WHEN I SEE…
Bagian
1…
HAVA…
Berirama
menghentakkan jalan hidup di tengah suara keras angin ribut terdengar
menyedihkan. Menikmati kesempurnaan merupakan mimpi tiap pribadi termasuk
hidupku sendiri. Saya ingin tertawa lebar tanpa melihat keadaan yang sedang
mempermainkan dinding ruang di sekitar jalan. Melupakan rasa sesak sekaligus
beban pergumulan sambil tersenyum, namun keadaan selalu berkata lain. Ingin
berlari bahkan tinggal diam di suatu tempat tersembunyi tanpa seorangpun
mengenal wajahku merupakan objek terbaik yang ingin kulakukan.
“Hava,
sayur buat kalian di rumah” nada suara bibi Azmi begitu perhatian.
“Terima
kasih” membalas ucapannya.
Mengalungkan
beberapa ikat sayuran dalam sebuah kantong sekitar leherku. Kenapa harus
seperti itu? Seorang Hava sejak lahir tidak memiliki dua tangan sebagai
pegangan. Sepertinya hidup benar-benar tidak adil. Miskin, tanpa kasih sayang
ayah, menderita, cacat seolah menusuk begitu kuat hingga menyisahkan kisah
terkacau.
Bunda
hanya berjualan ikan di pasar demi menyambung hidup. Gadis remaja cacat sedang
berjalan mengitari satu lingkaran menyedihkan di antara objek paling
menyedihkan. Sejak kecil, saya harus belajar menjalani banyak hal tanpa bantuan
seseorang. Seolah bunda sengaja membuatku melakukan segala sesuatunya seorang
diri. Makan, menulis, menyikat gigi, mengambil air, berpakaian, dan segala
aktifitas bukan memakai tangan seperti manusia normal. Tinggal di sebuah
perkampungan kecil jauh dari kota besar menjadi bagian hidup kami berdua.
Permainan,
nada cerita, cacat, derasnya badai seolah tak pernah berhenti menerkam jalan itu.
Mereka semua tertawa histeris di dalam ruang sunyi setiap menitnya. Manusia
bodoh sekaligus cacat semacam diriku hanya bisa berjuang menahan rasa sakit
ketika nada cerita paling menyedihkan sedang menyergap tanpa belas kasih. “Hava
anak terbaik bunda” seorang ibu yang selalu menganggap anaknya adalah harta
berharga jauh melebihi batu berlian.
“Hava
bukan anak terbaik bunda” membalas kesal pernyataan bunda.
“Kenyataan
anak bunda paling cantik kan Cuma Hava” seperti inilah bundaku segera membawaku
masuk dalam dekapannya.
Senyuman
bunda membuatku bertahan untuk terus menyatakan satu kisah cerita lain walaupun tanpa kedua tangan. “Semangat”
kalimat bunda ketika ujian akhir sekolah
tiba.
Di
satu sisi bunda mendidik keras kehidupanku pribadi agar tidak bergantung pada
orang lain, di sisi lain dekapan hangatnya bersama kata-kata bijak juga menciptakan
irama tersendiri. “Cacat bukan berarti segala objek yang sedang membungkus
harus terlihat mati” ucapan bunda menatap ke arahku seolah menyadari jalan
pikiran anaknya.
“Buktikan
pada dunia kalau cacat bukan akhir dari segalanya, melainkan satu kisah manis yang sedang Tuhan ciptakan untuk
menyatakan nada cerita penuh hentakan seni tanpa batas” ya sekali lagi
pernyataan bunda mendekap kuat tubuhku.
Saya
ingin belajar tersenyum apa pun kondisi fisikku sekarang, tetapi seakan
terdapat benteng cukup kuat menghancurkan segalanya. Mengarungi hidup tanpa
kedua tangan tidak semudah pemikiran bunda. Banyak orang merasa kasihan ketika
menatap ke arah manusia cacat sepertiku. Satu hal, di luar sana ejekan demi
ejekan pun tidak pernah absen membungkus jalan hidup seorang Hava.
“Cacat
tidak berarti mati, melainkan hidup apa pun lukisan perjalanan seseorang”
kalimat bijak bunda untuk hari ini.
Terkadang
saya sulit menerima kalimat bijak bunda oleh karena realita jalan hidup jauh
lebih menyedihkan. Ingin memiliki tubuh normal seperti banyak orang di luar
sana merupakan impianku yang tidak
mungkin tercapai. “Juara Kelas semester kali ini masih dipegang ma dia” salah
seorang siswa menatap daftar urutan nilai sekolah sekitar mading.
“Percuma
pintar kalau cacat” seseorang berbisik sambil tertawa…
“Makan
harus memakai kaki, aduh gimana tuh rasanya” ujaran kebencian.
“Mungkin
semua guru kasihan, makanya Hava dijadikan juara juara kelas terus”…
“Selalu
saja” suara hati manusia cacat sedang berbisik. Mereka semua berpikir rasa
kasihan seluruh guru terhadap kondisi fisikku menjadi alasan kenapa setiap
akhir semester mendapat peringkat kelas. Tidak seorangpun pernah menyadari
bagaimana seorang ibu berjuang menjadi penyemangat sang anak.
Sejak
dulu bunda terus berada di sampingku memberi senyum kehangatan terbaiknya untuk
melalui perjalanan sulit. Berusaha meluangkan waktu sekalipun dikatakan beliau
harus berperan sebagai ayah untuk memenuhi kebutuhan rumah. Menutup rapat kedua
telingaku ketika beberapa dari tetangga ataupun orang lain melemparkan gurauan
ejekan terhadap anaknya.
“Kau
harus buktikan satu jalan cerita termanis bagi bunda walaupun tanpa kedua
tangan sempurna seperti kebanyakan orang di luar sana” ucapan tersebut selalu
terngiang jelas ketika hendak mengajarkan kehidupan mandiri…
“Hava
pasti bisa” melatih keras kakiku agar bisa menulis huruf satu demi satu
beberapa tahun lalu. Saya ingin menyerah melakukan semua perintah bunda saat
itu. Hal di luar dugaan adalah beliau terus berada di samping hingga salah satu
kakiku dapat menggenggam sebuah pena.
“Tulisan
Hava masih harus diperbaiki lagi biar bagus,” bunda terus saja menghapus
ratusan huruf pada selembar kertas.
Bunda
benar-benar menginginkan anaknya dapat membuat tulisan terbaik diantara semua
anak normal lainnya. “Tulisan anak bunda harus seindah mungkin seperti
wajahnya” menyerahkan sebuah pena .
Sejak
kecil bunda terus melatih pergerakan kakiku ketika menulis ataupun menggambar
beberapa objek di sekitar. “Cacat tidak berarti harus diam di tempat tanpa
menunjukkan sebuah prestasi manis” kata-kata bunda untuk sekian kalinya
memberiku dekapan hangat.
Semua
orang bisa saja berpikir, manusia cacat sepertiku tidak memiliki satu kelebihan
apa pun. Dunia hanya bisa berkata tentang kekurangan akan selalu membungkus
bahkan rasanya mustahil menjalani segala sesuatu ketika salah satu anggota
tubuh tidak dimiliki. “Bunda akan mematahkan kata-kata mereka di luar sana
berarti Hava harus berjuang” genggaman erat seorang ibu menatap tajam ke
arahku.
“Ucapan
memang benar” tertunduk seolah menerima kenyataan hidup.
“Sepertinya
Tuhan tidak pernah adil” berucap lagi sambil menghela nafas.
“Bukannya
tidak adil, hanya saja Tuhan sedang mempersiapkan satu jalan cerita termanis
buatmu dan tergantung bagaimana kau berjalan memperjuangkan semuanya” Bunda
tidak pernah kehabisan kata-kata bijak setiap harinya.
Apa
saya harus mempercayai setiap kalimat bunda? Rasanya sulit buatku berjalan
menurut keinginannya terlebih menunjukkan tentang satu keistimewaan manusia
cacat. Selama putri tunggalnya berada di bangku sekolah dasar sama sekali tidak
menunjukkan prestasi apa pun. Bunda menyerah? Tentu tidak…
Terus
berada di sampingku bercerita banyak hal bahkan membuatku terus duduk manis
depan meja belajar. Pada akhir cerita adalah prestasi sekolah mulai beralih ke
tanganku. Perlahan tapi pasti Hava si’cacat mulai masuk dalam daftar posisi
lima besar hingga akhirnya berada di urutan pertama beberapa semester
belakangan. Perjuangan bunda tanpa sadar menyatakan hidup pada tiap hembusan
nafasku.
“Ibu
ingin bicara dengan bunda Hava” wali kelasku menghalangi langkahku menuju
perpustakaan sekolah.
“Apa
boleh?” sekali lagi melemparkan sebuah pertanyaan.
Seperti
ada sesuatu hal serius ingin diungkapkan olehnya tentangku. Entahlah.
Mengangguk pertanda mengiyakan keinginan sang wali kelas. Apa saya membuat satu
kesalahan besar? Pertemuan mereka menimbulkan rasa penasaran olehku. “Jangan
takut, anak bunda tidak mungkin melakukan kesalahan” bunda benar-benar membaca
isi pikiran anaknya.
“Maaf
membuatmu malu” wajah menunduk.
“Hava
tidak pernah mempermalukan bunda” mata manik bunda percaya…
“Entahlah”
ragu atas ucapan bunda.
Singkat
cerita, bunda berjalan masuk ke dalam sebuah ruang tempat wali kelasku. Saya
hanya bisa bersandar di depan pintu agar bisa mendengar apa yang sedang mereka
perbincangkan. “Saya meminta maaf sebesar-besarnya terhadap ibu guru kalau anak
saya berbuat kesalahan” kalimat pertama bunda terdengar jelas.
“Hava
gadis baik, pintar, penurut, berhati lembut hanya sedikit pendiam jadi tolong
jangan menghukum dirinya” kata-kata polos bunda kembali terdengar.
Memangnya
kesalahanku apa sampai wali kelasku memanggil bunda seperti ini? Pemanggilan
orang tua bukan tanpa sebab. Hampir seluruh orang tua murid berhadapan dengan
pihak sekolah seperti wali kelas atau guru lainnya karena membuat masalah
besar. “Tuhan maha tidak adil, dengarkan doaku kali ini” berkata-kata di dasar
hati. Selama ini saya selalu menganggap sang pencipta berlaku curang atas
hidupku.
“Lindungi
bundaku, jangan sampai serangan jantung mendadak” isi doa seorang manusia
cacat. Cukup sang pencipta melindungi bundaku merupakan hal terbaik buatku.
Saya tidak mungkin mendapat keistimewaan Tuhan jika dilihat bagaimana kisahku
lahir tanpa dua tangan. Setidaknya, sang pencipta membuat bundaku tetap ada
dalam genggaman tangannya.
Saya
merasa tidak melakukan kesalahan apa pun, namun entahlah kenapa sampai wali
kelas ingin bertemu mendadak seperti sekarang. “Siapa bilang kami memanggil
anda karena Hava melakukan satu kesalahan besar?” wali kelas tertawa lebar di
hadapan bunda.
“Berarti
anak saya tidak membuat kesalahan kan?” mata bunda terbelalak…
“Hava
anak baik, penurut, jenius mana mungkin memberi hukuman” wali kelas.
“Lantas?”
bunda.
“Prestasi
Hava jauh melebihi siswa lain di sekolah, jadi terlalu sayang kalau sekolahnya
hanya sampai sekolah menengah saja tanpa mengenyam bangku perkuliahan” wali
kelas.
“Maksud
ibu?” bunda.
“Anak
dengan standar terbawah sekalipun kami sarankan untuk terus mengenyam
pendidikan pada salah satu kampus demi masa depan mereka terlebih siswi seperti
Hava” wali kelas.
“Berarti?”
bunda.
“Semua
guru ingin yang terbaik bagi Hava. Setiap tahunnya pihak sekolah melakukan
percakapan pribadi antara guru dan seluruh murid satu persatu bahkan mengisi
selembar kertas tentang mimpi maupun kampus yang ingin ditujuh” wali kelas.
“Hava
hanya diam ketika saya sebagai wali kelas bertanya tentang mimpi dan kampus pilihannya
bahkan lembaran formulirnya pun kosong” wali kelas.
“Hava
hanya butuh waktu” bunda.
“Manusia
cacat mana mungkin bisa berlari keras mengejar mimpi walaupun dikatakan
memiliki otak encer seperti manusia normal lainnya merupakan jawaban Hava dan
pernyataannya itu membuatku sedikit khawatir” wali kelas.
“Dia
hanya takut meninggalkan ibunya seorang diri” bunda.
Wali
kelasku tidak kehabisan akal mencari cara agar saya meninggalkan perkampungan
kecil untuk berada di kota besar mengejar mimpi. Cacat tidak berarti tidak
memiliki tujuan dan mimpi besar itulah pernyataan terbaik darinya sebagai
seorang guru. Rasa takut mendapat penolakan menjadi salah satu alasan kedua
kakiku ingin tetap berada di tempat.
Andaikan
saya berada jauh dari bunda berarti segala rutinitas harus kulakukan seorang diri
tanpa dua tangan sempurna. Bagaimana bisa semua dikerjakan olehku. Bunda
berjalan ke arahku di sekitar taman sekolah setelah pertemuannya dengan sang
wali kelas. Kami berdua hanya diam menikmati udara sejuk sambil memperhatikan
beberapa objek.
“Anak
bunda pasti lapar” segera berdiri mencari jajanan di sekitar kantin.
Selang
beberapa menit bunda membawa beberapa jajanan kantin juga sebotol air. Tidak
ingin melemparkan beberapa pertanyaan hanya membuatku ingin menikmati makanan
kantin. Beberapa hari belakangan kami berdua menghabiskan waktu di beberapa
tempat. Berkeliling kampung hanya memakai sepeda peninggalan ayah merupakan hal
terbaik yang pernah ada. Berjualan ikan di pasar bersama teriakan hebat bunda
agar semua orang beralih ke tempat kami berdiri. Menikmati suasana angin laut
sekitar bibir pantai. Makan gratis di rumah makan kecil milik ibu Asmi sahabat
bunda.
“Bunda
ingin Hava memiliki satu mimpi besar tanpa berpikir tentang kondisi tubuh harus
sempurna seperti manusia lain di sekitar,” cepat atau lambat bunda pasti akan
berkata-kata seperti ini.
“Hava
takut” ciri khas seorang Hava hanya menundukkan wajah.
“Apa
Hava tidak ingin bertanya mimpi besar bunda?”
“Hava
tidak perlu tahu” jawaban untuk pertanyaan bunda.
“Hava
bisa menjadi satu pribadi berintelektual dan berintegritas adalah mimpi besar
bunda terhadapmu. Bertemu seorang pria yang mau menerima kondisi fisik Hava
kemudian menikah bahkan mempunyai anak suatu hari kelak merupakan mimpi kedua”
bunda.
“Mustahil”
tertawa sinis mendengar pernyataan bunda.
“Apa
pun alasannya Hava harus bisa mewujudkan mimpi bunda” kalimat seorang ibu yang
tidak pernah ingin anaknya berpikiran sempit.
“Cacat
bukan alasan untuk menghentikan pergerakan mimpi seseorang, ngerti?” bunda.
Menjadi
pertanyaan sekarang adalah sebenarnya mimpiku ada di sekitar area mana? Menatap
semalaman lembaran formulir sekolah merupakan kegiatanku sepanjang malam.
Mengingat tiap kalimat bunda tentang sebuah mimpi besar. Ketika saya melihat
satu jalur area, bagaimana kisah kelanjutan manusia cacat bergerak? Tembok
besar menjadi benteng terkuat membuatku sulit percaya tentang pernyataan bunda.
Entah
kekuatan dari mana hingga saya harus ikut setiap keinginan bunda tanpa rasa
percaya sedikitpun. Satu hal, manusia cacat sepertiku bisa berjalan karena
memakai iman seorang ibu bukan karena hasil kerja kerasku. “Anak bunda pasti
bisa melewati semuanya” bunda membawaku masuk dalam dekapannya.
“Bagaimana
kalau Hava gagal?” wajah menunduk seperti biasanya.
“Mencoba
jauh lebih baik dibanding tidak sama sekali. Hava hanya harus mencoba, berjuang
dan memberi kesempatan terhadap diri sendiri” bunda.
“Bagaimana
kalau mereka semua menertawakan Hava?”
“Biarkan
nada-nada cerita seperti itu menciptakan kisah manis buatmu” Bunda.
“Bunda…”
“Anggap
semua hal yang terjadi seperti penolakan, kehidupan cacat, dan kegagalan
sebagai seni untuk membuat Hava terlihat hidup di sepanjang area jalan terbaik”
bunda. Saya ingin mencoba belajar percaya ucapan bunda untuk pertama kalinya
sepanjang hidupku. Tuhan, ajar jalanku agar bisa berlari melihat ke arahMU.
Bagian
2…
HAVA…
Akhir
kisahku adalah mengikut setiap keinginan bunda. Mendapat beasiswa pada salah
satu kampus terbaik di kota besar jauh dari perkampungan tempat tinggalku.
Sebenarnya saya ingin menjadi apa suatu hari kelak? Pertanyaan yang selalu saja
mengganggu rutinitas hidupku. Jujur, saya tidak berani bermimpi tentang jalan
hidup di depan mata.
Rasa
takut menjadi bahan tertawaan, gagal, terlihat bodoh, cacat menjadi alasan
terbesar kisahku tidak ingin berpikir tentang mempunyai atau bahkan mengejar
mimpi besar. Mendayung sebuah perahu tanpa kedua tangan di tengah laut demi
sebuah tujuan hidup rasanya mustahil dilakukan.
Memilih
asal-asalan jurusan kuliah hanya untuk membuat bunda berhenti berkata-kata.
Saya tidak memiliki satu pun mimpi yang ingin diwujudkan. Belajar menjalani
segalanya tanpa bantuan bunda merupakan ceerita hidupku sekarang. “Hava harus
bisa mengerjakan segalanya sendiri tanpa bunda” ucapan perpisahan antara ibu
dan anaknya sedang terjadi.
Belajar
hidup di sekitar perkotaan besar seorang diri demi mewujudkan keinginan bunda
juga wali kelasku di sekolah. “Cacat tidak berarti tidak bisa melakukan
segalanya seorang diri” bunda tersenyum ke arahku.
Dengan
tubuh terlihat tidak bersemangat berjalan menuju sebuah kapal penumpang. Jarak
antara kampung tempat tinggalku dan perkotaan cukup jauh, jadi harus memakai
alat transportasi seperti pesawat atau kapal laut. Memilih kapal laut demi
menghemat biaya transport merupakan alternative bagi kami orang miskin. Berada
di laut selama dua malam satu hari membuatku sedikit ketakutan. Bagaimana kalau
seseorang mencuri salah satu barang milikku?
“Tidak
usah takut karena seluruh barang milik Hava akan tersimpan aman” seorang pria
paruh bayah mengangkat beberapa kardus milikku.
“Paman
seorang nahkoda sahabat bunda” senyum pria tua itu.
Ternyata
bunda menyadari jalan pikiran anaknya sampai meminta bantuan terhadap nahkoda
kapal tersebut. Pria tua itu memberi sebuah kamar khusus selama berada di kapal
sehingga saya tidak perlu berada pada barisan penumpang lainnya berebut tempat.
“Terima kasih paman” berkata-kata sambil membungkukkan badan ke bawah.
“Sama-sama
Hava,” paman Edward mengelus anak rambutku kemudian berjalan keluar.
Entah
seperti apa dunia perkotaan di luar sana? Sepertinya saya ingin tertawa lebar
membayangkan berjalan seorang diri di tengah kota tanpa dua tangan sempurna. Tidak
mempunyai mimpi tetapi terpaksa berjalan seperti sekarang terdengar kacau. Paman
Edward tidak hanya memberi kamar khusus buatku melainkan menyuruh pelayan
membawa makanan sesuai jadwal. Hal tidak terduga lagi adalah mengantarku ke
sebuah rumah kontrakan kecil setelah kami berada di kota besar sebelum kembali
melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang nahkoda.
“Kebetulan
rumah ini milik teman paman, jadi biaya sewanya juga tidak terlalu mahal” ujar
paman Edward mengangkat semua barang milikku masuk ke dalam rumah.
“Jarak
antara kampus dan rumah tidak jauh jauh, jadi Hava tidak perlu takut lagi”
sekali lagi paman Edward tersenyum ke arahku.
“Paman”…
“Satu
lagi, paman pasti akan sering berkunjung kalau kapal lagi sandar” paman Edward.
“Sekali
lagi terima kasih paman” membungkukkan badan terhadapnya.
“Sama-sama
Hava” kedua kalinya membelai anak rambutku kemudian berjalan keluar
meninggalkan saya seorang diri.
Mengatur
rapi barang seorang diri merupakan sesuatu hal terkacau buatku. Memakai dua
kaki menyelesaikan segalanya benar-benar membutuhkan perjuangan. Andai kata
saya memiliki dua tangan sempurna tentu hidupku tak akan sesulit seperti
sekarang. menyapu sekaligus mengepel lantai rumah rasanya mustahil terjadi
tetapi di luar dugaan terjadi sebuah mujizat. Mengapit sebuah sapu kecil
sekitar lengan potongan tanganku menjadi alternative terbaik. Bunda memang
melatih keras anggota tubuhku untuk menjalani aktifitas, tetapi terkadang saya
gagal untuk beberapa tempat selama
bertahun-tahun lamanya.
Melipat
pakaian memakai dua kaki dan mulutku benar-benar membutuhkan perjuangan keras.
Kenapa saya harus berada di kota besar seperti ini? Seolah bunda sengaja
menyuruh saya jauh terpisah darinya sehingga tidak lagi bergantung ataupun
melakukan rutinitas memakai bantuannya. “Kenapa kardus ini berat sekali?”
berusaha mendorong sebuah kardus. Mengambil sebuah pisau kemudian membuka isinya…
“Apa
ini?” menatap isi kardus.
Terdapat
beberapa toples berisi recehan koin juga lembaran uang kertas. Perjuangan
seorang ibu menyisihkan uang bertahun-tahun lamanya demi masa depan sang anak.
“Anak bunda harus memiliki mimpi besar sekalipun semua orang akan tertawa lebar
karena rasanya mustahil untuk diraih” goresan tulisan bunda tertera jelas di
bagian luar toples plastik tersebut.
Tuhan,
mimpi seperti apa yang kuinginkan? Cacat menyatakan hidupku tidak mungkin bisa
menggapai sesuatu. Kondisi tubuh seperti ini membuatku tidak pernah berani
untuk bermimpi. Bunda selalu ingin yang terbaik bahkan mengajar tentang satu
jalan menuju mimpi, tetapi hidupku sendiri terus saja melihat benteng cukup
kuat sedang berteriak menertawakan diri.
Hiasan
jalan sebuah pribadi terlihat hidup ketika gambar kesempurnaan mengikat kuat
sebagai peranan terbaik. Berjalan seperti orang bodoh di tengah perputaran roda
sama saja melenyapkan satu kekuatan dalam diri. Apa yang bisa dibanggakan oleh
manusia cacat hingga dapat berlari mengejar perputaran roda tersebut? Hembusan
angin cukup kuat berhembus mengitari sisi lain kisah cerita sang manusia cacat.
“Hei
anak baru” seseorang berteriak seperti menatap ke arahku.
“Tempat
pendaftaran kampus adanya di lapangan sana bukan ruangan di sini, ngerti?” dia
berkata-kata dengan nada keras, lantang, bahkan terdengar sangat galak.
“Maaf”
kebiasaan buruk seorang Hava adalah selalu saja membungkukkan badan…
Berada
di kampus untuk pendaftaran ulang setelah dilakukan secara online terdengar
membosankan. Mahasiswi jurusan keuangan menjadi pilihan di luar dugaan.
Entahlah, kenapa saya tiba-tiba saja memilih jurusan tersebut? Sulit menentukan
apa yang ingin kukejar seperti kebanyakan orang di luar sana. Membutuhkan waktu
panjang untuk berpikir satu mimpi dari manusia cacat bernama Hava Elisa.
Suasana
dan lingkungan berbeda di kampus baru menjadikan hidupku semakin hidup dalam
rasa takut luar biasa. “Kau masih bisa merangkak andaikan dua kakimu tidak lagi
berfungsi untuk berlari mengejar satu objek terbaik di sekitar jalanmu,” sebuah
kalimat tertulis manis pada dinding utama perpustakaan kampus.
“University
of Hava college” hal terkacau adalah sama sekali tidak menyadari kalau nama
kampusku sama seperti namaku.
Saya
benar-benar tidak memperhatikan nama kampus ketika mengisi lembar formulir
beberapa waktu lalu di sekolah. Wali kelasku ibu Hana hanya menyerahkan
selembar kertas tanpa memberitahu lebih detail tentang kampus tersebut. Bisa
dikatakan, seorang Hava lulus tanpa tes di kampus tersebut. Menikmati dunia
sendiri menjadi ciri khas seorang manusia cacat.
Berjalan
pulang dan pergi dari kampus seorang diri bahkan tanpa bantuan siapapun
terbiasa kulakukan. Mungkin karena rasa takut menerima penolakan atau menjadi
bahan tertawaan hingga membuat saya tidak berani berada di tengah-tengah
pergaulan kampus. Saya ingin tertawa lepas melupakan dua tangan sempurna yang
tidak mungkin kumiliki seperti manusia normal lain. Rasa minder, kecewa, malu,
takut menjadi benteng terkuat menghalangi tawa tersebut lepas begitu saja.
“Hati-hati
kalau jalan!” suara paling angker tiba-tiba saja berteriak.
“Maaf”
segera berlari dan tidak lagi memperhatikan wajah seseorang yang sedang menegur
keras ke arahku.
Salah
seorang dosen kampus dikenal sebagai pengajar berkualitas, tegas, galak,
dingin, tidak pernah tersenyum menatap ke arahku. Dia orang yang sama ketika
pertama kali menginjakkan kaki sekitar tempat ini menegur keras ketika saya
salah memasuki ruang pendaftaran. Seluruh penghuni kampus terlihat gemetar
ketika berdiri di depannya termasuk kehidupanku sendiri.
“Jangan
Cuma pakai maaf, melainkan gunakan otak dan matamu” ucapan sekaligus tatapan
matanya terlihat sangat dingin menunjuk ke arahku.
“Maaf”
sekali lagi membungkukkan badan kemudian berlari jauh darinya.
Menikmati
kesendirian menatap beberapa buku di tempat seharusnya. Ya, dimana lagi kalau
bukan di perpustakaan. Kenapa juga mentalku terlihat lemah seperti ini setiap
berdiri di tengah pergaulan kota. “Jangan hidup kalau kau sama sekali tidak
memahami defenisi memiliki dan mengejar satu mimpi besar” salah satu slogan
perpustakaan besar tertulis rapi pada meja tempatku berada. Saya saja tidak
mempunyai mimpi terlebih mengerti defenisi mengejar mimpi…
“Pernyataan
terbodoh” tertawa sinis membaca kalimat tersebut.
Tuhan,
bisakah diriMU membuatku mempunyai sebuah mimpi besar untuk dikejar walaupun
dua tangan tidak mungkin bisa menyatakan cerita manis di tiap hembusan nafas?
Saya harus memakai salah satu kaki untuk menulis ketika berada dalam ruang
perkuliahan. “Sepertinya saya butuh kalian menulis ribuan kata tentang
kebahagiaan, mimpi, management keuangan, dan pola pikir ketika berjalan
mengitari perputaran roda kehidupan” ucapan dosen terdingin.
“Tulisan
memakai tangan bukan ketikan dengan jumlah kertas minimal 50 lembar, ngerti?”
hal terkacau dari kalimatnya. Saya rasa ini bukan ujian akhir melainkan awal
semester, tetapi kenapa seperti menghadapi detik-detik akhir di kampus?
“Bagaimana
dengan Hava tanpa 2 tangan sempurna?” pertanyaan seseorang…
Salah
seorang dari mereka sepertinya menyadari nama dan identitasku. Selama ini, saya
hanya diam seribu bahasa dan tidak pernah bisa berjalan ke arah mereka untuk
mencoba tersenyum ataupun mencari teman. “Dia kan cacat” mahasiswa lain seolah
menyindir atau entahkah hanya mengemukakan pendapatnya masing-masing.
“Cacat
bukan berarti tidak memiliki otak untuk berpikir” jawaban ganas sang dosen.
“Kau
masih bisa memakai kaki untuk menulis” dosen itu benar-benar menghafal wajah
dan namaku.
Diam
seribu bahasa menjadi ciri khas seorang Hava. Waktu pemberian tugas berkisar
dua minggu dari sekarang. Pola pikir ketika berjalan mengitari perputaran roda?
Menulis kata demi kata kemudian membuatnya menjadi seperti bola dengan akhir
cerita masuk dalam keranjang sampah. Tidak ada hal menarik untuk ditulis sesuai
perintah mr. Juan alias sang dosen.
Hal
lebih mengejutkan lagi adalah merobek seluruh tugas milik kami beberapa detik
setelah membaca bagian isinya. “Hancur” kata dingin merobek bahkan membuatnya
berhamburan di sekitar lantai.
“Berantakan”
“Kata
apaan ini? sangat tidak berpendidikan” ejekan nada kalimat terdingin.
“Hava”
dosen itu menyebut namaku.
“Saya
tidak mengerti bagaimana beberapa kata ini beriringan sekaligus menciptakan
kisahnya sendiri ketika gambar kelemahan dari satu objek tertentu terlukis
jelas” dia membaca nyaring salah satu bagian kalimat hasil tulisanku.
“Sudah
cacat overdosis dan sekarang hidupmu lebih kacau dibanding manusia normal”
sangat tidak berperasaan…
“Buat
lagi tulisan baru!” nada memerintah setelah merobek lembaran tugasku kemudian
membuatnya berhamburan sekitar lantai.
Hal
terkacau lagi adalah menolak untuk kesekian kalinya tugas milikku. Bukan hanya
saya memang satu-satunya korban penolakan tugas melainkan hampir 80% mahasiswa
lain mengalami nasib sama. Selalu membaca nyaring, menyindiri, tertawa sinis
satu-satunya tulisan milikku dibanding yang lain. “Pola pikir tidak mungkin
terbentuk kalau jalanmu sendiri hanya menilai dunia lain untuk berjalan
mengitari perputaran” seperti biasa dia berkata-kata sangat dingin.
“Pandangan
hidupmu jauh lebih cacat dibanding cacat fisikmu” memandang sinis seolah tanpa
belas kasih sedikitpun.
Pertama
kali seorang pengajar memperlakukan jalan hidupku seperti sekarang. Ibu Hana
tidak pernah melemparkan ucapan-ucapan mematikan ataupun terdengar kasar.
Bagaimanapun bunda mendidik keras anak semata wayangnya, tetapi tetap saja
terdengar sangat lembut. “Menulis ulang tugasmu atau kau harus mengulang tahun
depan” satu-satunya kata-kata tanpa perasaan dilempar ke arahku.
Berjalan
seperti mayat hidup seolah tak memiliki harapan hidup itulah yang sedang
terjadi atasku. Ibu jari kaki milikku penuh plester obat tetapi tidak memberi
hasil. Berkeliling tempat hanya memakai dua kaki tanpa alat transportasi
merupakan objek yang sedang kulakukan sekarang. “Ini mimpimu, jadi kau harus
berlari secepat mungkin!” suara seseorang berteriak keras di tengah kota.
Apa
yang salah pada penglihatanku setiap harinya? Seorang gadis berusia sama
denganku terus saja berlari tanpa henti seakan hari esok tidak akan pernah ada.
ketika berada di bus, pusat perbelanjaan, halte, kampus, jalan besar selalu
saja gadis tersebut menjadi objek buatku. Tidak pernah merasakan kelelahan
sedikitpun menjadi gambaran dirinya.
“Berlarilah
selagi masih bisa” seorang kakek tua terus saja mengintruksi dirinya.
Akhir
cerita adalah gadis itu terjatuh tepat di depanku. Menangis karena sakit? Tidak
sama sekali merupakan jawaban terbaik. “Kau tidak kenapa-kenapa?” pertanyaan
buatnya.
Dia
segera berdiri bahkan berusaha menahan rasa sakit. “Hozhi” sang kakek tua
berlari ke arah kami berdua.
“Maafkan
cucu saya” pertama kalinya orang kota meminta maaf.
“Cucu
saya bisu jadi sekali lagi maaf…” sang kakek.
Bukan
saya satu-satunya gadis cacat yang sedang bernafas sekitar permukaan bumi.
Selama ini menganggap diri hancur, tidak sempurna, sangat cacat, miskin menjadi
hal terkacau yang selalu saja membentengi jalan hidupku. Usia gadis itu sama
denganku bahkan dengan cerita yang sama pula yaitu cacat secara fisik. Dia bisu
sejak lahirnya dan hanya bisa memakai bahasa isyarat. Lantas mengapa sang kakek
selalu saja berteriak memberi semangat kalau tidak tidak bisa mendengar apa
pun? Hozhi mempunyai mimpi besar yaitu menjadi atlet pelari tercepat.
Jauh
berbeda denganku sama sekali tidak memiliki mimpi. Masuk kuliah asal mengambil
jurusan karena keinginan ibu Hana wali kelasku juga bunda. Menghadapi salah
satu dosen galak yang selalu saja menolak tugas milikku terdengar cukup kacau.
Saya tidak sedang kuliah pada jurusan sastra tetapi dituntut seolah-olah
hasilnya harus sebaik mungkin.
“Jurusan
di sini bukan sastra mister melainkan management keuangan” seolah tidak tahan
lagi menghadapi penolakan demi penolakan hanya karena tugas darinya.
“Siapa
bilang ini jurusan sastra?” mr. Juan balik bertanya.
“Kenapa
mister selalu merobek hasil milikku atau berteriak membaca nyaring isi dari
tugas milikku sambil merobek dan membuatnya berhamburan di lantai?”
Bagian
3…
HAVA…
Sesuatu
hal di luar dugaan berani melawan dosenku sendiri di hadapan para mahasiswa
lainnya. “Lantas, maumu ingin dipuji?” mr. Juan.
“Maksudku”
“Saya
hanya ingin kau menulis bagaimana jalan cerita tentang kebahagiaan, mimpi,
management keuangan, dan pola pikir ketika berjalan sekitar perputaran roda
bukan menuntut tulisanmu harus sastra habis,” kata-kata dingin bersama tatapan
mata menusuk dari seorang mr. Juan.
“Kesalahan
terbesarmu adalah kau selalu merasa menjadi manusia paling cacat yang harus
mendapat belas kasih dari semua orang. Pola pikirmu hanya selalu berhadapan
pada kata kesempurnaan hidup dan tidak pernah mencari jalan untuk berlari
keluar” mr. Juan.
“Cacat
dan benar-benar menyedihkan” sekali lagi mr. Juan berkata-kata ganas.
Hidupku
memang benar-benar menyedihkan sekaligus cacat. Apa yang salah dengan ucapan
sang dosen? Menatap lembaran kerta putih
kemudian mencoba merangkai beberapa kata bersama beberapa defenisi dari nara
sumber berbeda tentang istilah-istilah tertentu. Menulis kata demi kata memakai
kaki akan satu objek itulah yang sedang kulakukan. Membayangkan gadis bernama
Hozhi memiliki mimpi besar membuatku sadar tentang kisah terkacau membungkus
jalurku.
Di
satu sisi saya benar-benar membenci tiap kata dari mulut sang dosen, tetapi di
sisi lain semua ucapannya memang benar. Manusia tanpa dua tangan tidak berani
memiliki mimpi besar untuk diraih dikarenakan selalu berada pada satu istilah
yaitu kesempurnaan. “Kebahagiaan tidak bisa diukur dari permasalahan uang
semata. Seseorang perlu menyadari konsep management keuangan untuk mulai
berjalan ataupun berlari,” mr. Juan seperti biasa membaca salah satu isi bagian
tulisanku.
“Pola
pikir akan mulai terbentuk ketika kondisi keuangan mengalami permasalahan.
Management keuangan seseorang dikatakan sukses bukan karena kelebihan melainkan
dapat mengatur pada objek tepat dari jumlah terbatas” suara nyaring memenuhi
ruang perkuliahan menjadi ciri khas mr. Juan. Selalu saja membaca nyaring hasil
tugasku di depan orang banyak…
“Arti
kalimatmu ini?” mr. Juan melingkari pernyataan pada tugasku memakai pena.
“Banyak
orang berpikir bahwa kebahagiaan bisa dibeli memakai uang hingga menampilkan
gambaran keangkuhan bahkan lebih dari kata tersebut” mencoba menjabarkan.
“Semua
orang membutuhkan uang terlebih saya sebagai orang miskin, tetapi sukses tidak
bisa dinilai dari objek semacam ini. Pengaturan keuangan ketika berhadapan
dengan segala situasi terlebih hal-hal tersulit merupakan seni hidup dalam
konsep management keuangan yang dapat membentuk pola pikir sekaligus
menciptakan kebahagiaan tersendiri” melanjutkan penjelasan kembali.
Mr.
Juan masih memainkan pena miliknya dan melingkari beberapa kata. “Kau belum
menjelaskan tentang mimpi kemudian menghubungkan satu sama lain” mr. Juan.
