian
kalinya tulisan mama terpampang jelas pada secarik kertas tertempel rapi
sekitar pintu kulkas dapur.
“Minum
air putih minimal 3 atau 2 gelas tiap pagi sebelum makanan masuk ke tubuhmu.
Konsumsi air putih di pagi hari sangat baik untuk membersihkan segala racun
dalam tubuh. Hati yang gembira adalah obat dan semangat yang patah keringkan
tulang. Berhenti menangis atau hidup dalam ketakutan.” Tulisan mama sedang
bersuara di atas meja bersama air putih dalam sebuah wadah. Sebenarnya, mama
itu dokter atau penjual roti kukus?
“Anak
mama harus bisa hidup lebih lama di bumi” sebuah pesan melalui salah satu
aplikasi media social di kirim jauh sebelum mama pergi untuk selamanya.
“Kurangi
makan makanan yang mengandung minyak untuk sementara waktu karena bisa
menyebabkan sekaligus memancing radang bahkan system kekebalan tubuh bermasalah
sehingga virus tersebut lebih mudah menikam tubuhmu” sekali lagi membuatku
ingin tertawa seperti orang gila membaca tulisan mama tidak jauh dari area
kompor gas…
Mama
menempelkan seluruh pesannya di setiap sudut ruangan rumah. Menyuruhku mencuci
tangan setelah melakukan tindakan apa pun, menjaga jarak dengan siapapun, memakai
beberapa alat pelindung, dan masih banyak lagi. Dia benar-benar tidak menginginkan
terjadi sesuatu terhadap putri semata wayangnya. “Tempat apa ini?” terkejut
melihat sebuah kelapa sedang berguling menuju ke arahku.
“Kenapa
ruangan di sini penuh dengan butiran kelapa?” tidak menyangka tindakan konyol
seorang ibu.
“Air
kelapa baik juga diminum pagi hari sebelum perut terisi makanan apa pun.
Fungsinya buat membersihkan racun-racun dalam tubuh. Entahkah berfungsi atau
tidak, maksimal konsumsi 2 kali seminggu. Ngerti?” Masih sempat-sempatnya juga
membeli kelapa sebanyak ini. Antara saya ingin menangis, tertawa, marah,
berteriak akan segala sesuatu yang dipersiapkan mama sebelum virus tersebut
membunuhnya tanpa ampun.
“Hati
yang gembira adalah obat, semangat yang patah keringkan tulang. Berusahalah
untuk terus membuat hatimu tertawa lepas di tengah badai.” Kembali beliau
menyatakan sebuah kalimat tanpa rasa bosan sekitar cermin dinding kamar mandi.
Duniaku
seakan runtuh oleh sebuah virus mematikan, namun pesan mama seolah menyatakan
kalau saya harus terus bertahan hidup apa pun keadaannya. Walau seribu rebah di
sisimu dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu
merupakan sebuah pesan mama yang dikirim berulang kali baik melalui secarik
kertas sekitar dinding kamarnya maupun aplikasi media social hanya buat anaknya
seorang.
“Jangan
lupa sebelum tidur seorang Rubi harus minum susu pembersih terlebih dahulu
untuk melakukan sterilisasi bagian paru-paru dan organ tubuh lain. Ngerti?”
pukul Sembilan malam gulungan kertas terlempar keluar dari jam dinding kamarku.
Hal terkacau selanjutnya adalah mama seolah sengaja mengotak-atik jam tersebut
sebagai pengingat pesannya…
Lemari
di bawah jam tersebut penuh dengan kotak susu bubuk juga kalengan. Upaya
seorang ibu melindungi sang anak memang terkesan terlalu melebih-lebihkan. “Apa
ini?” sebuah rekaman milik mama tergeletak manis di atas kulkas dapur. Rekaman
suara mama menekankan beberapa kalimat larangan kiri dan kanan. Terdengar
menyebalkan, namun seolah berperan sebagai obat buatku.
“Daun
pepaya sangat berfungsi untuk membersihkan darah dalam tubuh. Mama sulit
prediksi sih, tapi sebenarnya virus benci tinggal bahkan tidak akan bertahan
hidup dalam tubuh seseorang yang sering mengonsumsi sayuran pahit seperti daun
pepaya” cukup membuat perutku sakit mendengar mama merekam suaranya…
“Jangan
bertanya kenapa mama pergi menjauh. Seorang ibu akan berjuang melindungi
anaknya bagaimanapun caranya. Cukup mama saja menjadi bagian dari virus
tersebut karena keterlambatan kesadaran dan banyak hal” suara rekaman mama
lagi.
Pemberitaan
media selalu saja membahas virus pencabut nyawa. Semua orang dibuat ketakutan,
parno dalam segala hal, khawatir, ekspresi aneh menyaksikan satu wabah dengan
peran mematikan bagi seluruh dunia. Ada banyak orang di luar sana menimbun
bahan makanan sehingga tidak lagi memperdulikan orang di sekitarnya. Seorang
ibu menangis hanya karena kelas ekonomi atas menghabiskan seluruh popok,
sedangkan dirinya sendiri seolah tak berdaya.
Pemberitaan
kakek tua tidak kebagian roti sebagai makanan pokok utama akibat rasa takut
luar biasa segelintir orang sehingga menjadi manusia serakah bahkan sangat
egois. Membeli minuman mengandung vitamin C berdos-dos dengan pemikiran daya
tahan tubuh mereka tentu terjamin. Satu hal perlu diketahui, tubuh hanya mampu
menyerap vitamin C sekitar 250 mg/ hari bagi orang dewasa dan 100 mg untuk
kategori anak. Andaikan mengonsumsi vitamin C berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan ginjal.
Bagian
penyaringan tubuh berada sekitar area ginjal. Vitamin C yang dikonsumsi akan
diserap sedikit saja oleh tubuh, sisanya terbuang begitu saja. Secara otomatis
saat tertentu ginjal tidak akan mampu bekerja sampai mengakibatkan kerusakan
luar biasa. Bukannya sehat malah makin membuat tante corona tertawa lebar
hingga memudahkan dirinya untuk masuk menghancurkan hidup seseorang. Sebaiknya
konsumsi vitamin C jangan berlebihan terlebih pada penderita maag/ asam lambung
tinggi. Jangan menjadi orang aneh saking takutnya mati sampai mengonsumsi
minuman vitamin C sebanyak mungkin.
Kerusakan
hati pun dapat terjadi pada penderita maag. Minum air putih beberapa saat
setelah mengonsumsi vitamin C. Sebaiknya konsumsi vitamin C melalui sayuran
atau buah-buahan saja karena peranannya memang sangat penting bagi tubuh.
“Berita
kacau semua” menarik nafas panjang menyaksikan pemberitaan media.
“Terkurung
seperti orang bodoh” duduk merenung…
Jam seperti ini bisa saya habiskan di jalan
berkeliling mengantar pesanan roti kukus langganan mama. “Itu dulu, hanya
memory masa lalu saja” menarik nafas panjang. Sudah dua minggu saya terkurung
dalam rumah seorang diri. Mama memang benar-benar ahli mengunci pintu rumah
sampai tidak bisa membukanya. Sepertinya pintu dan jendela sengaja dipesan
kilat mama agar saya tetap berada di rumah. Penularan virus tersebut memang
sangat cepat. Seluruh dunia sekarang sedang ketakutan. Puluhan ribu manusia
sudah menjadi korban sang pencabut nyawa.
Rumah
sakit kekurangan tenaga medis untuk penanganan pasien-pasien positif corona.