“Lakukan
perbaikan pada beberapa kata yang sudah saya lingkari dan jelaskan tentang
mimpi besarmu!” mr. Juan melempar lembar jilitan tugas tepat ke mejaku.
Setidaknya
lembaran tugasku tidak lagi dirobek dengan cerita berhamburan memenuhi lantai
ruang perkuliahan. “Hava bisa menjadi
satu pribadi berintelektual dan berintegritas adalah mimpi besar bunda
terhadapmu. Bertemu seorang pria yang mau menerima kondisi fisik Hava kemudian
menikah bahkan mempunyai anak suatu hari kelak merupakan mimpi kedua,”
terbayang kata-kata bunda memenuhi beranda memoryku.
Kemungkinan
besar mimpiku adalah mewujudkan mimpi bunda. Tiba-tiba saja suara handphone
jadul milikku membangunkan saya dari tidur berkepanjangan. Semua orang memiliki
alat komunikasi canggih, namun tidak denganku hanya sebuah handphone bekas yang
dibeli bunda sebelum saya berada di kota besar. “Hava sudah makan” suara bunda
terdengar hangat dari telepon tersebut.
“Bunda
kenapa telepon pagi begini?”
“Sepertinya
anak bunda baru bangun” bunda.
Bunda
sepertinya sengaja berbicara denganku pagi-pagi buta setiap harinya agar anaknya tidak bangun kesiangan.
Mengingatkan berdoa sebelum beranjak dari kamar, membersihkan rumah, memasak
untuk diri sendiri, makan sebelum berangkat kuliah. Rasa khawatir dalam dirinya
begitu besar akan banyak hal termasuk bagaimana seorang anak tanpa dua tangan
harus melakukan berbagai rutinitas tanpa bantuan seorang ibu. “Cacat secara
fisik terlebih tanpa dua tangan bukan masalah besar untuk menjalani hidup”
kalimat bijak bunda selalu dan selalu saja menyadari arah pemikiranku.
Saya
ingin tersenyum lepas seperti orang lain, tetapi tidak pernah bisa. Selalu saja
bayangan diri tanpa dua tangan berteriak hebat semacam beban yang tidak mungkin
lepas seketika. Jauh berbeda dengan kehidupan Hozhi si’gadis bisu, dimanapun
dirinya berada senyum lepas memancar begitu saja. Hal terbodoh adalah mengikuti
dia diam-diam setiap latihan lari setelah pulang kuliah.
“Hozhi
cucu kakek seorang atlet pelari nomor satu dunia” teriakan sorak sang kakek
walaupun dikatakan gadis itu tidak mungkin bisa mendengar kata-katanya.
“Apa
kau ingin menonton pertandingan Hozhi?” sang kakek mengagetkan tiba-tiba…
Sang
kakek ternyata menyadari keberadaanku beberapa hari belakangan. “Maaf” hanya
kata tersebut yang bisa keluar sambil membungkukkan badan ke arah beliau.
Memberiku sebotol air mineral sambil tersenyum tanpa rasa marah sedikitpun. Hozhi
anak yatim piatu dibesarkan oleh kakeknya. Ibunya meninggal setelah dia lahir,
sedangkan ayahnya baru saja berpulang ketika usianya baru menginjak 7 tahun. Kehidupan
Hozhi jauh lebih menyedihkan dibanding hidupku, tetapi masih bisa tersenyum
lepas.
“Hozhi
pasti senang melihat kehadiranmu memberi semangat” sang kakek tersenyum ke
arahku.
“Saya
pasti datang” bersemangat membalas ucapannya.
Pertama
kali seorang Hava ingin berada di satu lapangan bersama ratusan penonton untuk
memberi semangat bagi seorang atlet. Bolos jam kuliah mr. Juan serta lupa
mengerjakan tugas darinya merupakan sesuatu hal terbaru buatku. “Masa bodoh,
lupakan tugas ataupun ruang perkuliahan terlebih mr. Juan untuk hari ini”
tersenyum di depan cermin dinding kamar. Pagi-pagi sekali, saya sudah berada di
sebuah halte bus hanya demi mendapat barisan pertama sebagai pendukung Hozhi.
Menikmati hembusan udara pagi benar-benar menyegarkan tubuh di sepanjang
perjalanan…
Saya
benar-benar berada di urutan barisan pertama sebagai pendukung salah satu
atlet. Menunggu bukan masalah buatku hingga pertandingan segera di laksanakan.
Hoszhi sang gadis bisu menatap ke arahku sambil tersenyum. “Hozhi pasti menang”
pertama kali berteriak penuh semangat terhadap seseorang.
Suara
peluit terdengar keras menandakan para atlet harus segera berlari mencapai
garis finish. Posisi pertama masih ditempati oleh Hozhi tanpa beban sama
sekali. Tiba-tiba saja suara penonton terhenti seketika setelah salah seorang
peserta terjatuh di tengah lapangan. Seluruh badannya seperti terlempar jauh dari
lapangan. Seseorang yang tadinya berada di urutan pertama menjadi terbelakang
karena sesuatu benda menjebaknya.
“Hozhi…”
teriakan sang kakek segera berlari.
Saya
bisa melihat salah satu pesaing terkuat Hozhi tersenyum sinis seketika. Dia
seolah sengaja membuat jebakan khusus tanpa seorangpun menyadari semua itu.
Kecurangan dalam pertandingan memang biasa terjadi, tetapi kasus semacam ini
belum pernah ada. “Benar-benar permainan paling halus di antara kecurangan
lain” suara hati berbisik…
“Hozhi”
sang kakek terus saja meraung seperti orang gila sepanjang perjalanan menuju
rumah sakit terdekat. Berusaha mengekor di belakang seperti orang bodoh bahkan
berjaga semalaman bersama pria tua itu.
“Keluarga
Hozhi” seorang suster cantik berjalan ke arahnya.
“Ya
suster” ujar kakek Hozhi.
“Dokter
ingin menemui anda” suster.
Dokter
memberi tahu kalau kaki Hozhi mengalami cedera cukup parah pada bagian kanan
sehingga membuatnya tidak akan mungkin kembali menjadi seorang pelari.
Kenyataan cukup pahit terdengar jelas di telinga. Impian terbesar sang kakek
bersama Hozhi pupus sudah karena sebuah kecurangan tidak terlihat mata. Siapa
yang akan percaya tentang kenyataan tersebut?
Sang
kakek berusaha tetap memberi semangat terhadap cucunya walaupun kenyataan hati
beliau sedang menangis keras jauh di dalam. Berjalan seperti orang bodoh ketika
hendak menebus obat seolah tidak mempunyai pengharapan. Terus berjaga sedikit
jauh dari mereka 24 jam, namun tidak dapat memberi penghiburan tersendiri.
“Kakek,
makanlah!” menyerahkan makanan hasil buatanku sendiri keesokan harinya…
“Terima
kasih karena terus berada di rumah sakit buat kami berdua” sang kakek.
“Hava
hanya punya bunda dan tidak pernah merasakan mempunyai kakek seperti apa.”
“Namamu
ternyata Hava” sang kakek baru mengetahui namaku setelah sekian hari...
Saya
tertawa mendengar bagaimana kakek Lewi baru mengetahui namaku. Lebih kacau lagi
adalah nama beliau juga baru kukenal sekarang sama sepertiku. Sepertinya
beberapa hari belakangan saya selalu lupa menyelesaikan tugas-tugas kampus
terlebih dari mr. Juan. Wajah sang dosen semakin terlihat ganas akibat ulahku.
Bukannya kesengajaan, hanya saja berjaga di samping Hozhi sedikit membuatku
lupa akan hal tersebut.
“Sekali
lagi kau tidak mengumpulkan tugasmu artinya duniamu kiamat seketika” mr. Juan
terlihat sangat marah.
Diam
tanpa memberi alasan itulah keadaanku sekarang. Menghabiskan waktu seharian di
ruang perpustakaan guna menyelesaikan tugas-tugas tambahan mr. Juan. Beberapa
dosen lebih menyukai pengirimana secara online setiap pemberian tugas baik
bersifat perorangan maupun kelompok jauh berbeda ketika berhadapan dengan mr.
terganas sedunia. “Bagaimana keadaan Hozhi si’gadis bisu itu sekarang?”
bertanya sendiri...
Entah
bagaimana sang kakek membayar seluruh tagihan rumah sakit dalam jumlah besar?
Perawatan medis Hozhi membutuhkan biaya cukup besar akibat cidera cukup parah
ketika sedang bertanding beberapa waktu lalu. Belum lagi kondisi psikolog gadis
bisu itu sepertinya sangat memburuk. Dia hanya mencoba untuk tidak menampakkan
jelas di hadapan kakeknya. Segera menyelesaikan seluruh tugas kampus kemudian
bergegas keluar dari perpustakaan menuju sebuah rumah sakit.
Saya
memang tidak tahu cara bersahabat dengan seseorang, tapi minimal tubuhku bisa
terus berada di sampingnya walaupun dikatakan mati kutu tentang bahasa isyarat.
“Kakek” berteriak sekeras mungkin…
Sebuah
mobil kecepatan penuh menabrak tubuh pria tua tidak jauh dari jalan rumah sakit
di depan mataku. Sang kakek dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat
pertolongan. Mimpi gadis bisu untuk menjadi seorang pelari nomor satu dunia
lenyap karena sebuah permainan bahkan membuatnya kakinya mengalami cidera cukup
parah. Belum juga keluar dari rumah sakit, sang kakek mengalami musibah beberapa
hari setelah kejadian tersebut.
Inikah
yang dikatakan kehidupan? Cacat, miskin, masalah silih berganti melenyapkan
kehidupan dalam sekejap. Apakah memang kami sebagai manusia cacat tidak
memiliki tempat layak di dunia? Ataukah saya yang salah karena selalu melihat
banyak hal dari objek-objek negative semata? Berjalan tanpa dua tangan selalu
saja menyatakan keadaan-keadaan terbodoh dalam hidup. Kisah cerita Hozhi sang
gadis bisu harus siap menjalani kehidupan biasa tanpa mimpi lagi.
Buat
apa bermimpi besar kalau semua itu tidak mungkin bisa diraih? Jauh lebih baik
duniaku berjalan biasa dan tidak harus berpikir tentang mengejar mimpi, minimal
ceritaku tidak sesakit Hozhi sang gadis bisu. “Bantu kakek mengembalikan Hozhi
seperti dulu” sang kakek berkata-kata di atas tempat tidur rumah sakit. Beliau
masih bisa berbicara di saat-saat keadaannya sangat memprihatinkan…
“Mempunyai
mimpi besar adalah hal terbaik buat hidup” sang kakek seolah menyadari benar
tentang apa yang sedang kupikirkan.
“Mengejar
mimpi besar memang menyakitkan jauh melebihi bayangan pemikiran semua orang,
tetapi objek seperti itulah yang menjadi seni sekaligus kisah cerita termanis,”
kakek Lewi.
Saya
hanya terdiam mendengar setiap ucapannya. Jujur, hingga detik sekarang jalan
hidupku tidak pernah berani untuk bermimpi besar apa lagi mengejar. “Bantu
kakek mengembalikan mimpi besar Hozhi seperti dulu,” kalimat terakhir sang
kakek sebelum menghembuskan nafasnya. Sang kakek pergi selamanya tanpa pamit
terlebih dahulu terhadap Hozhi.
Saya
saja butuh dibantu untuk memiliki sebuah mimpi, lantas sekarang beliau memohon bantuan
untuk mengembalikan cucunya seperti semula? Permintaan terbodoh yang pernah
kudengar seumur hidupku dari seseorang. Tiba-tiba saja Hozhi berlari masuk
memeluk pria tua di hadapanku bersama tangisan histeris miliknya.
Biaya
rumah sakit Hozhi dalam jumlah besar selain kepergian sang kakek merupakan masalah
terbesar. Bagaimana bisa saya berada dalam masalah seperti ini? Dia tidak
memiliki hubungan darah sedikitpun denganku, lantas kenapa juga saya harus
terus berada di sampingnya seperti manusia terbelenggu? Wajah pucat Hozhi
terlihat jelas setelah pemakaman sang kakek tercinta.
Tuhan,
kalau memang manusia cacat seperti kami berdua diperhatikan olehMU berarti ada
jalan keluar untuk masalah biaya rumah sakit Hozhi. “Dokter, boleh saya lihat
tagihan rumah sakit atas nama Hozhi Lewi” memberanikan diri menghadap dokter
yang sedang menangani kasus Hozhi.
“Seseorang
sudah membayar lunas tagihan rumah sakit” ujar dokter.
“Apa
kakek sebelum meninggal sudah membayar lunas?” bertanya…
“Bukan
beliau tapi sosok misterius” senyum sang dokter terhadapku.
“Jangan
khawatir, kau hanya perlu berada di dekat Hozhi dan mengembalikan dirinya
seperti dulu pesan si’ pembayar misterius” kalimat dokter itu lagi.
Siapa
sosok misterius ini? masa bodoh dengan sosok si’misterius itu yang penting satu
masalah terselesaikan. Tuhan, mulai sekarang saya percaya kalau sebenarnya
tanganMU selalu adil bagi kehidupan manusia cacat seperti kami. Mulai percaya
tentang kebaikan Tuhan pertama kali terjadi sejak hari dimana biaya perawatan
medis Hozhi lunas.
Beberapa
hari belakangan saya harus disibukkan dengan permasalahan penolakan tugas
seperti biasa dari dosen terganas di kampus selain menghadapi kasus Hozhi sang
gadis bisu. Kesulitan terberat yang sedang bermain adalah kasus permasalahan
kisah seorang pelari cacat tanpa pengharapan. Saya masih bisa menahan kegeraman
dosen killer di kampus, tetapi menyaksikan hidup seorang gadis bisu kehilangan
arah terlihat benar-benar menakutkan.
Buat
apa bermimpi besar kalau pada akhirnya perjalanan seseorang seperti mayat hidup
di ujung cerita. Berjuang menciptakan cerita manis, tetapi menjadi sia-sia.
Harapan untuk berjalan lenyap ditelan bumi. Rasa-rasanya saya tidak ingin
memiliki satu mimpi besar sampai kapanpun juga. Hozhi tidak lagi bisa
menampakkan senyum di wajahnya. Kisah hidupnya sekarang hanya bercerita mayat
hidup, air mata, lelah, ingin mati, rasa pahit.
Saya
tidak ingin menjalani dunia seperti Hozhi karena mengejar mimpi besar. Rasa
takut bermimpi memang jauh lebih kuat dibanding segala objek apa pun dalam
hidupku. Hal terkacau lagi adalah perintah untuk mengembalikan mimpi besar
gadis bisu seperti permohonan sang kakek. Bagaimana kalau kekecewaan akan
kembali dirasakan oleh Hozhi hanya karena mengejar mimpi besar untuk kedua
kalinya? Bisakah saya mempertanggung jawabkan sesuatu hal yang akan terjadi di
masa depan?
Bagian
4…
HAVA…
“Hozhi,
apa kau di dalam?” berteriak di depan pintu rumah milik si’gadis bisu.
“Hozhi”…
“Hozhi”
sekali lagi berteriak.
Rasa-rasanya
saya ingin tertawa keras setelah menyadari teriakanku itu tidak berarti. Dia
seorang gadis bisu dan bagaimanapun berteriak keras memakai alat pengeras suara
sekalipun semuanya itu sia-sia. Mendobrak pintu rumah miliknya memakai tubuh
serta kaki merupakan satu-satunya jalan. “Berhasil” tersenyum sekilas di akhir
usahaku.
Rumah
sederhana seperti sarang babi dengan segala jenis bau tidak sedap.
Barang-barang berhamburan kiri kanan terlihat menjijikkan. Makanan membusuk
begitu saja di atas meja, kamar, maupun dapur. Hidup sang pemimpi besar hancur
berantakan di tengah jalan. Bunda tentu mengamuk besar andaikan seorang Hava
berbuat ulah seperti yang dilakukan oleh Hozhi.
Gadis
bisu hanya diam menyendiri dalam kamar seorang diri. Berusaha membersihkan
rumah miliknya hanya memakai kedua kaki serta mulut untuk digerakkan ke kiri
dan kanan. Bunda menyadari anak cacatnya suatu hari kelak hidup terpisah
darinya sehingga benar-benar melatih melakukan pekerjaan rumah tanpa dua
tangan. Seharian penuh menjadi petugas kebersihan di rumah milik Hozhi.
“Makanlah,
selagi buburnya masih panas!” menyodorkan semangkuk bubur. Dia tidak merespon
apapun yang kuberikan. Dunianya hanya bercerita tentang mayat hidup tanpa
pengharapan. Apakah benar bermimpi besar dapat membuat seseorang menjadi depresi
atau gila seperti kisah sang gadis bisu? Hal terbodoh yang pernah kulihat.
“Percuma
saja saya bicara, kau kan memang bisu” berkata-kata bodoh terhadapnya.
Dia
hanya tertidur di atas ranjangnya. “Yah Tuhan, tubuhnya panas sekali” tak
sengaja lenganku menyentuh kening si’gadis bisu. Sepanjang malam saya harus
terus berjaga sambil mengompres memakai air hangat agar demamnya segera turun.
Bagian bawah kelopak mataku menghitam seketika seperti hantu gentayangan. Di
kampuspun saya masih harus berhadapan dengan beberapa dosen terlebih mr. Juan.
“Tugasmu
makin berantakan” kalimat sinis mr. Juan ketika saya berada di kampus.
“Teori
memang penting, tetapi kreatifitas sendiri sekaligus praktek jauh lebih
bernilai ketika berada di lapangan” tugas makalah milikku di coret
habis-habisan oleh sang dosen killer seperti biasanya.
“Gunakan
kreatifitasmu untuk menjelaskan penyelesaian satu kasus keuangan bersama
beberapa istilah-istilah penting ketika berada dalam situasi jebakan, ngerti?”
melemparkan seluruh kertas tugas milikku berhamburan ke lantai. Saya hanya bisa
menarik nafas dalam-dalam seperti biasanya. Memungut kembali lembar tersebut
menggunakan dua kakiku.
Berjalan
lamban seolah tidak lagi memiliki tenaga menuju sebuah halte. Semalaman terus
berjaga di samping Hozhi membuatku terlihat sangat lelah. Kasusku sekarang
adalah cara mengembalikan kehidupan gadis bisu seperti semula dan menghadapi
salah satu dosen terkiler sedunia di kampusku. Bulatan bola selalu saja
mempermainkan keadaan di lapangan bagi seorang pemain antara satu sama lainnya.
Lapangan hijau berbicara dan menyatakan bahwa salah satu tim harus menang
ketika sedang mempermainkan tendangan terhadap satu objek bola.
“huffftttttt”
menarik nafas dalam-dalam.
Apa
yang sedang kupikirkan? Lupakan. “Sampai kapan juga kau harus terus menyiksa
diri sendiri?” menatap tajam Hozhi si’gadis bisu setelah saya berada kembali di
rumahnya.
“Saya
pikir gadis bisu sepertimu kuat tapi ternyata terlalu lemah” berkata-kat lagi
walaupun kenyataannya dia tidak akan mungkin mendengar ucapanku.
Kesulitan
terbesarku adalah sama sekali tidak mengerti bahasa isyarat dalam bentuk apa
pun. Saya tidak memiliki dua tangan untuk digunakan berkomunikasi terhadap
gadis bisu. Hidup seatap dengannya membuat hidupku terdengar menyedihkan. Harus
tetap berada di sampingnya suka atau tidak menjadi hal terkacau sekarang.
permasalahan keuangan minipis juga sedang menyergap seperti badai.
Uang
pemberian bunda hampir habis hanya buat membayar obat milik Hozhi, uang
transport pulang pergi kampus, dan terakhir uang makan. Jarak rumah Hozhi
sedikit berjauhan dari kampus, sedangkan saya harus tetap tinggal bersama
dengannya untuk merawat juga berjuang mengembalikan semangat hidupnya.
Terkadang menatap tajam terlihat menakutkan menjadi alternative terbaik agar
dia mau makan.
“Saya
tidak mungkin meminta uang bunda lagi” berbicara sendiri sambil mengerutkan
kening. Hidup bunda sudah terlalu susah, jadi, tidak mungkin membuatnya
khawatir. Satu-satunya cara adalah bekerja sambil kuliah. Menjadi pertanyaan,
siapa orang yang ingin mempekerjakan manusia cacat sepertiku? Memakai dua
tangan sempurna belum tentu diterima kerja apa lagi kalau hanya mengandalkan
dua kaki.
Melihat
seseorang memakai kostum besar menyerupai beruang untuk perhatian orang banyak
membuatku ingin melakukan hal sama. Tidak seorangpun menyukai aksiku, mereka
semua lewat begitu saja. “Kau hanya memakai kostum terus berdiri seperti patung
tanpa gerak, jelaslah semua orang terlebih anak-anak jauh dari kata tertarik”
seseorang berkata-kata penuh penekanan di belakangku.
“Mr.
Juan” seluruh pergerakan tubuhku terlihat sangat panik.
Jangan
sampai dosen itu mengenal wajahku. Bagaimana ini? “Berikan kostummu!” perintah
mr. Juan sangat dingin. Dia tidak berubah sedikitpun, terhadap semua orang
selalu saja bersikap galak. Menggeleng kepala sekeras mungkin sambil berusaha
menjauh darinya.
“Kalau
tidak mau tinnggal ngomong bukannya menjauh ketakutan” gertakan mr. Juan.
Entah
bagaimana cara dia mendapat kostum sama seperti milikku. Akhir cerita, sang
dosen terlihat kacau di depan banyak orang terlebih anak-anak yang sedang lalu
lalang. Kisah sebagai manusia terdingin, galak, menakutkan, hancur, mengerikan
tiba-tiba saja menghilang ditelan bumi. Semoga saja dia tidak menyadari wajahku
dibalik kostum sekarang. Melakukan aksi gila, menari, bernyanyi, memancing
tawa, bersahabat terhadap banyak anak adalah dirinya yang sekarang.
“Ambillah!”
menyerahkan sejumlah uang hasil aksi kocaknya hari ini.
Diam
bagai patung merupakan gambaran diriku saat ini. Bagaimana bisa dosenku
bertingkah kacau bahkan saya sendiri lupa betapa killernya dia sebagai tenaga
pengajar. “Ingat, kau harus bisa mempertontonkan aksi terkocak kalau ingin
menarik perhatian mereka” mr. Juan berlalu begitu saja setelah mengucapkan
kalimat tersebut.
“Masa
bodoh sikap dosen killer itu” bersikap acuh sambil menghitung lembaran uang
mmemakai dua kakiku setelah kembali berada di rumah milik Hozhi.
Pertunjukan
sang dosen benar-benar menghasilkan uang. Btw, apa kelebihanku? Menari,
mennyanyi, menciptakan tawa, bermain music, atau banyak lagi tidak pernah bisa
kulakukan. Jauh berbeda dengan mr. Juan seolah diciptakan Tuhan dengan banyak
hal menarik. Gunting tajam itu selalu saja merobek tiap sudut objek menjadikan
seluruh jalan tercabik-cabik seketika. “Saya sudah katakan teori tidak selalu
digunakan di bidang apa pun termasuk management keuangan” sikap mr. Juang
terlihat sangat dingin.
“Tugasmu
kali ini lebih cacat dibanding kemarin” merobek lembaran kertas…
Diam
menjadi ciri khas manusia tanpa tangan sepertiku. “Segala sesuatu tidak bisa
dilakukan atau didasarkan tanpa teori ketika mengambil sebuah peran” pernyataan
tersebut tiba-tiba saja keluar dari bibir mulutku.
“Titik
lemahmu terlalu menilai segala sesuatu dari teori, sampai kau sendiri tidak
bisa menciptakan satu penyelesaian kasus keuangan atau objek lain memakai dunia
kreatifitasmu sendiri” mr. Juan.
“Wajar
memang pemikiranmu terlihat sangat cacat bahkan lebih dari itu jauh melebihi cacat
fisik pada dirimu, karena kau selalu menilai segala sesuatu dari teori” mr.
Juan sekali lagi menatap sinis ke arahku.
Satu-satunya
jalan adalah tidak lagi membalas ucapannya. Duduk termenung di ruang
perpustakaan kampus terdengar kacau. Saya tidak pernah bisa melawan atas segala
perbuatan sang dosen killer. Cara berpikir cacat bahkan lebih jauh melebihi
cacat fisik pada diriku sendiri? Apa betul seorang Hava tidak hanya caacat
fisik tetapi juga dalam segala Sesuatu dinyatakan cacat?
“Tulisan
manusia tanpa tangan ternyata sangat rapi” seorang wanita tiba-tiba saja berada
di sampingku ketika saya berusaha menyelesaikan kembali tugas pemberian mr.
Juan.
“Anda
siapa?” dua mataku tak berkedip seketika.
“Saya
dosen jurusan sastra sekaligus salah satu pengelola perpustakaan kampus”
jawaban darinya.
“Maksudku
nama” membalas ucapannya.
“Panggil
saja ibu maksudku kakak Moza biar lebih bersahabat”…
“Pasti
kau lagi stress berat menghadapi salah seorang dosen tergalak di kampus” dia
bisa menebak apa yang sedang kupikirkan.
“Dari
mana anda tahu?” terkejut heran.
“Siapa
sih tidak mengenal mr. Juan di kalangan mahasiswa dan para dosen” ka’Moza.
“Kakak
kan dosen sastra bukan jurusan…”
“Tapi
tetap saja kami semua mengenalnya” ka’Moza.
“Begitu
rupanya” terlihat lesuh…
“Btw,
tulisanmu sangat rapi yang pernah saya lihat” dia mengalihkan pembicaraan lain.
“Semua
itu tidak ada artinya” cetusku.
“Kenapa?”
“Karena
saya manusia cacat dan tidak memiliki tangan seperti yang lain” menjawabnya.
“Berarti
ucapanmu itu hanya menilai kesempurnaan secara fisik, wajar saja mr. Juan
mengamuk tiap saya lewat depan kelasmu” dia bertolak pinggang sambil tertawa.
Saya
baru sadar kalau ternyata selama ini banyak orang menjadikanku sebagai objek
perhatian. Suara mr. Juan memang cukup keras terlebih ketika mengamuk lebih
ganas lagi hingga semua orang tidak berkutik dibuatnya. Bagaimana bisa
kehidupan perkotaan begitu keras sampai harus berhadapan terhadap banyak kasus?
“Kalau boleh tahu, defenisi cantik menurutmu seperti apa?” dia terus saja
memancing…
“Tentu
saja mempunyai dua tangan, tidak memiliki cacat fisik, tinggi, menarik, bentuk
tubuh gitar, bibir seksi, kulit putih mulus” jawaban tersebut membuat dia
tertawa keras.
“Pantesan
dosen terkiler makin membencimu, kau sadar tidak kalau amukan keras mr. Juan
terdengar jelas sekitar area fakultas sastra” ka’Moza.
“Saya
baru sadar” menjawabnya.
Defenisi
cantik menurutku memang seperti itu bahkan semua orang tentu berpikiran sama
denganku. Realita di luar sana menyatakan kesempurnaan kecantikan adalah ketika
anggota tubuh tidak pernah terlihat cacat sama sekali. “Semalam saya bermimpi”
dosen sastra seolah ingin mencurahkan isi hatinya terhadap seorang mahasiswi.
“Kenapa
saya perlu tahu mimpi anda?” bertanya sedikit judes.
“Saya
sedang menulis di sebuah papan tulis, kemudian seorang pria tua bertanya
terhadapku tiba-tiba saja. Jelaskan defenisi cantik menurut pemikiranmu?” dia
tetap saja memberi tahu isi mimpinya.
“Jawaban
kakak?” menatap ke arahnya.
“Defenisi
cantik tidak bercerita tentang penampilan, kesempurnaan fisik, kecantikan
wajah. Defenisi cantik itu simple/ sederhana, percaya diri, dan menjadi diri
sendiri” jawaban sang dosen.
“Tiba-tiba
saja banyak orang bertepuk tangan buatku dimulai dari ribuan orang yang sedang
berada di sebuah gedung, pria tua tadi, dan masih banyak lagi” terus saja
bercerita tentang mimpinya semalam.
Pertama
kalinya, seorang dosen sekaligus pengelola perpustakaan bercerita tentang
sesuatu hal. Bisakah saya percaya akan setiap ucapannya? Dia seperti bunda,
kakek Hozhi, dan juga ibu Hana. Ketika semua orang tidak ingin melihat ke
arahku, tetapi Tuhan memakai mereka untuk berusaha menghancurkan benteng
terkacau pada sudut ruang hidupku.
Jangan
jadikan cacat sebagai alasan untuk tidak memiliki satu mimpi besar merupakan
isi pesan bunda tanpa rasa bosan sama sekali tiap harinya. Selama ini saya
menganggap hanya orang-orang sempurna dengan angota tubuh lengkap bersama
kesempurnaan fisik yang dapat menjadi pemeran utama ketika berlari pada satu
pertandingan. Defenisi cantikpun mempunyai cerita terbaik untuk dikenang
sekaligus berperan bagi mereka dengan kategori seluruh organ tubuh lengkap.
Tuhan,
ajar hidupku tentang satu cerita manis dimana saya bisa menjadi pemeran utama
terbaik dan mempunyai mimpi besar seperti ucapan bunda. Buat nafasku berteriak
tentang defenisi cantik sesungguhnya bisa menjadi bagian terbaik buatku juga bahkan
saya benar-benar berada dalam kategori tersebut. Hancurkan setiap benteng yang
sedang membelenggu jalanku sehingga tidak pernah mempercayai kisah terbaik juga
dipersiapkan olehMU untukku manusia cacat tanpa kesempurnaan.
Saya
ingin belajar percaya kisah pemeran utama di satu bagian jalan bisa tertujuh
terhadap orang-orang yang dikatakan lemah, terbelakang, terlebih cacat secara
fisik. Terkadang rasa takut muncul begitu saja ketika melihat beberapa cerita
kegagalan hidup mereka di luar sana termasuk Hozhi si’gadis bisu. Sampai detik
sekarang saya tidak menemukan cara mengembalikan semangat hidup sang pemimpi
besar bernama Hozhi seperti semula.
Kehidupan
seorang manusia tanpa tangan harus bergumul tentang pekerjaan, hozhi si’gadis
bisu, kampus bersama tugas-tugas pemberian beberapa dosen terlebih mr. Juan.
Tidak mungkin juga semua keluh kesah harus saya ceritakan pada bunda karena
sesuatu dan lain hal. Berusaha mengatur waktu sebaik mungkin agar salah satu
dari bagian tersebut tidak terbengkalai.
“Sampai
kapan kau harus seperti mayat hidup terus?” muak, tidak tahan, kesal, kecewa
berbaur menjadi satu mendorong tubuh sang gadis bisu dari ranjangnya.
“Saya
benar-benar kesulitan berbicara denganmu atau harus mengekspresikan apa pun”
berteriak geram.
“Tidak
berarti kehilangan kakek terus hidupmu hancur begitu saja” semakin mendorong
tubuhnya memakai dua kakiku keluar dari kamar. Satu-satunya cara terbaik
membuat dia melihat dunia luar lagi adalah membawanya keluar kamar. Menunjuk
matahari pagi memakai salah satu kaki agar bisa membuka matanya. Saya tidak
memiliki dua tangan untuk berperan sebagai alat komunikasi bahasa isyarat,
sedang dia bisu merupakan kekacauan terbesar bagi kami berdua.
“Kenapa
juga saya ingin berjuang mengenalmu waktu itu?” kalimat kesalku.
Hal
terbodoh selanjutnya adalah selalu mendorong tubuhnya atau menendang memakai
kaki agar dia keluar dari kamar tiap hari. Memaksa makan, mandi, berjalan
keluar rumah untuk menghirup udara segar. Memaksa dia memakai kostum beruang
agar kami berdua bisa menyambung hidup. Saya tidak mungkin menyusahkan bunda di
kampung demi kebutuhan makan di kota. “Jadi atlet pelari tercepat memang sudah hilang
ditelan bumi, minimal kau harus bisa cari makan” nada menggertak terhadapnya.
Sifat mr. Juan sepertinya menular terhadapku sewaktu harus berhadapan dengan
Hozhi. Memaksa dia menari di depan banyak anak dengan segala cara yang bisa
membuat dirinya paham keinginanku.
Bagian
5…
HAVA…
Selalu
mendorong atau menendang tubuh Hozhi memakai salah satu kakiku terdengar kejam
memang. “Kau harus bisa mendapat uang” teriak geram karena komunikasi antara
kami berdua sangat sulit.
“Ternyata
gadis sepertimu bisa juga menggertak, memaki, atau menendang orang” seseorang
tiba-tiba saja menyindir setelah kami berdiri di tengah keramaian.
“Seperti
saya mengenal suara itu” mencari tahu arah suara tersebut.
“Mr.
Juan” terkejut seketika.
“Hebat”
tepukan tangan mr. Juan.
“Kan
mr. Juan yang mengajarkan saya memaki sekaligus menggertak”…
Pemandangan
mengejutkan seketika adalah Hozhi si’gadis bisu menangis histeris seolah mengenal
pria di hadapan kami berdua. “Lama tidak bertemu” sikap dingin sang dosen
hilang ditelan bumi.
“Mister
mengenal dia?” mulut menganga hampir tidak percaya.
“Hozhi
bisa baca tulis, kalau memang mau komunikasi terhadapnya tinggal tulis di
selembar kertas, simple kan?” ketika berkata-kata terhadapku sikap sang dosen
kembali menjadi dingin bahkan terlalu sinis.
“Mana
saya tahu mister, kalau sadar sejak dulu juga sudah kulakukan” cetusku.
Hozhi
masih histeris dalam tangisannya, sedang mr. Juan sendiri berusaha menghapus
air matanya. Pemandangan apaan ini? Kenapa juga saya harus mengenal mereka
berdua? Berarti pembayaran biaya perawatan rumah sakit Hozhi ternyata dibayar
oleh dosenku sendiri. Saya tidak tahu bagaimana mereka bisa saling mengenal,
minimal pertemuan ini semoga bisa mengembalikan kehidupan Hozhi.
“Berhenti
nangis!” mr. Juan berbicara sambil menggerakkan tangannya.
Entah
kenapa terlihat seperti pemandangan kurang menyenangkan. Bagaimana bisa dosen
terkiler berubah jadi lembut seketika di hadapan seorang gadis bisu. Giliran
denganku terlihat geram tiap saat tanpa henti. Penolakan tugas bersama
kata-kata mengerikan selalu saja terlempar ke arahku. Mengekor di belakang
mereka membuat terlihat bagaikan manusia bodoh. Perubahan drastis terjadi
semenjak pertemuan antara Hozhi dan mr. Juan dari hari ke hari.
Hubungan
mereka di masa lalu memunculkan rasa penasaran berlebih. Hozhi yang dulu
terlihat seperti mayat hidup perlahan mulai membaik. Jarak di antara mereka
cukup jauh yaitu 10 tahun, lantas? “Gunakan kostum ini buat biaya makan!”
melemparkan kostum ke tangan Hozhi memakai salah kakiku. Di luar dugaan dia
perlahan mulai tersenyum lebar bahkan dengan senang hati memakainya.
Pendapatan
hari ini lumayan banyak gara-gara keahlian Hozhi menghibur banyak anak.
Melakukan dance tanpa bisa mendengar suara music di sela-sela tingkah kocak
darinya. Semua orang tertawa lebar ketika sang gadis bisu melakukan perannya
dibalik sebuah kostum. Salah satu kelebihan terbaik dari seorang manusia cacat
semacam dirinya. Tiba-tiba saja dia menyodorkan sebotol soda sambil tersenyum
lebar. Saya bukan tokoh pengubah hidupnya, melainkan sosok pribadi terdingin
dari semua manusia yang pernah ada.
Duduk
termenung di tengah ruang perpustakaan kampus setelah jam kuliah. “Apa
kelebihanku?” bergumam sendiri. Hozhi memiliki beberapa kelebihan walaupun
dikatakan istilah bisu menggambarkan kata cacat dalam dirinya.
“Hei,
jangan melamun di perpustakaan!” tegur seseorang menepuk bagian punggung
belakangku. Pria berpakaian santai, berkacamata, memegang sebuah laptop sedang
menatap kebingungan ke arahku.
“Perkenalkan,
kakak senior tapi dari fakultas seni di kampus Hava University” berteriak keras
di tengah-tengah ruang perpustakaan hingga menjadi perhatian semua orang.
Pertama
kalinya saya melihat senior paling narsis jauh melebihi kata kejiwaan. Saya
tidak menanyakan nama tapi sudah memperkenalkan diri lebih dulu. Semua orang
geleng-geleng kepala melihat tingkat narsis darinya. “Namaku Nevil sosok senior
paling diidolakan, understand?” masih berteriak narsis.
“Nevil,
ini bukan lapangan tapi perpustakaan” seorang wanita memukul kepalanya memakai
sebuah buku berulang kali.
“Nevil
kan hanya mau kenalan saja” berusaha melepaskan diri.
“Ini
bukan lapangan mahasiswa narsis” wanita itu alias kakak Moza masih bergelut
emosi.
“Bibi,
lepaskan” dia memanggil wanita ini bibi.
“Jangan
panggil saya bibi dimanapun atau apa pun alasannya” makin memukul kepala
si’senior narsis. Ternyata hubungan mereka berdua adalah keponakan dan tante.
Terdengar kacau menyaksikan kisah pertarungan sengit di ruang perputakaan.
Tiba-tiba saja perutku sakit karena tertawa lebar menonton tingkah mereka.
Lebih kacau lagi, ka’Moza mendapat teguran langsung dari atasan karena
perbuatan konyolnya bertingkah seperti anak kecil.
Terjadi
tarik menarik rambut antara bibi dan keponakan dalam ruang perpustakaan yang
tidak boleh memperdengarkan suara sekecil apa pun. Mr. Juan menunjuk tepat ke
arahku seketika setelah mereka berdua di pisahkan. Pertama kalinya, saya terus
tertawa tanpa memperdulikan tatapan sinis dosen terkiler karena tingkah kacau
hari ini. “Kau cantik kalau tertawa seperti ini” Nevil mencubit pipiku. Meringis
kesakitan akibat ulah mahasiswa senior fakultas seni terlihat jelas di hadapan
mereka.
“Buatkan
saya laporan keuangan memakai system menjebak untuk beberapa kasus sekaligus
gunakan serangkaian isitilah-istilah tertentu di dalamnya!” nada memerintah mr.
Juan setelah kejadian kemarin di perpustakaan. Tugas kemarin saja belum selesai,
sekarang ingin membunuhku lagi…
“Jangan
lupa tugas kemarin harus selesai” mr. Juan.
Kepalaku
sakit membolak balik buku memakai salah satu kakiku kemudian menulis beberapa
pernyataan. Laporan keuangan system menjebak? Memangnya saya ini karyawan apa?
Perasaan, statusku masih berperan sebagai mahasiswi lantas kenapa jadi harus
menyusun tugas seperti ini? “Kau terlalu berfokus pada data penyusunan biasa,
sedangkan kata menjebak tanpa disadari oleh orang banyak tidak terlihat di
sini” tangan mr. Juan membuat tanda silang besar pada lembaran tugasku.
“Gunakan
kreatifitasmu otakmu menyusun satu laporan keuangan sehingga orang di sekitarmu
tidak menyadari beberapa data jebakan di dalam untuk menyatakan beberapa objek,
terlebih ketika seseorang atau oknum tertentu ingin bermain-main” mr. Juan
seperti biasanya melemparkan lembaran kertas tugasku di hari berikutnya.
Sesuai
perkiraan kesekian kalinya tugas dari mr. Juan harus sempurna tanpa cacat.
Penolakan demi penolakan seolah tubuhku adalah robot dapat menyelesaikan segala
tugas pemberiannya. Menendang kaleng soda sambil berjalan tanpa semangat
menjadi aktifitas keseharianku setiap berjalan pulang. “Junior, apa kabarmu?”
senyum lebar mahasiswa narsis menghalangi jalanku seketika.
“Senior,
minggir!” kalimat kesalku.
“Juniorku
pasti lagi stress gara-gara tugas dosen terkiler” dia bisa menebak…
Seluruh
fakultas mengenal dosen terkiler bernama mr. Juan tentu membuat seluruh
penghuni kampus berlari ketakutan. Banyak mahasiswa pindah jurusan hanya karena
tidak tahan berdiri di hadapan sang dosen. Entah bagaimana cerita sampai Hozhi
dapat membuatnya terlihat sedikit lembut. Apa mr. Juan memiliki perasaan khusus
terhadap gadis berusia 19 tahun semacam Hozhi? Mr. Juan berusaha menyempatkan
diri bertemu Hozhi setiap harinya ketika jam mengajarnya selesai.
Gadis
bisu itu memang sangat cantik dan siapapun tentu mendambakan dirinya.
Kekurangan dia hanya terletak pada kata bisu bukan objek lain, tidak seperti
diriku selalu saja kacau. Rambut hitam panjang, senyum ayu, bibir seksi, tubuh
semampai, kulit mulus menjadi gambaran seorang Hozhi. Kalau dipikir-pikir,
sebenarnya apa kelebihan dalam diriku? Semuanya terlihat hancur bahkan lebih
kacau lagi karena tidak memiliki dua tangan.
Senyum
lebar Hozhi kembali karena kehadiran mr. Juan tiba-tiba di hadapannya. Tidak
lagi meneteskan bulir-bulir Kristal di dalam kamar sederhana miliknya. Rasa
sakit menerima kenyataan kalau dia tidak mungkin kembali ke dunia atlet sebagai
pelari atau kepergian sang kakek lenyap seketika. “Mempunyai mimpi besar adalah hal terbaik buat hidup” entah kenapa
ucapan kakek Hozhi terngiang di telingaku.
Bisakah
saya mengembalikan mimpi sang gadis bisu sedang saya sendiri terdengar kacau
untuk mengejar apa pun dalam hidup? “Apa segitu pentingnya bermimpi dibanding
memahami objek lain?” bertanya pada diri sendiri.
“Gambarmu
ternyata bagus juga” seseorang menepuk bahuku tiba-tiba.
“Sejak
kapan anda berdiri di belakang saya?” pertanyaan melotot menatap salah satu
staf pengelola kampus sekaligus berperan sebagai dosen sastra.
“Panggil
kakak Moza bukan anda, ngerti?” senyumnya menghias.
Saya
ingin melepas stress bahkan melupakan tugas pemberian mr. Juan hingga
menghabiskan waktuku menggambar sesuatu objek di sekitar perpustakaan. “Kalau
bermimpi itu menyakitkan, kenapa harus dikejar?” dia membaca nyaring tulisan
pada ujung sebelah kanan hasil gambarku.
“Ka’Moza
seperti lupa kalau lagi berperan sebagai staf pengelola perpus tapi berteriak
nyaring gitu” sedikit menyindir.
“Seseorang
terlihat lelah, letih, lesu, sakit, bahkan tanpa tenaga sedang berjalan di
tengah derasnya ombak, lumpur, ataupun bukit terjal hanya demi meraih sebuah
bintang” sekali lagi berkata-kata menyimak apa yang sedang kugambar.
Segera
menarik kertas gambar milikku dari tangannya. “Jalanmu tidak akan pernah
memiliki satu alur cerita ataupun seni terbaik kalau kau meraih mimpimu dengan
begitu mudah alias lurus semudah membalikkan telapak tangan” ka’Moza.
“Saya
tidak ingin seperti Hozhi gadis bisu penuh semangat mengejar mimpi, namun
tiba-tiba terlihat seperti mayat hidup karena semuanya tidak seperti yang
diharapkan” entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja.
“Bisa
saya simpulkan kalau kau benar-benar selalu hidup dalam ketakutan dan tidak
berani bermimpi terlebih karena cacat fisik pada dirimu” ka’ Moza.
“Sangat
ketakutan lebih dari ucapan kakak” mengangguk dengan kepala tertunduk…
“Saya
ingin menunjukkan sesuatu terhadapmu” membawaku menuju mobilnya. Akhir cerita
adalah kami berada di sebuah gedung pertunjukkan balet setelah sejam penuh
mengendarai mobil miliknya. Seorang gadis melakukan sebuah pertunjukkan tarian
balet dengan sangat gemulai bahkan semua orang tidak berhenti bertepuk tangan
buatnya.
“Dia
seorang penari balet terbaik di pertunjukkan ini” ka’Moza menatap ke arahku.
“Saya
juga tahu kalau gadis itu penari balet” cetusku.
“Apa
kau merasa ada sesuatu yang mengganjal pada dirinya?” Ka’Moza.
“Kenapa
membawaku ke tempat seperti ini?” balik bertanya.
“Gadis
penari balet itu bernama Hope Balerina seorang manusia autis tanpa sesuatu hal
menarik dalam hidupnya ketika berjalan” ka’Moza.
Saya
hampir tidak percaya menyaksikan seorang gadis autis menampilkan tarian balet
gemulai jauh melebihi manusia normal. Irama music terbaik berhasil
dipertontonkan mengiringi tiap gerakan tarian darinya. Ending tariannya sulit
diprediksi oleh banyak penonton menjadi ciri khas penari balet autis semacam
dirinya.
“Bermimpi
besar merupakan objek terbaik. Berjalan dalam raungan kesakitan karena mengejar
mimpi menjadi bagian termanis di dalamnya” pernyataan sang dosen sastra.
“Kau bisa menghargai bintang di tanganmu suatu
hari kelak ketika kedua kakimu berlari mengejar di dalam ombak, lumpur, ataupun
bukit terjal. Jauh berbeda sewaktu segala sesuatunya terlihat begitu mudah
diraih tanpa peran apa pun” ka’Moza.
“Kalau
semua mudah diraih kan hidup tidak perlu menyatakan kekecewaan atau amarah
karena sang pencipta selalu memalingkan wajahNYA” balasku.
“Kau
tidak akan pernah bisa menghargai bintang yang ada ditanganmu seandainya kau
genggam dengan begitu mudah, lurus, dan tanpa hambatan” ka’Moza.
“Siapa
bilang?”
“Hidupmu terlalu menyedihkan” menertawakan
pemikiranku.
“Saya
selalu takut menghadapi kenyataan, hidupku memang terlalu menyedihkan.”
Menjadi
seperti penari balet terdengar sulit ingin selalu berjuang. Di satu sisi saya
ingin berjalan mengejar bintang, tetapi bayang-bayang ketakutan jauh lebih kuat
tertawa bahkan menari tanpa henti. “Kenapa saya tiba-tiba terdaftar dalam
komunitas grup apaan ini?” sedikit terkejut melihat namaku masuk dalam deretan
satu komunitas disabilitas pada salah satu aplikasi media social.
Saya
hampir tidak percaya ibu maksudku ka’Moza memasukkan akun milikku ke dalam
sebuah grup. Dimana dia tahu nama akun media milikku? Telinganya benar-benar
panjang untuk mencari tahu sesuatu informasi terbaru di kampus termasuk apa pun
dalam diriku. Btw, mr. Juan dan ka’Moza memiliki perbedaan cukup jauh ibarat
langit sama bumi sewaktu berhadapan dengan banyak mahasiswanya. Masa bodoh…
Ada
banyak kesaksian cerita hidup seseorang ketika menjalani satu jalan terkacau
dengan kondisi tubuh tidak sempurna seperti manusia normal. “Bertubuh pendek
tanpa dua tangan sekaligus menjadi pelengkap hiasan hidupku sejak lahir”
caption bersama wajah penuh senyum dari salah satu anggota grup tersebut. Tidak
menaruh amarah terhadap Tuhan merupakan hal mustahil. Foto-foto pada akun
miliknya terlihat menikmati hidup.
“Tuhan
selalu adil walaupun realita menyatakan seolah rasa ketidakadilan selalu
tertawa lebar bagi jalan hidup manusia disabilitas termasuk cerita perjalananku
pribadi” sekali lagi caption bersama postingan wajah tersenyum lebar terpampang
nyata pada akun beranda miliknya. Rasa penasaran berkepanjangan membuatku ingin
terus melakukan stalking terhadap akun media social miliknya. Grup tersebut
membuatku menemukan banyak kisah disabilitas baik dari segi mental,
intelektual, maupun tanpa kesempurnaan anggota tubuh secara fisik.
“Temukan
satu cara yang bisa membuatmu memiliki sebuah mimpi besar, kemudian gunakan
ribuan cara untuk mengejarnya tanpa henti walaupun salah satu anggota tubuhmu
tidak sesempurna seperti manusia normal lainnya” seorang pianis dengan suara
merdunya berkata-kata melalui video hasil unggahan asisten pribadinya dalam
grup tersebut. Pianis tersebut buta sejak lahir hingga kedua matanya terlihat
sangat menakutkan. Saya bukan satu-satunya manusia terlahir cacat di dunia ini,
tetapi hal terbodoh adalah selalu saja marah terhadap Tuhan atas apa yang
sedang terjadi.
“Pikiran
antara manusia dan Tuhan sangat jauh berbeda. Terkadang Tuhan mengizinkan hidup
terlahir tanpa salah satu anggota tubuh bukan karena rasa ketidakadilan,
melainkan seseorang hanya diajar untuk mengerti makna seni terkuat hingga
menjadikan bulatan kehidupan termanis di antara sekian juta deretan cerita
hidup banyak orang.” Sekali lagi seseorang menuliskan kalimat tidak biasa dalam
grup tersebut. Mereka semua berada pada garis hidup dengan cerita disabilitas.
Manusia tanpa dua kaki, namun kenyataannya dinyatakan sebagai pelari nomor satu
dunia tercepat mengalahkan orang normal. Gadis autisme menjadi seorang penari
balet terbaik menyatakan satu cerita berbeda dibanding kehidupan di luar sana.
Perjuangan luar biasa membuatnya tidak kehabisan akal untuk terus bertahan
mengejar mimpi. Jatuh bangun di tengah derasnya ombak selalu saja mempermainkan
kehidupan hingga akhir cerita kemenangan menjadi bagian terbaik darinya.
Bagian
6…
HAVA…
Tuhan,
lihat ke arahku hingga sayapun berani bermimpi besar sama seperti mereka.
Hilangkan rasa takut ketika dua kaki ingin belajar berlari mengejar sesuatu
objek paling mustahil di depanku. Jujur, saya tidak ingin terlihat lemah di
hadapan banyak orang bagaimanapun situasi mempermainkan keadaan, tetapi selalu
saja gagal. Memiliki wibawa, charisma, tata bahasa berpendidikan, disegani,
dapat mengungkapkan berbagai objek melalui hasil pemikiranku sendiri menjadi
hal yang selalu kuinginkan tanpa sadar.
Bayangan
ketakutan untuk mengejar mimpi, enyahlah sekarang juga dari jalanku. “Saya
ingin belajar mengerti arti mengejar mimpi tanpa rasa takut di dalam ombak,
lumpur, dan jurang terjal” nafasku terputus-putus berkata-kata di hadapan
seorang dosen sastra sekaligus pegawai pengelola perpustakaan.
“Kau
berlari hanya untuk memberi tahu ini?” dia tertawa keras.
“Sebutkan
mimpimu?” kembali melanjutkan pembicaraan…
“Berwibawa,
berintegritas, memiliki charisma, disegani, berpendidikan ketika mengungkapkan
berbagai objek, mampu menampilkan ragam ide hasil pemikiranku di hadapan orang
banyak dengan sangat baik tanpa perlu diragukan oleh siapapun” jawaban terbaik
buatnya.
“Berarti
kau harus mengejar bagaimanapun caranya, semangat” mendekap diriku sambil
tersenyum mengungkapkan satu pernyataan.
Sejak
hari dimana Hava Elisa menyatakan mimpinya ada banyak perubahan terjadi. Hasil
tugas mr. Juan kemarin tentang mimpi akhirnya bisa kuselesaikan setelah sekian
lama tertunda tanpa kejelasan ataupun keraguan. Aneh terdengar, terus saja
memberiku banyak tugas dengan akhir cerita tragis yaitu penolakan
berkepanjangan. Untuk pertama kalinya, tugas tentang cerita mimpi diterima oleh
sang dosen terkiller di kampus.
Rasa
marah tidak lagi berkata-kata setiap mendapat penolakan oleh sang dosen
pembunuh berdarah dingin namun tak terlihat. “Junior, mau kemana?” seru Nevil
menghadang jalanku.
“Kantin”
jawaban cuek.
“Bibi
Moza paling centil bilang kalau juniorku yang satu ini pintar menggambar gitu”
senior Nevil.
“Kenapa
senior menanyakan hal semacam itu?”
“Itu
dia masalahnya, bagaimana kalau kita berdua bekerja sama cari uang maksudku
sambilan gitulah, juniorku paling menggemeskan” senior Nevil.
“Senior,
sepertinya saya tidak tertarik” kata-kata penolakan.
“Memangnya
kau bisa kerja dimana tanpa dua tangan selama masa kuliah seperti sekarang?
Restoran, driver food, cleaning servis, supermarket, mall, dan masih banyak
lagi harus memakai dua tangan…” sindiran pedis darinya.
Kata-katanya
memang semuanya betul untuk segala sesuatu dua tangan benar-benar berharga di
setiap jalan hidup. Selalu saja berdiri di hadapanku tersenyum lebar agar mau
bekerja sama dengannya. Berpakaian super cuek, kaca mata hitam, tas ransel, celana
pendek berkeliling kampus ataupun berada dalam ruang perkuliahan merupakan
gambaran senior kampusku bernama Nevil. Selalu bisa membuat seseorang di
sekitarnya tertawa keras termasuk diriku tanpa sadar menjadi kelebihan dirinya.
“Kenapa
senior selalu berkeliling kampus berpakaian celana pendek setengah paha semacam
lagi bertanding bola saja” menertawakan penampilannya.
“Hidup
itu bebas buatku artinya yah bebas-bebas saja” balasan menohok sang senior.
Suka
maupun tidak terpaksa saya harus mengikuti keinginan senior dari fakultas seni
tentang kerjasama antara kami berdua. “Gambarku jelek” masih belum percaya
diri.
“Tenang
saja, kita tinggal promosi melalui akun media social terus memakai kreatifitas
tinggi biar diminati orang banyak maksudku terlihat berseni biarpun jelek sih”
senior Nevil.
“What?”
pertama kalinya teriakan lepas ketika berada di samping seseorang.
“Intinya
gambar bisa pesan antar gitu hanya dengan mengirim foto dan alamat lewat sebuah
aplikasi market atau beberapa akun media social” senior Nevil.
Karena
terus saja memaksa sampai akhirnya saya harus menyetujui keinginan sang senior
mahasiswa seni di kampusku. Minimal sebagai tambahan uang saku agar tidak
menyusahkan bunda di kampung. Beasiswaku hanya cukup buat bayar uang kuliah
bukan beban lainnya seperti uang kos atau kebutuhan makan tiap harinya. Saya
juga tidak bisa menjadi seperti Hozhi memakai kostum sampai menarik perhatian
orang banyak. Satu-satunya jalan untuk bertahan hidup di kota demi meraih mimpi
adalah bekerja sama dengan senior ternarsis di kampus.
“Gambar
apaan ini jelek bangetttt” komplain salah satu kostumer melalui akun media
social miliknya membuatku sedikit tertawa.
“Sangat
hancur” nada tidak puas kembali muncul.
“Lebih
dari kata hancur” sekali lagi nada ejekan.
Ratusan
pesan marah konsumen membuatnya terlihat kacau. Di satu sisi saya harus bisa
mengerjakan semua tugas kampus, perkuliahan, dan juga menggambar bersama sang
senior terkacau. “Apa yang salah?” mencoba memperbaiki sekaligus mencari ide
kreatifitas lain demi memikat konsumen.
“Hozhi”
tiba-tiba saja seseorang menghentikan kegiatanku di lapangan bebas sekitar
kampus.
“Buatmu”
gadis bisu sedang memegang selembar kertas sambil tersenyum manis.
“Buatku?”
dua bola mataku masih belum memahami sesuatu. Beberapa hari belakangan saya
tidak lagi tinggal serumah dengannya dikarenakan kegiatan perkuliahan padat
juga masalah pekerjaan tambahan uang saku bersama sang senior. Kembali ke rumah
lamaku menjadi satu-satunya jalan sekarang, lagian senyum keceriaan si’gadis
bisu kembali berkumandang setelah sekian lama.
Hozhi
tidak lagi memakai bahasa isyarat ketika berkomunikasi denganku, melainkan
menulis sesuatu pada selembar kertas. “Gadis cantik ini siapa?” pertanyaan
senior Nevil.
“Hozhi,
salah seorang mantan atlet pelari tercepat di Negara ini” jawabku.
“Mantan?”
senior Nevil.
“Kakinya
cedera parah sampai membuatnya tidak mungkin kembali menjadi seorang pelari
kembali”…
“Makanlah!”
tulisan tangan Hozhi pada sebuah kotak bekal makan siang.
“Sangat
cantik boleh juga jadi model” seniorku menatap wajah gadis bisu dari ujung
rambut hingga ujung kepala. Harus diakui memang kecantikan natural Hozhi
memikat semua orang di sekitarnya. Menjadi pertanyaan sekarang adalah bisakah
dia berlari kembali mengejar mimpinya walaupun dikatakan harus memulai lagi
dari nol? Dunia medis dapat saja berkata jika cedera kaki sang gadis bisu
menjadi kisah akhir paling tragis. Keadaan menyedihkan kemarin hanyalah nada
cerita mengejar mimpi besar di dalam ombak.
Terkadang
rasa penasaran hubungan antara mr. Juan dan Hozhi berada dimana? Dosen
terkiller takluk di hadapan gadis bisu terdengar sebuah lelucon. “Mungkin saya
tidak bisa lagi tinggal di rumahmu” menulis sebuah kalimat pada selembar
kertas.
“Kenapa?”
balas menulis.
“Kau
tidak memerlukan saya lagi” segera mengepak beberapa barang milikku.
Selama
ini saya takut meninggalkan dia seorang diri di rumahnya. Keceriaan Hozhi
berangsur pulih setelah pertemuan antara dia dan mr. Juan. Di luar dugaan gadis
bisu itu menghalangi saya keluar dari rumahnya. Tetap menolak permintaannya
untuk tetap tinggal bersama. Di luar dugaan dia berlari mengejar seperti orang
kesurupan ketika bus berjalan hingga ke rumah kontrakan tempatku berada. Beberapa
kali terjatuh, namun tetap saja berusaha bangun kemudian mengejar bus kembali.
Hal
terbodoh lagi adalah dia terus berjaga semalaman depan pintu rumahku. “Gadis
gila” kesal melihat tingkah bodohnya. Tanpa rasa bosan tetap berdiri mematung
ingin tinggal bersama denganku.
“Hozhi…”
tiba-tiba saja dia jatuh pingsan akibat perbuatannya semalam.
Mendorong
tubuhnya masuk ke rumah dan untuk kesekian kali terus berada di sampingnya suka
maupun tidak. Kenapa saya harus mengenalmu? Komunikasi antara kami berdua
terlalu sulit terjalin dikarenakan factor cacat fisik satu sama lain. Bisakah
saya membuat dia kembali bermimpi lagi seperti dulu jauh sebelum peristiwa itu?
“Saya
ingin melihatmu kembali berada di sebuah lapangan berlari sejauh mungkin dan
menjadi pemenang” menatap dia yang masih terbaring lemah.
Lapangan
arena pertandingan sedang berteriak keras memanggil untuk dihadapi. Berlari
menyelesaikan garis finish merupakan keunikan objek. Pilihan di tangan ingin
berhenti atau terus berlari tanpa memikirkan pertanyaan tentang kenapa kaki
harus terlihat kuat untuk bertahan apa pun alasannya. “Akhirnya kau sadar”
kata-kata sedikit judes setelah gadis bisu bangun dari tidurnya.
“Karena
perbuatanmu saya harus bolos kuliah hari ini,” menggerutu tidak jelas
membayangkan bagaimana mr. Juan akan menambahkan beberapa tugas tambahan lagi
sebagai hukuman akibat kelakuanku sekarang.
“Makanlah!”
memperlihatkan sebuah tulisan ke arahnya.
“Saya
ingin tetap tinggal bersama denganmu” membalas tulisanku pada lembaran kertas
berikutnya.
“Dengan
syarat, kau harus kembali ke lapangan dan mengejar mimpimu” memberi persyaratan
terhadapnya.
Dia
terkejut membaca tulisanku tentang hal tersebut. Tanpa pikir panjang kepalanya menggeleng seketika pertanda ingin
kehidupan yang sekarang bukan cerita kemarin. Rasa trauma menjadi alasan utama
seorang gadis bisu tidak ingin kembali berlari mengejar mimpi. Memberi waktu
berpikir selama beberapa hari menjadi alternative terbaik buatnya. Hozhi pasti
akan kembali menjadi bintang suatu hari kelak.
Dia
hanya butuh waktu untuk memulai mengejar mimpi dari nol kembali. Cedera kaki
merupakan sisi unik membentuk satu kekuatan ketika berlari. Kehidupan tanpa
mimpi besar merupakan hal terbodoh ketika menatap sebuah jalan di depan mata.
Sisi seni terbaik mengejar mimpi terletak pada rasa sakit karena ombak besar
ataupun lautan duri menghantam begitu dasyat. Jalan lurus tidak terlihat
menarik ketika dua tangan begitu mudah meraih satu bintang terbaik dalam hidup.
“Beberapa
kata disini terlihat hancur karena pernyataanmu” seperti biasa mr. Juan
mengoreksi lembaran tugas milikku kemudian mencoret-coret sedemikian rupa di
kampus.
“Saya
menginginkan susunan laporan keuangan hasil pemikiranmu sendiri untuk satu
kasus soal kemarin dan tidak hanya berpatokan pada buku” mr. Juan
menggeleng-gelengkan kepala terus menatap bahkan melingkari hasil laporanku.
“Di
lapangan kau akan menemukan banyak kasus berbelit-belit, mengundang emosi,
permainan pajak, beban tidak masuk akal, anggaran mines tetapi tuntutan
menyebar ke segala arah harus memperlihatkan hasil, permainan, dan segala jenis
objek” mr Juan memberi penekanan di setiap kata-katanya.
Diam
adalah cara terbaik ketika berhadapan dengannya. Dosenku yang satu ini memang
super jenius hingga membuat semua mahasiswanya terlihat stress tingkat dewa. “Kau
harus bisa menciptakan sendiri beberapa system sehingga orang di sekitarmu
tidak mungkin bisa bermain ataupun mempermainkan untuk kasus masalah keuangan,
baik ketika berada di satu perusahaan terlebih instansi pemerintahan, ngerti?”
lembaran kertas tugas milikku dilempar ke arahku seperti biasanya. Berusaha
memungut lembaran kertas tersebut memakai jari kakiku seperti biasa. Kata
seperti biasa memang selalu tertawa ketika berhadapan dengan sang dosen
terkiller. Raut wajah mr. Juan siap menerkam mangsa bahkan memakan hidup-hidup
semua yang ada di sekitarnya. “Kenapa masih membungkuk semacam manusia pengemis
di situ?” pertanyaan sinis sang dosen.
“Saya
bertanya pada manusia bukan patung” mr. Juan.
“Bantu
Hozhi mengejar mimpinya kembali” entah mengapa kalimat itu keluar begitu saja
di saat-saat amarah dosen killer tidak terkendalikan.
“Kenapa
mengalihkan perhatian?” mr. Juan.
“Entahlah”
jawaban buatnya.
“Manusia
aneh” mr. Juan.
“Saya
pikir mister cocok juga menjadi pelatih lari Hozhi bahkan sangat sempurna”
kesekian kali pikiranku hanya berada di sana bukan tentang masalah tugas
pemberian sang dosen yang selalu saja mendapat penolakan.
“Hozhi
sahabatmu lantas kenapa kau menyuruh saya?” mr. Juan.
“Kan
mister juga bagian terpenting tiba-tiba muncul sampai menghentikan tangisnya
kemarin bukan saya” kalimatku terdengar kesal…
“Jangan-jangan
kau berpikir kalau saya mencintai anak kecil seperti kalian terlebih Hozhi?”
mr. Juan.
“Memang
pertanyaan saya kesitu? Kalimatku tadi hanya ingin mister mengembalikan mimpi
Hozhi sekaligus menjadi pelatih lari buatnya” kalimat sedikit menekan.
“Kalau
kau berhasil mengembalikan mimpi Hozhi berarti saya juga akan menerima
permohonanmu untuk menjadi pelatih lari buatnya” mr. Juan menghentikan
langkahku seketika.
Hal
terkacau adalah meminta bantuan, tetapi sekarang sang dosen menyuruh balik
mengembalikan mimpi seorang gadis bisu. Saya juga kurang mengerti hubungan di
antara mereka berdua. Hozhi berjalan ke depanku setelah beberapa hari kemudian.
Mengusir gadis bisu itu jauh lebih baik agar jalannya sadar untuk kembali
memulai segala sesuatu dari nol demi mengembalikan sebuah mimpi. “Saya
menyukaimu, tapi tidak mungkin bisa memenuhi permintaanmu” sebuah kalimat
tertulis rapi pada selembar kertas.
Mendorong
tubuhnya memakai salah satu kakiku menuju suatu tempat saat itu juga. Rasa
kesal berkepanjangan mendengar respon penolakan darinya. “Kau lihat gadis autis
di sana sama seperti hidup kita berdua? Cacat” memperlihatkan sebuah tulisan
sambil menunjuk ke arah sosok seorang penari balet sedang berlatih keras…
“Sudah
Ribuan kali di luar sana, orang banyak meragukan kemamuannya bahkan mengalami
cedera kaki seperti dirimu, tapi dia tidak pernah berhenti berjalan sekalipun
harus memulai semua tentang balet dari nol” berkata-kata lagi melalui tulisan
ada selembat kertas bahkan semakin mendorong tubuhnya. Detail kisah Hope
Balerina si’gadis autis diceritakan oleh seseorang dalam grup komunitas kaum
disabilitas pada salah satu akun media social.
Kenapa
juga saya harus terobsesi sampai gila seperti sekarang ketika mendorong sosok
mayat hidup untuk memulai kembali kisahnya di suatu area? Kisahku memiliki
cerita sendiri sama halnya dengan dunia gadis bisu di hadapanku. Cacat fisik
bisa saja mempermainkan ruang kehidupan, tetapi tidak berarti menghancurkan
cerita mimpi ketika kaki sedang belajar berlari. Ribuan luka memang menciptakan
kepingan-kepingan hingga jutaan tetesan air mata mengalir begitu saja, namun
dibalik semuanya terdapat busur pelangi dalam pembentukan pertahanan. “Saya
ingin belajar memulai lagi dari nol” selembar kertas berisi tulisan tangan
Hozhi tertempel rapi depan pintu rumahku.
Bagian
7…
Hozhi…
Hanya
dia yang selalu berada di dekatku pada masa terpuruk. Cidera parah sewaktu
pertandingan kemarin membuatku tidak mungkin lagi kembali berlari. Kepergiaan kakek
semakin menghancurkan dinding ruang hidupku. Gadis bisu terdiam di dalam kamar
tanpa pengharapan, tetapi seolah Tuhan sengaja mengirim dia untuk tetap berada
di dekatku. Berawal dari pertemuan pertama kami karena bertabrakan hingga dia
terus mengekor di belakangku.
Saya
memang kesulitan berkomunikasi terhadap orang banyak terlebih dirinya. Hava
tidak pernah sekalipun berjalan jauh dari hidupku di masa-masa tersulit.
Kemungkinan besar karena kami berdua dilahirkan cacat sehingga rasa saling
membutuhkan satu sama lain terjalin. Memaksa tubuhku menatap sinar matahari
bagaimanapun caranya. Seorang gadis bisu terlihat seperti mayat hidup, namun
dia tidak pernah kehabisan akal.
Di
luar dugaan tiba-tiba saja bagian masa laluku muncul ketika Hava memaksa saya memakai
sebuah kostum untuk mencari uang di luar sana. Kakak itu kembali di hadapanku
seolah menginginkan jalan ceritaku yang lalu. Tangis histeris keluar begitu
saja di hadapan mereka. Hava memiliki kemiripan sikap seperti kakak Juan selalu
hadir menjadi objek terbaik.
Tuhan
sengaja menghadirkan mereka buatku. Saya tidak ingin kehilangan bagian terbaik
di sekitar jalan hidupku lagi. Mengekor Hava ketika hendak kembali tinggal di
rumahnya lagi membiarkan saya seorang diri. Cukup saya kehilangan kakekku, tetapi
untuk kali ini tanganku tidak akan membiarkan Hava berlari jauh dari hidupku.
Saya menyukai dia bahkan menganggapnya sebagai saudara perempuanku.
Keadaan
mempermainkan sebuah perisai kehidupan di sekitar jalur perjalanan. Hiasan
jalan itu tidak terlihat bernilai oleh karena segala objek lemah terus saja
bermuara sambil tertawa. Hal seperti inilah membuat saya terkadang hidup dalam
ketakutan lebih dari bayangan pemikiran di luar sana. Senyum memang menghias di
sepanjang jalan, akan tetapi bayang-bayang kelemahan jauh lebih kuat menerkam
seperti singa kelaparan.
Mengekor
di belakang menjadi alternative terbaik agar dia tetap di sampingku. Terus
berdiri depan rumahnya semalaman sampai gadis tanpa tangan membuka pintunya
buatku. Tiba-tiba saja semua terlihat gelap dengan cerita akhir dimana saya
berada dalam sebuah kamar. Kesekian kalinya Hava merawatku tanpa dua tangan
sempurna. Kami berdua sama-sama dilahirkan sebagai gadis cacat jauh dari kata
sempurna. Hal seperti ini juga membuatku ingin tinggal serumah dengannya. Objek
terbodoh adalah memberi persyaratan yang tidak mungkin bahkan terlalu mustahil
kulakukan kembali.
Kembali
ke arena pertandingan dan memulai segala sesuatu sebagai seorang atlit pelari
dari nol lagi. Jelas-jelas dokter menyatakan kalau saya tidak mungkin lagi
kembali bertanding sampai kapanpun juga. Semua beresiko untuk dilakukan.
Melanjutkan kehidupan di luar sana dengan mencari pekerjaan lain jauh lebih
baik. Dia mendorong tubuhku dan membawaku ke suatu tempat.
“Kau
lihat gadis autis di sana sama seperti hidup kita berdua? Cacat” berteriak
keras memperlihatkan sebuah tulisan geram di hadapanku sambil menunjuk sosok
seorang penari balet sedang berlatih.
“Sudah
Ribuan kali di luar sana, orang banyak meragukan kemamuannya bahkan mengalami
cedera kaki seperti dirimu, tapi dia tidak pernah berhenti berjalan sekalipun
harus memulai semua tentang balet dari nol” sekali lagi pernyataannya berteriak
kuat melalui selembar kertas.
Kertas
putih itu bermain pada sebuah alur dengan cerita berbeda. Kekuatan selembar
kertas berteriak dalam kelemahan memberi jalur tidak terduga. Bisakah saya
kembali memulai satu kisah hanya karena lembaran kertas putih tadi berisi
sebuah pernyataan? Mungkinkah tanganku meraih bintang dalam segala jenis
kelemahan terlebih permainan ombak selalu saja tertawa lebar?
“Mengejar
mimpi lagi?” tertawa sendiri.
Gadis
bisu bisa bercerita apa? Kemungkinan besar, saya terlalu gila untuk mengejar
mimpiku kemarin, tetapi sekarang semua hal berubah dalam sekejap. Cedera kaki
membuatku benar-benar hidup dalam ketakutan bahkan melenyapkan keberanianku
seketika. Kepergian kakek semakin menghancurkan dinding dasar hatiku untuk
menatap sesuatu. Saya bukan lagi pemimpi besar ketika berjalan di sekitar sudut
persimpangan.
“Tidak
ada salahnya mencoba sesuatu kembali” sebuah tulisan tertulis manis pada satu
jenis pesawat permainan anak yang terus saja beterbangan di sekitarku. Taman di
sore itu terlihat sangat ramai hingga saya sendiri tidak mengetahui pasti
pengirim kata-kata tersebut melalui trik pesawat.
Hal
terbodoh adalah entah kegilaan apa yang sedang merasuk diri sampai menyetujui
kemauan gadis tanpa dua tangan beberapa hari setelahnya. Lebih hancur lagi,
kakak Juan tiba-tiba saja berperan total sebagai pelatih lari buatku. terkejut,
marah, jengkel, ingin berteriak itulah kenyataan hidupku menatap sosok pelatih
di hadapanku. Sekian tahun lamanya dia menghilang tanpa kabar dan sekarang
menawarkan diri begitu saja. Tidak bisa disangkal kalau pertemuan dengannya
sedikit membuatku lupa masa-masa sukar kemarin terlebih akibat kepergian kakek.
“Mr.
Juan akan menjadi pelatih terbaik, jadi kau harus percaya” satu pesan melalui
salah satu aplikasi medsos muncul di berandaku.
Ka’Juan
yang kukenal kemarin jauh berbeda dengan pribadi di hadapanku sekarang. “Kau
harus bisa mengangkat beban ini” raut wajah menggertak sambil memakai bahasa
isyarat di lemparkan ke arahku. Dia tiba-tiba saja berubah dari manusia manis menjadi
pelatih tergalak jauh mengalahkan iblis.
Selalu
saja menyuruhku melakukan hal sama setiap hari dengan alasan pemanasan yaitu
membersihkan seluruh lapangan di beberapa tempat dan mengangkat air berulang
kali. Menggertak keras bahkan mendorong tubuhku membuatku seperti manusia
lemah. Membersihkan seluruh ruang perkuliahan, lapangan, perpustakaan, dan
beberapa area kampus tempat dia mengajar. Ini latihan atau acara perbudakan?
Kenapa
ka’Juan mengalami banyak perubahan setelah sekian tahun menghilang begitu saja?
Apa salahku? Tangannya tidak pernah lagi memegang sekotak es krim bersama
senyuman di wajahnya ketika berdiri di depanku. Tatapan wajah sinis, pemarah,
kasar, dingin, angkuh merupakan gambaran dirinya sekarang. Kenapa membenciku
segitu sadis? Harusnya yang menjadi pembenci berdarah dingin itu saya bukan
ka’Juan.