Kenyataan kasat mata adalah para medis memang berperan penting sekaligus
barisan perang utama melawan tante corona. Pertarungan hebat sedang terjadi di
antara 2 area tertentu. Tidak sedikit dari mereka mati di medan perang. “Kau
memang benar-benar kuat tante corona” tertawa sinis menatap layar media social bersama
pemberitaan kiri dan kanan…
“Gadis
cerewet harus bisa jaga kesehatannya” rasanya saya ingin kembali tertawa.
Dokter Han masih menympatkan diri mengirim sebuah pesan saat situasi sulit
seperti sekarang. Rumah sakit besar tempat beliau mengabdi sesak dipenuhi
pasien positif covid-19, sedangkan dirinya harus ikut berperan aktif menangani
mereka.
“Kapan
saya bisa jadi asistenmu?” membalas pesan yang bahkan terlalu mustahill terbaca
olehnya. Lah kalau dokter Han bisa mengirim pesan buatku berarti secepatnya
saya akan mendapat balasan pula. Menunggu berjam-jam balasan pesan melalui
salah satu aplikasi media social rasanya menyedihkan sekaligus menyebalkan.
“Jadi
asisten dalam doa saja yah. Nanti kalau masa kritis virus Corona lewat
sekaligus si’gadis bawel Rubi mendapat gelarnya perawatnya baru bisa
dipertimbangkan lagi…” kalimat balasan menyebalkan. Bayangkan saja, saya
menunggu sehari semalam untuk sebuah kalimat semacam ini?
Tinggal
terkurung dalam sebuah rumah tanpa bisa berjalan kemanapun. Seluruh dunia ketakutan
oleh sebuah virus yang bisa saja melenyapkan nyawa dalam sekejap waktu.
Satu-satunya orang yang bisa membantuku keluar adalah musuh bebuyutanku
sendiri. Sahabatku sendiri lenyap habis ditelan virus pencabut nyawa. Lantas,
siapa lagi orang di sekitarku?
“Maaf
atas semua sikapku dari hal terjelek sampai terheboh. Bantu saya keluar rumahku
sekarang, please!” sebuah pesan tanpa basa-basi.
“Kau
tidak sakit? Pesan ini kau tujukan kemana?” balasan pesannya.
“Terserah
katamu, tapi saya janji akan melakukan apapun buatmu asal tolong keluarkan
saya…” nada memohon 100%.
“Saya
tidak bisa keluar rumah sakit sekarang karena pasien membludak, sedangkan
system Lockdown pemerintah tidak bisa dilanggar. Jadi, tinggal saja di rumahmu?”…
“Lagian
kau dan saya musuh bebuyutan” sekali lagi balasan paling brengsek darinya.
Musuh
bebuyutan sampai kapanpun. Bagaimanapun saya berjuang menjadi pembenci, namun
jauh di dasar hati semua itu tidak pernah ada. Mulut dan raut wajah berkata
lain. Berawal dari kisah percintaan mama sewaktu masih muda dengan kebohongan
bejat seorang pria beristri. “Kisah asmara terkacau” tertawa sinis mengenang
kehidupan pahit kedua orang tuaku.
Wajah
mama memang terlihat terlalu polos jika kembali membuat sebuah penilaian
terhadap beberapa foto masa mudanya. Seorang pria berhasil mengelabui
kehidupannya dengan berpura-pura masih berstatus single. Akhir cerita adalah
mereka berdua berpacaran singkat bahkan berakhir pada sebuah pernikahan sacral.
Selang beberapa waktu mama mengandung dan tidak lain jika janin itu adalah saya
dalam perutnya.
Melahirkan
seorang anak merupakan impian tiap wanita termasuk mama. Memasuki usia
kehamilan Sembilan bulan, seorang wanita datang ke rumah melabrak mama bahkan
menjambak rambutnya tanpa belas kasih. Ibu Anora alias istri pria tersebut
terlihat sangat marah.
Seluruh
rahasia tuan Sava akhirnya terbongkar hari dimana mama meringis kesakitan
karena ulah seorang wanita yang mengaku sebagai istri beliau. Seperti tersiram
air panas di siang bolong mendengar pernyataan terburuk dalam hidup. Mama harus
memilih mempertahankan ayah anak dalam kandungannya atau merelakan kembali
menjalani hidup normal bersama istri pertama.
Negara
tak ber’Tuhan ketika menjalani hidup tentu jalan utama yang akan di ambil
adalah melenyapkan nyawa sendiri atau melakukan hal-hal aneh. Singkat cerita,
seorang pendeta menemukan mama menangis di jalan seorang diri. Di tengah keadan
tersebut, seakan Tuhan mengirim seorang hamba Tuhan untuk berdoa hingga membuat
mama berani mengambil keputusan terberat bagi hidupnya sendiri sekaligus anak
dalam kandungannya. Berpisah merupakan jalan terbaik bagi hubungan sepasang
suami istri. Menyuruh sang suami kembali hidup bersama istri pertamanya dan
melupakan segala memory mereka.
FLASHBACK…
“Saya
sudah cukup melakukan sebuah dosa besar. Merusak satu bahtera penikahan seseorang
sampai berujung pernikahan…” mama berkata-kata terhadap seseorang. Saya bisa
mendengar apa pun percakapan mereka berdua. Usia sepuluh tahun tentu menyadari
beberapa hal tentang perbincangan orang dewasa baik dalam bentuk pertengkaran
atau objek lain.
“Tapi
saya tidak mencintai Anora” pria bertubuh kekar berdiri di hadapan mama.
Mengintip di balik tirai jendela kamar untuk terus mendengar percakapan dua
orang dewasa.
“Jangan
membuat kesalahan kedua. Mempertahankan satu bahtera pernikahan memang terlalu
sulit ketika segala sesuatunya berada di ujung tanduk, tapi kau harus bisa
bertahan sebagai kepala keluarga” kalimat bijak seorang wanita alias mama yang
memang merupakan korban bahkan harus siap merelakan ayah anaknya kembali pada
keluarganya.
FLASHBACK…
Semenjak
saat itu, saya berusaha mencari tahu diam-diam apa pun tentang kehidupan tragis
mama. Mama menolak kiriman uang pria tersebut. Kisah tragis lainnya adalah
sebutan sebagai pelakor selalu saja bekumandang di telingaku. Pelakor dan anak
haram menjadi bahan ledekan beberapa orang di sekitar kami. Zangbi sendiri
merupakan anak kandung dari pria tersebut bersama istri pertamanya.
Entah
bagaimana cerita Zangbi dan mamanya berada di hadapan kami bersama raut wajah
asam. Tanpa sadar saya harus menjalani masa-masa sekolah pahit setelah akhirnya
menyadari kalau anak pria itu adalah senior alias kakak kelasku sendiri di tiap
sekolah baruku sejak sekolah dasar hingga menginjak remaja. Kami berdua tidak akan
pernah bisa akur ketika saling berhadapan. Yah memang kenyataan jika dia musuh
bebuyutanku.
“Meminta
bantuan ma musuh bebuyutan sendiri apa salahnya coba?” menggerutu seorang diri
dalam kamar.
Virus
Corona semakin membuat semua orang sangat ketakutan. Pemberitaan media tentang
jutaan manusia sedang menjalani situasi tersulit sekarang ini. Tenaga medis
sedang berjuang mempertaruhkan nyawa di seluruh dunia termasuk dokter Han
bersama musuh bebuyutanku Zangbi. Saya tidak pernah ingin mengakui jika saya
dan Zangbi sedarah dari pria yang sama.