“Bersihkan
gudang di sini sekarang juga!” kalimat memerintah sambil memakai bahasa
isyarat.
Entah
kenapa juga saya selalu menjadi manusia penurut apa pun kalimat perintah dari
seorang ka’Juan. Satu pemandangan kejam terlihat olehku setelah seharian
berperan sebagai tukang bersih gudang kampus besar. Robekan kertas berhamburan
ke lantai karena ulah ka’Juan sendiri. Lebih parah lagi, robekan kertas
tersebut milik Hava sahabat terbaikku. Kalau memang memiliki dendam terhadap
saya, jangan sekali-sekali melampiaskan atau membalas ke arah Hava.
Saya
benar-benar tidak tahan melihat kelakuan ka’Juan beberapa hari belakangan
terhadap Hava. Robekan kertas selalu saja berhamburan seperti biasa depan
banyak mahasiswa. Seolah ka’Juan memang sengaja ingin mempermalukan sahabatku
di hadapan orang banyak. “Ini tidak bisa dibiarkan” suara hatiku berteriak
seketika.
Menjatuhkan
segala peralatan kebersihan di tangan, kemudian berlari menarik keras tubuh
ka’Juan dan mendorongnya ke lantai hingga terjatuh. Hal lebih gila lagi adalah
mengambil seember lumpur di luar sana dengan akhir memandikan tubuhnya
seketika. Tidak peduli seberapa geram dirinya akibat perilakuku. Saya mungkin
cacat dalam hal pendengaran, tetapi dua tangan juga kakiku masih berfungsi
sangat baik.
Terlihat
jelas raut wajah ka’Juan sangat geram akibat ulahku. Salah sendiri menyerang
sahabatku terus-terusan seperti singa kelaparan. Hava hampir tidak percaya
ulahku bahkan dua bola matanya terus terbelalak dengan mulut terbuka. Pertama
kali seorang dosen terkiller dipermalukan habis-habisan di hadapan banyak
orang.
“Kenapa
juga saya harus mengenalmu” tulisan sinis dosen terdingin yang kemudian
berjalan keluar dari ruang tersebut. Seperti ingin memakan hidup-hidup diriku
tetapi sesuatu menahan dirinya. Saya tidak perduli lagi kegeraman dari sang
dosen. Sesuatu di luar dugaan kulakukan hari ini.
Seorang
mahasiswa sahabat Hava mengangkat jempolnya terhadapku pertanda kagum atas apa
yang kulakukan. “Kau memang terbaik di antara paling terbaik” berkata-kata
sambil melakukan pergerakan tangan untuk membuatku mengerti ucapannya. Btw, dua bola mata Hava masih
terbelalak melihat peristiwa tersebut.
Sejak
tadi semua orang bubar setelah kepergian sang dosen, tetapi tubuh Hava masih
tetap saja mematung di tempat kejadian. Tiba-tiba saja seseorang menarik dua
tangan kami keluar dari ruang tanpa kelembutan sedikitpun. Siapa lagi kalau
bukan dosen terdingin sekaligus berperan sebagai pelatih terkejam…
Raut
wajah Hava masih belum berubah bahkan dua bola matanya tetap sama yaitu
terbelalak dalam waktu yang cukup lama. “Rasakan ini” tanpa pikir panjang
sekali lagi mendorong tubuhnya ke tanah setelah kami berada di sebuah lapangan.
Menginjak-nginjak kaki sang dosen hingga membuat semakin geram. Salah seorang
dosen tertawa lebar menyaksikan aksi yang sedang kulakukan.
Terjadi
kejar mengejar antara saya dan ka’Juan di sekitar lapangan, sedang Hava sendiri
sekali lagi masih berdiri mematung bahkan belum sadar dari shock tadi.
Kekacauan berikutnya adalah kami bertiga jatuh karena peristiwa kejar mengejar
sampai membuat Hava menjadi korban tabrakan…
Saya
tidak mau lagi ka’Juan berperan sebagai pelatih lari buatku apa pun alasannya.
Sang dosen menumpahkan kekesalannya terhadap dua gadis cacat. Kalau saya
sendiri sih bisu jadi tidak mungkin bisa mendengar ribuan makian darinya
kecuali Hava. Beberapa hari belakangan setelah peristiwa tersebut, Hava terus
saja tertawa seperti orang gila. Ratusan panggilan dari ibunya melalui
handphone dihiraukan.
“Kenapa
kau jadi gila setelah bangun dari shockmu beberapa hari lalu?” pertanyaan bagi
Hava melalui tulisan seperti biasa.
Kekacauan
selanjutnya adalah Hava diam sesaat, kemudian tiba-tiba tertawa keras kembali
tanpa henti. Salah satu kakinya tiba-tiba saja menulis pada lembaran kertas
milikku setelah tersadar sesuatu hal. “Habislah kita berdua karena ulahmu”
coretan tulisan Hava.
“Sekali-sekali
ka’Juan maksudku manusia iblis itu harus diberi pelajaran” membalas tulisannya.
“Kau
dan saya harus mengejar mimpi melalui bantuan mister Juan, lantas sekarang?”
tulisan Hava.
“Saya
bisa berlatih sendiri tanpa bantuan manusia iblis” balasku.
“Mustahil”
Hava.
“Saya
pasti bisa mengejar mimpiku kembali tanpa bantuannya” kembali menulis.
“Tapi
saya lebih percaya kemampuan mister Juan dibanding kau berlatih sendiri” Hava.
“Bukan
hanya saya seorang mendapat perlakuan buruk. Ada banyak anak didiknya di luar
sanapun diperlakukan sama” Hava.
Dunia
ka’Juan benar-benar berubah setelah sekian tahun berlalu. Sikap manis kemarin
tidak mungkin lagi kembali. Dingin, ganas, iblis, seram, menakutkan, galak
merupakan gambaran hidupnya yang sekarang. Kami berdua harus meminta maaf
terhadapnya suka maupun tidak. Hava terus saja memaksa agar mengikuti
kemauannya membuat surat permohonan maaf terhadap sang iblis jahanam.
“Mister
Juan merobek lembaran tugas milikku berarti ingin mendidik, walaupun terlalu
menyakitkan sih” tulisan Hava selanjutnya setelah pengakuan permohonan maaf
dilakukan terhadap sang dosen.
“Masing-masing
pengajar memiliki cara tersendiri ketika meluapkan satu sisi emosional terhadap
anak didiknya” sambung Hava.
“Entahlah”
balasan tulisan buatnya.
Rasa
geram memaki luar biasa bermain ke arah kami berdua di hadapan manusia iblis.
Telinga Hava memang sangat kebal mendengar ribuan kata-kata kekesalan, untung
saya tidak bisa mendengar setiap ucapannya. Pola latihan diberikan buatku pun
lebih sadis dibanding kemarin. Membersihkan seluruh ruang perkuliahan kampus
tersebut selama seminggu harus saya jalani. Mencabut rumput liar di sekitar
taman bunga merupakan jenis hukuman kedua. Menjadi pelayan kantin sekaligus
petugas kebersihan di tempat tersebut terdengar kacau.
Saya
ini sebenarnya mau jadi pelari atau pembantu begini? Rasa kesal berteriak
begitu saja. “Mau saya bantu” seorang pria bersahaja memakai celana pendek
menepuk bahuku.
“Tahukan
nama saya? Nevil” gerakan tangannya menjelaskan sesuatu…
Tanpa
pikir panjang kepalaku mengangguk seketika pertanda setuju menerima bantuan.
Nevil merupakan senior sekaligus sahabat Hava di kampus hanya beda fakultas
saja. Membersihkan lantai, meja, kursi, dan berlari bolak balik mengantar
makanan membuat sangat kelelahan. Membersihkan dapur sekaligus cuci piring kiri
kanan semakin menyatakan hal paling menyedihkan dalam hidup.
Rasa
capek hilang karena Nevil sangat pandai menghidupkan suasana. Akhir cerita
terjadi persahabatan sejati antara gadis bisu, gadis tanpa dua tangan, dan
seorang pria super kocak. Dia sangat pandai menciptakan beberapa karya seni dari
beberapa segi di luar pemikiran banyak orang. Lebih kocak lagi adalah
mengajakku bergabung dalam acara pencaharian tambahan uang demi menyambung
hidup. “Hozhi gadis paling cantik artinya harus jadi model lukis kami berdua”
Nevil berkata-kata memakai bahasa isyarat dengan pergerakan tangannya terhadap
manusia bisu sepertiku.
Saya
harus bisa mengatur waktu antara latihan dari manusia iblis, berada di tengah
kerumunan orang banyak sambil memakai kostum beruang, dan terakhir ikut dalam
project tambahan uang biaya hidup bersama dua sahabatku. “Setiap pagi, kau
harus berlari naik turun tangga tanpa memakai lift untuk mengantar makanan
ataupun pesanan dosen maupun staf kampus, ngerti?” bahasa isyarat manusia iblis
kembali memerintah.
“Kau
tidak boleh memakai bus ataupun transportasi apa pun untuk acara pulang pergi
ke kampus” manusia iblis.
“Lantas
saya kemari harus pakai apa?” meminta penjelasan.
“Gunakan
kakimu buat lari” jawaban manusia iblis. Andaikan Hava tidak percaya
terhadapnya, tentu saya tidak mungkin mengalami kesulitan seperti ini. lebih
gila lagi adalah saya harus berlari mengelilingi seluruh area kampus sebanyak
lima puluh kali putaran sebelum melakukan tugas darinya yaitu menjadi pelayanan
kantin sekaligus cleaning servis. Begitupun sebaliknya ketika hendak pulang
harus melakoni hal sama yaitu berlari sebanyak 50x mengitari area seperti tadi…
Suka
atau tidak tetap harus kulakukan bukan karena ingin tunduk terhadap manusia
iblis melainkan demi memenuhi permintaan Hava. “Ikut saja perintah mister Juan
dan jangan mengeluh!” tulisan pesan Hava setiap harinya di handphone milikku. Saya
harus bisa mengatur pernafasan ketika berlari setiap hendak berlari. Memulai
segala sesuatu dari nol memang benar-benar menyakitkan jauh melebihi apa pun.
Rasa-rasanya
ingin berhenti seketika untuk kembali bermimpi. Kakek tidak pernah melatih
sekacau ini sewaktu beliau masih hidup. Tugasku adalah berlari, berlari,
berlari, sekali lagi segala sesuatu sekitar area hidupku hanya bercerita
tentang berlari. Seorang gadis bisu sedang belajar memulai satu alur cerita.
Melupakan masa-masa tersulit kemarin serta berjuang menemukan satu jalan di
antara segala kata kemustahilan untuk menembus sesuatu. Semua pintu tertutup
rapat hingga tidak satupun celah terlihat oleh kasat mata, tetapi anggota tubuh
lain harus berjuang…
Bagian
8…
Permainan
teka teki selalu saja berada pada satu alur misteri bersama serpihan-serpihan
kertas tanpa pernah bisa ditebak bagaimana akhir selanjutnya. Dua gadis cacat
dengan cerita mimpi berbeda sedang menatap satu kata terbaik di sekitar jalan
mereka. “Jenis tugas kali ini makin hancur saja” nada dingin mister Juan memeriksa
lembar tugas Hava.
Semalaman
terus berjaga mengerjakan tugas dari sang dosen, namun kenyataan pahit sekali
lagi harus diterima. Cerita paling tragis memang mendapat penolakan setiap
pengumpulan tugas. Tidak pernah sekalipun dosen gadis cacat tersebut memberi
pujian terhadapnya. Apa sih yang salah? Hava memiliki satu kadar IQ cukup
tinggi bahkan selalu mendapat nilai sempurna. Semua berubah ketika dua kakinya
berada di sebuah kampus ternama terlebih peranan mister Juan sebagai dosen
paling berpengaruh.
“Kondisi,
gambaran, kenyataan, aspek, lingkup antara permasalahan susunan kata management
keuangan dan beberapa objek di luar sana memiliki kasus terbalik dari perumusan
sebenarnya” ungkapan mr. Juan memberi tanda silang sekitar lembaran tugas milik
Hava.
“Logika,
kebijakan, beberapa istilah tertentu, system penerapan berperan penting untuk
mencari tahu sesuatu hal ataupun memasang sesuatu objek bersifat menjebak”
penekanan mister Juan semakin kacau saja.
“Langsung
ke inti saja mister” cetus Hava.
“…”
mr. Juan.
“Katakan
saya menolak lembaran tugasmu kesekian kalinya” Hava.
“Memang
seperti itulah” mr. Juan. Sejak kejadian Hozhi mendorong tubuh sang dosen
terlebih melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur semua berubah…
Dua
gadis cacat seperti sedang berada dalam gua singa setiap berdiri di hadapan
sosok pria tinggi bernama Juan. Pola pemikiran untuk membentuk sisi lain dari
kaum generasi muda zaman sekarang membuat sang dosen sendiri memiliki cara
berbeda dibanding yang lain. Terdengar menyakitkan memang, tetapi tuntutan
ingin memancing ataupun menggali satu objek tertentu memaksakan pria tersebut
melakoni peranan manusia iblis.
“Lagi
stress yah?” sosok dosen wanita sedang berdiri di belakang Hava.
“Ka’Moza
pergi saja sana!” Hava terlihat sangat akrab…
“Jangan
terlalu stress” Moza segera menarik kursi agar bisa duduk di samping Hava.
“Entahlah”
Hava.
“Temanmu
yang cantik itu, namanya siapa ya?” Moza.
“Siapa
temanku?” Hava menghentikan kegiatannya.
“Pelari
cantik, terus Hava mengemis gitu ma Juan biar bisa jadi pelatihnya” Moza.
“Dari
mana ka’Moza menyadari semuanya?” Hava mencurigai sesuatu hal.
“Telingaku
panjang dan kebetulan saya lagi lewat depan kelasmu waktu kau mengemis memohon
agar dosen galakmu menjadi pelatih gadis cantik” Moza.
“Ka’Moza”
nada kesal Hava.
“Btw,
gadis cantik itu sangat rajin membersihkan seluruh ruang perkuliahan bahkan
jadi pelayan kantin” Moza.
“Mister
Juan gila stresss sinting” kekesalahan Hava bertambah.
Moza
terus tertawa dalam ruang perpustakaan hingga menjadi perhatian. Ruang
perpustakaan hening bukan lagi bagian kisah kampus ini dikarenakan salah satu
staf selalu saja terlihat gila ketika tertawa. Teguran maupun surat peringatan
sudah beberapa kali dilayangkan buatnya, tetapi tetap saja melanggar aturan
perpustakaan. “Bukan keterlaluan hanya saja ingin mengajarkan hidup” Moza
berkata-kata ditengah tawanya.
“Suara
ka’Moza bisa dipelankan sedikit?” Hava.
“Kalau
boleh jujur, saya menyukai mahasiswa atau katakanlah generasi muda yang tidak
akan pernah mengenal istilah gengsi untuk menjalani jenis pekerjaan di depannya
selama itu bersifat halal” Moza.
“Hubungan
antara perlakuan mister Juan terhadap Hozhi dan pernyataan kakak?” Hava.
“Bisa
dikatakan mister Juan suka juga kehidupan anak muda seperti itu” Moza.
“Berarti?”
Hava.
“Usia
muda memang menyenangkan terlebih ketika menginjak usia Sembilan belas tahun
ada banyak permainan teka-teki bermunculan di depan jalan” Moza.
“Saya
tidak mengerti?” Hava.
“Salah
satu objek paling menarik adalah kau membiarkan hidupmu diproses sedemikian
rupa oleh karena realita menyedihkan. Tekuni pekerjaan terkecil terlebih dahulu
sebelum hidupmu dipercayakan sesuatu yang lebih besar sehingga bintang di
tanganmu tetap bertahan” Moza.
“Pekerjaan
kecil?” Hava.
“Ada
banyak generasi muda di luar sana tidak ingin menyentuh jenis pekerjaan semacam
jadi tukang cupir, sopir, pembantu rumah tangga, buruh kasar, penjual sayur di
pasar, tukang batu, dan segala jenis pekerjaan yang dikatakan hina karena
status lulusan sekolah mereka atau permasalahan kekayaan luar biasa” Moza.
“Kebanyakan
dari mereka lebih menyukai sesuatu hal bersifat instan, memamerkan barang
bermerk, berada pada arus pergaulan buruk, seks bebas, dan hal-hal bersifat
mengerikan menciptakan satu cerita tentang sebuah jurang” kembali Moza
melanjutkan ucapannya.
Peranan
generasi muda memang mempengaruhi keadaan satu bangsa. Andaikan kehidupan
mereka berada dalam belenggu tentu bangsa tersebut kehilangan banyak hal
berharga. Sebuah bangsa dalam satu Negara dikatakan hidup, apabila bibit maupun
generasi penerus menciptkan terobosan-terobosan terbaik. Setiap anak muda bisa
saja menciptakan satu karya terbaik, tetapi menjadi pertanyaan adalah bagaimana
cara membuatnya tetap bertahan apapun situasi dunia yang sedang membelit?
Mengajarkan pekerjaan harus dimulai dari objek paling rendah terlebih dahulu
merupakan proses pendidikan terbaik di antara segala sudut pola pikir yang
pernah ada.
Moza
meninggalkan ruang perpustakaan dan membiarkan Hava menyelesaikan tugasnya di
sana. Pandangan mata teralih ke suatu tempat bahkan membuatnya menghentikan
langkahnya seketika. “Hai Dosen berdarah dingin” godaan Moza mengganggu
aktifitas Juan.
“Berhenti
berceloteh! Tempatmu bukan disini, ngerti?” Juan menatap Moza.
“Tidak
perlu memakai urat buat bicara denganku” Moza menarik kursi agar bisa duduk
berhadapan dengan salah seorang dosen terkiller di kampus itu.
“Ada
keperluan apa? Langsung saja” sikap dingin Juan.
“Jadilah
pengajar sekaligus sahabat bagi mahasiswamu. Tidak semua mahasiswa bisa di bentuk
dengan cara keras, maksudku sesuaikan tempat dan baca situasi” tegur Moza.
“Kau
dan saya berbeda” Juan.
“Hava
cukup kuat juga sampai bisa bertahan sejauh ini” Moza.
“Bukan
urusanmu” Juan.
“Btw,
saya Cuma mau memberitahu kalau minggu depan Lara sudah berada disini? Moza.
“Wanita
cantik, kaya raya, baik hati, jenius, sempurna tergila-gila terhadap manusia
dingin terdengar kacau” sindiran Moza.
“Jangan
lupa kalau manusia dingin juga memiliki kekayaan cukup stabil” balasan sindiran
Juan.
“Terserah”
Moza berjalan meninggalkan Juan seorang diri.
Di
balik sikap dingin Juan membuat seorang wanita sempurna tergila-gila
terhadapnya. “Saya akan mengejarmu
kemanapun kau pergi, camkan itu” kata-kata Lara terus saja menghantui
pikiran Juan tiap saat.
Juan
meneguk secangkir kopi sambil menikmati suasana pagi. Tinggal seorang diri pada
salah satu apartement mewah menjadikan dia menyadari bagian terpenting
hidupnya. Tiap sudut ruangannya selalu terlihat rapi, bersih, bahkan sangat
unik dengan desain interior unik. Selalu menikmati masakan sendiri merupakan
rahasia public untuk waktu cukup lama.
Seorang
tenaga pendidik bersama cerita beda ketika ingin menjadi bagian pembentuk pola
pikir dunia generasi muda. Memasuki bayang-bayang perjalanan anak-anak muda
bisa dikatakan cukup sulit tetapi memiliki petualangan tersendiri. “Selalu
saja” Juan menendang motor butut roda dua miliknya. Mogok di jalan seperti
biasanya sampai akhirnya mendorong menuju sebuah perbengkelan terdekat. Manusia
berduit paling pelit untuk membeli sebuah kendaraan roda empat terbaru.
Membeli
sebotol air mineral demi menghilangkan rasa haus di siang bolong. Tiba-tiba
saja terdengar suara seorang gadis terjatuh karena sebuah tabrakan kecil oleh
salah satu pengendara motor di sekitar pinggir jalan raya tidak jauh dari
tempat duduknya. “Gadis itu lagi” gerutuh Juan menyadari sesuatu hal.
“Cukup
dua tanganmu tidak berfungsi, tapi dua matamu itu harus bisa difungsikan” nada
dingin Juan seolah bermasa bodoh terhadap anak didiknya sendiri.
“Kenapa
harus bertemu mister di jalan begini?” Hava terlihat kesal.
“Ini
semua gara-gara mister terus saja menolak tugasku sampai harus begadang
semalaman sampai-sampai berakhir tragis ditabrak orang” sindir Hava. Mau tidak
mau sang dosen harus bertanggung jawab membawa anak didiknya ke rumah sakit.
“Makanlah!”
memberi sebungkus roti terhadap Hava setelah meninggalkan rumah sakit tadi.
Hava diam membisu melihat perilaku sang dosen.
“Mister
tidak salah makan?” kaget melihat tangan sang dosen memotong beberapa bagian
roti di tangannya kemudian membawahnya masuk ke mulut Hava. Sosok dingin bisa
juga ketakutan habis karena rasa bersalah tadi.
“Sedikit
salah makan lebih tepatnya” Juan berkata-kata setelah suapan roti terakhir.
Sikap dingin dosen membuat Hava hampir tak percaya tentang kejadian hari ini. Gadis
cacat itu harus ketinggalan jam kuliah pertama karena kecelakaan kecil yang
dialaminya. Pandangan mata banyak orang melek melihat sang dosen killer
membonceng mahasiswanya ke kampus.
“Cepat
turun dari motorku!” Juan berucap dingin mendorong tubuh Hava.
“Saya
juga sudah mau turun mister” Hava.
Tiba-tiba
saja seorang wanita cantik, tinggi, bibir seksi, langsing, putih bersih, kulit
mulus, rambut hitam panjang terurai, fashionable muncul di hadapan mereka.
Pemandangan histeris wanita tersebut melihat sang dosen mengejutkan Hava. “Saya
ingin memberi kejutan” senyum wanita cantik itu segera memeluk erat Juan.
“Lara
hentikan!” Juan berusaha lepas dari kegiatan pelukan Lara.
“Kau
tidak akan bisa kulepaskan bagaimanapun caranya” Lara makin memeluk tubuh Juan.
“Begitu
dong, cari wanita seumuranmu dan jangan mendekati gadis di bawah umur” entah
dari mana Nevil muncul di hadapan mereka bersama Hozhi. Terjadi saling tatap
menatap antara satu sama lain. Kedatangan Lara lebih cepat dari perkataan Moza
kemarin. Lara akan menjadi dosen pula pengganti dosen lama untuk salah satu
mata kuliah pada fakultas seni. Bisa dikatakan gedung fakultas antara seni dan
management bersebelahan.
Nevil
menarik tangan Hava untuk berjalan meninggalkan dosen killer bersama wanita
cantik di sekitar parkiran kampus. Hozhi sedikit terkejut melihat cara Nevil
memperlakukan Hava. Pergerakan Nevil terlihat jelas kalau dirinya benar-benar
menyukai Hava. “Kalau jalan itu hati-hati” tegur Nevil setelah Hava menjelaskan
kejadian sebenarnya.
“Hozhi
mana? Bukannya Hozhi tadi bersama denganmu?” Tanya Hava.
“Lagi
membersihkan kolam renang” jawaban spontan Nevil.
“Kalau
begitu saya kesana dulu” Hava segera berdiri dari tempatnya.
Gadis
tanpa dua tangan berjalan menuju kolam renang kampus tempas Hozhi berada.
Terdengar percakapan serius antara dosen killer bersama Hozhi pada pinggir
kolam renang tersebut hingga membuatnya bersembunyi. “Dua minggu ke depan
jadwal pertandinganmu dimulai lagi” gerakan tangan Juan menjelaskan sesuatu
terhadap Hozhi.
“Pertandingan
kecil tapi bisa saja mengubah banyak hal” Juan.
Setelah
sekian lama Hozhi tidak pernah menginjak kembali arena pertandingan, pada
akhirnya dirinya berjalan lagi ke tempat seharusnya. Juan menegaskan agar gadis
bisu tersebut harus mempersiapkan diri sekaligus latihan cukup keras untuk
memulai semuanya dari nol. “Ketidakmungkinan bisa berubah mungkin tergantung
cara berpikirmu. Jangan kecewakan siapapun terlebih sahabatmu sendiri” Juan
menyadari ikatan pertemanan yang sedang terjadi di antara dua gadis cacat.
Hava
diam mematung mendengar pernyataan dosen terdingin. Sejak hari itu Hozhi mulai
berlatih sangat keras. Berlari memutari kampus ratusan kali setiap harinya
tanpa rasa jenuh. Berusaha mengatur pernapasan bahkan berjuang menahan rasa
sakit ketika kakinya kembali bermasalah. “Hozhi semangat” Nevil berteriak keras
dari kejauhan menyaksikan perjuangan gadis bisu.
Pertandingan
kecil tetapi memberi arti bagi gadis tersebut. “Apa pun hasilnya nanti saya
tetap berada di sampingmu” tulisan pesan Hava buatnya melalui salah satu aplikasi
medsos.
“Hozhi
tetap pelari terbaik di mataku” kembali bunyi pesan masuk ke handphonenya dari
seorang Nevil.
Hari
yang dinantikan tiba juga setelah latihan cukup ketat bagi gadis bisu tersebut.
“Saya hanya harus mencoba” suara hati Hozhi berbisik menatap orang-orang di
sekitarnya.
“Kalaupun
gagal setidaknya saya akan mencoba lagi, lagi, lagi, dan lagi sampai menang”
Hozhi menepuk dadanya sendiri di tengah lapangan.
“Hozhi
harus berjuang” tulisan besar Hava mengambil barisan terdepan.
Bunyi
suara peluit terdengar menandakan seluruh atlet harus berlari mencapai garis
finish. Berlari di antara teriakan orang banyak terkadang memberi tantangan
tersendiri. Desain pikiran terbentuk ketika dua kaki melihat satu sisi garis
akhir. Tetesan keringat berbicara sekaligus berteriak kuat tentang proses
perjalanan mengejar mimpi besar. “Hozhi” suara teriak Hava menyaksikan
bagaimana gadis bisu itu hampir mencapai garis akhir.
“Menang”
Nevil segera memeluk Hava.
Pertandingan
pertama Hozhi setelah sekian lama menghilang menjadi awal permulaan kisahnya.
Dunia medis menyatakan cedera kaki Hozhi tidak mungkin bisa membuatnya kembali
mengejar mimpinya, tetapi semua itu dipatahkan seketika. Kenyataan di depan
mata adalah sesuatu hal paling mustahil terjadi yang kemudian terjadi perputaran
hingga berbalik arah menjadi mungkin terjadi. Seluruh pintu benar-benar
tertutup rapat bahkan sedikitpun celah tidak terlihat. Oleh sebuah perjuangan
hingga Tuhan mengulurkan tanganNYA untuk mulai membuka satu titik celah dengan akhir
cerita jauh di luar bayangan.
“Dia
menang” Juan berbicara terhadap seseorang melalui saluran telepon.
“Kau
hebat juga memprediksi kemampuan Hozhi” ucapan Juan kembali.
“Kau
bicara dengan siapa?” Lara tiba-tiba saja berdiri di depannya.
Bagian
9…
Juan…
Jalan
itu benar-benar tertutup rapat bahkan terlalu mustahil mencari celah. Sosok
gadis bisu berhasil menyatakan kemenangan telak pada pertandingan kecil.
Kepercayaan Hava tentang sahabatnya benar-benar terbukti. Mengemis di depanku
hanya demi sebuah permintaan menjadi pelatih Hozhi agar bisa kembali menjadi
seorang atlet lari terbaik.
“Bantu dia kembali meraih mimpinya” sosok
seseorang dibalik gadis bisu selain Hava sahabatnya. Hozhi benar-benar
dikelilingi orang-orang terbaik dalam hidupnya. Dia tidak pernah menyadari
bagaimana dua orang mengemis di hadapanku untuknya.
Jelas-jelas
dokter spesialis ortopedik berkata-kata cedera kakinya tidak mungkin bisa
membuat dia kembali berlari sekeras apa pun perjuangannya. Siapa pernah menduga
dua manusia terbaik di samping gadis bisu itu mematahkan tiap pernyataan sang
dokter. Seorang Hava yang terlihat seakan tidak percaya tentang memiliki dan
mengejar mimpi, tetapi berjuang di belakangnya. Sosok manusia misterius pun
selalu ada buatnya tanpa seorangpun sadar semua itu.
“Kau
harus berlatih lebih keras untuk bisa menembus beberapa pertandingan besar,
ngerti?” gerakan tangan bermain agar membuat gadis bisu memahami sesuatu hal.
“Pergilah!”
mengusir Hozhi dari hadapanku segera.
“Latih
dia lebih keras lagi” satu pesan masuk dari seseorang…
“Kenapa
bukan kau saja yang melatih dia?” balasan pesan terhadap manusia tersebut.
Saya
sepertinya harus bisa mengatur waktu antara menjadi dosen pengajar dan pelatih
lari si’gadis bisu. “Sejak dulu saya ingin melemparkan satu pertanyaan” terus
memeriksa lembaran tugas milik Hava seminggu setelah pertandingan Hozhi
selesai.
“Kenapa
kau selalu takut mencari titik celah sewaktu berada di satu jalur tidak biasa?”
masih melingkari beberapa kata pada lembaran kertas tersebut. Sekarang focus
saya tidak lagi ke arah Hozhi melainkan terhadap Hava. Dua gadis cacat selalu
saja berdiri di hadapanku mengungkapkan beberapa karakter serta pendirian
berbeda. Hava hanyalah sekumpulan anak yang sedang ketakutan untuk berteriak
keras ketika sebuah objek berlari menghadang jalur kehidupannya pribadi. Factor
terbesar adalah permasalahan cacat dalam dirinya sehingga selalu saja menjadi
senjata iblis menghancurkan banyak hal menarik.
“Saya
tidak mengerti pertanyaan mister” gadis tanpa dua tangan terlihat gugup.
“Kau
bisa berjuang demi masa depan sahabatmu sendiri, lantas bagaimana jalan ceritamu
sendiri? Apa bisa disebut seni atau tidak sama sekali” berujar lagi…
“Saya
juga mempunyai mimpi sama seperti Hozhi” kalimat Hava.
“Bisa
jelaskan mimpimu, walaupun kemarin sudah kau ungkapkan melalui tugas yang saya
berikan!”
“Saya
ingin berdiri di hadapan banyak orang mengungkapkan banyak ide, mengerti bahasa
management keuangan di segala bentuk, berintegritas, berkharisma, berwibawa, seorang
intelektual, disegani karena sesuatu tidak biasa yang sedang mengalir kuat
dalam kehidupanku” Hava.
“Berarti
kau harus berani menciptakan ceritamu sendiri bukannya berada pada aspek
ketakutan sekalipun ada banyak cerita kacau ingin bermain-main mencoba menjebak
jalanmu” pertama kali seorang Juan killer sedikit berkata-kata lembut terhadap
mahasiswanya sendiri.
Siapa
sih tidak merasa kesal terhadap sikapku selalu menolak tiap tugas dari banyak
mahasiswa. Saya tidak mencari tugas kampus paling sempurna hanya saja dua
tanganku ingin sesuatu yang berbeda saja. Sebagai dosen tuntutan membentuk
sekaligus berjuang mengajar untuk menciptkan terobosan-terobosan. kenyataannya
karakter hidup, pola pikir, juga masalah pengetahuan harus berjalan seimbang.
Masing-masing pengajar memiliki cara tersendiri berhadapan dengan anak didiknya
termasuk kisahku.
Memang
benar ucapan Moza tentang penyesuaian tempat ketika peranan sebagai pendidik
sedang dijalankan. System A tidak selamanya bisa digunakan terhadap sekelompok
muda mudi, begitupun sebaliknya beberapa proses lain harus menyesuaikan
keadaan. Tidak mudah membentuk sehingga tetap terjadi keseimbangan antara
karakter, mental, sikap, dan pengetahuan. Masing-masing dunia mahasiswa
memiliki sisi plus mines dalam diri mereka terlebih berhadapan dengan satu
jalur menjebak di depan…
“Sayang
lagi ngapain sih?” Lara wanita cantik sedang merusak mood.
“Keluar
dari ruanganku sekarang!” rasa kesal terhadapnya.
Kemanapun
dua kakiku berhenti wanita cantik itu terus saja seperti cacing kepanasan
mengekor. Lara selalu saja mengumumkan terhadap semua orang di sekitar tentang berita
pertunangan yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Rasa-rasanya membuatku gila
dikejar wanita cantik tetapi terlihat mengenaskan. “maaf, saya tidak sengaja
salah masuk ruangan” Gadis tanpa tangan terkejut menemukan keberadaan kami
berdua pada salah satu ruang kelas perkuliahan.
“Kalau
sengaja juga tidak masalah” Lara.
Saya
seperti patung diam membisu. Anak didikku berlari keluar, sementara wanita
cantik ini masih tetap berdiri di dekatku. “Upppssss pemandangan kacau”
tiba-tiba Moza hadir di tengah kami.
Memberi
kode terhadap Moza agar segera mengalihkan perhatian Lara. Kenapa bukan kakakku
saja menjadi incaran Lara? Kenapa juga orang tuanya datang langsung melamar ke
rumah sampai-sampai ayah setuju segala? “Bantuanku tidak gratis” cetus Moza
setelah berhasil membuat Lara keluar meninggalkan ruangan.
“Maksudmu
ada acara timbal balik gitu” menatap kesal Moza.
“Wow,
tadi saya lihat Hava berlari kacau seperti melihat pemandangan…” Moza.
“Jangan
berpikir negative” membalas kalimatnya.
“Seorang
dosen killer berada di tengah” Moza.
“Maksudmu?”
“Saya
curiga sesuatu kalau dosen killer di depanku ini menyukai salah satu anak
didiknya sendiri tanpa sadar” Moza.
“Memangnya
anak didikku yang mana?”
“Antara
Hava dan Hozhi” Moza.
“Kenapa
tidak sekalian saja bilang kalau saya menyukai Moza dosen gila” ucapan menggoda
dirinya.
“Itu
tidak mungkin karena saya tahu pasti siapa dirimu. Hati-hati ketahuan mahasiswa
lain apa lagi Nevil, habis kau” godaan Moza.
“Secara
Nevil juga menyukai salah satunya dan jelas-jelas sebagai tante yang baik tentu
lebih memilih mendukung keponakan sendiri” kata-kata Moza membuatku tertawa.
“Keluar
dari ruanganku!” segera mendorong Moza. Kekacauan apaan barusan? Tadi Lara
membuat keonaran, sekarang Moza lebih gila lagi…
Saya
mimpi apa semalam dicurigai hal semacam ini? Membereskan seluruh lembaran tugas
mahasiswaku di atas meja kemudian berjalan meninggalkan kampus. Berkeliling
jalan memakai motor tua merupakan alernatif penghilang stress. Tanpa sengaja motorku
menabrak seorang wanita tua di tengah jalan. “Apa ibu baik2 saja?” rasa
khawatir muncul seketika. Kaki juga tangan ibu tersebut mengalami luka cukup
serius akibat perbuatanku.
Mengantar
ke rumah sakit menjadi tanggung jawabku sekarang. Wanita paruh bayah itu
ternyata tersesat di kota sebesar ini. Hal terkacau lagi karena seluruh
barang-barangnya do copet sewaktu berada di pelabuhan. Tidak ada jalan lain
kecuali membawa beliau ke apartemen milikku. “Semua ikan hasil olahan buat
putriku habis dicopet orang” raut wajahnya terlihat sedih.
“Nama
ibu siapa?” sejak tadi hingga detik sekarang saya belum mengetahui namanya.
“Zamerah”
jawaban wanita paruh bayah itu.
“Panggil
saja saya Juan” memperkenalkan nama balik.
“Kau
sangat tampan anak muda” ibu Zamera.
“Biasa
saja” kalimat membosankan yang selalu berceleoteh di sekitar pendengaranku.
Meminta
ibu Zamerah mengingat lagi nomor handphone putrinya yang bisa dihubungi, tetapi
kenyataannya kalau kata tidak ingat lebih kuat bermain. Saya tidak pernah
menyangka pagi-pagi sekali beliau sudah bangun membersihkan rumah bahkan
menyiapkan beberapa hidangan makanan di atas meja. Menikmati masakan terenak
menjadi kebiasaanku beberapa hari belakangan. “Sangat jago masak” bergumam
sendiri. Mamaku sendiri tidak pernah tahu cara memasak paling lezat di hadapan
anak-anaknya. Satu hal, kelebihan mama hanya pintar ngelawak di tengah-tengah
sampai membuat perut papa kesakitan karena terus saja tertawa.
“Buat
ibu” menyerahkan sebuah handphone keluaran terbaru ke tangannya.
“Ibu
mana tahu menggunakan barang seperti ini” ibu Zamera menolak pemberianku.
Saya
hanya ingin menunjukkan rasa terima kasih terhadapnya. Berusaha menjelaskan
sesuatu sampai menerima pemberianku dan membuatnya mempelajari beberapa cara
penggunaan handphone di tangannya. Memaksa ibu Zamera agar tetap berada di
apartement hingga menemukan alamat putrinya.