Mama
melarang pria itu bertemu denganku untuk menghindari beberapa kejadian demi
kepentingan keluarga kecilnya. Saya menyadari semuanya, namun berpura-pura
bodoh seolah tidak menyadari kejadian sebenarnya. “Berpura-pura kuat bahkan
tidak ingin melemparkan pertanyaan sepatah katapun ketika seseorang berteriak
di depan kami dengan sebutan pelakor dan anak haram” tertawa sinis mengenang
memory kemarin.
“Kenapa
juga harus ingat memory kemarin?” menampar wajah sendiri. Keadaan begitu sunyi
senyap di luar sana tanpa satu pun suara kendaraan atau pejalan kaki. Tidak ada
lagi aktifitas masyarakat atau bahkan perkumpulan antar satu kelompok dengan
yang lain. Hidup semua orang hanya diliputi rasa takut luar biasa. Siapa sih
tidak takut mati?
“Hanya
dalam waktu singkat nyawa ribuan orang melayang” berpikir tentang situasi
pandemic corona virus. Para ilmuwan sedang sibuk mencari penangkal virus
menyengat sampai seluruh dunia harus diisolasi habis-habisan. Mencari vaksin
juga obat pembasmi sang virus seperti orang yang lagi dikejar setan level
seribu. Mereka dengan diagnose positif covid-19 hampir sebagian besar bahkan
keseluruhan diberi obat-obat keras menurut kesimpulan hasil pengamatanku selama
ini. Btw, pemberian obat-obat keras walaupun dinyatakan sehat kembali akan
berdampak beberapa waktu kemudian. Kemungkinan salah satu organ seperti ginjal
atau paru-paru mereka lebih kacau lagi.
Pemberian
obat keras tentu berdampak pada beberapa organ tubuh terlebih khusus ginjal.
Jadi, dunia medis harus berhati-hati dalam hal ini dan jangan seperti orang
dikejar setan langsung tancap gas. Entah jangka pendek atau panjang tetap
tenaga medis yang akan bertanggung jawab dan dipersalahkan. Andalkan Tuhan
ketika bekerja karena jawaban atas segala sesuatunya memang dari sang pencipta.
Permasalahan sekarang adalah system zat kimia manusia milenial jauh lebih hebat
berkembang dalam tubuh dibanding hal-hal bersifat alami dari berbagai jenis
makanan. Virus kebal terhadap obat bahkan antibiotik dosis keras sekalipun.
Kesalahan pasien sebagian besar lagi adalah selalu mengambil obat salah atau
mengonsumsi antibiotik tidak teratur terhadap suatu penyakit sehingga ketika
berhadapan hal semacam ini seolah tubuh kebal dan tidak merespon ketika
dilakukan pengobatan. Akar permasalahan virus berada pada salah satu titik
tersebut, jadi system imun seseorang ketika menanggap respon obat bisa fatal
seketika ataupun disuatu hari kelak baik jangka pendek maupun panjang.
Kesimpulannya
adalah kemungkinan hari ini para medis merupakan pahlawan, namun esok hari
mereka bisa saja tersudutkan karena efek pemakaian obat keras dalam situasi
wabah sekarang. Pemberian maupun penanganan pasien covid-19 kalau bisa jangan
seperti orang dikejar setan. Satu hal yang pasti, bahwa bagaimanapun juga saya
tetap bangga terhadap para tenaga medis atas sesuatu yang diperbuat. Tetap
tenang dan andalkan Tuhan setiap berhadapan dengan pasien, kenapa? Karena
tenaga medis juga manusia biasa…
“Semangat,
jangan menyerah para pejuang medis yang lagi stress berhadapan ma ribuan musuh
bebuyutan si’tante corona” update status pertama kali di masa-masa tersulit.
Hari
ini dengan rutinitas sama diam termenung setelah menatap segala pemberitaan
media pada layar ponsel maupun televisi. Saya harus bisa bertahan dengan
situasi terkacau seperti sekarang tanpa siapapun. Berusaha kembali mengirim
pesan terhadap musuh bebuyutanku sendiri agar mau menolong. “Di rumahku tidak
ada makanan, ngerti?” alasan terakhir agar dia mau menolongku.
Zangbi
memang salah satu asisten terbaik dokter Han walaupun dirinya belum lama
bekerja di rumah sakit tersebut. Bagaimana bisa satu-satunya manusia dalam
pikiranku yang bisa menolong saya sekarang adalah musuh sendiri. “Dia kan
memang harus menolong adiknya sendiri dong apa pun alasannya” menggerutu
seperti orang gila…
“Tiga
jam lagi saya berada depan rumahmu” sebuah balasan pesan sampai membuatku
melompat kegirangan.
“Saya
tidak mimpi kan” mengucek mata sendiri.
“Awas
kalau berbohong” pesan terakhir bernada mengancam.
Akhirnya
saya bisa berada di luar sana untuk mencari jenasah mama. Minimal, saya harus
tahu di mana mama sekarang di kubur? Sekalian bisa langsung terjun menjadi
asisten dokter Han di rumah sakit.
Bagian
4…
Akhirnya
suara gedoran pintu mulai terdengar beberapa jam kemudian. Pertanyaanku
sekarang adalah kenapa bisa musuh bebuyutanku luluh juga ingin membantu? Masa
bodoh jawabannya. Menyuruh Zangbi agar berjuang keras membuka pintu besi depan
rumah hasil modifikasi mama, bagaimanapun caranya…
“Kau
harus berjuang” teriakku dari dalam rumah.
“Saya
bisa mati kelaparan di sini” sedikit memberi alasan. Sebenarnya sih, mama sudah
menimbun banyak persediaan makanan buat anak semata wayangnya. Btw, kalau
dipikir-pikir tabungan mama sepertinya habis ludes gara-gara mempersiapkan
bahan makanan selama masa lockdown khusus bagi putrinya.
“Cerewet?”
cetus Zangbi dari luar. Mencoba menonton segala usaha sang musuh bebuyutan
menghancurkan pagar besi mama melalui kaca jendela lantas atas rumah. Mama
memang memasang jeruji besi kuat di setiap sudut jendela, tetapi saya masih
bisa melihat sesuatu di luar sana melalui sedikit celah.
“Berhasil”
seru bahagia melihat perjuangan keras dokter Zangbi membuka pintu besi baja
hasil desain mama.
“Zangbi…”
saya melihat dia tiba-tiba jatuh tergeletak ke lantai. Segera berlari menuruni
anak tangga untuk membuka pintu pertama yang hanya terbuat dari kayu…
“Berhenti!
Menjauh dariku dan jangan coba membuka pintu kayu di depanmu” teriak Zangbi
menyadari keberadaanku.
“Kau
sedang tidak sehat, lantas saya hanya diam begitu saja?” sedikit mengamuk.
“Saya
hanya ingin mengantar makanan bukan menularkan virus terhadapmu. Jadi, jangan
mencari masalah” Zangbi.
“Jangan
katakan kau…” mencoba menebak ucapannya.
“Perkiraanmu
betul, saya baru menerima hasil pemeriksaan rumah sakit melalui saluran telepon
dari dokter Han” Zangbi. Resiko tinggi memang harus siap diterima oleh para
tenaga medis ketika berhadapan dengan pasien diagnose positif corona. Bagaimanapun
juga saya harus menolong Zangbi. Mencari Alat Pelindung Diri seadanya sebelum
memberikan pertolongan. Membungkus tubuh menggunakan plastik bening milik mama,
yang kemudian di lapis kembali dengan memakai jas hujan tebal milikku.