“Putri
ibu sangat jenius hanya saja terlalu sulit mengerti hidup tanpa mimpi rasa-rasanya
seperti sayur tanpa garam sangat hambar” ibu Zameraa.
“Lantas
ngapain kuliah di kota?” ucapku sambil meneguk jus hasil buatan beliau.
“Karena
terpaksa” ibu Zamera lebih memberi jawaban nyeleneh.
Di
luar dugaan papa dan mama masuk tiba-tiba ke apartement. Orang tuaku memiliki
kunci cadangan dengan kata lain mereka bebas keluar masuk tempat tinggalku.
“Umurmu sudah berapa? Bisa-bisanya jual mahal begitu ma gadis paling sempurna
di dunia seperti Lara” teriakan papa hingga membuat ibu Zamera kaget.
“Papa
berhenti dulu marahnya, makanan di sini enak banget” teriak mama sambil menarik
papa ke meja makan.
“Mama…”
cetus papa.
“Coba
dulu baru bicara” mamaku dikenal sebagai tukang makan tapi badan tetap saja
kurus. Rasa geram papa hilang gara-gara menyantap makanan di atas meja. Mama
dan papaku tertidur lelap di kamar seolah lupa tujuan mereka kemari. Entah
kemana perginya kakakku, tumben tidak lagi mengekor di belakang papa mama
setiap ke apartementku. Kenapa bukan kakak saja yang dijodohkan ma gadis
sempurna semacam Lara?
“Juan,
dimana dirimu berada?” suara tidak asing lagi.
“Mau
apa kemari?” sangat geram melihat tingkah Moza bersama keponakan tercintanya
berada di apartementku.
“Saya
juga tidak bakalan kemari kalau bukan karena bibi memaksa terus” Nevil.
“Bukan
bibi tapi Kakak Moza” teriak Moza menjewer telinga keponakannya.
“Terima
kenyataan kalau kau sudah tua” ejekanku.
“Berhenti
mengejek!” cetus Moza. Kekacauan berikutnya adalah papa mama terbangun dari
tidur dan sekarang apartementku seperti pasar. Ibu Zamera sendiri tetap berada
di kamar sebelah karena tidak ingin ikut campur urusan keluargaku.
Gosip
berjalan tertawa habis karena kelakuan mama dan Moza, sedang papa bersama Nevil
sibuk bermain catur. “Kalau mama lebih suka Moza jadi calon menantu dibanding
Lara” sindir mama memeluk Moza.
“Papa
lebih pilih Lara, jelas-jelas orang tuanya langsung datang melamar Juan” balas
papa ke mama.
“Apa-apaan
ini” sangat geram.
“Masalahnya
Juan itu lagi naksir anak kecil bukannya naksir Moza” ledekan Moza.
Pernyataan
tersebut membuat orang tuaku terkejut seketika. Tidak pernah menyangka Moza
akan membuat kekonyolan seperti ini. “Juan gila” kalimat mama selanjutnya.
“Tapi
anak kecilnya berprestasi karena yang satu jenius, terus yang satu lagi pelari
tercepat maksudku seorang atlet” Moza makin menambah bumbu.
“Hava
itu milik Nevil bukan milik dosen killer sepertimu” rasa kesal Nevil.
“Apa-apaan
ini?” teriakku.
“Cari
yang seumuran dengan anda! Jangan ganggu Hava” cetus Nevil.
Terjadi
pertengkaran hebat akibat kelakuan brengsek Moza. Papa berteriak hanya ingin
Lara sebagai menantunya, sedang mama menginginkan Moza. Di tempat lain Nevil
melemparkan kata-kata kacau ke arahku karena disangkanya saya mengejar gadis
pujaannya. Mereka semua bertempur seperti orang kerasukan antara satu sama
lain. Perlu diketahui kalau Moza anak sahabat terdekat mama. Terjadi kesepakatan
untuk menjodohkan anaknya di antara dua sahabat sejati sekaligus tetangga yang
akan selamanya bertetangga.
“Jangan
coba-coba melihat Hozhi sebagai wanita” pesan hancur dari penggemar gadis bisu.
Seolah-olah saya ini seorang manusia bejat bahkan siap menerkam mangsa. Apa
betul Juan sang dosen ganas menyukai anak dibawah umur? Rasanya mustahil.
Mengusir
mereka semua keluar dari apartementku merupakan hal terbaik sekarang. Ibu
Zamera sendiri diam seribu bahasa di kamar sebelah mendengar perang dunia tiga.
Menurut Moza kalau saya menyukai tanpa sadar salah di antara dua anak didikku.
“Memangnya siapa yang kusuka?” membayangkan wajah Hava maupun Hozhi.
“Dosen
sinting, gila, miring” mengejek Moza seketika.
Bagaimana
bisa mereka datang membuat gempa di apartementku. Belum lagi beberapa pesan bernada
nada geram darinya. “Hozhi itu gadis lugu, jangan coba-coba mempermainkan
dirinya kalau masih ingin hidup” kata-kata tersebut bermakna gerah…
“Bilang
saja kau naksir Hozhi” balasan pesan dariku.
“Saya
menyuruhmu melatih Hozhi bukan menjadi laki-laki tua penggoda” sontak kata-kata
tersebut membuatku sangat marah setelah membacanya. Jelas-jelas dia sendiri
datang mengemis sambil bersujud meminta saya menjadi pelatih Hozhi. Salahku
dimana? Mereka semua termakan omongan Moza. Sebenarnya kalau dipikir-pikir
lagi, laki-laki tua tidak tahu malu itu dirinya bukan saya.
Awas
saja kalau berdiri di depanku tentu pukulan tanganku pasti melayang buatnya.
Ibu Zamera tertawa hebat melihat perang dunia tiga yang sedang terjadi tadi.
“Kehidupan seperti itu biasa terjadi” ibu Zamera berkata-kata di tengah tawanya
setelah mereka semua pulang ke rumah masing-masing.
“Sepertinya
nama yang disebutkan wanita tadi mirip nama putriku” ibu Zamera.
Jangan-jangan
anaknya kuliah di kampus tempat saya mengajar. “Buka pintunya dong manis” hal
tergila kakakku adalah sengaja memasang bel rumah/ apartement dalam bentuk nada
hancur seperti ini. Ibu Zamera makin tertawa kacau mendengar kata-kata dari bel
apartementku. Sejak kedatangannya baru hari ini beliau mendengar alarm bel
apartement berbunyi.
“Maaf
mengganggu, kakak Moza menyuruh kami membawakan pesanan mister kesini” sangat
mengerikan. Kelakuan Moza keterlaluan sengaja mengirim dua anak didik saya.
Bagian
10…
Hava…
Panas
terik begini tapi harus berlari mengekor di belakang Hozhi. Kami berdua
mendapat tugas mengirim paket pesanan mister Juan langsung ke rumahnya.
Perintah gila dari ka’Moza membuatku sedikit kesal. Hobi baru Hozhi yaitu
selalu berlari dimanapun kakinya berpijak. Lebih memilih berlari dibanding naik
bus menuju alamat rumah mister Juan. Saya hampir pingsan beberapa kali di
tengah jalan karena kelakuannya.
“Paket
pesanan mister” nafasku tersendat-sendat. Hozhi lebih memilih naik tangga
dibanding memakai lift menuju lantai 7 apartement dosen terkiller. Rasa-rasanya
saya hampir mati mengekor di belakang Hozhi.
“Hava”
seseorang di belakang mister Juan menyebut namaku.
“Bunda”
hampir tak percaya bundaku berada di apartement dosen terdingin di kampus. Ada
apa sebenarnya? Kenapa bunda tidak pernah memberitahu kedatangannya ke kota?
Lantas, saya harus bertemu dengan bunda di sini? Gila…
“Kalian
saling kenal?” mister Juan menunjuk ke arahku.
“Kenapa
mister menyembunyikan bunda di sini? Segitu bencinya yah ma gadis cacat
sepertiku sampai memanggil bunda segala dari kampung?” meluapkan rasa kesalku.
“Hava
gadis kesayangan bunda salah paham” bunda berlari memelukku.
“Pikiranmu
terlalu sempit” sindiran sinis mister Juan. Akhir cerita, bunda menceritakan
semua kejadian sebenarnya. Wajahku ingin segera bersembunyi dari dosen paling
dingin karena berpikir negative tentangnya. Meminta maaf dalam keadaan malu
menjadi satu-satunya jalan saat ini. Hozhi terus saja tertawa melihat tingkahku
di hadapan dosen terkiller. Kenapa juga bunda ke kota tanpa memberitahu
terlebih dahulu?
Semua
barang-barangnya habis lenyap di copet oleh beberapa preman kota sekitar
pelabuhan. Mister Juan memaki hebat ke arahku di belakang bunda. Menatap tajam
seakan ingin memakan hidup-hidup diriku seketika. Kata-kata kejam terus saja
dilemparkan selama jam mata kuliahnya berjalan beberapa waktu belakangan tanpa
henti. Nada memerintah seenak jidat terus saja diperankan. Hal lebih kacau lagi
adalah bunda ingin bekerja di rumahnya sebagai pembantu selama berada di kota.
“Buat
biaya ongkos bunda pulang” ujar bunda. Rasa geram makin bermuara memenuhi ruang
hidupku sekarang. Suka maupun tidak terpaksa saya harus menerima kenyataan
bunda menjadi pembantu di rumah dosen terdingin. Terkadang rasa ingin marah
bahkan berteriak muncul, tetapi sesuatu menahannya. Bagaimanapun juga dua
kakiku masih berjuang mengejar sesuatu hal terbaik, jadi saya harus bisa
bertahan ketika terjadi pertempuran di segala aspek.
Kemampuan
mister Juan tidak perlu diragukan dalam hal membentuk ataupun melatih anak didiknya
sendiri. Ada banyak perubahan yang terjadi terhadap Hozhi ketika menjalani
latihan tidak biasa oleh seorang dosen terganas. Kenyataannya adalah mister
Juan bukanlah seorang atlet, tetapi memiliki satu sisi peranan berbeda
dibanding orang lain. Ada banyak hal bermuara begitu saja dalam benakku walaupun
dikatakan setiap tugasku terus saja mendapat penolakan demi penolakan.
“Tulisanmu
ternyata sangat rapi yah, pada hal kau hanya menulis memakai kaki saja” pertama
kalinya dosen terganas hari ini memberi sebuah pujian.
“Hava
manusia paling jenius sedunia” senyum manisnya pertama kali terlihat.
“Mister
tidak salah bicara atau gimana?” mataku terbelalak dibuatnya.
“Tentu
saja tidaklah” mister Juan membelai rambut panjangku. Saya mimpi apa semalam?
Dosen terdingin, tergalak, terganas, terjahat, dan segalanya bercerita ter…
bersikap sangat manis berubah 360°.
Perubahan
sikap beberapa hari belakangan terhadap mahasiswa terlihat jelas. Tiba-tiba
saja memeluk kuat Hozhi sambil tersenyum lebar tanpa rasa geram. Biasanya Hozhi
disuruh berlari ratusan kali putaran, namun sekarang malah menepuk bahu bahkan lebih
menekankan agar tidak memaksakan diri. Memberiku segelas jus alpukat setelah
jam mata kuliah berakhir. Apa mister Juan salah makan? Jangan-jangan bunda
sengaja bekerja di rumahnya untuk mengubah perilaku seorang dosen terkejam
dalam segala hal.
“Saya
pikir bertukar pendapat antara satu sama lain lebih menyenangkan” ujar sang
dosen terdingin dalam kelas.
“Mister
tidak salah makan?” salah satu temanku bertanya.
“Biar
tidak tegang setidaknya harus terjalin persahabatan diantara kita” mr. Juan.
“Maksudnya
tadi itu, mister makan apa semalam?” cetusku ingin mengumpat.
“Semalam
saya makan nasi ketan hasil buatan seorang bunda terbaik sih” mr. Juan.
Di
luar dugaan, tatapan mata sang dosen sangat manis bahkan tidak terlihat ingin
memakan hidup-hidup semua orang di sekitarnya. Ada yang tidak beres atau
bagaimana? sampai detik sekarang, saya masih belum berani menginjakkan kaki
kembali ke apartement tempat tinggal seorang dosen terkejam sedunia. Bunda
memang bekerja di sana sih…
“Ingat
umur” teriak Nevil menyerang dosen terganas. Di luar dugaan adalah senyuman
wajahnya semakin terlihat manis tanpa membalas sepatah katapun.
“Senior,
ada masalah apa?” berusaha menghalangi satu kekacauan…
“Dosen
kejam di depanmu selalu saja lupa usianya berapa” sindir Nevil.
“Memangnya
usia mister Juan sangat bermasalah yah?” tanyaku lagi.
“Gadis
manis ingat tugas yang saya berikan tadi” mister Juan.
“Iya
mister” membalas kalimat dosen terkejam.
Nevil
makin histeris mengamuk mendengar kalimat sang dosen. Saya berusaha mengalihkan
perhatian sambil mendorong tubuhnya memakai salah satu kakiku menuju kantin
kampus. Seniorku yang satu ini akhirnya lupa tentang kejadian tadi. Ternyata
usaha seni kreatif kemarin mulai memperlihatkan hasil. Banyak kosumen menyatakan
rasa puas atas lukisan kami beberapa minggu belakangan. Tidak sia-sia juga ide
cemerlang Nevil untuk sebuah hasil karya terbaik.
“Hasil
kerja kerasmu kemarin” Nevil menyerahkan amplop berisi uang.
“Jumlahnya
lebih dari perkiraan” menghitung lembaran uang memakai kaki…
“Gambarmu
disukai orang banyak, jadi wajarlah” senyum Nevil.
“Otak
encer, tulisan rapi seperti penulis kaligrafi, bisa menggambar sekalipun
dikatakan tanpa dua tangan. Belum tentu manusia normal bisa seperti dirimu”
Nevil membelai lembut rambut ikalku.
“Biasa
saja” berusaha menghindar.
“Tidak
selamanya kehidupan sempurna itu bercerita tentang seluruh anggota tubuh
terlihat lengkap tanpa cacat, tergantung jalan pikiranmu menilai satu sisi
ruang ketika kau mengelolah sesuatu hal” Nevil.
Selama
ini memang jalan pikiranku selalu saja terhenti pada kata ‘normal’ karena
memiliki anggota tubuh lengkap, sedang saya sendiri tidak memiliki hal
tersebut. Pintu perantara untuk mengejar bintang tiba-tiba saja terhenti oleh
rasa tidak percaya diri berlari tanpa dua tangan. Saya masih mencoba berjalan
untuk meraih apa yang kuinginkan, namun ada saat dimana benteng iblis berusaha
menghalangi semuanya.
“Kau
hanya manusia cacat yang tidak mungkin bisa memegang satu bintang” teroran
iblis terkadang muncul seketika berselubung di sekitar jalanku.
Usia
belasan tahun memang masih berada pada jalur keragu-raguan bahkan benteng
iblispun jauh lebih kuat mencekam untuk menghancurkan sebuah cerita terbaik di depan
mata. Posisi seperti ini membuat banyak generasi muda bukan hanya saya selalu
saja terjebak oleh ribuan permainan. “Iblis, enyahlah dari hidupku” teriakanku
bergema begitu saja melihat gemerlap bintang malam. Saya tidak ingin diperdaya
lagi oleh teroran iblis tentang kata tidak bisa karena anggota tubuhku cacat.
Sudah
waktunya duniaku berteriak keras di dalam kekurangan melawan tiap jebakan hidup
sendiri. Saya ingin menjadi seorang yang bisa memberikan ide-ide luar biasa,
berintegritas, berwibawa, berkharisma, disegani karena menciptakan karya
berbeda, memiliki sisi intelektual tinggi suatu hari kelak. Hava berarti hidup
sama seperti jalan cerita di depan apa pun situasi badai sekalipun hanya
mengandalkan anggota tubuh yang ada.
“Semangat
Hava” berkata-kata terhadap diri sendiri menatap di depan cermin.
Mulai
detik sekarang jalan hidup seorang gadis cacat bernama Hava Elisa akan
bercerita lain dibanding banyak orang di luar sana. “Saya ingin mengajak kalian
makan di sebuah café khas anak muda tidak jauh dari kampus,” tiba-tiba saja
mister Juan memegang tangan Hozhi di depan mataku.
Apa
yang terjadi? Jangan-jangan mister Juan menyatakan rasa suka terhadap Hozhi.
Kenapa jadi kurang menyenangkan? Berarti kalimat Nevil tadi tentang masalah
usia karena dosen terganas menyukai gadis jauh dari umurnya. Hozhi memang
cantik walaupun memiliki sebuah kekurangan sekitar gendang pendengarannya. Wajar
saja diperebutkan oleh senior tampan semacam Nevil dan dosen terganas di
kampus.
“Jangan
salah paham” mister Juan melepaskan tangan Hozhi.
“Saya
tidak bertanya apa-apa” sedikit menggerutu.
“Saya
hanya ingin menghentikan kegiatan lari gadis cantik seperti Hozhi dengan
menarik tangannya” mr. Juan.
“Saya
tidak ingin kalian berpikiran kalau dosen di depanmu ternyata laki-laki tua
gatal” mister Juan berujar kembali.
Akhir
cerita adalah saya dan Hozhi tertawa melihat kelakuannya. Sejak kapan dosen
terdingin berubah menjadi tukang traktir orang kiri kanannya? Mister Juan
terlihat lebih bersahabat terhadap anak didiknya sendiri akhir-akhir ini. Tidak
lagi menekankan latihan ekstrim bagi Hozhi, menatap tajam ke semua orang,
bersikap dingin, ataupun menolak lembaran tugas milikku. Selalu memuji hasil
tugas adalah paling terbaik di antara semua mahasiswa.
“Hozhi
pasti bisa menjadi pelari nomor satu tercepat di dunia” mister Juan berteriak
di tengah lapangan sambil menggerakkan tangannya sebagai bahasa isyarat.
“Larimu hancur begitu mana bisa mengejar
kekalahanmu kemarin” kata-kata mister Juan terhadap Hozhi masih teringat
jelas di telingaku.
“Atur pernapasan waktu berlari itu penting”
teriakan dosen gila beberapa waktu lalu.
Harus
saya akui memang, beberapa pertandingan selalu dimenangkan oleh Hozhi. Mister
Juan mendaftarkan nama Hozhi tanpa persetujuan siapapun di beberapa kejuaraan
lari. “Hari ini jadwalmu bertanding”
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu terhadap kami. Mengikuti semua keinginannya
suka maupun tidak yaitu bertanding. Ini benar-benar gila langsung membawa ke
arena pertandingan tiba-tiba. Hal yang terjadi sekarang sangat berlawanan arah
dari karakter kejamnya.
Bagian
11…
Perubahan
drastis Juan membuat seluruh penghuni kampus bertanya-tanya. Dua gadis cacat
hampir tidak percaya terhadap kelakuan manis dari sang dosen terdingin. “Kenapa
ka’Juan senyumnya kelewat manis beberapa hari belakangan” suara hati si’gadis
bisu berteriak keras di dalam. Perubahan drastis terjadi seolah sesuatu merasuk
tubuh dosen terkejam menjadi tiba-tiba seperti malaikat.
Hozhi
harus mengikuti pertandingan lari tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
maupun persiapan matang. Kekacauan seorang pelatih ganas semacam Juan
membuatnya hidup seperti di neraka level seribu. Menolak setiap lembaran tugas
dari Hava merupakan kisah miris lainnya. “Garis kecil beberapa istilah disini
belum sepenuhnya jelas” merobek seperti biasa lembaran tugas Hava.
“Gambaran
ilustrasi permasalahan keuangan pada kasus di atas terlihat sederhana, tetapi
memiliki unsur begitu halus untuk tiap jalurnya. Tulis kembali ide baru
mengenai penejelasan maupun penyusunan berbeda dibanding system lainnya!”
tangan Juan sekali lagi mencoret-coret lembaran tugas gadis cacat di hadapannya
kemudian menghamburkan semuanya ke lantai.
Pergantian
bulan sekaligus tanggal baru memberi ribuan pertanyaan tentang perubahan sikap
dingin sang dosen. Semua terjadi begitu saja tentang senyum manis, tebar
pesona, kata-kata lembut, persahabatan antara dia dan seluruh anak didiknya.
“Saya ingin menjadi sahabat kalian” ungkapan manis dengan sikap yang terlalu
soft bagi pemikiran semua orang.
Perubahan
besar terjadi hingga setiap mata tidak berkedip ketika menatap diri seorang
dosen terkejam. “Apa ada kesalahan terhadap tampilanku hari ini?” sosok dosen
terdingin berubah menjadi soft boy.
“Ka’Juan
yang kukenal kemarin kembali” deru suara
hati Hozhi menatap senyum manis sosok pria di hadapannya.
“Saya
merasa ganjal” Moza terus mengamati perubahan sikap Juan dari kejauhan.
“Sepertinya
saya harus jadi detektif” Moza menarik nafas mengendap-ngendap bagaikan seorang
pencuri di siang bolong mengamati tiap pergerakan Juan.
Hal
lebih gila adalah Moza menyamar sebagai orang culun demi mengelabui semua
orang. “Mencari tahu memang tujuan utamaku” cetus Moza. Siapa pernah menduga
kalau ternyata dosen sastra kampus tersebut memiliki kualitas aktis cukup
meyakinkan. Menguntit kemanapun manusia terkiller berada. Moza sangat yakin
sesuatu tidak beres disembunyikan oleh Juan sampai membuatnya terlihat sebagai
manusia soft boy.
“Selalu
saja mengamati tiap latihan maupun pertandingan si’cantik Hozhi” gerutu Moza
dalam hati.
“Perasaanku
berkata kalau hatinya lebih sedikit lari ke Hava, lantas kenapa jadi ada
perubahan yah?” tingkah dosen sastra seperti orang bodoh.
“Kenapa
jadi begitu manis pada semua orang termasuk ma saya” Moza menunjuk diri
sendiri.
Aksi
sebagai detektif sudah dimulai beberapa hari lalu, namun belum memperlihatkan
hasil maksimal. Sosok Moza masih terus mencari tahu rasa keterpaksaan manusia
bengis tiba-tiba berubah jadi soft boy. Sulit dipercaya perubahan terjadi
begitu saja. “Moza dosen paling manis lagi cari apa?” suara seseorang
mengagetkan Moza.
“Juan
habis makan apa?” Moza berusaha bersikap tenang.
“Makan
bubur mungkin” kalimat sang dosen.
“Kau
berubah jadi manis begini, sejak kapan?” Moza.
“Sejak
kapan juga jadi penguntit di belakang” wajah lembut manusia kejam tertata baik.
“Siapa
bilang saya jadi penguntit, enak saja” cetus Moza segera berjalan.
“Mau
kemana?” menarik kerah baju Moza masuk ke ruangannya.
Mereka
saling menatap satu sama lain untuk beberapa saat. “Sepertinya Juan manusia
iblis sudah kembali” gumam Moza. Dosen sastra sekaligus petugas perpus berusaha
ingin lepas tetapi sesuatu menahan dirinya.
“Saya
ada kelas tambahan” Moza berusaha menghindar.
“Rasa
curigamu mengenai masalah perubahanku, lupakan saja” Juan.
“Saya
tidak berpikir ingin lupa” Moza.
Juan
mendorong tubuh Moza menuju parkiran mobil. Pada akhirnya mereka berdua berada
di satu tempat tidak terduga jauh dari keramaian. “Kenapa membawaku kemari?”
Moza.
“Jangan-jangan
kau mau mengamuk karena mengadu pada orang tuamu kalau suka ma anak kecil?
Memang kenyataan,” cetus Moza.
“Bilang
saja kau cemburu” goda Juan.
“Kau
bukan tipeku” Moza.
“Kau
mau bilang bule-bule di luar sana tipemu?” Juan.
“Saya
memang menyukai cowok bule sih, tapi kehidupannya harus sesuai…” Moza.
“Misalnya”
Juan.
“Tidak
seks bebas karena budayaku mengajarkan kehidupan takut terhadap Tuhan. Selain
itu harus dewasa, tidak suka pamer, pergaulan masih status normal-normal saja”
Moza.
“Bule
kebanyakan budayanya bebas, ngerti?” Juan.
“Pasti
ada satu atau dua dengan kehidupan tetap sesuai jalan Tuhan, lagian saya juga
belum tahu jodohku siapa dan belum pasti, gimana sih?” Moza.
Perbincangan
mereka berdua terdengar kacau. Sosok Moza tidak menyukai beberapa objek hidup
di luar sana. Dunianya simple saja ketika berjalan. Dalam benaknya sama sekali
tidak terpikirkan ingin berkeliling dunia menikmati suasana liburan terbaik. Lebih
menyukai suasana perkampungan dibanding perkotaan ketika ingin rehat sejenak
dari aktifitasnya. Sejak kecil kehidupannya lebih senang menghabiskan malam tahun
baru di sebuah gereja dan beribadah hingga jam dua belas tiba dibanding melihat
kemeriahan kembang api.
Cita-citanya
bukan berlibur keliling dunia, jadi wajar saja kalau sosok Moza lebih menyukai
aktifitas biasa. Kalaupun ingin menghabiskan waktu liburan di sebuah Negara,
kemungkinan besar hanya melihat dua Negara. Korsel dan Jepang merupakan tempat
favorit yang ingin dikunjungi suatu hari nanti, itupun di sekitar bagian
pedesaannya bukan perkotaan. Menyukai suasana alam, makanan tradisional,
pemandangan desa di dua Negara tersebut memiliki daya tarik berbeda buatnya.
“Btw,
bukan itu yang saya pertanyakan” Juan.
“Lantas
apa dong?” Moza balik bertanya.
“Kenapa
kau tidak mencoba menerima tawaran beberapa orang di Negara ini untuk berdiri?”
Juan.
“Membosankan
membahas hal semacam ini” gerutu Moza.
“Kau
sadar kan kalau ekonomi juga roda pemerintahan di sini lagi kacau” Juan.
“Kekacauan
kan memang sejak dulu bukan baru sekarang” Moza.
“Moza…”
nada Juan meninggi.
“Setidaknya
beberapa kelompok penting bisa tersenyum manis kalau saya menolak untuk berada
di atas” Moza.
“Entahlah”
Juan.
“Katakan
ke beberapa penguasa, bagaimanapun tingkat kejeniusanmu bahkan cara paling
halus sekalipun untuk melenyapkan jalanku dari muka bumi tanpa disadari oleh
orang sekitar, tetap saya tidak akan pernah mati karena Tuhanku punya kekuatan
luar biasa untuk membuatku tetap bertahan” Moza.
“Tadi
kau bilang tidak peduli sekarang kenapa jadi lari begini?” Juan.
“Sekedar
bicara saja bukan berarti saya menyetujui permintaanmu” Moza.
“Lupakan,
hari sudah mulai gelap lebih kita pulang saja” Juan segera menghidupkan mesin
mobilnya.
Teka
teki misterius akan terungkap seiring waktu berjalan. Seorang perempuan sedang
bergumul sebuah beban terberat di luar pemikiran banyak orang. Menyatakan
keputusan bersama beberapa bagian aspek tertentu pula membutuhkan waktu cukup
lama. Diam seribu bahasa sekian tahun lamanya menjadi alasan untuk berpikir
kembali. “Baru kali ini saya melihat ka’Moza duduk termenung” sapa Hava di
sekitar ruang perpustakaan.
“Masa?”
balas Moza.
“Btw,
Saya merasa sedikit ganjil ma perubahan mister Juan” Hava berpikir sejenak.
“Itu
dia yang saya pikirkan dari tadi” seru Moza.
“Dari
manusia terkejam tiba-tiba berubah jadi soft boy” Hava.
“Siapa
tahu dosenmu lagi pengen setting-settingan gitu” Moza.
“Mirip
drakor saja, dari manusia tsundere menjadi soft boy” Hava menggeleng-geleng
kepalanya membayangkan dosen terdingin di kampus.
“Ternyata
Hava diam-diam suka nonton drakor juga yah” tawa Moza.
“Jelaslah,
semua orang juga pada senang cuci-cuci mata ma oppa-oppa atau nunna-nunna”
ledek Hava sembari membaca sebuah buku di atas meja.
“Minggu
depan pertandingan Hozhi” Hava berujar kembali.
“Pertandingan
kali ini macam jaraknya cukup mepet yah?” Moza.
“Tapi
Hozhi bisa mengatasi semuanya” Hava.
“Kuharap
kakak juga ada di sana memberi dukungan” Hava.
“Tentu
saja” semangat Moza.
Sosok
Hozhi memulai kembali mengibarkan benderanya setelah cukup lama berdiam.
Mengejar mimpi merupakan hal paling menarik di sepanjang perputaran roda
kehidupan. Berjuang membuktikan bahwa kata mungkin tentu saja bisa terjadi di
sepanjang jalan kemustahilan tanpa ujung sekalipun. Cacat, cedera kaki,
kemiskinan, ataupun beberapa objek lain bukan alasan dua kaki terhenti mengejar
sebuah bintang.
“Fighting”
tulisan besar tertera rapi memberi semangat terhadap Hozhi.
“Ini
kesempatan emas buatmu biar bisa balas dendam terhadap lawanmu pada putaran
final nanti” gerakan tangan sosok pria mengungkapkan satu pernyataan.
“Ka’Juan
yang kukenal kemarin ternyata kembali” suara hati gadis bisu bergema…
“Hhhhmmmm”
Moza berjalan memakai topi membawa selebaran kertas.
“Hozhi
semangat” teriak Hava.
Mereka
semua hadir hanya demi memberi dukungan penuh terhadap sang pelari. Pertandingan
tersebut merupakan penentu pertemuan kembali antara dua atlet lari pada putaran
final nanti. Kirey merupakan salah satu atlet lari nomor satu bahkan
kemampuannyapun tidak perlu diragukan lagi. Dibalik kesuksesan pelari tersebut
tersimpan sebuah cerita penyebab utama Hozhi sang gadis bisu mengalami cedera
cukup parah.
“Hozhi,
fighting” teriak Moza memberi semangat.
“Korban
drakor” ledek Nevil menyindir.
“Kau
pikir saya tidak tahu koleksi drakormu penuh di laptop” balas Moza terhadap
keponakan sendiri.
Mereka
semua berada pada barisan utama bersama personil seluruh mahasiswa Hava
university memberi dukungan penuh terhadap Hozhi. Ide jahil Nevil membuat
seluruh penghuni kampus hadir tanpa kecuali pada pertandingan tersebut. “Hozhi
berjuanglah meraih bintangmu sendiri” pertama kali sosok Hava berteriak di
sekitar lapangan tanpa henti.
“Kenapa
wajah mister Juan seperti ada di sana sini” raut wajah Hava berubah seketika.
Dua kaki gadis cacat tersebut berhenti berjalan sekitar pinggir lapangan
sekaligus menjadi titik kemenangan sahabatnya.
“Akhirnya
pertandingan kali ini dimenangkan oleh seorang gadis cantik” salah seorang host
berteriak.
“Saya
sudah duga ada yang tidak beres disini” cetus Moza berlari ke tempat dimana
Juan berdiri.
“Mister,
kenapa tiba-tiba berdiri di sini?” Hava sedikit kebingungan.
“Kenapa
raut wajahmu kebingungan seperti itu?” kalimat sinis Juan.
Moza
hadir seketika menarik kuat tangan Juan seketika dan membiarkan Hava seorang
diri. “Maumu apa memegang tangan?” Juan terlihat sangat sinis.
“Ternyata
kau kembali juga yah” Moza.
Mereka
berdua berdiri saling memandang jauh dari suasana riuh penonton. “Dua anak
kembar mempermainkan banyak orang” ungkap Moza menyadari sesuatu hal. Bagaimana
tidak, seorang Juan tidak mungkin memeluk erat anak didiknya sendiri macam
tadi. Berlari memeluk kuat Hozhi setelah di depan umum. Perhatian Hava teralih
ke tempat lain hingga tidak menyadari kejadian tersebut.
“Kenapa
Nadav harus berpura-pura jadi dirimu segala?” pertanyaan Moza kembali.
“Ceritanya
panjang” Juan tidak lagi bisa mengelak. Moza satu-satunya orang terdekat yang
tahu pasti sosok Juan manusia terdingin ternyata mempunyai saudara kembar. Juan
berusaha menghindar agar identitas keduanya tidak terbongkar ke public.
Mau
tidak mau seorang Juan harus bercerita sedetail mungkin terhadap Moza. “Kau
harus menutup mulutmu” nada dingin sang dosen terkejam.
“Tergantung
situasi” balas Moza kemudian berjalan pergi meninggalkan Juan.
Perayaan
atas kemenangan Hozhi sedang berlangsung di sekitar kantin kampus keesokan
harinya. Hal lebih mengejutkan adalah sang dosen membayar seluruh makanan
sebagai ucapan syukur atas kemenangan si’gadis bisu. “Betul-betul drakor on
going” sindir Moza terhadap pria di depannya.
“Ka’Moza
bicara apa?” pertanyaan Hava kurang paham. Acara saling menatap satu sama lain
terjadi di kantin karena ulah Moza.
“Kalian
semua harus makan sepuasnya” teriak Nadav saudara kembar dosen terdingin yang
sedang menyamar. Karakter dua anak kembar dapat dikatakan sangat berlawanan
arah. Nadav merupakan sosok pria dengan karakter soft boy, ramah, selalu
tersenyum, sabar, baik hati, sulit berteriak apa pun masalah yang sedang
dihadapi olehnya. Jauh berbeda dengan seorang Juan adik kembarnya terlihat
kejam, dingin, pemarah, angker, iblis, menyeramkan, bahkan ingin memakan
hidup-hidup semua orang di sekitarnya.
“Hava
kalau boleh tahu siapa artis korea favoritmu?” tatapan Moza beralih ke tempat
Hava duduk.
“Banyak
sih, kalau ka’Moza sendiri siapa?” Hava.
“Sebenarnya
sih saya tidak terlalu mengidolakan artis manapun, tapi bisa jadi juga kalau
saya fens sejati oppa Shiwon ma oppa Park seojun” Moza.
“Hubungan
cerita tadi?” tanpa sadar ternyata Nevil sejak tadi menguping.
“Tiba-tiba
saja ingat drakor gitu” Moza.
Bisa
dikatakan dua manusia kembar berhasil mengelabui banyak orang. “Nadav makan apa
semalam?” pertanyaan Moza menyodorkan segelas jus wortel.
“Siapa
itu Nadav?” Hava masih bingung.
“Upppsssss,
maksudku Juan semalam makan apa?” Moza.
“Makan
makanan manislah masa makanan pedis” nada suara Nadav terdengar sedikit
penekanan.
Juan
dan kakak kembarnya terpaksa saling bertukar peran karena sesuatu hal terjadi.
Di lain tempat sosok Nadav memiliki peran penting bagi perjalanan si’gadis
bisu. Siapa pernah menduga kakak kembar Juan sengaja menyamarkan namanya
sewaktu berusia remaja. Biaya rumah sakit Hozhi ketika berada di rumah sakit
dibayar oleh Nadav bukannya Juan. Terjadi kesalahpahaman diantara semua cerita
kemarin karena perbuatannya.
“Tidak
gitu juga keles berusaha membongkar rahasia” bisik Nadav ke telinga Moza.
“Kau
benar-benar menyukai anak di bawah umur” mengirim pesan.
“Saya
hanya menganggap Hozhi sebagai adik tidak lebih” balas pesan Nadav melalui
sebuah aplikasi media social.
“Memangnya
saya menyebut nama Hozhi?” tulis pesan Moza lagi.
“Dua
anak kembar ternyata tanpa sadar menyukai anak berusia masih belasan tahun,
sangat-sangat gila” Moza berkata-kata sendiri dalam hati.
Tatapan
curiga Moza memang sering terjadi ketika melihat cara Nadav memperlakukan
Hozhi. Hal terkacau lain lagi adalah seluruh karyawan satu gedung stress berat
akibat ulah Juan ketika berada di kantor. Pergantian peran berakibat fatal
antara satu sama lain. Tidak ada lagi cerita traktir-traktiran atau senyum
manis sang bos terhadap karyawan. Jari telunjuk Juan selalu saja bermain tiap
detik menatap semua manusia dalam gedung tersebut.
“Laporanmu
terlalu menyedihkan” tatapan sinis Juan menatap salah satu karyawan.
“Pikiranmu
sesempit ini?” merobek kertas berisi ide-ide stafnya.
“Saya
tidak suka manusia pemalas sepertimu, ngerti?” jari telunjuk Juan bermain.
Bagian
12…
Nadav…
Mengamati
peran Juan dari kejauhan sedikit membuatku terkejut. Imejku sebagai bos paling
lembut hilang ditelan bumi. “Saya benci suasana rumpi” raut wajah terjahat
Juan. Gara-gara ulah Moza terpaksa kami berdua harus bertukar peran. Juan
menyukai anak kecil membuat orang tua kami dihantui rasa takut. Tidak
seorangpun sadar kalau saya memiliki saudara kembar. Sejak kecil Juan tinggal
bersama papa mama di luar negeri, sedang hidupku sendiri menghabiskan waktu
hingga usia remaja di rumah nenek.