“Kalau
saya tertular virus corona berarti pengorbanan mama sia-sia semua dong”
berbicara sendiri sambil membungkus rambut memakai plastic kresek, setelahnya
mengenakan masker dan helm. Setiap ke kampus saya selalu mengenakan motor besar
seperti anak muda di luar sana. Lapisan kaca spion dari helm tersebut bisa
melindungi wajah manis tentunya…
Sampai
kaki pun harus harus di lapis kaos kaki, plastik, dan terakhir sepatu yang
biasa mama kenakan di pasar kalau lagi membersihkan atau menjual biar kaki
bebas dari kutu air. Jujur, sebenarnya saya juga takut tertular virus terus
mati seperti orang lain di sekitarku. Menarik tubuh Zangbi masuk ke dalam rumah
setelah berhasil membuka pintu. Keinginanku untuk keluar sepertinya tertunda
dulu deh…
Membawanya
ke kamar mama serta memasang cairan infus seadanya. Bahan infus di sertai
beberapa obat tersedia di rumah hasil merebut paksa ketika mengantar pesanan
dokter Han di ruangannya. Melakukan drips obat cairan penurun demam seorang
diri tanpa intruksi dokter. “Ayah sayang Zangbi kan?” terdengar kalau dia
sedang mengigau. Sampai detik sekarang, saya tidak pernah berhadapan langsung
dengan pria tersebut. Bagaimana rasanya memiliki seorang ayah?
Kami
berdua mempunyai ayah yang sama walaupun lahir dari rahim berbeda. Zangbi
selalu bersama pria itu, jauh berbeda denganku. Berjaga semalaman di sampingnya
tanpa lagi berpikir virus tersebut bisa saja berlari ke arahku. “Kau harus
sembuh bukan buat dirimu sendiri melainkan ribuan pasien sedang menunggumu di
luar sana” kata-kata seperti ini mengalir begitu saja.
“Di
mana saya?” Zangbi tiba-tiba tersadar dari tidurnya.
“Kau
sudah bangun?” melihat memberikan segelas jus.
“Minumlah!”
menyodorkan ke tangannya. Beruntung saja demamnya sudah turun. Hal paling
menakutkan kalau-kalau sang dokter sesak nafas tiba-tiba…
Memberinya
sebutir air kelapa sebagai pembersih dalam tubuh utamanya sekitar organ-organ
penting semacam paru-paru. Zangbi sangat terkejut menyaksikan penampilanku
sampai membuatnya ingin tertawa. Bahan lain pun bisa dijadikan pelindung
biarpun APD medis tidak ada di rumah. Mama berjuang menjauhkan putrinya dari
virus paling kejam dengan jalan meninggalkan rumah, tetapi sang dokter datang
ketika dirinya dinyatakan positif Corona tanpa sadar. Pasien seluruh rumah
sakit membludak dan tentu sangat mustahil Zangbi bisa mendapat perawatan. Saya
akan mencoba merawatnya seorang diri. Bagaimanapun juga dia adalah kakakku…
“Minuman
apaan ini? pahit amat” tidak tahan setelah meneguk sekali. Memberinya segelas
jus sekitar pukul sepuluh setelah makan sampai sang dokter berusaha ingin
memuntahkannya. Jelas saja pahit, namanya juga jus daun papaya. Permasalahannya
adalah Zangbi dinyatakan positif berarti suka maupun tidak harus siap
mengonsumsi daun papaya dalam bentuk jus. Satu setengah lembar daun pahit
tersebut dapat membersihkan kotoran termasuk virus dalam darah. Kemungkinan
masih bisa dicampur sayuran lain atau lalapan kalau dikatakan masih negative.
Mereka dengan riwayat maag harus minum obat penetralisir lambung terlebih
dahulu sebelum mengonsumsi.
Memaksa
dia untuk menghabiskan jus tersebut. “Hati yang gembira adalah obat, tapi semangat
patah keringkan tulang” berujar terhadapnya.
“Maksudnya?”
Zangbi.
“Sepahit
apa pun virus tersebut menjalar sama seperti jus daun papaya itu, tetapi kau
harus berjuang mencari jalan agar hatimu tetap dalam keadaan gembira”…
“Fungsinya?”
Zangbi.
“Mempercepat
proses kesembuhanmu demi ribuan pasienmu di luar sana” menjawab pertanyaannya. Mereka
masih membutuhkan seorang dokter tampan jenius bernama Zangbi ketika berjalan
melalui suatu badai tertentu. Dia diam
membeku seakan menyadari sesuatu hal paling berharga. Kami berdua berusaha
melupakan permusuhan untuk sementara waktu.
“Dia
meninggal” sepasang mata bola Zangbi berusaha menahan kesedihannya.
“Siapa?”
“Ayahku
sekaligus ayah kandunngmu. Jangan berpura-pura bodoh tentang kebenaran
sebenarnya” Zangbi. Ternyata dia tanpa sengaja melihatku bersemnyi ketika
terjadi pertemuan sekaligus percakapan cukup rumit antara mama dan pria
tersebut. Andaikan bisa, saya juga ingin berada dalam dekapan ayahku sendiri.
Keadaan menuntut mama menghalangi ayah dari anaknya sendiri untuk berlari
mendekapku erat. Kenyataan lain adalah saya terlihat seoalah tidak menyadari
segala masalah.
“Saya
kemari hanya ingin menyerahkan sebuah album penuh memori” Zangbi. Sebuah album
hanya berisi fotoku semata sejak kecil hingga sekarang. puluhan video
mengisahkan bagaimana saya berada di sekolah, pasar, bahkan kampusku pun terus
terekam.
“Namamu
selalu tertulis jauh di dasar hatinya. Diam-diam menangis atau tersenyum
sendirian melihat gadis kecilnya berlari dari kejauhan” Zangbi. Pria itu
maksudku ayahku berusaha menahan diri untuk tidak pernah hadir dalam hidupku.
Kenapa saya harus berpura-pura bodoh? Zangbi sengaja berada di sekolah yang
sama denganku karena ingin membantu ayahnya agar tetap bisa melihat gadis
kecilnya dari dekat.
“Saya
hanya tidak ingin mama menderita sampai akhirnya jalanku menutup rapat
pertanyaan tentang ayah kandungku sendiri” tangisku pecah.
“Kau
hanya korban dari ayah, ibu, bahkan hidupku sendiri” Zangbi.
“Saya
bukan anak kandung mereka melainkan anak adopsi sejak bayi. Ibu tidak bisa
memberi ayah keturunan. Kesalahan terbesar ibuku adalah berbohong dengan
berpura-pura hamil sampai scenario tersebut terbongkar begitu saja oleh salah
satu asisten kepercayaan keluarga” Zangbi. Rasa takut kehilangan menjadi alasan
ibu Anora menjadi seperti manusia iblis terhadap ibuku. Kesalahan terbesar
seorang istri adalah diam seribu bahasa tanpa rasa terbuka untuk menyatakan
keadaan sebenarnya. Keretakan sebuah keluarga dikarenakan pondasi kepercayaan
bahkan keterbukaan satu sama lain tidak lagi terjalin.
Selama
ini Zangbi pun sudah terlalu menderita. Dia hanya berusaha menahan diri untuk
tidak menyatakan segala goresan lukanya di luar sana. Virus pencabut nyawa
berhasil melenyapkan nama ayah, istrinya, juga mama dari dunia. “Ayah selalu
rindu ingin mendekapmu dan meminta maaf ribuan kali atas segala sakit saat kau
berjalan” sebuah rekaman bagaimana ayahku menangis keras di rumah sakit membuat
satu pernyataan.