Kehebohan
Moza menyindir adikku menyukai anak kecil menjadi pemicu terberat papa mengamuk
besar. Tukar tempat harus dijalankan bagaimanapun juga. Seluruh mahasiswa
ketakutan tiap melihat wajah Juan ketika sedang berjalan. Penghuni kampus
hampir tidak percaya perubahan terbesar terjadi pada sosok dosen mereka.
Wajarlah, jelas-jelas orang yang berdiri di hadapan mereka bukan adikku
melainkan kakak kembarnya sendiri.
Saya
juga geram melihat tingkah Juan andaikan kecurigaan Moza memang benar. Jangan
sampai gadis remaja yang dimaksud ternyata Hozhi. Wajar saja Nevil keponakan
Moza sampai menyerang habis Juan dengan kata-kata menyebalkan. Rasa takut
membayangkan Hozhi jatuh ke pelukan pria dingin semacam Juan benar-benar
menghantui pikiranku.
Flashback…
Usiaku
masih menginjak empat belas tahun menjalani kehidupan remja seperti anak
lainnya. Sejak kecil, saya merindukan ingin memiliki seorang adik manis, lucu,
juga imut. Hal menyebalkan yang kudapat adalah berlawanan dari keinginanku.
Adikku sekaligus kembaranku benar-benar menyebalkan jauh berlawanan dari karakterku.
Dingin, judes, pemarah, selalu menatap sinis, cuek menjadi gambaran dirinya.
Menyuruh mama agar memberiku adik perempuan ternyata membuat semuanya sangat
geram terlebih Juan…
Kisah
inilah menjadi penyebab saya lebih baik memilih tinggal bersama nenek. Seiring
berjalannya waktu, seorang gadis kecil berusia tiga tahun sedang menunggu
kakeknya di samping supermarket tidak jauh dari tempatku bersekolah. “Imut
habis” memandang anak perempuan itu dari kejauhan. Berusaha berjalan di
depannya beberapa hari kemudian. Gadis kecil selalu saja berdiri tanpa rasa
bosan di sana. Andaikata saja anak perempuan itu menjadi adikku bukannya Juan…
“Mau
ice cream?” senyumku. Gadis kecil bersikap cuek seolah tidak pernah mendengar
suaraku. Sang kakek menjelaskan kalau cucunya bisu sejak lahir sehingga tidak
mengerti bahasa yang saya gunakan. Entah mengapa hal tersebut membuatku ingin
terus mempelajari bahasa isyarat melalui internet juga beberapa buku.
Singkat
cerita, saya selalu berusaha menjadi seorang kakak baginya. Membawa Hozi ke
rumah, memberinya banyak makanan, mengajari dirinya baca tulis sejak dini, dan
banyak hal lagi kulakukan. Menggendong gadis kecil setelah jam sekolahku
selesai untuk dibawah pulang ke rumah. Selama tujuh tahun saya melakukan semua
itu tanpa rasa bosan sama sekali. Berusaha mencari tahu talenta yang dimiliki
olehnya.
“Larimu
terlalu cepat” menggerakkan tangan agar mengerti ucapanku.
“Kau
harus jadi pelari tercepat suatu hari nanti” tersadar sesuatu setelah mencoba
mencari tahu bakat terpendam dalam diri gadis kecil. Bisa dikatakan kemampuan
lari gadis kecil sukses membuatku terlihat sesak sejak usia tiga tahun.
“Hozhi
harus bisa bermimpi besar bagaimanapun ceritamu berjalan nantinya”
mengungkapkan sebuah pernyataan melalui bahasa isyarat. Gadis kecil dapat
berkomunikasi juga melalui tulisan karena bertahun-tahun saya berjuang keras
melatih dirinya.
Saya
sengaja menganggur setahun setelah lulus sekolah menengah. Menghabiskan waktu
melatih adik kecilku menjadi hal paling menarik buatku. Sengaja mendaftarkan
namanya pada pertandingan-pertandingan kecil di kota tersebut. “Nadav harus
lanjut kuliah tahun ini” rasa geram papa melalui saluran telepon. Hal
selanjutnya adalah perpisahan antara saya dan gadis kecil terjadi juga pada
akhirnya.
Satu
masalah lagi yaitu sejak awal pertemuan saya memakai nama Juan di hadapan gadis
kecil. Pikiranku saat itu sekedar ingin mengelabui adik kembarku andaikan bertemu
Hozhi suatu hari kelak. “Kakak mau lihat Hozhi di kejuaraan dunia suatu hari
kelak, jadi dua kakimu harus berjuang” memeluk kuat gadis bisu di hadapanku
sebelum perpisahan terjadi. Tidak ada lagi cerita bersama gadis kecil seiring
waktu berjalan. Saya harus melanjutkan kuliah keluar negeri bahkan harus
serumah kembali dengan adik kembarku.
Flashback…
“Siapa
bisa menyangka gadis kecil tumbuh semanis ini” menatap sebuah foto anak berusia
tiga tahun bahkan masih terpajang manis di dalam dompetku.
“Juan
memang keterlaluan” amarah papa tak terbendung.
“Apa
kurangnya Lara? Cantik, pintar, lulusan luar negeri, wanita karir, kaya,
sempurna tapi dicuekin begitu saja” papa masih saja ngomel di rumah.
“Papa
sejak tadi ngomel, berhenti dikit bisa gak?” celoteh mama di dapur.
“Jelas-jelas
Lara datang melamar” rasa geram papa terus berlanjut.
…
“Gosip
Juan penyuka anak kecil bikin malu keluarga saja” sementara makan tetap saja
ngomel.
Saya
masih belum yakin kalau Juan bisa juga menyukai seorang gadis. Mantanku saja
sudah berapa? Sedang adikku sendiri masih begitu-begitu saja bahkan tidak suka
melihat perempuan manapun buat dijadikan pacar sampai detik sekarang. “Pokoknya
mama lebih pilih Moza dibanding Lara” teriak mama di atas meja makan. Beberapa
tahun silam saya dan Moza hampir saja jadian, tapi entah kenapa batal.
“Mantanmu terlalu banyak” Moza menolak
menjadi pacarku. Masih terbayang jelas raut wajah Moza menatap ke arahku dengan
sedikit kegelian.
“Saya geli pacaran ma cowok yang punya banyak
mantan, uppppsssss” sindir Moza waktu itu.
Semenjak
peristiwa penolakan tersebut, sampai detik sekarang seorang Nadav Levin tidak
lagi mengumbar-ngumbar cinta ke semua wanita. Pernyataannya benar-benar menusuk
sampai-sampai setiap saat menghantui kehidupanku. “Kenapa bukan Nadav bajingan
ini saja yang kalian jodohkan sebagai pengganti” Juan datang tiba-tiba…
“Nadav
gampang dapat pasangan, kalau Juan kan terlalu dingin berarti suka maupun tidak
orang tua harus turun tangan” cetus mama.
Terjadi
pertempuran sengit antara satu sama lain. Tidak seorangpun dari antara kami
ingin mengalah. Lebih parah lagi Moza masuk begitu saja ke rumah tanpa permisi
semakin memanas-manasi. “Bibi bukan hanya Juan saja penyuka anak kecil
melainkan kakaknya lebih parah lagi” sindiran Moza semakin menciptakan perang
dunia ketiga.
Kami
berdua tidak berhasil mengusir Moza. “Karena kelakuanmu papa mama makin geram”
teriakan Juan.
“Akhirnya
mama papa sudah tidur tenang di kamar” berkata-kata ke arah mereka sejam
setelah pertempuran sengit.
“Masa
saya dipersalahkan? Paman dan bibi pada akhirnya juga bakalan tahu kalau-kalau
calon mantunya ternyata anak kecil” Moza tertawa lebar.
Selalu
saja Moza menyimpan rasa curiga terhadap kami. “Coba tutup mata kalian kemudian
bayangkan seseorang” Moza berujar lagi.
“Permainan
gila” Juan sangat kesal. Kami berdua pada akhirnya mengikuti kemauan Moza
gara-gara sebuah ancaman kecil. Bayangan gadis kecil muncul begitu saja berlari
sambil tertawa. Ini tidak mungkin terjadi? Saya sudah benar-benar gila.
Bagaimanapun juga Nadav Levin hanya mencari yang seumuran bukan anak di bawah
umur. Dia tetap adik kecil buatku sampai dunia kiamat sekalipun.
“Sudah
saya simpulkan” sindir Moza.
“Permainan
apaan ini? hanya perasaanmu saja” Juan makin geram hingga mendorong Moza.
“Sainganmu
terlalu kuat, jadi hati-hati” teriak Moza setelah Juan berjalan ingin masuk ke
kamarnya.
“Perempuan
gila, pulang cepat sana” segera mengusir Moza seketika. Bagaimana kalau
ternyata dua anak kembar harus berkelahi memperebutkan anak dibawah umur?
Tuhan, kedua orang tuaku bisa serangan jantung mendadak. Saya tidak mungkin
menyukai dirinya.
Merenung
tentang apa yang sedang terjadi. Kenapa juga saya harus mengemis sampai
bersujud segala memohon agar Juan mau menjadi pelatih Hozhi. Setelah
kepulanganku dari luar negeri belum pernah sekalipun kedua kakiku ingin berdiri
di hadapannya. Seakan ada sesuatu hal berperan sebagai benteng hingga saya tidak pernah ingin bertahan
berada di sampingnya.
“Saya
ingin tetap menjadi dirimu seminggu lagi” entah mengapa pernyataan tersebut
keluar begitu saja ketika kami berada di kamar mala mini.
“Ternyata
pernyataan Moza terbukti kalau kau benar-benar menyukai dia” Juan.
“Perasaanku
biasa-biasa saja jauh berbeda denganmu” membalas ucapan Juan.
“Membayar
biaya rumah sakit, diam-diam terus saja mengekor di belakang memperhatikan tiap
pergerakan gadis itu, pertama kali mengemis di depanku sambil bersujud agar
menjadi pelatih buatnya, dan sekarang meminta waktu seminggu lagi” Juan.
“Perasaanmu
terlalu heboh”…
“Kau
memeluk dia tiba-tiba” sindir Juan.
“Apa
yang akan kau lakukan kalau kita berdua menyukai gadis yang sama seandainya
semua itu betul?” pertanyaan kacau.
“Entahlah,
kemungkinan saya akan membunuhmu” kalimat dingin Juan.
Membayangkan
papa depresi berat karena kelakuan anak kembarnya terus saja menghantui
pemikiran. Jawaban menohok seorang Juan membuatku ingin tertawa. Apa yang akan
terjadi? Bunyi handphoneku berdering seketika sewaktu saya sedang mengajar di
dalam kelas dua hari setelah percakapan kami. Papa menyuruh saya kembali ke
kantor untuk menyelesaikan kasus permasalahan antara beberapa ceo perusahaan,
karyawan, dan Juan.
Seorang
Juan sedang bentrok karena permasalahan penayangan beberapa iklan maupun
program pada stasiun TV milik papa. “Saya benci penayangan-penayangan tidak
mendidik baik dalam bentuk iklan, program acara, maupun film” karakter Juan
memang bermain spontan mengungkapkan apa yang tidak disukai. Saya harus menyamar
sebagai cleaning servis di sebuah ruangan besar terdengar kacau…
“Rating
jauh lebih penting dibanding permasalahan ingin mendidik” salah seorang ceo
yang sedang menjalin kerja sama mengangkat suara.
“Buat
saya, membentuk dan mendidik jauh lebih berharga ketimbang mengejar rating,
ngerti?” Juan.
“Silahkan
memutuskan hubungan kontrak kalau tidak suka” kembali kalimat Juan.
“Berikan
saya alasan tepat untuk bertahan disini atas dasar pernyataan membentuk maupun
mendidik jauh lebih berharga dibanding mengejar rating!” salah seorang ceo
lainnya angkat bicara.
“Persaingan
masalah komponen-komponen banyak anak sedang dipertaruhkan di segala bidang
hingga ke akar-akarnya. Internasional lebih melihat kualitas baik dari segi IQ
terlebih kasus karakter ketika sedang berada pada satu lingkup” Juan.
“Jangan
hanya memikirkan kasus ingin mengejar keuntungan, cobalah berpikir tentang
situasi hari ini dan ke depannya demi perjalanan bibit maupun anak-anak muda di
luar sana” lanjutan pernyataan Juan.
Saya
tidak bisa berkutik ketika adikku berkata-kata. Keuntungan memang sangat
berperan dalam dunia bisnis, tetapi pola pikir akan permasalahan membentuk/
mendidik jauh lebih bernilai dibanding apapun juga. Selama ini tayangan-tayangan
media terlalu banyak merekayasa hal-hal tidak masuk akal sehingga menjadi bahan
konsumsi anak-anak maupun kaum muda di luar sana.
“Sudah
selesai ketegangan antara dirimu dan mereka?” kalimat pertama Juan setelah
semua orang meninggalkan ruang tersebut.
“Kau
pikir saya tidak tahu penyamaranmu tadi?” seperti biasa Juan berujar dingin.
“Biasa
saja keles ga usah pake urat” membalas adik kembarku.
“Sejak
dulu saya merindukan waktu liburan bersama adik kembarku bahkan sampai detik
sekarang belum terkabulkan sama sekali” berucap kembali.
“Langsung
ke inti topic” Juan.
“Okey”
mendorong tubuh Juan menuju parkiran. Masih mengenakan pakaian cleaning servis
mengemudikan motor butut milik manusia dingin. Adikku memang memiliki kebiasaan
gila yaitu mengoleksi barang-barang tua bahkan terkesan rongsokan. Seharian
penuh dua anak kembar menghabiskan kegilaan seperti anak kecil di suatu tempat.
Bermain perosotan, ayunan, lompat tali, kelereng, berlari mengejar penjual
gorengan keliling pertama kali kami lakukan. Juan menikmati suasana seperti ini
sekalipun raut wajahnya terlihat terpaksa.
Kami
berdua menyusuri suasana keramaian di tengah kota. “Saya suka caramu memakan
habis orang-orang di kantor” berbicara jujur terhadap adikku sendiri. Menikmati
sunset hanya berdua saja pertama kali terjadi sejak kami dilahirkan dari Rahim
yang sama.
“Pertanyaanku
sekarang, kenapa tiap nada kalimatmu terhadap objek manapun terlalu lembut?”
Juan benci melihat tingkahku.
“Kehidupan
adik kakak memiliki keunikan berbeda-beda baik dari segi karakter ataupun cara
mempresentasikan satu objek tertentu antara satu sama lain. Kau dan saya punya
cara masing-masing untuk penyelesaian sebuah kasus” membalas dirinya.
“Entahlah”
Juan.
“Sejak
dulu saya memimpikan ingin membangun beberapa pintu gerbang sebagai pusat
sumber kehidupan bagi dunia satu generasi ke generasi berikutnya” sekali lagi
pertama kalinya saya mengungkapkan sesuatu.
“Contohnya
sebuah gedung perpustakaan unik dengan desain arsitek hasil pemikiranku
sendiri” berkata-kata kembali. Sebuah gedung di tengah kota berdiri kuat
bersama sesuatu hal unik diantara segala objek. Perpustakaan tersebut membentuk
seperti sebuah batu gunung misterius di tengah gemuruh air yang sedang mengalir
di sekitarnya. Pada malam hari, gedung perpustakaan akan terlihat seperti nyala
api bersama gemerlap sinarnya. Dapat dikatakan batu gunung merupakan gambaran
sebuah pondasi paling kuat untuk membangun. Sama halnya pintu gerbang inovasi
ataupun dasar hidup seseorang adalah buku untuk memulai sebuah petualangan menciptakan
dan mengejar mimpi. Di tempat lain api bercerita tentang proses luar biasa dalam
memahami, mendidik, berlari, meraih bintang.
“Gedung
perpustakaan akan dilengkapi beberapa aplikasi modern sehingga tidak terlihat
membosankan, understand?” lanjutan kalimatku buatnya sambil melemparkan sebuah
batu kecil ke dalam kolam.
“Semoga
mimpimu terwujud” Juan tersenyum pertama kalinya buatku.
“Aminnnn”
teriakanku.
Anak
kembar keluarga Levin memang benar-benar memiliki sisi unik berbeda. Kedua
orang tuaku harus bangga memiliki anak seperti kami. Kesalahan kami hanya
karena sedikit menyimpan rasa terhadap anak usia belasan tahun dan itupun belum
tentu sepenuhnya dikatakan sebagai perasaan cinta. Sulit menerka hati Juan
menyukai siapa. Papa harus siap menerima kalaupun satu kenyataan berusaha
disangkal tetapi pada akhir cerita tetap juga terjadi. Saya pikir Juan menyukai
Moza, cerita lainnya adalah semua itu hanya kecurigaan belaka bukan kebenaran
sebenarnya.
“Pagi
mister” Hava menyapaku.
“Perasaan
sudah siang bukan pagi?” balasku.
“Lupakan
ucapanku tadi” Hava.
“Mungkin
ada sesuatu hal bisa saya bantu?”
“Bunda
mengirim makanan buat mister sebagai ungkapan terima kasih” Hava.
Wanita
paruh bayah di rumah Juan ternyata bunda Hava. “Sangat enak” kalimatku langsung
mencicipi makanan pemberiannya. Saya makan dengan begitu lahap tanpa sisa sama
sekali. Hava terus saja memperhatikan cara makanku seperti tidak bernapas sama
sekali.
“Coba
sifat mister yang dulu, mana mungkin saya mau langsung antar” celoteh Hava.
“Sifatku
sekarang menurutmu gimana?”
“Intinya
mister bukan lagi iblis dari segala iblis yang pernah terlahir ke dunia” Hava.
Kata-kata
Hava membuat perutku sakit karena tertawa habis-habisan. “Bunda sudah balik ke
kampung” kalimat terakhir Hava kemudian berjalan pergi begitu saja. Mungkinkah
adik kembarku menyukai gadis itu dan bukan Hozhi? Kalau benar berarti Juan
tanpa sadar memiliki satu perasaan terhadapnya.
“Bisa
saja hatinya memang buat Hozhi atau Moza?” berkata-kata sendiri.
Mencoba
memperhatikan tiap gerak gerik Juan sewaktu berada di rumah. Hati adikku begitu
sulit ditebak tentang gadis impiannya. Tipekal wanita idaman pria di depanku
seperti apa sih? Raut wajahnya selalu saja terlihat datar, dingin, kejam, tanpa
senyum, bahkan ingin memakan hidup-hidup semua orang disekitarnya. Sulit buat
saya percaya kalau seorang Juan menyukai anak belasan tahun. Tentu sesuai
standar internasional dong dan sesuatu yang berbeda menjadi sosok idamannya.
“Mister” tegur Hava di kampus…
Bagian
13…
Hava…
Sepanjang
hari saya melihat mister Juan duduk termenung seolah memikirkan sesuatu.
“Mister” tegurku hingga dia terkejut. Beralasan ingin mengumpulkan tugas
membuatku berdiri di hadapannya kembali. Dosenku sekarang sudah tidak seperti
dulu selalu saja menolak lembaran tugasku. Entah kerasukan atau jalan cerita
kemana, hanya saja semua itu terkadang membuatku sedikit ketakutan dibanding
kegeramannya.
“Hozhi
mana?” mr. Juan.
“Lagi
latihan lari 100 kali putaran keliling kampus” balasku.
“Jadi
Hozhi belum istirahat sejak tadi?” mister Juan segera beranjak dari kursi ingin
mencari keberadaan sahabatku. Sosok pria dingin selalu khawatir terhadap Hozhi?
Mister Juan benar-benar menyimpan perasaan suka…
Saya
bisa melihat dari kejauhan bagaimana mister Juan memperlakukan Hozhi jauh
berbeda dibanding kemarin. Katanya tidak menyukai anak dibawah umur semacam
kami, lantas sekarang macam cacing kepanasan sewaktu berada di dekat Hozhi.
Dasar lidah tak bertulang. Terkadang, saya merindukan sosok mister Juan yang
dulu. Tanpa sadar memberiku satu kekuatan dibalik pernyataan sinisnya. “Hava,
jangan sampai naksir ma manusia dingin” membenturkan kepala sendiri ke tembok.
Saya
bukan Hozhi si’gadis lugu bahkan begitu mudah jatuh karena jebakan raut wajah
manis manusia terganas sedunia. Semakin diperhatikan, tingkah Hozhi semakin
terlihat semangat jika sosok mister Juan berdiri di sampingnya. Berarti
sahabatku punya saingan terkuat untuk mengejar cinta sang dosen. Saya tidak mau
masuk dalam barisan personil menyukai pria kejam seperti mister Juan.
“Mau
makan bersama denganku malam ini?” tulisan Hozhi pada selembar kertas. Saya
sulit memahami pergerakan tangannya, sehingga cara kami berkomunikasi melalui
tulisan semata. menganggukkan kepala pertanda menerima ajakannya.
Kami
berdua tinggal serumah karena Hozhi tidak ingin berpisah. Dua gadis cacat
berkomunikasi dengan cara berbeda karena kekurangan masing-masing. Hozhi tidak
tahu masak sampai-sampai masakannya selalu saja gosong. Bekerja di kantin atas
perintah mister Juan dilakoni sebagai tukang cuci piring dan bersih-bersih,
tapi kasus masak-memasak mati kutu.
“Lagi
baca apa?” pertanyaan Hozhi melalui melalui tulisan…
“Baca
penyemangat hidup” sebuah buku kecil menjadi tempat komunikasi seperti biasa.
Sebuah
grup komunitas gabungan dari kaum disabilitas. Saya menyukai kata-kata
penyemangat mereka melalui banyak tulisan. Seolah satu kekuatan muncul seketika
untuk hidup mengejar bintang pada satu titik jalan hidup. Manusia cacat punya
cerita manis serta hiasan kisahnya merupakan objek menginspirasi tergantung
cara pribadi masing-masing.
Sejak
menjadi anggota grup tersebut, saya jadi lebih bisa menghargai tiap objek dan
tidak lagi melemparkan banyak pertanyaan kekecewaan terhadap Tuhan. Disabilitas
bukanlah sesuatu hal menakutkan pada diri beberapa orang di luar sana. Salah
satu cara digunakan oleh sang pencipta untuk menyatakan sebuah kekuatan di
dalam kelemahan. Hidup tanpa dua tangan bukanlah sebagai kutuk atas jalanku,
melainkan hanya ingin membentuk pola pikirku ketika belajar berlari.
“Hozhi,
ayo lari sejauh mungkin” teriakanku di tengah-tengah pertandingan Hozhi.
Gadis
bisu sedang berdiri di antara manusia-manusia normal demi menggapai sebuah
bintang. Lawan beratnya sekaligus penyebab dia mengalami cedera ikut
menyaksikan pertandingan tersebut. Kirey menatap tajam ke arah pertandingan
yang masih berlangsung. Rasa takut terbaca jelas di sekitar matanya.
“Hozhi
harus menang biar dunia tahu siapa dirimu” teriakanku sekali lagi.
“Kau
sahabat manusia cacat di sana?” tidak kusangka Kirey berbicara di dekatku.
“Bukan
lagi sahabat melainkan saudara kandung sendiri” menjawab pertanyaannya.
“Suaramu
itu mengganggu pertandingan” Kirey.
“Kau
hanya takut kalah pada pertandingan final nanti” balasan menyindir.
“Apa
maksudmu?” Kirey.
“Kalau
memang kau tidak takut, lantas kenapa menghalalkan segala cara demi ambisimu
bahkan mengorbankan banyak hal untuk menjadi nomor satu” pernyataan penekanan
buatnya.
Akhir
cerita adalah Hozhi memenangkan pertandingan tersebut. Pertandingan final nanti
merupakan pertemuan kembali antara dirinya dan Kirey. Seperti biasa seluruh
penghuni kampus hadir menyaksikan pertandingan tersebut. Saya bisa melihat
bagaimana mister Juan memeluk erat dirinya di
hadapan banyak anak mahasiswa. “Wajahmu kenapa lihat adegan di sana?”
seperti biasa kakak Moza berdiri di dekatku tiba-tiba.
“Tadi
manusia reseh sekarang dosen sedikit reseh” gerutuku.
“Apa
kau bilang?” ka’Moza
“Tidak
ada siarang ulang” cetusku.
“Oh
begitu” Moza.
“Lupakan”
balasku.
Merayakan
kemenangan Hozhi seperti biasanya dilakukan. Acara traktir-traktiran dilakoni
oleh dosen terdingin yang kemudian berubah tanpa sebab menjadi dosen soft boy.
Kantin kampus menjadi tempat kami menghabiskan waktu sepanjang hari. Luapan
kegembiraan satu sama lain merupakan ciri khas kami. Walaupun dikatakan Hozhi
bukanlah salah satu mahasiswa di sini, tetapi tetap saja dirinya merupakan anak
didik salah satu dosen paling berpengaruh.
“Sejak
dulu sampai sekarang tetap saja jiwa menteri social melekat pada dirimu” entah
bagaimana bisa ka’Moza berucap seperti itu terhadap mister Juan.
“Maksudnya
kurang saya pahami” mister Juan.
“Suka
traktir kiri kanan dan selalu memperhatikan kebutuhan orang berarti apa lagi
namanya kalau bukan menteri social?” nada kalimat Moza.
“Mereka
berdua memang sudah tidak waras, jadi jangan dengarkan mereka” Nevil berbisik
di sampingku.
“Nadav
upppssss maksudku mister Juan” ka’Moza selalu saja salah memanggil nama.
“Ka’Moza
lagi marah?” tulisan Hozhi menatap ke arahku.
“Sifat
ka’Moza memang biasa usil” membalas tulisannya.
“Hava,
nama artis drakor yang lagi viral siapa yah?” ka’Moza menghentikan aktifitas
makanku dengan sebuah pertanyaan.
“Sangat
banyak. Ada BTS, Blackpink, Suzy, Yoona, pokoknya masih banyak”…
“Artis
bukan Kpop” Nevil.
“Artis
ma Kpop apa bedanya? Sama saja” balasku.
“Cerita
drakor tentang anak kembar banyak tidak? Masalahnya saya suka cerita gituan”
ka’Moza.
“Cukup
banyak” jawabku.
“Btw,
demam drakor dimana-mana” Nevil.
“Banyak
orang dibuat berhalu ma cerita drakor” gurauanku.
“Termasuk
bibiku Moza” sindir Nevil.
“Termasuk
dirimu juga keles” ka’Moza.
“Makan
ya makan bukan ngegosip kiri kanan” tegur mister Juan.
Singkat
cerita, kami akhirnya terdiam sesaat kemudian melanjutkan kembali gurauan satu
sama lain. Pertama kalinya buatku menikmati suasana hangat di antara mereka
semua beberapa waktu belakangan. Dialog menyebalkan, tetapi juga mengundang
tawa. Saya belajar banyak hal dari kehidupan dunia mahasiswa di sekitarku. Tidak
lagi merasa tidak layak menjalani keadaan normal seperti orang lain, itulah
keadaanku sekarang. Saya berbeda bukan berarti berjalan tanpa mimpi melainkan
memiliki sisi unik sama halnya dengah orang di sekitarku.
“Kalau
jalan pakai mata” tanpa sadar saya menabrak seseorang di sekitar supermarket.
“Mister
Juan kenapa bisa belanja malam begini di sini?” berusaha menahan rasa sakit di
bagian kaki kiriku karena kesandung sebuah benda.
“Kenapa?
Ada yang salah?” sifat mister Juan terdengar dingin sekali.
“Tsundere
berubah jadi soft boy terus kembali lagi ke tsundere” berkata-kata sendiri.
“Jangan
lembek baru jatuh begitu saja terlihat menderita kesakitan sekali” sedikitpun
rasa kasihan terhadapku tidak pernah dimiliki oleh mister Juan.
“Mister
sadar gak kalau salah satu kakiku kesakitan gara-gara keranjang belanjaan
mister? Bukannya menolong malahan makin menyerang” rasa geramku.
“Kau
bukan putri cinderela, ngerti?” mister Juan.
Kegiatan
terkacau adalah makin menggertak bahkan bersikap sangat dingin terhadapku. Saya
sulit menebak sosok mister Juan? Terkadang tiba-tiba sangat lembut, tetapi yang
sekarang terlihat monster jauh melebihi bayangan semua orang. Terdengar lucu
atau patut ditertawakan, gadis sepertiku meraung kesakitan tetapi harus
berjalan kaki menuju rumah sakit bersama dirinya.
Tuhan,
mana rumah sakitnya sangat jauh. Saya bukan Hozhi seorang pelari yang bisa
berlari di segala keadaan tanpa rasa sesak. Rasa-rasanya dosenku ini ingin saya
cepat mati kalau diperhatikan. Bajuku basah karena keringat berjalan kaki di
malam hari bersama dirinya menuju rumah sakit. “Juan datang kesini dalam rangka
apa?” seorang dokter cantik memakai jas putih tersenyum di depan kami.
“Dia
kesakitan butuh diperiksa” nada dingin mister Juan terdengar.
Bagaimana
kakiku tidak tambah kesakitan kalau disuruh jalan kaki menuju rumah sakit.
“Kakimu cukup agresif juga” gurauan dokter cantik itu dalam ruangan.
“Agresif
dari hongkong” cetusku sangat kesal.
“Dokter,
peralatan apaan ini?” perhatianku beralih ke tempat lain.
“Alat
sederhana buat pemeriksaan beberapa penyakit dalam waktu singkat” jawabanya.
Sebuah
kotak kecil dilengkapi mesin otomatis untuk pemeriksaan medis. Kotak ini
berfungsi sebagai pengukur suhu, tekanan darah, gula darah, asam urat,
kolesterol, bahkan beberapa penyakit menular. Terdapat beberapa tombol pada
kotak tersebut dengan fungsi berbeda-beda. Hanya dengan memasukkan salah satu
jari seperti jari telunjuk ke dalam sebuah ruang kecil dari alat tersebut,
kemudian menekan salah satu tombol pemeriksaan yang diinginkan maka hasil akan
terbaca melalui layar kecil. Pengambilan dari jari tersebut akan terproses
sesuai petunjuk pemeriksaan. Beberapa penyakit menular seperti TBC, HIV,
Hepatitis, dan virus Covid dibuat otomatis bahkan lebih disederhanakan dalam
satu kotak alat kecil sehingga bisa di bawah kemana-mana.
Terkadang
pasien maupun tenaga medis harus menunggu beberapa waktu untuk mengetahui hasil
doagnosa umum tentang beberapa penyakit menular sehingga tanpa sadar sudah
terjadi kontaminasi antara satu sama lain. Darah akan mengalir ke strip
masing-masing kemudian akan terproses dengan akhir cerita hasil akan terbaca
melalui layar kecil. Pemeriksaan keseluruhan bisa dilakukan hanya dengan
menekan satu tombol otomatis yang dikhususkan untuk menyebarkan tetesan darah
ke semua alat strip seluruh penyakit dalam kotak kecil tersebut sehingga data
hasilnya akan keluar bersamaan. Di sisi lain, pemeriksaan tekanan darah sendiri
bisa dilakukan manusia yaitu menyambungkan sebuah alat tensi pada kotak itu dan
lakukan prosedur seperti pada umumnya maka hasil akan keluar juga.
“Ternyata
alat medis sekarang makin otomatis rupanya” sedikit bergurau.
“Kakimu
terlalu agresif kalau dipikir-pikir” godaan sang dokter.
“Bukan
agresif tapi kakiku itu lagi stress mati, dokter” berkata-kata sambil berusaha
berjalan keluar dari ruangan dokter cantik tadi.
Saya
tidak pernah menyangka dosen tergalak selalu saja dikelilingi banyak
wanita-wanita cantik. Contoh kecilnya, sampai detik sekarang ibu Lara semacam
cacing kepanasan tidak berhenti mengejar dirinya. Ka’Moza tetap setia tersenyum
lebar buat sosok dosen bengis. Lah sekarang baru di ujung gerbang rumah sakit sudah
langsung dapat pelukan hangat dari dokter paling cantik sedunia. Belum lagi
Hozhi sahabatku sendiri terus saja mengekor di belakang mister Juan tanpa
mengenal kata lelah…
Btw,
pertanyaanku sekarang adalah kenapa ya kebanyakan dokter diseluruh dunia itu
wajahnya selalu berada di urutan nomor satu paling tercantik ataupun tertampan?
Lupakan pertanyaanku tadi, entar seluruh dokter kepalanya besar karena makan
pujian. “Juan, kapan-kapan makan berdua bareng yah?” dokter cantik berbicara
tanpa basa basi.
“Adik
kecilmu ternyata imut juga” dokter cantik sedikit mencubit pipiku.
Mister
Juan seolah tidak peduli bahkan beranjak pulang begitu saja. Sosok pria dingin
yang selalu dikejar oleh banyak gadis-gadis cantik. “Daebak” menggeleng-geleng
kepala seorang diri dalam kamar membayangkan wajah manusia terdingin merupakan
idola terbaik. Keras, dingin, galak, bengis, kejam, manusia aneh, sulit ditebak
menjadi gambaran seorang mister Juan. Beberapa waktu lalu terlihat lembut
sekali jauh melebihi kelembutan awan di langit biru maupun kapas putih, tetapi
sekarang kembali berubah jadi iblis. Rasa-rasanya ingin memakan hidup-hidup
diriku setiap melihatku di kampus seminggu belakangan.
“Mulai
lagi menolak tiap lembaran tugasku” menggerutu seorang diri.
“Kenapa
menghalangi jalanku?” raut wajah terkejam kembali beraksi.
“Justru
saya harusnya balik bertanya, kenapa mister jalan lewat sini sedangkan ruang
kantornya itu di arah barat sana?” sekali-sekali saya harus berani melawan.
Saya
tidak ma uterus-terusan diperlakukan bodoh seperti dulu. Masa iya sih terjadi
perubahan seperti dulu lagi seminggu belakangan? Jangan-jangan jiwa dosenku ini
sedang tertukar kemarin? Suka traktir mahasiswanya sendiri, tetapi sekarang
jangan harap. Liburan kampus tinggal menghitung hari. Tebakan seluruh mahasiswa
benar kalau ternyata akan terjadi masa liburan panjang dibanding tahun kemarin
karena sesuatu dan lain hal.
“Hava
jangan pulang kampung kalau liburan nanti” Nevil hadir di ruang perpustakaan
secara mengejutkan bersama penampilannya seperti biasa.
“Kenapa
memang?” tanyaku cuek.
“Cari
uang tambahan kuliah” Nevil.
“Nanti saya pikir lagi” membalas kalimatnya.
“Okey,
kalau begitu saya pergi dulu” bayangan Nevil seketika menghilang.
Hal
paling menyebalkan adalah mister Juan menyuruh saya merangkum beberapa
pernyataan tokoh-tokoh mahasiswa belakangan ini. Menjelajah, mengamati,
mengambil kesimpulan, mempelajari system pergerakan maupun pola pikir mereka
terlebih ketika satu sisi objek tidak terkendali dipermainkan. Hubungan
management keuangan dan kasus pembelajaran seperti ini dimana? Entahlah.
Ka’Moza sibuk mengamati pergerakanku sehari sebelum libur kampus akan dimulai.
Saya masih bergumul dengan barang semacam ini. Akhir cerita adalah terjadi dialog antara kami
berdua. “Terlalu banyak generasi muda di luar sana merusak masa depan mereka
terkadang, makanya beberapa dosen sengaja menarik perhatian mahasiswa untuk
satu objek tertentu” ka’Moza.
Bagian
14…
Moza…
Ekspektasi
dan realita memang selalu berlawanan. Ekspektasiku berkata saya ingin membentuk
satu pemikiran maupun karakter generasi muda melalui sebuah tulisan, tetapi di
tempat lain realitanya tidak seperti bayangan. Ada banyak kesulitan untuk
menggenggam jemari tangan mereka. Memasuki pintu kehidupan generasi muda
dibutuhkan beragam cara sewaktu melakukan pendekatan. Sebagian besar kisah
mereka hanya mengungkapkan tentang dunia media social bersama pergaulan tak
berarti untuk mempermainkan jalan pemikiran.
Ketika
berhadapan dengan satu akar permainan kelompok tertentu, maka sisi emosional
pun jauh lebih kuat membungkus hingga menghancurkan tiap jalur yang sedang
membentuk jalan hidup mereka. “Aksi mahasiswa menentang undang-undang terbaru
tentang tenaga kerja” sepintas membaca halaman berita utama pada salah satu
aplikasi media social.
Saya
sama sekali kurang memahami maksud oknum tertentu dibalik kisah gila semacam
ini. Kalau boleh jujur, hidupku benanr-benar membenci kisah cerita generasi
muda menghancurkan kehidupan sendiri dengan cara berteriak seperti orang
kerasukan di tengah jalan demi meraih sebuah keadilan. Jangan terlalu termakan
oleh sebuah film ataupun drama bersama cerita kemenangan seseorang akan diraih
ketika menjadi salah satu personil demonstran terbaik. Carilah satu jalur
cerita film maupun drama yang bisa membentuk sekaligus mendidik jalan hidupmu
bukan menghancurkan.