“Ayah
selalu saja menjadi manusia paling jahat di matamu bahkan berpura-pura tidak
menyadari betapa besar rasa sakit ketika kau berjalan terlebih berlari. Maaf karena
ayah tidak pernah bisa berdiri di depanmu bahkan tersenyum” sekali lagi kalimat
penyesalan sengaja direkam oleh Zangbi diam-diam.
“Maaf
membuatmu terpisah dari ayah bertahun-tahun lamanya bahkan sampai nafas
terakhirnya di rumah sakit. Saya hanya tidak ingin kau tertular virus sampai
tetap diam seribu bahasa…” Zangbi.
“Kenapa
kalian berdua meminta maaf dengan cara seperti ini?” seolah ingin menjatuhkan
butiran Kristal, namun sesuatu menahannya.
“Bertahun-tahun
berpura-pura bodoh bahkan seolah tidak menyadari apapun tentang pertengkaran
maupun percakapan mereka kalau saya hanya anak adopsi. Sama seperti dirimu
kan?” Zangbi.
“Kurasa
saya tidak perlu menyadari semua tentangmu” membalas kalimatnya.
“Sampai
titik napas terakhir sekalipun di rumah sakit, mereka berdua tetap diam membisu
akan sebuah kenyataan hidup” Zangbi.
“Maaf
menyakiti hatimu, hanya pernyataan tersebut mengalir keluar dari perbendaharaan
mulut mereka berdua sebelum membuatku menangis seorang diri” Zangbi tertunduk
menarik napas panjang.
Apakah
saya harus mempersalahkan Zangbi? Dirinya pun hanya korban sama seperti
hidupku. Tentu luka seorang Zangbi jauh lebih menakutkan dibanding jalanku
sendiri. “Hati gembira adalah obat tapi semangat patah keringkan tulang”
berusaha menghapus butiran Kristal sekitar wajahku.
Saya
harus bisa mencari sesuatu bahan agar kami berdua dapat tertawa bahkan
melupakan sebuah kisah memory di masa lalu. Bagaimanapun juga, masing-masing
kami diajar oleh sebuah petualangan. Saling memberi kekuatan jauh lebih baik
dibanding harus membenci satu sama lain. Tidak memungkinkan membawa dokter
Zangbi ke rumah sakit untuk waktu sekarang. Para medis kewalahan menghadapi
pasien di luar sana. Saya harus merawat sendiri kakak kelas/ senior/ musuh
bebuyutan/ anak ayahku seorang diri di rumah suka maupun tidak.
Menyuruh
dia meminum 3 gelas air putih setiap pagi sebelum seluruh makanan masuk ke
perut. Akibat dinyatakan positif sehingga maksimal mengonsumsi air kelapa 3X
seminggu sebagai pembersih pula pada pagi hari. Demi mencegah terjadinya
tekanan darah rendah akibat air kelapa berlebihan, jadi saya memberinya kapsul
zat besi di siang hari, sedangkan malam dipergunakan meneguk segelas susu pembersih.
Ketiga bahan tersebut memiliki fungsi cukup kuat bagi tubuh. Berjuang mencari
jalan membuat suasana hatinya tetap tertawa dan hal seperti ini sangat sulit
dilakukan tetapi harus…
“Mamaku
sangat jenius membuat roti kukus, sedang anaknya sendiri terlalu bodoh
mengikuti jejaknya” menceritakan bagaimana seluruh roti kukus buatanku hangus
juga terasa pahit sampai seluruh pelanggan mengamuk. Minimal, seorang Zangbi
berhasil tertawa oleh ribuan cerita milik Rubi. Virus Corona tidak bisa
menghentikan duniamu untuk tersenyum di antara segala objek yang sedang
mengitari hidup baik pahit maupun terkesan manis.
“Mamamu
ternyata langit dan bumi ma anak sendiri yah?” Zangbi terus tertawa keras.
Hati
gembira merupakan obat terbaik penghancur virus corona dibanding segala jenis
usaha maupun obat-obatan medis di luar sana. Hal tersulit bagi diri sendiri
adalah berjuang membuat suasana hati tetap terjaga dalam tawanya. Rasa takut
berlebihan itulah menciptakan senyum hebat terhadap sang virus si’pencabut
nyawa. “Lupakan kalau kau dinyatakan positif corona, ciptakan sesuatu hal yang
bisa membuat hatimu tertawa hebat bahkan melupakan rasa takut luar biasa”
kalimat tersebut tertuju bagi seseorang yang sedang berada di hadapanku.
“Terima
kasih atas segala hal yang kau lakukan” Zangbi.
“Saya
akan berjuang biar bisa pulih kembali demi ribuan pasienku di luar sana yang
sedang menanti sang dokter berjalan ke arah mereka” Zangbi berucap kembali
penuh semangat.
“Semangat
semangat semangat” teriakan luar biasa seorang Rubi.
“Semangat”
Zangbi balik membalas.
“Sadar
tidak kalau saya berjuang keras biar bisa diterima bekerja di rumah sakit
tempat kau membawa roti kukusmu pada seorang dokter terkenal?” Zangbi.
“Tidak
sadar tuh” menjawab cuek.
“Memang
sejak dulu kau tidak pernah sadar” Zangbi.
“Btw,
sekarang sudah seminggu lebih di rumahku. Coba kembali ke rumah sakit dan
lakukan tes kembali! Siapa tahu hasilnya negative” memberi nada perintah
setelah hampir dua minggu telah berlalu. Dokter Zangbi harus bisa pulih
secepatnya demi perjuangan hidup orang banyak di luar sana.
Bagian
5…
Hitungan
waktu singkat sang virus berkuasa atas nyawa semua orang. Perekonomian dunia
goncang hingga ada begitu banyak orang menjadi korban PHK. Virus tersebut tidak
berasal dari Tuhan melainkan karena permainan sang penguasa kegelapan. Tuhan
pencipta semesta mengizinkan virus itu menjalar untuk mengajarkan semua orang
tentang keterbatasan manusia. Setidaknya manusia kembali menatap Tuhan sebagai
sahabat setelah sekian lama berada pada jurang paling gelap.
“Kau
bisa berteriak terhadap dirimu sendiri bahkan mengajarkan seluruh pasienmu
tentang satu pernyataan” membuat sebuah kalimat kembali bagi sang dokter di
hadapanku sebelum berjalan menuju rumah sakit.
“Pernyataan?”
Zangbi.
“Tante
corona harus kuakui kalau kau memang jauh lebih kuat dari bayangan siapapun
tetapi saya lebih kuat darimu”…
“Maksudnya?”
Zangbi.
“Kau
harus memperkatakan kalimat seperti itu setiap hari dengan iman” berkata-kata
lagi terhadapnya. Kenyataan yang ada jika Negara ini bukanlah satu bangsa
dengan ciri khas religius, namun masih ada Tuhan dalam kehidupan beberapa orang
termasuk saya dan mama.
“Iman
itu bercerita tentang apa?” Zangbi.
“Iman
berarti percaya sesuatu hal yang tidak kau lihat tetapi terjadi. Contohnya
menginginkan sebuah kesembuhan berarti dalam dirimu yakin kesembuhan sudah
terjadi walaupun masih terlihat sakit di luar, tapi harus disertai perbuatan
semacam usaha dan doa paling utama” pernjelasan religius buatnya…
“Saya
hanya harus percaya terhadap Tuhan sebenar-benarnya dan memiliki iman melawan
sang virus?” Zangbi.
“Sejak
kecil ketika mengalami satu penyakit terlebih flu, mama selalu melarang saya
mengonsumsi satu jenis obatpun” entah kenapa seorang Rubi ingin bercerita satu
kisah aneh dalam hidup sendiri.