Tidak
salah mencari keadilan di tengah ribuan ketidak-adilan, hanya saja gunakan cara
paling tepat. Ada banyak oknum tertawa lebar menyaksikan generasi muda
bertindak anarkis di tengah kehidupan bengis demi sebuah keadilan. Saya
menyukai generasi muda dengan cerita berbeda terlebih di dunia mahasiswa. Ketika
berhadapan pada satu objek terburuk sekalipun tetap terlihat sangat tenang
untuk menanggapi ataupun melihat sesuatu di depan…
Tidak
mudah dipermainkan oleh banyak pihak menjadi satu nilai plus buatnya. Apa pun
kisah cerita terburuk yang sedang mengamuk bagaikan singa kelaparan, jalur
kisahnya dibuat berbeda jauh melebihi banyak orang di luar sana. Keras dan
tegas merupakan perpaduan terbaik menggambarkan jalannya, tetapi bijak ketika
menatap tiap sisi objek yang sedang berjalan di sekitarnya. Berani
mengungkapkan kebenaran melalui alur tempat di luar dugaan hingga semua musuh
tidak berkutik seketika. Saya menyukai kisah generasi muda dengan karakter tadi
dibanding harus berteriak di tengah kerumunan seperti orang kerasukan.
Andaikan
ribuan ketidak-adilan tertawa hebat bahkan segala jalan tertutup, gunakan
lututmu untuk menangis di hadapan sang pencipta. Kekuatan doa jauh lebih
berpengaruh dibanding apapun di dunia ini untuk menghancurkan mereka yang
sedang mempermainkan keadaan. Terkadang Tuhan mengizinkan ribuan ketidak-adilan
berteriak kuat untuk membentuk satu cerita terbaik dalam kelompok generasi muda.
Kekuatanmu hilang ketika dengan mudahnya dua kaki berlari menjadi bagian dari
para demonstran bahkan bertindak anarkis seperti manusia tidak beretika.
Kasus
antara buruh, pengusaha, dan para pejabat sudah sering terjadi sejak dulu. Pada
dasarnya kelompok buruh harus menyadari beberapa hal termasuk kesulitan-kesulitan
tertentu ketika berada pada jalur market. Saya tidak sedang berada di pihak
kaum pengusaha, hanya saja ketika peringatan hari buruh jangan selalu berteriak
di tengah jalan seperti orang kerasukan dengan banyak tuntutan. Keadaan
ketidak-seimbangan pada satu Negara terkadang menjadi kendala utama untuk
memenuhi tuntutan parah buruh.
Gunakan
peringatan hari buruh dengan sesuatu yang membuatmu atau orang di sekitar
tertawa lepas. Hal semacam ini juga kemungkinan membuat kaum pengusaha terjebak
bahkan sangat geram hingga semakin melakukan sesuatu hal di luar dugaan. Para
investor pun ketakutan berinvestasi akibat objek seperti ini yang pada akhirnya
memutuskan…
Dunia
pejabat sepertinya menyukai permainan bersama cerita-cerita kacau untuk
mempermainkan banyak hal di depan mata. Kelompok pejabat A tergila-gila tentang
permasalahan ratusan investor, sedang kelompok pejabat B menjadi malaikat
kesiangan dengan tujuan tertentu ataukah entahlah (hanya Tuhan yang tahu).
Tidak salah mengejar investor, hanya saja jangan terlalu berlebihan seperti
pengemis kelaparan. Lakukan perbaikan demi perbaikan terlebih dahulu di Negara
sendiri, masalah investor tentu akan datang dengan sendirinya.
“Hati-hati
ma kegilaan menarik investor, bisa jadi beberapa di antara mereka menjual
negaramu tanpa sadar” berceloteh sendiri di kamar menonton berita. Kenapa saya
berkata begitu? Percaya atau tidak, kelak akan terjadi satu system pemerintahan
hanya dengan seorang pemimpin. Zaman sekarang permasalahan mata uang, ekonomi,
generasi muda, pemerintahan tiap Negara, dan banyak lagi mulai dikendalikan
olehnya tanpa seorangpun menyadari ataupun percaya tentang pernyataan ini.
kalaupun negaramu akan menjadi bagiannya, minimal dalam deretan paling akhirlah
di antara semua Negara suatu hari kelak…
“Hufftttt
lagi-lagi perselisihan pejabat” membaca sampul halaman depan Koran terbaru. Bisa
dikatakan beberapa kelompok sedang menyembunyikan rasa takutnya oleh sesuatu
hal. Demi menutup lokasi jalan masuk sampai gedung-gedung tertentu tiba-tiba
saja dilahap habis oleh si’jago merah. Sebenarnya kecurigaanku sejak dulu
tentang permasalahan gudang senjata lenyap seketika karena kobaran api. Salah
satu gedung pusat penyimpanan berkas hancur tanpa sisa dan semua itu menjadi
tanda Tanya besar.
“Kau
tahu kekacauan bangsa ini?” Juan tiba-tiba saja masuk ke dalam ruanganku.
Liburan
semester membuat kampus menjadi terlihat hening. Saya masih harus menyelesaikan
beberapa pekerjaan lagi sehingga waktu liburku sedikit tertunda. Kekonyolan
Juan adalah berdiri seperti robot pada sudut ruang kerjaku. Tidak seorangpun
menyadari sesuatu yang sedang terjadi terhadapku kecuali Juan.
“Bisa
jelaskan, kenapa sampai kau menolak hal paling berharga?” melemparkan
pertanyaan ke arahku. Salah satu Tokoh wanita tertentu sepertinya percaya
kemampuan yang dimiliki oleh sosok manusia semacam diriku, tetapi saya sendiri
masih ragu…
Salah
seorang tokoh tertentu mungkin sulit mengungkapkan sesuatu hal hingga berakhir
dengan objek penyerangan terhadapku. “Kenapa kau penasaran begitu?” balik bertanya.
“Jangan
terlalu jual mahal, coba berpikir kalau kau dipihak orang tersebut” Juan.
“Satu
hal, Bukan masalah jual mahal tapi…” balasku.
“Tapi
apa?” Juan
“Saya
juga mengalami situasi sulit kemarin bahkan mereka bungkam sekaligus semakin
ingin mempermainkan banyak objek, sekarang saja baru datang seperti pengemis”...
“Sampai
detik sekarang mereka tidak pernah terlihat ingin meminta maaf sedikit saja
atas semua hal tersulit yang sudah terjadi. Seolah-olah tanpa rasa bersalah
seenak gue…” berkata-kata lagi.
“Jangan
membalas kejahatan dengan kejahatan,” Juan.
“Bukan
salah tokoh itu sih, hanya saja keadaan membuat saya ingin keluar” jawabku.
“Moza”
tegur Juan.
“Saya
juga sudah berdoa kalau persiapan sesuai keinginanku tidak ada, berarti itu
urusan mereka tentang masalah kekacauan sekaligus kehancuran di Negara
tercinta, bodoh amat, urus sendiri.”
“Persiapan?”
Juan.
“Orang-orang
yang saya inginkan bekerja sama untuk memperbaiki keadaan di Negara ini. Saat
mengalami sesuatu hal aneh, saya menyuruh seseorang untuk mempersiapkan semua
itu dengan cara tidak biasa dan bisa dikatakan dalam status mengerikan untuk
tahap proses baik dari segi kepribadian maupun otaknya.”
“Saya
tidak mengerti?” Juan.
“Menyuruh
beberapa tokoh-tokoh tertentu berpetualang mencari orang-orang yang akan
menjalani tahapan proses tanpa mereka sadar kalau sebenarnya sedang
dipersiapkan untuk permasalahan bangsa dan Negara paling rusak di mata dunia”
menjelaskan sesuatu…
“Hanya
ini satu-satunya cara untuk memperbaiki Negara paling rusak yang bahkan sampai
sekarang tidak pernah berkembang sejak kemerdekaan dari segi apa pun. Saya
ingin mereka diproses sangat mengerikan demi sebuah kemurnian, kenapa?”…
“Kenapa?”
Juan.
“Minimal
mereka dapat bertahan bagaimanapun situasi paling rusak dan karena memang
negaranya sendiri sangat-sangat kacau dari ribuan segi. Orang pintar memang
banyak tapi saya butuh sesuatu yang tidak biasa, kuat, murni, dan merupakan
pilihan Tuhan.”
“Maksudmu?”
Juan.
“Mata
bisa menipu bagaimanapun tenang atau sempurnanya kepribadian bahkan kejeniusan
seseorang. Makanya, saya menyuruh pendeta berpetualang mencari pilihan Tuhan
kemudian melakukan proses luar biasa baik dari segi kepribadian maupun kualitas
pembentukan otak mereka, biar saya tidak salah memakai orang suatu hari kelak”...
“Terlihat
cukup berani juga tanpa melihat apa pun di depan…” Juan.
“Kalaupun
persiapan itu ada, mereka yang diproses tidak akan rugi sekalipun bangasa dan
Negara ini menolak mentah-mentah karena di tuduh ingin menyebarkan satu ajaran
agama lain…”
“Ucapan
seperti…?” Juan.
“Negara
ini terlalu sibuk fanatic tentang agamanya, sedangkan satu-satunya jalan untuk
melakukan perbaikan hanya dengan cara seperti tadi yaitu orang-orang pilihan
Tuhan kemudian diproses sedemikian rupa. Tapi, terserah sih bangsa ini maunya
apa, bodoh amat.”
“Berarti
kau ingin?” Juan
“Banyak
Negara di luar sana tentu akan mencari-mencari mereka kalau bangsa ini menolak.
Pilihan Tuhan tidak mungkin salah dan yang rugi bukan saya atau mereka tapi
bangsa ini.” Sepanjang waktu berpikir akan beberapa situasi membelit di luar
sana, tentu banyak negara sedang mencari sosok dengan tingkat skil berbeda
untuk menata ataupun memulihkan sesuatu yang dikatakan rusak.
“Rencanamu
selanjutnya?” Juan.
“Beberapa
dari mereka kemungkinan ikut saya ke Negara yang kuinginkan, sisanya berpencar
ke belahan dunia kelak kalau penolakan terus terjadi. Tidak ada yang mustahil
bagi Tuhan kalau kami bisa mengubah banyak hal di belahan dunia di luar sana.
Jalan pasti terbuka. Semua orang pasti tertawa atau menganggap halusinasi, masa
bodoh” menegaskan kembali. Kalau dipikir lagi, mimpiku tidak bercerita ingin
berada pada satu jalur struktur kepemerintahan melainkan tempat lain yang ingin
kukejar bagaimanapun caranya.
Andaikan
Negara ini menerima persyaratan dari saya pribadi berarti resiko apa pun siap
kujalani. Di tempat lain saya juga ingin memiliki selembar ijasah pendidikan
luar negeri dengan kata lain proses perbaikan Negara akan kulakukan di dua
tempat tergantung situasi. Teknologi sekarang sudah canggih, jadi bisa dilakukan
online. Selain itu mimpiku sebagai penulis harus tetap berjalan di luar sana…
“Kalau
persiapan sesuai keinginanmu tidak ada, berarti?” Juan.
“Persiapan
untuk perbaikan Negara ini tidak ada? berarti saya lepas total. Satu hal yang
ingin kulakukan adalah menggapai mimpiku di Negara besar di luar sana, tidak
ada yang mustahil bagi Tuhan” menjawabnya.
“Tuhan
pasti bisa membawaku keluar meninggalkan bangsa dan Negara ini, kalau perlu
saya ingin pindah kewarganegaraan saja sekalipun semua orang akan melemparkan
istilah-istilah penghianatan ke arahku. Saya kan sudah bebas dan tidak bisa
terikat karena persiapan itu tidak pernah ada. Tenggelam saja di laut kalau baru
sekarang mau persiapkan” melanjutkan kembali kalimatku.
Percakapan
dialog mengerikan akhirnya selesai juga. Terserah andaikan beberapa tokoh ingin
menyimpulkan bahkan memberi istilah sandiwara sastra atau apalah. Ada hal
terlalu sulit untuk diterka, menggali, mengerti, mengejar, dan beberapa rumusan
kata-kata dibalik sebuah perjalanan. “Adu perutku mules amat” pagi-pagi buta
terbangun dari tidur gara-gara kebelet masuk kamar mandi.
“Saya
habis makan apa semalam?” mencoba mengingat kembali kegiatan makanku.
Sudah
beberapa kali keluar masuk WC karena perut mules. “Dosamu kelewat heboh karena
terus saja mengejek anak kembar” pesan WA Nadav.
“Makanya
jangan terlalu rakus kalau makan” Juan juga ikutan kirim pesan.
Dari
mana mereka berdua tahu kalau saya buang-bung air terus? Ada yang tidak beres
ini? “Bilang saja ingin balas dendam karena mengadu ma orang tua kalian kalau
dua anak kembarnya menyukai gadis belasan tahun” balasan chat buat mereka
berdua. Terjadi pertengkaran hebat antara kami bertiga sampai saya sendiri lupa
perut mulesku.
“Btw,
sudah baca berita belum?” chat Nadav.
“Berita
apaan?” balasku.
“Kemenangan
salah satu partai di sebuah Negara besar dalam pemilu” Nadav.
“Kau
kan terkadang kepo politik” lanjut pesan chat Nadav.
Bergegas
tanganku menghentikan aktifitas ejek mengejek melalui chatingan. Rasa penasaran
seketika muncul untuk mencari tahu sesuatu informasi terbaru di luar sana.
“Masa iya sih bisa menang? Rata-rata personilnya hebat betul menikmati perannya
sebagai iblis berwajah malaikat” menggeleng-geleng kepala depan computer.
Demi
sebuah kursi menghalalkan segala cara biar menang, hal seperti ini memang biasa
terjadi juga sih. Kasus di Negara besar di luar sana pertama kalinya
benar-benar melewati batas. Kisah pandemic kemarin hanyalah rekayasa belaka
dibalik permainan politik terkejam sebuah partai. Seperti diketahui sosok A
yang masih menjabat periode pertama dikenal dengan tutur kata terkacau juga
membuat semua orang ilfil sekaligus stress. Kelemahannya inilah dimanfaatkan
oleh suatu kelompok untuk memanipulasi sesuatu hal.
Jauh-jauh
hari sebelumnya kelompok tersebut sudah merencanakan sesuatu dengan sangat
matang. Sengaja menambahkan bumbu-bumbu penyedap di belakang sehingga terjadi
perselisihan antara si’A dan beberapa pemimpin Negara lain. Hal lebih terlihat
adalah Negara C sangat muak akan pernyataan aturan presiden A. Menjadi Tanda
Tanya besar, kenapa menjelang pemilu di Negara tersebut tiba-tiba saja terjadi
satu wabah penyakit yang melanda seluruh dunia?
Coba
pelajari kilas balik beberapa kejadian sebelumnya. Awal kemenangan si’A
beberapa tahun silam menjadi sejarah terbaru di sana. Secara manusia, lawan
politiknya merupakan idola semua orang karena tingkat kejeniusan bersama sikap ketika
berhadapan dengan semua orang diperkirakan akan memenangkan pemilu. Di luar
dugaan terjadi kesalahan prediksi sampai menyebutkan kecurangan terbesar saat
itu. Saya menonton sebuah video bagaimana ribuan orang berkumpul memanjatkan
doa bagi si’A hingga sebuah mujizat terjadi seketika.
Awalnya
saya juga sangat tidak menyukai karakter si’A, tetapi karena video tersebut
seolah mataku terbuka tentang sebuah pintu. Tentu perkumpulan seperti itu
berusaha dihindari oleh partai tersebut karena kekuatan doa dalam jumlah banyak
memberi dampak sangat besar. Hal kedua adalah terlihat jelas pendukung si’A
sangat banyak bahkan hampir 90% mendukung dirinya kembali menjadi presiden pada
periode kedua menjelang pandemic. Akun IG miliknya memperlihatkan bagaimana
pendukungnya sangat banyak di setiap kampanye.
Kejadian
seperti inilah menjadi alasan utama penyusunan strategi. Lebih kacau lagi
adalah si’A dan banyak Negara selalu saja bertikai kiri kanan, menjadi tanda
Tanya? Kelompok tersebut sengaja memainkan permainan halus di belakang sehingga
seolah-olah si’A selalu saja mencari masalah terhadap siapapun. Jebakan demi
jebakan dibuat, kenyataan memang kalau si’A memiliki karakter emosional yang
dengan mudah dipermainkan. Kemungkinan besar terjadi adu domba antara satu sama
lain…
Andaikan
wabah penyakit tersebut berada di Negara mereka, tentu kecurigaan public dapat
terbaca seketika. Kesimpulannya, sengaja memulai permainan jauh dari benua
mereka. Harus saya akui memang kalau Negara C memiliki ambisius tinggi untuk
menjadi nomor satu dan mengalahkan Negara-negara raksasa terlebih dalam system
perdagangan. Di lain tempat, emosional si’A sengaja dipancing sampai selalu saja
membuat pernyataan-pernyataan kacau. Singkat cerita adalah terjadilah pandemic
menjelang pemilu. Logikanya sangat tidak masuk akal buat saya kenapa tiba-tiba
saja…
Kemungkinan
besar kalelawar yang dikonsumsi oleh sepasang suami istri ternyata telah disuntikkan
virus, kemudian dibuatlah sebuah jalan cerita. Andaikan rencana ini gagal,
alternative kedua adanya peledakan tiba-tiba di sebuah laboratorium Negara C.
Sisi ambisus tersebut menjadi jerat bagi sumber pandemic dimanfaatkan oleh
sekelompok oknum. Semua orang menarik kesimpulan sana sini tentang virus
tersebut. Virus tersebut diciptakan untuk menghindari perkumpulan dalam bentuk
apa pun. Berdoa seperti pada video tersebut sehingga tidak akan mungkin
dilakukan lagi terlebih kampanye besar-besaran.
Salah
satu orang terkaya dunia pernah berkata, akan terjadi sebuah wabah penyakit
sars di seluruh dunia. Dia pasti menyadari sesuatu hal sampai membuat
pernyataan tersebut, hanya saja dianggap angin lalu pada waktu itu. Secara
manusia, fakultas medis terbaik di seluruh dunia ada di Negara si’A, lantas
kenapa tiba-tiba banyak korban? Berpikir realistis saja tentang perkembangan
obat-obatan dan teknologi kedokteran termaju bahkan sulit disaingi. Makanan
mereka gizinya sangat lengkap. System imun rakyat di Negara si’A bukan dibawah
standar melainkan ada perbedaan dibanding yang lain. Lantas kenapa tiba-tiba
menjadi donator penyumbang korban pandemic terbesar di dunia?
Tidak
masuk akal buat saya hal semacam ini. kemungkinan besar kelompok iblis berwajah
malaikat sengaja memanipulasi keadaan sampai korban berjatuhan sana-sini. Bisa
saja melipat gandakan virus sampai overdosis. Masker N95 dengan begitu mudah
dibagikan, jauh berbeda di beberapa Negara termasuk tempat saya lagi bernafas
sekarang. Protokol kesehatan pun hampir keseluruhan masyarakatnya mematuhi
kalau diperhatikan. Yang saya tangkap adalah si’A sengaja dijebak sehingga
gagal dalam penanganan wabah hasil ciptaan mereka.
Tentu
seluruh rakyat akan menjadi musuh terbesar si’A oleh karena
pernyataan-pernyataan ngelantur darinya. Kenapa tiba-tiba saja rasis antara
kulit hitam dan putih terjadi? Negara-negara lain juga jangan asal berbicara
sampai semakin menimbulkan masalah. Semua sudah diatur demi sebuah kursi
kemenangan. Terserah mau percaya pernyataan ini atau tidak. Lebih kacau lagi
adalah si’A bersama istrinya sengaja dijebak sehingga ikut menjadi korban wabah
penyakit tersebut. Pembunuhan halus dengan tangan bersih tetapi menusuk…
Permasalahan
lain lagi yaitu pangeran Charles, pangeran William, dan juga PM Boris
dinyatakan positif virus. Sangat mengganjal kalau seseorang tersadar sesuatu.
Negara Inggris memang memegang beberapa Negara di dunia dan bisa saja menjadi
permasalahan ke depan. Entah dengan kelompok sama atau kelompok lain yang
sedang memanfaatkan situasi pandemic untuk melakukan pembunuhan halus terhadap
anggota kerajaan.
Di
kerajaan lain juga tidak luput dari intaian mereka. Salah satu anggotanya
menjadi korban sampai dinyatakan meninggal. Secara otomatis, sifat virus ini
mematikan dan penyebarannya sangat cepat di luar dugaan. Berarti penularan ke
anggota kerajaan lain bisa tersebar karena kontak langsung. Raja dan ratu bisa
meninggal dengan begitu mudah…
Pelajaran
buat banyak Negara tentang situasi pandemic agar mengerti sesuatu. Bagi Negara
C jangan kelewat ambisius karena berakibat fatal. Tidak salah memang satu
keinginan untuk menjadi nomor satu, tetapi bijaklah melihat situasi dan jangan
kelewat overdosis. Negara-negara lain pun berpikirlah lebih dahulu untuk
menyatakan sesuatu karena belum tentu sesuatu yang di depan mata kalian itu
sepenuhnya benar. Bisa saja kelompok tertentu di belakang bermain-main sampai
menciptakan adu domba atau perang besar.
Si’A
juga harus belajar agar tidak terpancing keadaan. Belajar mengendalikan diri
untuk tidak berucap sembarang saja terlebih memakai sisi emosional tidak jelas
pada tiap deretan peristiwa maupun keadaan. Tidak perlu kecewa dan bertanya
kenapa bisa kalah dalam pemilu. Tuhan punya maksud, intinya mengucap syukurlah
dalam segala hal sekalipun hal seperti ini terlalu menyakitkan bahkan lebih
dari kata tersebut. Saya pun selalu diperhadapkan hal-hal terpahit, disini
tuntutan memilih antara tetap melihat Tuhan atau melawan Tuhan?
Bagi
kelompok partai pemenang pemilu kalau seandainya dugaanku betul, sampai berapa
lama sih kalian menikmati masa jabatan sampai sekejam itu? Di luar sana banyak
orang menangis, mengalami PHK besar-besaran, terkucilkan, nyawa berhamburan
begitu saja seperti barang rongsokan, tenaga medis bunuh diri karena tidak
ingin menularkan penyakitnya, dimana hati nuraninya kalian? Orang bunuh diri
tidak ada sejarah masuk surga berarti 100% di neraka, apa kalian bisa
bertanggung jawab terhadap kehidupan mereka?
Kasihan
sekali kehidupan kalian, hanya demi sebuah kursi segala cara dihalalkan. Semoga
saja tuduhanku terhadap kelompok partai ini salah, entah kenapa hatiku selalu
saja berteriak kalau mereka yang bermain-main di belakang. Semua orang
memberitakan wakil presiden berasal dari benua apalah terdengar membosankan di
telingaku. Sekalipun berasal dari kayangan, di mataku iblis terkejam yang
pernah ada. Di luar kulit sudah hitam, sekarang di dalam hatinya lebih hitam
lagi. ingin berkata saya rasis? Silahkan…
Salah
satu mantan presiden di sana dan berasal dari partai dan warna kulit sama sebenarnya memiliki
sebuah organisasi penyesatan di Negara tersebut. Kenyataannya adalah dia ingin
disembah sebagai Tuhan sekaligus diagung-agungkan jauh melebihi sang pencipta.
Karakter sebagai pemimpin bijaksana, baik, dewasa, bersahaja, berkharisma, dan
hal-hal terbaik berhasil dilakoni, tetapi dibalik semua itu sifat iblis lebih
kuat bermain dalam dirinya. Percaya atau tidak terserah. Pesanku, jangan selalu
ditipu oleh penampilan seseorang dari luar karena bisa saja berbanding terbalik
jauh melebihi pemikiran semua orang. Selamat buat presiden terbaru di Negara
sana, semoga kau puas dengan semua yang didapat olehmu. Umur sudah bau tanah,
tapi makin menjijikkan. Sadis…
“Semoga
saya yang salah menuduh dan semua penjelasanku tadi tidak betul” tertawa sinis
seorang diri menatap computer di atas mejaku.
“Pada
hal saya berencana mengejar mimpi menjadi penulis sekaligus kuliah di Negara
sana, tapi putus sudah” menarik nafas panjang.
Perasaanku
berkata kalau pihak Disney memberi banyak sinyal akan menerima tulisanku bahkan
difilmkan tidak lama lagi. Di lain tempat beberapa kampus terkenal di sana juga
sudah memberi sinyal menyetujui saya melanjutkan pendidikan di tempat mereka,
tinggal memilih universitas mana? Semua itu sepertinya harus berakhir bahkan
tidak akan pernah terjadi karena masalah politik. Kenapa saya berkata begitu?
Saya hanya menghindari banyak tokoh-tokoh tertentu dengan peranan iblis
berwajah malaikat yang kemudian mencoba bermain-main melakukan sebuah
penjebakan terhadapku. Mungkin banyak orang akan menertawakan saya karena
terlalu berhalusinasi tentang ucapanku barusan mengenai sinyal dari produksi
perfilman ataupun kampus, terserah ejekan kalian…
Saya
mengalami sesuatu hal, jadi untuk sementara kemungkinan besar semua itu masih
tertahan sampai waktu Tuhan tiba. Hanya saja masalah politik di sana membuatku
beralih tempat lain. Rencana lanjutanku adalah mengejar mimpi di sebuah Negara
tempat dimana sosok menginspirasi buatku tinggal di sana. Idolaku itu sudah
lama meninggal, tapi saya selalu menyukai kehidupannya. Kalau Tuhan izinkan
berarti saya akan kuliah di Inggris pada salah satu universitas sekaligus
menjalani kehidupan sebagai penulis di sana. Kemungkinan besar juga tulisanku beberapa
diantaranya ingin saya kirim ke Korsel andaikata dalam bentuk drama, sedang
sisanya keseluruhan di Negara tempatku kuliah nanti. Bisa dikatakan tulisanku
jauh melebihi kata kritis, jadi kemungkinan besar akan mengalami pro dan kontra
di luar sana. Tiap penulis memiliki perbedaan masing-masing sewaktu bersuara
tentang sesuatu hal, selain itu juga terdapat kelebihan maupun kekurangannya…
Tidak
ada yang mustahil bagi Tuhan sekalipun semua orang tertawa mendengar
pernyataanku. Kalau Tuhan yang membuka pintu tidak ada satupun dapat menutup,
kalau Tuhan yang meninggikan maka tidak seorangpun dapat merendahkan. Saya mau
mengambil jurusan teknologi karena ingin mencari ataupun merakit semua alat
yang terkadang kuselipkan dalam tulisanku. Terdengar gila memang, tapi itulah
mimpi selalu saja bercerita tentang sesuatu hal bahkan rasanya terlalu sulit
digenggam dan pada akhirnya bisa digenggam. “Saya di depan rumah ka’Moza
sekarang” nada kalimat Hava melalui telepon pagi-pagi begini…
“Sejak
kapan kau berdiri depan rumahku?” pertanyaan pertama setelah membuka pintu.
“Sejak
dari tadi” jawaban gadis tersebut.
“Kenapa
kau bisa tahu alamatku?”
“Nevil”
Hava.
“Saya
ingin balas budi terhadap ka’Moza sebagai ucapan terima kasih” Hava.
“Balas
budi?” keningku berkerut tidak mengerti.
“Membantu
saya menyelesaikan tugas dari dosen iblis tentang masalah kehidupan mahasiswa”
Hava. Kupikir masalahnya dimana, ternyata karena peristiwa beberapa waktu lalu.
Acara traktir-traktiran mulai dijalankan olehnya di sepanjang jalan gang kecil.
Bercerita satu sama lain tentang sesuatu objek yang dapat membuat kami berdua
tertawa lebar. Pertama kali melihat sosok Hava tertawa lepas tanpa beban. Saya
menyukai tipekal anak belasan tahun semacam Hava dan Hozhi. Mereka berdua
memiliki jalan cerita berbeda bersama keunikan masing-masing di dalamnya.
Bagian
15…
Acara
traktir-traktiran sedang dilakoni oleh Hava. Liburan kampus dipergunakan
olehnya buat mendapat penghasilan tambahan. Pesanan gambar lukisan online
ternyata banyak peminatnya sehingga mereka banjir orderan. Nevil memang jenius
dalam hal memasarkan serta menemukan ide-ide terbaru demi kepuasan konsumen. “Kakak
Moza makan sepuasnya, nanti Hava yang bayarin” Hava terus saja mengajak Moza
berkeliling kota menikmati beberapa tempat penjual makanan.
“Bisa-bisa
perutku mules lagi kalau begini” gerutu Moza.
“Obat
diare banyak dijual di apotik kalau mules” Hava.
“Bukannya
itu Hozhi?” Moza menunjuk seseorang.
“Lagi
makan bareng mister Juan” Hava.
Hozhi
bersama sosok pria tidak asing lagi sedang menikmati suasana sunset tidak jauh
dari tempat mereka berdua. “Itu bukan Juan tapi kembarannya” Moza bergumam
seorang diri dalam hati.
“Mister
Juan benar-benar jatuh cinta habis ma Hozhi kalau diperhatikan” Hava.
“Dodol
garut amat, maunya saja dikelabui anak kembar” Cetus Moza sangat pelan.
“Ka’Moza
seperti bicara sendiri” Hava.
“Hava
pernah pacaran tidak?” Moza mengalihkan perhatian.
“Cowok
mana sih yang naksir ma cewek cacat tanpa dua tangan?” Hava.
“Tuhan,
jelas-jelas dua cowok keren lagi memperebutkan ni manusia tapi ga sadar” gerutu
Moza kembali dalam hati.
“Kalau
seandainya Hava ditaksir ma dua cowok dengan kepribadian berbeda” Moza.
“Maksud
kalimat kakak?” Hava.
“Cowok
A dengan kepribadian sangat galak, dingin, judes, jenius, sadis habis, tidak
pernah senyum. Di tempat lain cowok B memiliki sikap ceriah, baik hati, jenius,
tidak pernah marah, murah senyum. Lantas Hava pilih mana?” Moza menatap serius
bola mata Hava.
“Macam
cowok A tadi mirip karakter mister Juan?” kata-kata polos Hava.
“Memangnya
satu-satunya karakter A tadi hanya dimiliki dosen gilamu?” Moza.
“Betul
juga” balas Hava.
“Ayo
jawab siapa yang akan Hava pilih?” Moza.
“Tidak
tahu” jawaban menohok Hava.
“Lupakan,
ayo pulang!” rasa kesal Moza.
“Bisa-bisa
perang dunia tiga kalau begini ceritanya. Juan dan keponakanku Nevil menyukai
gadis yang sama, lebih parah lagi Hava terlihat polos atau apa?” suara hati
Moza masih berteriak di dalam…
Gara-gara
makan terlalu banyak perut mules Moza kumat kembali di rumah. Keluar masuk
kamar mandi terulang lagi malam-malam. “Makanya jangan melemparkan pertanyaan
aneh terhadap Hava, rasakan akibatnya” pesan Juan terpampang jelas melalui
salah satu akunnya di media social.
“Dari
mana manusia bengis ini tahu?” gerutu Moza seorang diri.
“Kau
ternyata penguntit terganas” balas pesan Moza.
“Terserah
saya dong. Btw, coba buka emailmu sekarang!” tulisan pesan Juan.
“Memang
kenapa?” Moza.
“Kau
kan suka kepo masalah luar atau berita-berita terbaru” Juan.
“Dua
anak kembar memiliki ciri khas sama sekarang yah” balas Moza.
Tangan
Moza mencoba membuka sebuah file berisi tentang kesaksian hidup seseorang.
Dialog chating bersama Juan dihentikan seketika. Kisah tersebut masih
berhubungan dengan peristiwa pandemic kemarin. Siapa pernah menduga sesuatu hal
tiba-tiba saja mengguncang dunia…
Dear…
Si’Pembaca…
Sebut
saja namaku NN, disini saya ingin bersaksi sedikit mengenai kisahku kemarin.
Saya lulusan kesehatan di Negara ini yang sedang mencari pekerjaan dua tahun
sebelum pandemic virus mengguncang dunia. Jujur, saya sangat kesulitan mencari rumah
sakit yang mau menerimaku untuk bekerja di tempat mereka. Jatuh di beberapa
tempat membuat saya ditolak. IPK ijasahku bukannya rendah malahan sangat
tinggi, tetapi itu saja tidak cukup. Beberapa temanku menyebutku sebagai
mahasiswi terjenius di kampus sekalipun saya memiliki beberapa kelemahan
sewaktu masih praktek kemarin. Butuh waktu memang buatku untuk menjalani satu
kata paling tepat antara saya dan pasien. Seiring berjalannya waktu saya sudah
mulai bisa menyesuaikan tempat dan kondisi. Objek tadi tidak cukup untuk
membuatku dengan mudah diterima bekerja di rumah sakit.
Kembali
ke kisahku sebelumnya, dimana saya memutuskan berada di sebuah kota kecil demi
mengadu nasib jauh dari tempat asalku menjadi keputusan terbaik. Singkat
cerita, surat lamaran kerjaku pun menyebar ke semua rumah sakit. 1%
keberuntungan dan 99% orang dalam kalau diterima kerja di sebuah RS manapun di
Negara ini. Tidak ada kenalan berarti jangan mimpi bisa mendapat pekerjaan.
Sangat mengenaskan memang kehidupanku…
Salah
satu anggota keluargaku akhirnya punya kenalan juga pada salah satu RS di kota
kecil tersebut yang mungkin bisa merekrut saya sebagai pegawai. Secara
kebetulan, orang itu sangat dekat dengan direktur RS. Saya akhirnya kembali
memasukkan lamaran untuk kedua kalinya di RS tersebut. Beberapa minggu
panggilan tes belum ada, sampai akhirnya saya memutuskan tiba-tiba kembali ke
kota asal dengan alasan tertentu.
Setelah
di kota asal saya kembali, panggilan tes kerja pun baru datang di kota kecil
tersebut. Saya juga mendapat panggilan kerja di sebuah perusahaan swasta di
sana. Maksudku ingin mengisi waktu luang setidaknya bekerja apapun untuk
sementara waktu yang penting halal. Singkat cerita, karena masalah biaya
akhirnya saya memutuskan tidak kembali ke sana. Magang pada salah satu rumah
sakit kecil demi mendapat surat pengalaman kerja harus kulakukan.
Magang
kerja tidak gratis melainkan harus dibayar demi selembar kertas pengalaman.
Saya berusaha bekerja segiat mungkin agar bisa diterima di RS tersebut setelah
magang. Sekalipun gaji kecil tidak menjadi masalah karena begitu sulitnya
lulusan tenaga medis mendapat pekerjaan. Biaya sekolah sangat mahal, tetapi
sulit bekerja dan kalaupun diterima kerja gajipun sangat tidak sesuai.
Entah
bagaimana cerita, terkadang tiba-tiba saja seolah Tuhan mengingatkan saya pada
sebuah peristiwa wabah penyakit sekian tahun lalu di sebuah Negara bahkan
memakan banyak korban. Sama sekali pada saat itu, tidak terlintas apa-apa
tentang kejadian ke depan sehingga menganggap semuanya angin lalu.
Sepertinya
Tuhan sudah memberi beberapa tanda seakan tidak menghendaki saya bekerja di RS.
Secara manusia, saya sudah dipastikan lulus kerja di RS tempat magang karena
pada saat itu perjuanganku luar biasa. Melakukan semua pekerjaan walaupun
dikatakan mendapat kata-kata makian dari beberapa orang. Jujur, kehidupan seperti
fanpo alias pembantu rumah tangga bukan lagi tenaga medis tapi tetap berusaha
dijalani.
Handphoneku
rusak total sewaktu membersihkan alat pel atau kamar mandi pasien, pada hal
saat itu uangku tidak ada buat beli baru. Ujian tes selalu saja diundur oleh
pihak RS, entah ingin memakai gratis tenaga atau hal lain. Menjadi asisten salah
satu dokter spesialis dengan akhir cerita tragis terkadang dipermalukan depan
orang. Terdengar menyedihkan kalau dipikir-pikir…
Hal
paling tragis lagi adalah terjadi satu kasus terhadap pasien sekalipun bukan
saya yang berperan, tetapi namaku pun terseret di dalam. Ketua ruangan di
tempatku tidak ingin bertanggung jawab bersama, malahan berusaha melemparkan
semuanya terhadap saya seolah semuanya karena kesalahanku. Pedis sekali hidupku
karena tekanan demi tekanan bersamaan muncul. Berhenti sebagai anak magang dan
asisten dokter merupakan keputusan terbaik.
Saya
seolah marah terhadap Tuhan sampai melemparkan banyak pertanyaan kenapa. Secara
manusia, hatiku tidak bisa terima kenyataan terkacau terus saja datang. Kembali
ke kota kecil tadi dan kemudian mencoba menyebarkan lagi surat lamaran ke semua
RS. Kenalan anggota keluargaku sudah tidak mau menolong karena kesempatan
kemarin sudah ditolak olehku. “Tuhan, pekerjaan apa saja, kumohon kirimkan
buatku yang penting ada” desis suara hatiku setiap saat.