“Lantas
kau ikut?” Zangbi.
“Pada
hal setiap saya mengalami flu selalu saja terjadi sesak napas cukup panjang
sekaligus batuk parah. Asal terkena debu sedikit pasti bawaannya sakit”…
“Jangan-jangan
kau asma?” Zangbi.
“Entahlah.
Intinya mama hanya berkata, dimana imanmu? Dengan kata lain saya tidak boleh
mengonsumsi obat dalam bentuk apa pun dan harus belajar mengandalkan kekuatan
doa bersama satu kata iman untuk bertahan hidup” penjelasan mengenai sesuatu
hal…
“Jadi
kau?” Zangbi.
“Seperti
yang kau lihat sekarang saya masih bernapas bahkan terkadang jika memaksakan
satu obat medis masuk ke tubuh jadinya penyakitku semakin parah. Awalnya sangat
sulit tetapi seiring berjalannya waktu semua bisa saya jalani” berkata-kata…
“Imanku
dan iman orang lain termasuk dirimu tentu tidak sama artinya memiliki porsi
berbeda. Hanya saja, ketika kau kembali berhadapan dengan ribuan pasien
nyatakan imanmu sesuai dengan porsimu bahkan percaya jika kau lebih kuat
dibanding kekuatan virus yang sedang mencekam seluruh dunia…” berucap lagi.
Pernyataan
tadi tidak hanya saya tujukan terhadap seorang dokter melainkan seluruh tenaga
medis ketika bertempur menghadapi situasi mencekam. “Saya tidak ingin memaksamu
memiliki iman seperti keinginan mamaku, setidaknya berjuanglah untuk mempunyai
satu porsi iman tertentu demi ribuan pasien di luar sana” kalimat terakhir
dariku.
Suasana
dunia sekarang memang sangat mencekam oleh karena ketakutan luar biasa dari
seluruh penjuru dunia. Dokter Zangbi berjalan keluar meninggalkan rumah dan
kembali ke rumah sakit tempat dimana ketakutan dan kekhawatiran bermain jauh
lebih kuat. Para tenaga medis tentu sebagian dari mereka sedang menangis ingin
berlari keluar, tetapi keadaan menuntut untuk tetap bertahan apa pun resiko
perjalanan depan mata.
“Rubi,
obat apa yang kau berikan terhadap Dokter Zangbi?” dokter Han menelpon
tiba-tiba hanya demi pertanyaan seperti itu.
“Dokter
mengganggu tidur saja” cetusku menjawab panggilan teleponnya.
“Dia
dinyatakan positif beberapa waktu lalu, kemudian menghilang entah kemana dan
sekarang tiba-tiba hadir di rumah sakit seolah tidak terjadi sesuatupun” dokter
Han.
“Btw,
kenapa dokter bisa tahu kalau dia bersama dengan saya selama ini? tunggu,
bagaimana dokter Han tahu kalau kami berdua saling mengenal satu sama lain?
Dokter penguntit” cetusku.
“Kan
dokter Zangbi sendiri yang cerita, jelas saya tahulah” dokter Han.
“Dokter
Han, saya dinyatakan negative corona virus” seperti teriakan zangbi penuh
semangat terdengar jelas melalui saluran telepon.
“Suaranya
seperti kukenal” pancingku.
“Dia
makan apa sejak bertemu denganmu sampai dirinya tidak seperti kemarin bawaannya
ingin mati terlebih kepergian kedua orang tuanya?” dokter Han masih bertanya.
“Jus
daun papaya” menjawab dokter Han kemudian mematikan sambungan telepon kami.
Syukurlah Zangbi bisa kembali pulih dan bisa berdiri lagi sebagai seorang
dokter. Btw, dokter Han benar-benar kuat juga bertarung nyawa menyelamatkan
pasiennya. Suaranya tidak terdengar seperti orang sakit atau harus tumbang
seperti Zangbi kemarin. Bukannya menolongku untuk keluar meninggalkan rumah,
melainkan saya harus bertahan merawat seorang Zangbi sendirian.
Mama
hebat juga meninggalkan pesan, lantas kenapa harus…? Terlalu sulit menebak
jalan Tuhan di balik semua ini, tetapi sepertinya saya hanya sedang menjalani
ujian pembentukan semata. Beberapa waktu lalu, hidupku terkesan hancur
berkeping-keping melihat mama berkorban buatku, namun seiring berjalannya waktu
saya mulai kembali berdiri tegak.
Tidak
pernah menyangka bagaimana ayah menahan diri bertemu denganku. Saya pikir dia hanya
mencintai keluarganya bukan diriku ternyata semua dugaanku salah. Hati ayah
sangat hancur jauh melebihi pemikiran sendiri. Namaku selalu terlukis kuat di
hatinya sampai napasnya terhenti. Album foto sekaligus rekaman video
menjelaskan segalanya tentang cinta seorang ayah terhadap gadis kecilnya.
“Seluruh
warisan peninggalan ayah milik kepunyaanmu” sebuah pesan masuk melalui salah
satu aplikasi medsos terpampang jelas.
“Bukan
warisan yang kuinginkan melainkan dekapan ayahku” tersenyum sinis menyesali keadaan
kemarin. Berpura-pura bodoh untuk tidak pernah mencari tahu atau bertanya
tentang ayah merupakan hal mengerikan yang pernah kulakukan. Waktu tidak dapat
di putar kembali…
Virus
tersebut berhasil menikam ayahku bersama istrinya. Saya seperti orang bodoh
sama seperti yang lain mengurung diri dalam rumah setelah keputusan pemerintah
tentang system lockdown. Kenyataan sebenarnya sih adalah setiap pemimpin
masing-masing Negara harus bisa mempertanggung jawabkan maupun berdiri mewakili
rakyatnya sendiri di hadapan Tuhan. Bukan permasalahan sang pemimpin memiliki
ribuan dosa, melainkan ini satu-satunya persyaratan terbesar untuk keluar dari
situasi sekarang.
Jangan
lagi seseorang merasakan kisah seperti jalan hidupku harus kehilangan keluarga.
Tugas seorang pemimpin Negara tidak hanya bercerita bagaimana dirinya
menjalankan satu roda pemerintahan demi perkembangan kemajuan sebuah bangsa di
tangannya. Ketika situasi sulit semacam wabah penyakit berjalan berputar
seperti kelaparan siap mencari mangsa, maka sang pemimpin harus siap
merendahkan hati memohon ampun di hadapan sang pencipta agar bangsanya tetap
bertahan bahkan pulih jauh dari bayangan semua orang. Jangan katakan jika semua
itu merupakan tugas pemimpin agama bukan
presiden bagi sebuah Negara. Justru peranan pemimpin dunia harus jauh
lebih kuat bermain bukannya menjadi manusia egois bahkan sangat angkuh…
“Saya
ingin berada di rumahMu sekarang” diam-diam berjalan keluar rumah tanpa
memperdengarkan suara sedikitpun. Hukuman siap menanti andaikan aturan lockdown
dilanggar, jadi saya harus pandai mencari jalan. Seolah saya melupakan
keinginan mencari jenasah mama dengan kondisi seperti sekarang. di pikiranku
sekarang adalah ingin berada di rumahNYA. Negara tak berTuhan tetapi masih
terdapat sebuah tempat ibadah kecil di dirikan diam-diam buat sebagian kecil
masyarakat yang masih percaya tentang ke-Tuhanan.
Berada
di satu tempat ibadah kecil tanpa satu penghunipun dengan kaki berlutut
menjatuhkan tangisan di hadapan Tuhan. “Sekiranya belas kasihMU turun atas
dunia” menjerit bahkan tersungkur…
“Maaf
atas setiap dosa yang terus saja membungkus hidup termasuk kotaku bahkan para penghuni
bumi. Lembutkan hatiMU…”
“Saya
butuh dekapanMU di curahkan atas kotaku dan dunia” hanya kata-kata tersebut
saja tertata rapi. Tuhan tahu maksud pernyataanku tadi tanpa harus menjelaskan
lebih detail.
Siapa
sih tidak hidup dalam ketakutan seperti sekarang? Semua orang sedang berada
dalam lembah maut bahkan siap menerkam kapan saja. Saya berharap para pendeta
di manapun berada mengadakan doa dan puasa secara berantai tanpa putus
sedetikpun. Satu-satunya jalan menghadapi virus tersebut adalah melakukan hal
semacam ini. Minimal, Tuhan menggerakkan hati para pemimpin dunia untuk
merendahkan hati dan meminta pengampunan sehingga belas kasih tercurah…
Jalur
hidupku memang tidak sedang berjalan atau berperan sebagai seorang pendeta,
tetapi satu-satunya jalan yang saya tahu adalah melakukan hal semacam di atas
tadi. Sampai di mana sih kekuatan tenaga medis untuk menjadi prajurit hebat di
medan tempur? Mereka juga manusia biasa dan sangat terbatas. Tenaga medis hanya
sebagai alat sisanya Tuhan yang beracara untuk segala sesuatu terlebih
pertempuran melawan tante corona.
Kunci
utama menghentikan semua ini berada pada diri seorang pemimpin di seluruh
pelosok bumi. Sampai di mana sih tingkat kekuatan seseorang paling jenius
sekalipun menghentikan wabah virus tersebut? Media seluruh dunia hanya
bercerita tentang jutaan orang dinyatakan positif corona dalam waktu singkat. Nyawa
ratusan ribu melayang begitu saja termasuk di kotaku sendiri.
Saya
harap para pemimpin dunia mau meninggalkan keangkuhan, keegoisan, dan
kekuatannya terhadap sang pencipta dengan merendahkan hati mewakili bangsanya
masing-masing. “Sepertinya satu-satunya jalan adalah membuat sesuatu yang sulit
dilupakan oleh presiden di Negara tercinta” menarik napas dalam-dalam kemudian
berdiri meninggalkan tempat ibadah…
Diam-diam
berjalan menuju rumah sakit seperti pencuri harus bisa mengelabui setiap post
penjagaan ketat milik pemerintah. Ada banyak orang sedang menangis ketakutan
oleh situasi darurat seperti sekarang. “Rubi” suara tidak asing lagi
mengejutkan tiba-tiba. Zangbi menarik menarik tanganku menuju satu ruangan
khusus jauh dari keramaian pasien.
“Kau
membuatku kaget” sontak jantungku hampir terlempar.
“Kau
tahu di sini berbahaya buatmu? Sadar tidak kalau virus bisa begitu mudah
menyebar ke tubuhmu? Bodoh atau gila?” amarah Zangbi sangat ketakutan.
“Bersihkan
tanganmu!” nada memerintah Zangbi menyalakan keran air.
“Bantu
saya keluar dari perbatasan menuju ibu kota” langsung pada inti pembicaraan.
“Kau
gila” emosi Zangbi tidak terkendali sambil berusaha mengenakan alat pelindung
diri terhadapku di sebuah ruangan.
“Saya
memang gila. Kau berhutang budi terhadapku” menyinggung pertolongan kemarin…
“Kau
bisa saja berada dalam jeruji penjara” Zangbi.
“Gunakan
warisan ayahku untuk membantuku meninggalkan kota” menatap wajah Zangbi.
“Kau
benar-benar gila” Zangbi semakin menggaruk kepalanya sehingga seluruh rambutnya
terlihat berantakan.
“Saya
dengar beberapa tenaga medis termasuk dokter Han akan mengadakan pertemuan
bersama sang presiden. Bagaimanapun caranya kau harus bisa membuatku berada di
antara mereka, ngerti” terdengar seperti ancaman buatnya.
“Saya
bisa membantumu mengirimkan makanan ke rumah atau menjadi pembantumu seumur
hidup, tapi masalah satu ini mustahil diterima” Zangbi.
“Kau
merebut ayahku berarti satu-satunya jalan membayar rasa bersalahmu adalah
menolongku meninggalkan kota, titik tanpa penolakan” terpaksa menyindir masa lalu
kemarin.
“Kenapa
kau menyindir memory kemarin? Saya benar-benar menyesal memberi tahu kebenaran
sebenarnya” Zangbi.
“Bantu
saya menjadi salah satu anggota medis yang akan bertemu presiden tanpa
sepengetahuan dokter Han” menatap tajam ke arah Zangbi.
Akhir
cerita seorang dokter tampan bernama Zangbi harus rela mengikuti segala
kemauanku suka maupun tidak. Sengaja memberi obat tidur pada salah satu dokter
wanita di rumah sakit kemudian mengambil diam-diam kartu identitas miliknya.
Pertemuan antara presiden dan para tenaga medis akan memperbincangkan seputar
perkembangan kasus covid-19 beserta beberapa titk penyelesaian.
Jauh-jauh
hari media memang sudah meliput berita tentang pertemuan tersebut. Seluruh
personil akan melakukan rangkaian tes apakah mereka dinyatakan negative corona
atau tidak demi keselamatan sang
presiden. Pemeriksaan ketat di setiap post penjagaan pemerintah membuatku
ketakutan. Bagaimana salah satu dari mereka mengenal wajahku? Masing-masing
dari kami memang mengenakan masker sebagai pelindung diri sesuai aturan
sehingga saya mengelabui siapapun termasuk dokter Han.
“Kau
manusia paling gila yang pernah kutemui” pesan Zangbi bernada kesal masuk ke
ponselku.
Saya
tidak memperdulikan maupun membalas isi pesannya. Menikmati pemandangan sepanjang
jalan hingga akhirnya kami semua tiba di sebuah tempat dimana salah satu
pesawat milik pemerintah menjemput dan mengantar ke tempat tujuan. Pemeriksaan
ketat kembali berjalan untuk kesekian kalinya setelah berada di ibu kota.
Penyamaranku
benar-benar sempurna sampai dokter Han sendiri tidak mengenalku. Hal pertama
yang harus kulakukan adalah menyerang presiden tanpa ampun. “Sepertinya kau
mirip seorang bocah kenalanku” dokter Han tanpa sengaja mendengar suaraku
ketika berbicara dengan salah satu pelayan. Segera mengalihkan perhatian beliau
merupakan satu-satunya jalan keluar.
Aneh
bin ajaib atau memang mujizat seorang dokter tua masih terlihat segar tanpa
rasa frustasi setelah berada di hadapan ribuan pasien positif corona. Walaupun
banyak dokter tidak mengenal ke-Tuhanan, namun dokter Han mempunyai kehidupan
berbeda. Bisa dikatakan dokter tua itu rajin berdoa bahkan selalu berada di
sebuah tempat ibadah kecil diam-diam tanpa sepengetahuan rekan kerjanya sama
seperti mama. Tuhan memang membuat
perbedaan antara seseorang yang benar-benar bertekun dalam doa dan kehidupan di
luar sana…
Saya
harus bisa menyusun rencana apa pun caranya. Situasi gawat terus diungkapkan
antara satu sama lain di hadapan seorang presiden, sedangkan dokter Han
terlihat begitu tenang bahkan harus menjadi pendengar setia seperti biasa. Rasa
stress mulai terjadi di antara mereka. “Berikan saya pernyataan berharga untuk
menghentikan kasus pandemic virus di Negara tercinta” kalimat sang presiden
terarah terhadap menteri kesehatan bersama seluruh tenaga medis.