Saya
masih menganggur setengah tahun setelah berada di kota kecil tersebut. Sampai
akhirnya Tuhan mengirimkan sebuah pekerjaan kecil walaupun tidak sesuai
jurusanku. Itupun karena ada kenalan di dalam, bahkan saya masih harus menunggu
beberapa waktu lagi dan hampir saja ditolak habis-habisan. Satu hal, entah
mengapa pikiranku selalu berkecamuk karena tiba-tiba saja kasus virus di sebuah
Negara sampai memakan banyak korban di seluruh dunia diingatkan terus-terusan
secara tiba-tiba. Hampir keseringan muncul begitu saja di hatiku terlebih
setelah saya mendapat pekerjaan.
Seiring
berjalannya waktu, akhirnya wabah virus pandemic yang sering muncul tiba-tiba
dalam pikiranku terjadi. Saya baru menyadari kalau ternyata Tuhan ingin memberi
tahu bahwa virus tersebut akan muncul kembali dari sumber Negara sama seperti
dulu bahkan lebih parah hingga memakan banyak korban. Ternyata, dibalik
penolakan demi penolakan RS ada maksud Tuhan.
Percuma
juga memberi tahu orang andaikan menyadari cepat tentang pandemic tersebut akan
terulang kembali karena mereka tidak akan percaya. Tuhan tidak mengizinkan saya
bekerja di RS demi menghindari beberapa hal. Satu lagi, mereka yang berusaha
menghancurkan sekaligus menyerang saya sewaktu magang di kota tempat asalku
sudah mendapat balasan. Intinya, saya tidak berdoa jelek tentang mereka. Tuhan
mendengar jerit hatiku dan menampung tetesan air mata yang sedang berteriak
pada saat itu.
Saya
ingin mengungkapkan sebuah rahasia yang sudah lama terpendam bertahun-tahun
lamanya. Mereka dengan kondisi sering menyerang kehidupanku entah dalam
berbagai bentuk selalu mendapat balasan tidak terduga. Hukum tabur tuai sering
terjadi. Tertimpa banyak masalah, penyakit, banyak hutang, bahkan meninggal,
dan hal-hal lain terjadi seiring berjalannya waktu. Sekali lagi, intinya saya
tidak berdoa jelek ataupun mengucapkan kutuk terhadap mereka. Rasa sakitku
terpendam jauh di dalam dan terkadang harus menangis keras di suatu tempat tak terlihat.
Kemungkinan saat itulah air mataku tertampung hingga sesuatu hal terjadi. Btw,
pernyataanku barusan lupakan saja karena tidak begitu penting…
Tuhan juga masih memelihara
kehidupanku sekalipun di tengah-tengah situasi pandemi. Keadaan menyedihkan memang
sering terjadi, tetapi tergantung pribadi kembali cara menanggapi hal tersebut.
Tentu situasi PHK, kelaparan, ketakutan, kemiskinan, bangkrut, situasi ekonomi
terperosok menjadikan kehidupan sulit menerima. Percaya saja kalau ternyata
dibalik peristiwa tersebut terdapat sesuatu hal terbaik diberikan buatmu
pribadi.
“Kesaksian
seseorang dari sekian banyak orang yang juga sedang bercerita tentang pandemic”
Moza menutup akun emailnya seketika.
“Andaikan
tuduhanku benar terhadap partai itu, lantas semuanya diam membungkam seribu
bahasa berarti kekuatan hukum dikendalikan oleh mereka jauh melebihi bayangan
pikiran sejauh ini” Moza berkata-kata sendiri sekitar sudut ruang kamar.
“Butuh
sebuah strategi menyerang personil partai iblis tersebut satu persatu” Moza.
“Tentu
semua bukti berusaha dilenyapkan oleh mereka dalam bentuk apa pun” sekali lagi
dia berkata-kata sendiri. Secara logika, kalelawar merupakan obat sesak nafas
di beberapa tempat, lantas tiba-tiba menjadi sumber pandemic? Sangat tidak
masuk akal kalau dipelajari kembali. Semoga saja mata beberapa pemimpin dunia
yang berada di samping partai tersebut tidak pernah salah…
Semua
butuh waktu mengungkapkan kebenaran sesungguhnya. “Silahkan nikmati kemenangan
kalian dan tertawalah sepuas mungkin sampai hari itu…” tawa sinis seorang Moza
menatap setiap personil partai iblis berwajah malaikat.
Sebuah
cermin terpampang jelas di depan sedang berjuang memakai bahasanya sendiri.
Bentuk rupa terungkap seketika memberi penjelasan satu deretan cerita. Tersadar
satu objek ternyata sedang bersembunyi pada sudut ruang terkecil. Ketika salah
satu tangan hendak menemukan keberadaannya, di luar dugaan benda terkecil
terbaca jelas melalui cermin tadi. Deretan peristiwa berteriak kuat oleh karena
luapan emosional, ketakutan, jutaan tetesan air mata, luka, rasa sakit mengalir
begitu saja tanpa henti dibalik benda kecil tadi. Nyawa orang banyak pergi
begitu saja seperti permainan hanya demi meraih sesuatu hal yang tidak berarti.
“Wajar
saja hampir keseluruhan pendeta tidak ingin berpihak terhadap kelompok partai
tadi” Moza masih mencoba merenung sesuatu. Dapat dikatakan banyak pendeta jauh
lebih memilih si’A dibanding personil partai iblis. Kenapa? Karena partai si’A
terang-terangan kalau tidak menyukai sesuatu, sangat jauh berbeda dengan partai
iblis yang selalu berperan sebagai malaikat depan public tetapi menghanyutkan
di belakang layar.
Pilihan
pendeta jarang salah dikarenakan mereka benar-benar berdoa meminta pemimpin
terbaik dari Tuhan. Secara manusia si’A memiliki ucapan paling menyebalkan,
namun kemungkinan besar ada sesuatu hal sampai kaum pendeta di Negara sana
kebanyakan ingin tetap memperjuangakan apa yang dianggap layak melalui sebuah
doa terbaik mereka. Sepertinya terjadi kecurangan suara pemilu sampai partai
tersebut berhasil menang dibanding si’A. logikanya, kenapa sampai ingin
melakukan perencanaan pembunuhan terhadap si’A dan istrinya dengan sengaja
menularkan virus sehingga terlihat bukan pembunuhan? Ketakutan terbesar adalah
kalah dalam pemilu setelah perjuangan menghalalkan segala cara sejauh ini
dilakukan oleh mereka. Tentu masalah beres kalau si’A bersama istri mati
seketika.
“Saya
tidak percaya kemenangan partai iblis di sana bukan karena kecurangan suara”
gerutu Moza. Perubahan beberapa system pemilu pasti terjadi dikarenakan kasus
penularan pandemic virus.
“Masalah
lain lagi tapi bukan kasus pemilu melainkan tentang perselisihan terbesar para pemimpin
dunia adalah persaingan ingin memperlihatkan siapa paling terkuat” Moza menarik
nafas panjang.
Kesombongan
banyak pemimpin dunia adalah selalu saja berjuang mengejar barisan dengan
kekuatan militer terbaik. Di balik semua itu hanya bercerita tentang
kesombongan, ketamakan, keegoisan, keserakahan, obsesi terkacau sampai
mengorbankan banyak orang di bawah. Kasus seperti inilah menjadi salah satu
kekuatan munculnya masalah-masalah besar. Penjebakan pun dimainkan oleh
kelompok tertentu demi sebuah kursi. Tidak salah menciptakan satu benteng
pertahanan Negara, akan tetapi jangan keterlaluan. Banyak orang-orang tidak
mengerti apa-apa menjadi korban seketika. The Bible book memang menubuatkan
akan terjadi perang dunia ketiga suatu hari nanti. Salah satu kitab suci yang
diakui keilahiannya benar-benar ya dan amin.
“Minimal
para pemimpin dunia kalau mau perang dunia ketiga, setidaknya saya mati dulu
baru terjadi. Kenapa? Kepalaku sakit melihat perang dimana-mana” Moza
menggerutu seorang diri di kamar.
“Kalian
para pemimpin dunia, belajarlah untuk tidak serakah ataupun egois ketika
melihat deretan garis hidup di depan. Bisa saja karena perbuatan kalian itulah
sampai kelompok lain atau bahkan dirimu sendiri menghancurkan kehidupan orang
banyak” Moza.
Teka
teki, jalan, sudut persimpangan, menggenggam atau melepas, ribuan pertanyaan,
kerikil-kerikil tajam bertebaran dimana-mana, dan masih banyak lagi selalu saja
menari sambil tertawa di setiap objek kehidupan. “Liburan kampus sangat-sangat
lama juga kalau dihitung-hitung kembali” Moza menatap kelender beberapa hari
setelahnya.
Suara
handphone berbunyi seolah mangalihkan perhatiannya. “Bibi” teriak Nevil.
“Kenapa
telepon jam begini? Saya sudah bilang
jangan panggil bibi, ngerti?” Moza.
“Btw,
tolong buka pintu rumah sekarang juga!” penekanan kalimat Nevil.
Nevil numpang nginap di rumah dikarenakan
terjadi perselisihan dengan orang tuanya. Bagaimana tidak dia suka memancing
kekesalan ayahnya sampai mengamuk tidak jelas. “Saya memakan semua kue buatan
mama, terus papa mengamuk besar gitulah” curhatan Nevil membuatku tertawa
keras.
“Wajar
papamu mengamuk, masalahnya anaknya yang satu ini kelewat rakus”…
“Lupakan
kemarahan papa! Bantu Nevil mendapatkan Hava” kalimat serius Nevil.
“Berjuang
sendiri, entar sainganmu mengamuk ma saya” Moza.
“Dia
pria tua paling galak bukan saingan” celoteh Nevil.
“Masa?”
Moza.
Tanpa
sadar Juan mendengar dialog percakapan antara Moza dan sahabatnya. Juan hanya
ingin memberikan beberapa barang milik Moza yang kebetulan tertinggal di rumah
orang tuanya seminggu lalu. Lebih memilih tidak masuk ke rumah Moza merupakan
pilihan terbaik. Merenung sepanjang jalan sambil mengendarai motor tua miliknya
membuat dia tersadar sesuatu hal.
“Saya
ingin berkata jujur terhadap saudara kembarku sendiri” Entah dari mana Nadav
tiba-tiba saja berada di sampingnya setelah memarkir motor di sebuah taman
kota.
“Kenyataannya
pernyataan Moza memang benar kalau saya menyukai anak kecil” ungkapan perasaan
Nadav.
“Lantas?”
nada cuek seorang Juan.
“Bantu
saya menjelaskan sesuatu terhadap papa biar ga serangan jantung terus dapat
restulah pokoknya” Nadav.
“Kau
sudah menyatakan perasaanmu terhadap anak kecil itu?” Juan.
“Belum”
Nadav.
“Itu
masalahmu bukan masalahku” Juan.
“Kenapa
mister Juan ada dua orang?” tiba-tiba Hava berada berdiri di depan mereka.
Bagian
16…
Hava…
Kebiasaan
latihan lari Hozhi di malam hari membuatku sesak nafas. Terkadang saya harus
mengekor di belakang dia ketika berlari. Permasalahanku sekarang adalah melihat
mister Juan sedang mengendarai motor tua sambil berkhayal di seberang kanan,
sedangkan di seberang kiri tidak jauh dari tempat kami ada lagi dirinya mengemudikan
mobil keluaran terbaru. “Apa mataku lagi sakit?” mengucek-ngusek dua bola
mataku.
Taman
kota terlihat menarik ketika hiasan lampu di sekitarnya berkelap-kelip tanpa
henti. Suasana malam itu sangat sunyi bahkan hanya ada seorang pada salah satu
kursi di sekitar taman tersebut sedang menikmati gemerlap bintang malam. Entah
bagaimana bisa perhatian mengarah terhadap orang tadi. “Itukan mister Juan”
mataku tak berkedip.
Seseorang
berjalan santai ke tempat dosen terkejam di tengah taman. “Mataku tidak sakit,
memang mister ada dua” teriakanku segera berlari ke tempat mereka berdua.
“Kenapa
mister Juan ada dua orang?” tanpa permisi terlebih dahulu langsung melemparkan
sebuah pertanyaan di depan mereka berdua.
“Hozhi”
mister Juan menatap seseorang di belakangku.
Saya
dan Hozhi butuh jawaban atas pemandangan di hadapan kami malam ini. Saling
menatap satu sama lain selama beberapa menit terdengar kacau. “Maaf membuat
kalian bingung bahkan mempermainkan orang banyak” salah di antara mereka
mengangkat bicara.
“Kami
berdua kembar. Saya Nadav Levin kakak kembar Juan Levin” pertanyataan barusan
membuat saya baru menyadari fam keluarga mister Juan selama ini ternyata Levin.
Kakak
kembar manusia tergalak harus berpura-pura bahkan saling bertukar peran oleh
karena keinginan orang tua mereka. Si’pembayar biaya rumah sakit Hozhi bukan
mister Juan melainkan saudara kembarnya sendiri. Sengaja menggunakan nama
mister Juan sewaktu pertemuan Hozhi di usia masih sangat kecil. Entah bagaimana
cerita sampai mereka berdua berhasil mengelabui semua orang. Tidak seorangpun
pernah sadar kalau ternyata mister Juan memiliki kakak kembar.
Sifat
dua anak kembar terlihat sangat berlawanan arah antara satu sama lain. Mister
Juan dikenal sebagai manusia terdingin bahkan terkejam tanpa senyum, sementara
kakak kembarnya sendiri dikenal sebagai malaikat terbaik sejagat raya. “Saya
sempat mendengar ucapan kalian tadi” rasa kesal melihat mereka…
“Jangan-jangan
kalian berdua menyukai Hozhi?” pancingku. Hozhi tidak bakalan bisa mendengar
apa yang kuucapkan barusan, kenapa? Karena dia bisu dan tidak bisa mendengar. Menyukai
anak kecil? Berarti mereka berdua suka pada gadis yang sama. Kenapa juga si’malaikat
harus menggunakan nama saudara kembarnya sewaktu pertemuan pertama kali antara
dia dan Hozhi.
Pantas
saja ka’Moza suka menyinggung drakor on going gitu, pada hal dua anak kembar
lagi ingin mempermainkan orang banyak. Wajah Hozhi terlihat kecewa hingga
berlari meninggalkan kami di taman. “Hozhi mengamuk sekarang” wajah salah satu
dari mereka terbaca jelas tentang rasa khawatir…
“Itu
urusanmu bukan urusanku” balasan dingin mister Juan seolah tidak perduli.
“Selesaikan
sendiri, ngerti?” sikap sadis mister Juan. Sifat dosen beringas seperti
biasanya sangat-sangat angkuh. Kakak kembarnya berjuang keras sampai sesak
nafas mengejar Hozhi, tapi dia malah tidak peduli. Bagaimanapun Hozhi butuh
waktu menerima sebuah kenyataan kurang menyenangkan.
Pertandingan
Hoshi hanya menghitung hari, namun siapa menyangka akan terjadi permasalahan
besar seperti sekarang. Perhatian besar dari sosok yang selama ini dianggap
olehnya sebagai kakak atau apalah ternyata membuat cerita menyebalkan. Apa kau
menyukai mister Juan?” menulis sebuah pertanyaan terhadap gadis bisu itu pada
sebuah buku sebagai alat komunikasi di antara kami.
Rumah
berukuran kecil menjadi tempat keheningan buat kami berdua. Dia seolah tidak
bisa menjawab pertanyaanku tadi. Lebih parah lagi adalah penyakitnya kambuh
kembali dua hari belakangan semenjak kejadian tersebut. “Mayat hidup” bergumam
sendiri. Mengejar mimpi sepertinya bisa-bisa pupus di tengah jalan kalau jalan
ceritanya seperti sekarang.
Cerita
adik kakak sewaktu kecil berubah menjadi kisah percintaan? Sulit dipercaya? Sebenarnya,
Hozhi menyukai siapa? Mister Juan atau kakak kembarnya Nadav? “Kau manusia
bodoh selalu saja seperti mayat hidup tiap punya masalah” teriakanku
terhadapnya. Reaksinya sesuai perkiraanku, tidak perduli bahkan hanya mengurung
diri dalam kamar. Pertandingan final sebagai penentu kemenangan sekaligus
menjadi perwakilan pada olimpiade nanti di depan mata, namun sesuatu hal sedang
mengelabui kehidupannya.
“Mereka
harus bertanggung jawab” kegeramanku mulai naik. Melangkah keluar rumah menuju
sebuah halte bis. Sepanjang hari kelakuanku hanya berusaha mencari alamat rumah
orang tua mister Juan setelah menjadi pengemis di depan ka’Moza. Mister Juan
tidak ada di apartementnya sekarang, otomatis sedang menghabiskan liburan
bersama keluarganya.
“Mister
Juan, keluar sekarang!” teriakanku menggedor-gedor pintu gerbang sebuah istana
besar memakai salah satu kakiku karena saya tidak memiliki dua tangan.
“Namaku
mau diblacklist pada daftar nilai anda, terserah. Intinya keluar sekarang!”
makin berteriak tidak jelas.
“Kau
siapa? Berani-beraninya mendobrak gerbang istana keluarga Levin” sosok pria paruh
bayah berdiri sambil bertolak pinggang di belakangku.
“Tidak
perlu tahu siapa saya, intinya dua anak kembar tidak tahu umur harus
mempertanggung jawabkan perbuatan mereka sekarang juga” jawaban geram dariku.
“Papa,
jangan-jangan Juan menghamili anak kecil? Bagaimana ini?” rasa histeris
ketakutan seorang wanita paruh bayah di samping pria tua tadi.
“Gadis
sesempurna Lara ditolak mentah-mentah lantas sekarang buat ulah” rasa geram
pria tua itu.
“Mama
lebih menyukai Moza dibanding Lara lantas sekarang hancur sudah…” wanita itu
semakin histeris…
Kenapa
jadi berubah haluan begini? Mereka lebih menakutkan dibanding kegeramanku
barusan. Tiba-tiba saja seseorang mendorong tubuhku memakai sebuah tongkat kayu.
“Kau punya etika tidak masuk ke rumah orang?” bahasa tajam mister Juan. Saya
bisa mengenali dua anak kembar Levin hanya dengan melihat tata bahasa mereka
walaupun kemarin sempat tertipu.
“Saya
tidak beretika memang, tapi kalian berdua lebih hancur lagi” jawabanku.
“Hava,
maaf atas ucapan adikku barusan” kakaknya meminta maaf.
“Tinggal
menghitung hari pertandingan final Hozhi dimulai dan apa yang terjadi sekarang?
dia terlihat seperti mayat hidup tanpa semangat karena perbuatan
setting-settingan dua anak kembar tua semacam kalian” penekanan kalimatku cukup
jelas.
“Berarti
bukan masalah menghamili anak orang kan?” wanita tua segera menghentikan
tangisnya seketika.
“Mama
masuk ke rumah saja biar kami berdua menyelesaikan masalah ini” kakak kembar
mister Juan berucap sambil memegang tubuh wanita paruh bayah itu…
“Ternyata
orang tuanya toh” gumamku dalam hati.
“Biarkan
papa dan mama berdiri di sini! Biar mereka berdua tahu seperti apa keadaan
calon menantunya sekarang di luar sana” sikap dingin mister Juan.
“Juan”
gertakan ka’Nadav.
“Bagaimanapun
papa dan mama bakal tahu bahkan bisa saja serangan jantung pada akhirnya karena
kelakuan anak-anak mereka” mister Juan semakin ganas.
Calon
menantu? Saya tidak mengerti ucapan mereka berdua. “Benar kata Moza kalau
anakku Nadav menyukai gadis dibawah umur?” papa dari mereka berdua sedikit
membentur-benturkan tubuhnya ke dinding tembok.
“Mampus,
perang dunia ketiga dimulai” rasa belas kasih sedikitpun tidak pernah ada di
hati dosenku sampai berucap kacau.
Percuma
saja saya datang jauh-jauh mencari alamat mereka berdua. Berjalan pulang dengan
tubuh lemas sambil menundukkan kepala membuatku terlihat semakin stress.
Bagaimana bisa saya melihat sepasang suami istri mendadak serangan jantung
karena mendengar anaknya menyukai gadis dibawah umur? Jarak usia sebelas tahun
menjadi masalah terbesar sekarang? Kenapa juga saya berpikir jarak usia?
Bagaimana
bisa kau harus menghentikan mimpimu hanya karena masalah percintaan? Sebenarnya
siapa yang ada di hatimu? Mister Juan atau kakak kembarnya? Kenapa juga saya
sedikit kacau begini? Kalau begini ceritanya berarti akan terjadi kekalahan
telak ketika pertandingan nanti. “Buka pintu” seseorang menggedor-gedor pintu
rumah.
“Kenapa
datang kemari? Saya pikir kau dan saudara kembarmu sudah mati” kalimat pertama
setelah saya membuka pintu rumah. Dua bola mataku masih masih bisa membedakan
mereka berdua walaupun dikatakan kembar identik. Tatapan sinis sekaligus sikap
dingin mister Juan menjadi titik penentu perbedaan terbesar mereka berdua.
Kupikir
kakak kembarnya datang juga, ternyata hanya seorang diri. “Dorong Hozhi kemari
kalau perlu halalkan segala cara agar bisa membuatnya berdiri di depanku
sekarang!” kata-kata angkuh mister Juan.
Mau
tidak mau perintahnya harus kulakukan. Dia mengancam masuk kamar untuk membuat
kerusuhan kalau tidak melakukan keinginannya tadi. Tuhan, namanya mayat hidup
ya tetap saja mayat hidup. Melemparkan beberapa boneka ke arah Hozhi sambil
mendorong tubuhhnya keluar memakai salah satu kakiku. Tidak pernah kusangka
mister Juan menyiram tubuhnya dengan beberapa ember berisi air es. Lebih ganas
dari yang kulakukan…
“Kami
berdua tidak mempermainkan perasaanmu” bahasa isyarat mister Juan terhadap
Hozhi.
“Kakakku
benar-benar menyukai dirimu sampai-sampai selalu saja menjadi pengemis di
depanku demi meraih mimpimu, apa kau sadar?” pergerakan tangan mister Juan
berusaha membuat Hozhi menyadari sesuatu hal.
“Sejak
dulu kakakku merindukan seorang adik menggemeskan, manis, baik, perhatian.
Kenyataannya sikapku berlawanan dari keinginannya, singkat cerita terjadilah
pertemuan antara kalian sewaktu usiamu masih tiga tahun” penjelasan mister Juan
masih berlanjut.
Saya
tidak pernah menyangka peristiwa tragis semacam sekarang. “Foto gadis kecil
berusia tiga tahun masih tersimpan rapi dalam dompetnya. Bisa dikatakan dia
masih menganggapmu sebagai adik kecilnya sebelum perpisahan waktu itu” mister
Juan.
“Kenapa
tiba-tiba dipupuk jadi cinta begini?” pertanyaanku tanpa sadar.
“Mana
saya tahu, langsung cari jawaban ma orangnya” pertama kali melihat tingkah
kekanak-kanakan mister Juan dengan jawaban nyeleneh.
Harapan
kami semua adalah Hozhi tetap mengikuti jadwal pertandingan final besok
walaupun kemampuannya untuk menang sangat diragukan karena kondisi psikisnya
sekarang. Bisa-bisa Hozhi flu berat disiram air es gitu. “Kakakku selalu ada
buat sosok gadis bisu di belakang layar. Jadi, jangan kecewakan dirinya” mister
Juan berkata-kata kembali dalam bahasa isyarat sebelum akhirnya meninggalkan
kami berdua.
Mujizat
kemenangan Hozhi besok kalau dipikir-pikir lagi. Saingan terberatnya Kirey
tentu mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk pertandingan final. Kenapa juga
menjelang pertadingan harus berhadapan masalah seperti ini? Apa Hozhi akan
tetap bertanding atau berhenti di tengah jalan? Bagaimana kalau dia tidak
menghadiri pertandingan besok?
Berpikir
semalaman benar-benar mengganggu aktifitas tidurku. Mata panda terbentuk
sendirinya di sekitar wajahku. Kekacauan terbesar lagi adalah Hozhi menghilang
begitu saja sejak tadi malam tanpa kusadari. Mimpi apa saya semalam? Mencari di
segala tempat dalam balutan piyama seperti orang kesurupan. Bagaimana kalau
terjadi sesuatu terhadapnya? Apa yang harus kulakukan sekarang? Berjalan ke
arena pertadingan lari tanpa tenaga sambil menundukkan kepala…
“Bunda,
anakmu dalam masalah besar sekarang” panggilan telepon dari bunda setiap pagi
yang tidak pernah absen sama sekali untuk menghubungi anaknya di kota.
Handphone pemberian mister Juan benar-benar dipergunakan dengan baik olehnya
sebagai alat komunikasi. Suara bunda tiba-tiba saja terputus seketika…
“Kenapa
duduk di jalan begini?” suara seseorang menghentikan tangisku.
“Kenapa
saya harus nangis buat gadis bodoh?” berkata-kata aneh.
Pertama
kali, sosok mister Juan membawaku masuk dalam dekapan hangatnya seolah ingin
memberi perlindungan. Seseorang yang selalu saja membentak, bersikap dingin,
menolak tiap lembaran tugas, geram terhadapku berubah menjadi hangat? “Rambut
ikalmu jadi berantakan kalau kau menangis” berusaha merapikan rambutku.
“Naiklah!”
menyuruhku berada naik di atas motor butut miliknya. Mengemudikan motornya
menuju satu tempat tanpa berkata-kata lagi di sepanjang jalan. Bukan main saya
dibuat kaget seketika setelah kendaraan roda dua miliknya berhenti di sebuah
arena pertandingan lari yang akan digelar hari ini. mengenakan piyama, bau
iler, belum gosok gigi, rambut berantakan berdiri di tengah-tengah kerumunan
orang banyak.
“Hozhi
tidak mungkin melewatkan pertandingannya” ujar mister Juan. Semua peserta sudah
mengambil start di tempat masing-masing, tetapi gadis bisu itu masih belum
memperlihatkan dirinya. Bayangannya saja belum muncul. Kirey akan tertawa
sepuas mungkin karena kegagalan seorang Hozhi mengejar mimpi. Kepalaku terus
tertunduk bahkan tidak berani melihat lapangan pertandingan. Bunyi suara peluit
tidak lagi terdengar seru karena perbuatan Hozhi.
“Persaingan
ketat antara Kirey juara bertahan dan Hozhi sedang terjadi” teriak sang host
sampai seluruh penonton berteriak histeris.
“Hozhi
ikut bertanding” segera bangkit dari kursi hampir tak percaya.
“Makanya
kepalamu jangan menunduk terus seperti oon” sindiran sinis mister Juan.
Sejak
kapan Hozhi masuk lapangan? Kenapa saya tidak lihat? Bodoh amat, intinya dia
harus menang dari si’licik Kirey sekaligus menjadi perwakilan di olimpiade
nanti. “Hozhi, ayo berdiri lagi” seperti biasa Kirey menghalalkan segala cara
sampai membuatnya terjatuh di tengah pertandingan.
“Selesaikan
pertandinganmu! Kemenangan harus jadi milikmu” berteriak sekali lagi pada
barisan terdepan dari suara penonton. Hozhi mencoba sekuat tenaga berdiri dan
kembali berlari. Mujizat kalau dia bisa mengejar…
Satu
per satu lawannya bisa dilalui sampai dua kaki Hozhi mulai bergerak semakin
cepat di samping Kirey. Sulit mencari siapa pemenang pertandingan tersebut.
Mereka berdua berada di garis finish bersamaan. Sebuah layar siaran ulang menjadi
penentu kemenangan salah satu dari mereka diputar lambat. “Hozhi berhasil
menginjak lebih dulu garis finish sekaligus sebagai pembuktian bagi semua orang
bahwa kaum disabilitas memiliki kekuatan luar biasa dan cukup mencengangkan
banyak pihak,” teriakan kekaguman sang host di hadapan orang banyak.
“Hozhi
menang” berteriak kegirangan masih dalam balutan piyama.
“Hava,
kenapa datang kesini berpakaian seperti ini?” ka’Moza tiba-tiba saja berdiri di
samping memperhatikan penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wajahku
menjadi merah karena malu menyadari gaya berpakaianku berbeda dari orang lain.
“Hava
tetap cantik berpakaian piyama” Nevil membela perkaraku.
Di
satu sisi sangat malu, tetapi di sisi lain tidak lagi peduli penampilanku. Saya
pikir terjadi sesuatu terhadap Hozhi tadi sampai tingkahku seperti orang gila
di sepanjang jalan. Akhir cerita kebahagiaan sahabatku adalah sebuah kemenangan
ketika berlari mengejar mimpi. Kakak kembar mister Juan berdiri memeluk erat
Hozhi setelah piala penghargaan diberikan. Menjadi pertanyaan, apa orang tuanya
sudah bisa menerima kenyataan memiliki calon menantu dengan perbedaan usia
cukup jauh? “Nadav masih harus bergumul berat demi mendapat restu orang tua”
Bisikan Moza ke telingaku.
“Hozhi
harus tetap menjadi bagian terbaik ketika saya berjalan atau berlari” kata-kata
hangat kakak kembar mr. Juan. Akhir cerita adalah semua orang baru menyadari
sebuah cerita anak kembar dari keluarga Levin.
Hozhi
menyukai kakak kembar mister Juan? Berarti mereka berdua sudah saling menerima
satu sama lain dan siap memperjuangkan hubungan di depan orang tua sang pria.
Hozhi benar-benar beruntung mendapat pria malaikat semacam ka’Nadav walaupun
usianya dalam kategori ajusshi gitulah.
“Hava,
jadilah pacar setia dalam suka maupun duka buatku” suara seorang pria melalui
microfon terdengar keras. Ada banyak nama Hava, mana mungkin yang maksud itu
saya. Kampus terkenal di ibukota tempatku mengejar mimpi pun bernama Hava
university. Ka’Moza sedikit menyenggol badanku sambil menunjuk sisi kanan
tempat tersebut.
“Hava,
I love you forever” tidak pernah kusangka seniorku di kampus berteriak gila
melalui microfon di depan orang banyak. Suara riuh bukan lagi bercerita tentang
pertandingan kemenangan melainkan pernyataan cinta. Nevil berjalan membawa
setumpuk bunga mawar sambil terus menatap ke arahku.
“Hava
jawabanmu?” ka’Moza menyuruhku menjawab…
“Terima
terima terima terima terima…” hanya kata-kata tersebut terus saja berteriak…
“Kalau
kau jadi pacarku, nanti saya downloadkan banyak drakor-drakor terhits buat kita
nonton berdua di waktu senggang” tawaku meledak seketika mendengar pernyataan
tersebut.
“Hava,
jadi pacarku sekaligus pasangan hidupku forever yah” Nevil menyerahkan setumpuk
bunga mawar hingga menghentikan tawaku seketika itu juga.
“Kupikir
kau menyukai Hozhi?” kalimatku.
“Sejak
kapan saya menyukai Hozhi?” gaya nyeleneh Nevil.
Di
luar dugaan seseorang sedikit mendorong jauh tubuh Nevil dariku. Siapa pernah
menduga sosok pria dingin muncul seketika di tengah suara riuh orang banyak. “Hava
calon menantu keluarga Levin, jadi mundur sekarang juga!” mataku terbelalak
melihat tingkah kacau mister Juan membuat sebuah pernyataan.
“Apa-apaan
ini?” ujarku masih dengan mata terbelalak. Di satu sisi Nevil berteriak keras
menyatakan cinta, di sisi lain mister Juan dosen paling ganas sedunia membuat
pernyataan lebih kacau lagi. Saya makan apa semalam? Mimpiku apaan tadi malam?
Kenapa jadi begini?
“Perasaan
calon menantu keluarga Levin kan Hozhi?” saya sedikit mengalami serangan
jantung mendadak.
“Memangnya
anak keluarga Levin hanya satu?” mister Juan tetap bersikap dingin.
“Saya
kan sudah bertanya jauh-jauh hari sebelumnya, Hava pilih siapa? Pria tampan
tapi menyeramkan atau pria tampan tapi selalu tersenyum?” ka’Moza.
Kenapa
semua perhatian mendadak ke saya semua? “Pria tua ingat umur” rasa kesal Nevil.
Tidak pernah membayangkan sebelumnya tentang perasaan suka Nevil terhadapku. Bagaimana
bisa sosok dosen dingin, ganas, menyeramkan, tidak pernah senyum membuat sebuah
pernyataan? Kenapa juga saya harus mengingat dekapan hangat manusia iblis tadi
pagi? Menjalin hubungan dengan seseorang sama sekali tidak terlintas dalam
benakku. Seluruh penghuni kampus hadir disini bahkan menjadi saksi pernyataan
terkacau mereka berdua.
“Bukan
berarti pria tua lantas tidak bisa mendapat kemauan hatinya, ngerti?” mr. Juan.
“Kalau
masih mau aman, jangan coba-coba mencari masalah” bahasa terganas mr. Juan
sambil mendorong tubuhku menjauh dari Nevil termasuk kerumunan semua orang.
Bisa-bisanya
tubuhku mau saja berjalan keluar tanpa menoleh kembali ke tempat Nevil. Serangan
jantung? Memang kenyataannya saya seperti kehabisan nafas karena kejadian tadi.
Tidak ada pernyataan cinta, tetapi langsung memutuskan seorang diri. Kekacauan lain
lagi yaitu seorang manusia terdingin tiap hari datang ke rumah hanya untuk
membuatku berjalan kaki memutari perkotaan memakai kaki. Motor tua miliknya
selalu mogok di tengah jalan hingga saya seperti orang bodoh mandi keringat
bahkan kehausan di siang hari karena berjalan kaki. Orang berduit paling pelit
sedunia karena tidak pernah ada keinginan membeli kendaraan baru.
“Juan
kenapa bisa lebih memilih dia dibanding saya?” kekecewaan ibu Lara.
“Lantas
maumu?” sikap ganas mr. Juan.
“Kalian
bicara saja dulu, saya kehausan gara-gara jalan kaki terus tiap hari” dua
kakiku mulai melangkah meninggalkan mereka.
“Btw,
kalau ibu Lara ingin ngerebut mister, ambil saja” kalimatku kembali.
“Tapi
Juan lebih suka anak dibawah umur” ibu Lara berjalan lemas meninggalkan kami
berdua seolah merelakan pria yang dicintainya menjadi milik orang lain.
Mister
Juan tidak membiarkan Nevil berdiri di dekatku walau hanya sedetik. Raut wajahnya
terbaca jelas dibalik sikap dingin mengenaskan sedunia. Hozhi menjalin hubungan
bersama saudara kembar mister Juan dikarenakan perasaan suka. Menjadi pertanyaan,
mengapa saya mengekor di belakang dosenku terus-menerus? Rasa suka atau rasa
takut?
“Papaku
ingin saya menikahi Lara, sedang mamaku maunya saya hidup bahagia bersama Moza,
lantas sekarang tidak tahu kenapa tanganku bergerak begitu saja menarikmu”
mister Juan berkata-kata di bawah terik sinar matahari…
“Tugasmu
sekarang adalah berjuang merebut perhatian papa mama agar bisa menerima sosok
semacam dirimu dalam keluarga besar Levin, ngerti?” serangan jantung mendadak
seorang Hava masih terus berlanjut.
“Apa
mister tahu rasanya berkeringat karena jalan kaki terus mengelilingi kota?”
rasa kesalku makin membara.
“Saya
serangan jantung karena perbuatan mister langsung menyatakan status kepemilikan
tanpa bertanya atau menjelaskan pernyataan cinta. Objek paling kacau lagi
membuat saya terus berjalan kaki sampai semua baju basah di bawah terik panas
matahari”…
“Anggap
saja melatih jantungmu biar sehat kalau kau berjalan kaki keliling kota” mr.
Juan seolah cuek.
“Kekurangan
Hozhi hanya pada kata bisu, sedang saya? Lantas mister mau saya banting tulang mencari
perhatian? Gila”…
“Hozhi
tidak bisa bicara berarti suka atau tidak kakakku Nadav harus berjuang, sedang
kau berbeda” mr. Juan.
“Mister…”
rasa-rasanya saya ingin menangis.
“Kalau
papa mamaku berteriak anggap saja sebagai pembentukan mental seorang Hava. Tiap
ucapan mereka dimasukkan ke telinga kanan, terus buang di telinga kiri, simple”
mr. Juan.
“Mister
Juan memang manusia gila”…
“Mereka
panjang umur juga padahal saya baru cerita sedikit” jari telunjuk mister Juan
menunjuk sepasang suami istri yang sedang berjalan di sekitar persimpangan
tempat kami berdua berdiri.
“Tarik
nafas dalam-dalam kemudian buang. Ingat masuk telinga kanan keluar telinga kiri”
mister Juan menepuk-nepuk bahuku sambil tersenyum simple tanpa rasa berdosa
sama sekali…
“Juan…”
teriakan atom seorang pria tua dan tidak lain merupakan papa seorang manusia
terdingin sedunia.
“Sudah
cukup Nadav membuat keonaran, sekarang kau? Mama minta penjelasan Juan” kalimat
histeris istri pria tersebut alias mama kandung mister beringas.
“Uuppppssss
perang dunia ketiga siap terjadi” ka’Moza semacam mahluk halus tiba-tiba saja
muncul seketika di tengah-tengah kami…
“Juan…”
orang tua mister Juan berteriak bersamaan.
TAMAT