Seluruh
Negara memiliki kesulitan masing-masing ketika berada di sekitar medan
pertempuran melawan sang virus pembawa petaka. Berusaha mengalihkan perhatian
para ajudan presiden kemudian melakukan penyamaran sebagai pelayan hanya demi
berhadapan langsung dengan sang pemimpin nomor satu.
“Berhasil”
teriakan sorak mengelabui mereka satu persatu. Tiba waktu paling berharga
buatku yaitu berhadapan muka secara langsung bahkan membuat pintu ruangan
terkunci rapat tanpa rasa takut. Di antara kami hanya ada seorang ajudan
kepercayaan pemimpin nomor satu dan itu tidak masalah buatku.
“Saya
ingin berbicara pribadi bahkan langsung ke inti kalimat” mengungkap tanpa rasa
takut sama sekali.
“Kau
siapa?” sang presiden terkejut seketika.
“Saya
hanyalah salah satu anak korban di kota kedua tempat sarang virus bermain
sampai mejalar ke seluruh dunia” jawaban cukup…
Seolah
sesuatu menghentikan sang ajudan presiden untuk memanggil bantuan para pengawal
di luar. Tuhan sengaja merusak alat komunikasi mereka sehingga cukup memudahkan
saya mengeluarkan segala hal. “Kau pernah tidak merasakan kata kehilangan itu
seperti apa?” membuat sebuah pernyataan depan seorang pemimpin Negara. Setelah
sekian waktu saya mencari jalan untuk berdiri di hadapannya dan meluapkan
segala isi hati yang terus saja berteriak kuat.
“Sampai
kapan masa lockdown berakhir? Virus itu menghancurkan kehidupan semua orang di
semua tempat” amarahku meledak kuat.
“Kau
berani terhadap presiden sendiri” ajudan kepresidenan menggertak.
“Saya
berani memang. Ini bukan tentang seberapa hebat presiden membangun sebuah rumah
sakit, banyaknya uang yang dikeluarkan, upaya karantina di segala tempat. Semua
itu tidak berarti…” berkata-kata kembali. Saya tidak perduli akan tindakan para
pemimpin selanjutnya atas kelakuan burukku sekarang. Mungkin bagi orang kaya
dengan penghasilan besar dapat melakukan segala aktifitas dengan hanya berada
di rumah saja. Lantas bagaimana dengan mereka yang berperan sebagai pemulung,
pedagang kecil, karyawan kecil, dan segala jenis tempat pencaharian orang-orang
miskin? Siapa yang akan memberi mereka makan? Uang dari mana di dapat untuk menghidupi
anak-anaknya?
“Buka
mata hatimu setitik saja untuk melihat begitu banyaknya mayat berjatuhan di
luar sana” menangis histeris di hadapan para pejabat penting. Saya tidak
menginginkan mereka melakukan ini dan itu…
Saya
hanya butuh para pemimpin dunia terlebih khusus presiden di hadapanku sekarang
menanggalkan keangkuhan hatinya di hadapan sang pencipta. Sekarang ini tidak
usah mencari siapa paling benar, salah, suci, kotor, terjenius, bodoh, banyak
dosa, ambisius untuk menjadi nomor satu di semua tempat, dan sejenisnya. Ada
banyak orang di luar sana menangis menjerit karena kehilangan orang terdekat.
“Setidaknya
buat satu ruang pengampunan khusus terhadap Tuhan atas segala hal yang terjadi
sampai wabah virus mematikan semacam covid-19 hilang ditelan bumi” menatap
tajam ke arah sang presiden.
“Mamaku
juga dibunuh oleh virus itu. Saya memang tidak bisa mengembalikan mama, minimal
saya akan berjuang menyerang presiden bersama para pejabatnya untuk
menghentikan virus tersebut dengan jalan merendahkan hati di hadapan Tuhan”
sekali lagi berkata-kata menyerang sang presiden.
Tenaga
medis pun mempunyai keluarga bahkan harus hidup dalam ketakutan untuk menjadi
barisan terdepan melawan virus mematikan. Resiko tertular paling tinggi memang
berada pada diri mereka dan bukan bidang lain. Sampai dimana sih kekuatan
seorang pejuang medis menghadapi pasien? Mengorbankan kehidupan seluruh tenaga
medis terdengar menyedihkan. Sampai kapan letak kemampuan mereka bekerja? Ada
saatnya juga akan mengalami drop…
“Orang
introvert sekalipun merindukan dekapan hangat orang di sekitarnya. Sampai kapan
semua orang harus menjaga jarak satu sama lain?”
Setidaknya,
para pemimpin dunia bersatu hati merendahkan hati di hadapan Tuhan memohon
pengampunan. Jalan keluar dari masalah tersebut bukan tentang seberapa besar
kejeniusan seseorang menghentikan/ melenyapkan Corona virus keluar dari hidup
banyak orang, melainkan bagaimana sikap hati untuk berlutut dalam sebuah ruang
dengan hati yang hancur di hadapan sang pencipta.
Seorang
pemimpin harus tahu bagaimana cara berada di hadapan sang pencipta dengan hati
hancur. Bukan permasalahan saya tidak menghormati presiden, hanya saja keadaan
membuatku harus melakukan hal semacam ini. meninggalkan ruangan tersebut
setelah meluapkan segala hal yang terus saja bermain di dasar hati. Beruntung
saja mereka tidak menahanku atas tuduhan penyerangan terhadap pemimpin nomor
satu di Negara tercinta.
Presiden membuat sebuah pernyataan beberapa
hari setelah kejadian tersebut, sedangkan saya sudah kembali berada di kota
kelahiranku bersama tenaga medis lainnya. “Ada banyak kesalahan tanpa sadar
kami sebagai manusia yang sedang berada di sekitar tanduk pemerintahan terlebih
saya pribadi harus di benahi” pernyataan sang presiden melalui media…
“Kesalahan
terbesar seorang pemimpin adalah terlalu sulit mempertanggung jawabkan
sekaligus membawa bangsanya sendiri di hadapan Tuhan sang pencipta. Sebagian dari
kami memang pandai berkata-kata tetapi sikap angkuh kenyataannya selalu saja
bermain, itulah gambaran manusia” kembali berkata-kata lagi…
Tiba-tiba
saja sebuah suara ketukan pintu terdengar jelas di rumahku. “Saya ingin belajar
tentang ke-Tuhanan dan bagaimana cara berdiri di hadapan sang pencipta dengan
hati paling hancur mewakili bangsaku sendiri demi menghentikan wabah virus
mematikan hingga memakan banyak nyawa” sebuah pesan melalui kertas tertulis
rapi di sekitar pintu rumahku.
Presiden
menulis surat ini? mimpi atau bukan? Menurut informasi, diam-diam sang presiden
belajar berdoa memohon pengampunan dalam sebuah tempat ibadah kecil milik
dokter Han. Akhir cerita dari negaraku adalah wabah tersebut mulai pergi
menghilang setelah seorang pemimpin nomor satu memohon pengampunan beserta
belas kasih di hadapan Tuhan sang pencipta.
“Rubi,
kuharap kau bisa membuat banyak cerita-cerita lucu bagi pasienku di rumah
sakit. Sekarang juga” seperti biasa Zangbi mengirim pesan setiap harinya…
TAMAT